Suatu sore

Setiap langkah menoreh jejak, meski akan terhapus hujan dan angin, tapi kenangan tak akan pernah mau pergi.

*****

"Ghifa, mau mimik?"

Kudekap anak kita, kami duduk di kursi rotan bulat yang ada di teras. Ibu duduk di seberangku, dibatasi meja kaca bulat, sambil mengocok susu hangat. Ardi mengurus segala hal yang berkenaan dengan kita, termasuk cutiku hingga dua minggu ke depan. Dokter memberikan diagnosisnya padaku, dan surat Istirahat di rumah. Semua untuk memberikan ketenangan, dan pemulihan dari shock yang aku alami. Begitu kata Ardi.

Hasilnya setelah seminggu kepergianmu. Aku sudah mulai menyusun puzlle kenangan, peristiwa di hari kau tiada. Kata mereka tentu saja. Karena aku merasa kau selalu ada di sampingku.

Dan kau tahu, hari ini, Ibu mengijinkanku ke taman bersama Ghifa dan Ibu. Ardi akan mengantar kami, pemuda gondrong itu masih melarangku membawa semua kendaraan yang bermesin. Dia bilang jiwa dan emosiku belum stabil.

"Ghifa kita akan ke taman sayang ..."

Kulihat Ibu melebarkan senyumnya, tak pernah kulihat air mata menetes dari matanya. Kecuali suatu saat kupergoki beliau tersedu sedan saat sholat malam.

Diacungkan botol 200ml itu kearahku, yang kuterima dan segera kuberikan pada si rambut ikal. Dua minggu sudah, timbangan Ghifa sudah naik 0,5 kg. Dari berat semula 3,4 kg.

Teeettt

Teettt

Mobil sedan F***ta Fo** merah maron memasuki halaman. Lambaian bunga mawar kesukaanmu menyambut kedatangannya.

"Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam. ..!"

Kuberanjak dengan Ghifa di gendonganku. Ibu membawa tas kecil berisi berbagai peralatan si kecil.

"Sudah lama menunggu buk?" Kata Ardi sembari mencium punggung tangan Ibu.

"Ndak ... Cuman beberapa menit kok, sehabis sholat Ashar, duduk sebentar di teras, terus kamu datang,"

Ardi meraih tas yang dibawa Ibu, kemudian mendahului kembali ke mobil dan membukakan pintu. Sementara itu Bik Nah keluar dari ruang depan.

"Ke taman dulu, ya Bik, Nah,"

"Nggih Buk ...hati hati,"

Aku duduk di samping Ardi yang mengemudi dengan santai. Rambutnya dibiarkan tergerai hingga berkibar ditiup angin sore yang melewati jendela yang sedikit dibuka.

"Parkir dekat coffee shop aja Ar," pintaku.

"Hah? Serius?"

"Kenapa emang? Boleh kan?"

"Hmmm ... "

"Ndak muter aja, Gie? Yang di depan pendopo?"

Ibu memberikan usul.

"Ndak ah ... Buk, disana tidak ada pohon flamboyannya, Gie mau ngenalin Ghifa pada pohon itu,"

"Hem, baiklah." jawab Ibu pelan.

Menghela nafas, dan tak lagi berkata.

"OK,"

Ardi menyahut, mengarahkan kemudinya menyeberang jalan, kemudian berjalan lurus. 200 meter dari perempatan, Ardi memarkirkan mobilnya di lokasi yang disediakan.

Kemudian melangkah keluar dan segera membukakan pintu.

Ibu keluar membawa tas kecil. Aku pun melangkahkan kakiku kembali menapak pada trotoar yang sudah dua minggu terakhir tak kujejak. Kurapatkan selimut Ghifa, menahan dingin udara senja.

"Jangan lama-lama jalan-jalannya yo, Le. Kasihan Ghifa kedinginan,"

"Iya Buk ..."

"Ghifa kita cari Bunda, yokk ..." bisikku pelan sambil mengecup pipi gembilnya.

"Uh ... Uh ... Ngeek ..."

Bibir Ghifa meruncing kemudian melebar seakan tahu yang kusampaikan, tentangmu.

"Cucu Eyang, seneng amat ya ...?"

Goda Ibu melihat Ghifa menggerak-gerakkan kaki dan tangannya, hingga Berkali-kali aku harus membetulkan selimutnya.

"Hallo Ghifa gendong om, yokk," ajak Ardi.

"Ndak boleh!"

"Halahhh pelit amat, cuma digendong juga ..."

"Pingin gendong bayi? Buruan nikah to om," kata Ibu datar, tapi membuat Ardi tersipu.

"Ah, Ibu selalu deh ..."

"Hehehe ..."

Langkah kami menuju bangku taman yang biasa kita duduki melepas senja. Siluet dialog kita malam itu kembali datang.

"Berjanjilah padaku Cupikk, kau akan membawanya bermain ke bangku taman, tempat kita biasa menatap senja,"

Katamu kala itu, dan kutepati janjiku sore ini datang kesini bersama Ghifa, anak kita. Dan sekarang, kau dimana? Kulayangkan pandangan seputar taman, banyak yang melakukan aktivitas di taman sore ini.

"Hayoo, nyariin apa, kok toleh sana toleh sini?"

Ardi merangkul pundakku sambil menggoda Ghifa

"Ada deh... Mau tahu aja kau!"

Sungutku.

"Hahaha ... Gie ..., Gie ... ini nih Gie yang kukenal,"

"Apaan?"

"Tukang ngambek!"

"Awas kau! Enak aja ngantain tukang ngambek,"

Sungutku sambil memonyongkan bibirku kearah Ardi. Kau pasti akan tergelak melihatnya.

"Sini ... Sini, Ibu yang gendong Ghifa, kalian lanjutkan aja adu jotosnya,"

Canda Ibu sambil merengkuh Ghifa ke dalam gendongannya.

"Jangan sampai si Gondrong menggoda Ghifa ya Buk,"

"Hehehe..."

"Hallo Ghifa, Ghifa ..."

"Hush sana-sana!"

Ardi berlari dan aku mengejarnya seperti saat kami bermain di waktu kecil dulu.

Sekilas kulihat Ibu berjalan mencari tempat yang lebih teduh. Asyek mengajak bercanda Ghifa sembari duduk di sebuah bangku taman, di bawah flamboyan. Ardi berlari ke arahnya, memutari bangku taman yang digunakan Ibu untuk duduk, dan aku terkesiap. Mataku membulat penuh suka.

"Laras!!!"

Kulihat kau duduk di samping Ibu, tengah tersenyum bahagia menatap Ghifa yang mengoceh dengan ceria.

Ibu dan Ardi sontak menoleh ke arahku, mata mereka menyiratkan kekhawatiran.

"Apa Gie?"

"Laras ....!"

Kubersimpuh posisi dengan setengah duduk di depanmu. Kubiarkan Ardi yang kebingungan melihatku di belakang punggung bangku taman.

"Laras, anak kita ..."

Kau tersenyum, kemudian mengangguk, menatap dengan berbinar.

"Gie ...!"

"Stop! Jangan duduk disitu!"

Ardi menghentikan geraknya ketika akan duduk disamping Ibu, dan bersitatap dengan Ibu.

"Gielang ..."

"Ya Bu?"

"Ada apa dengamu, le?"

"Laras, Buk. Laras ada bersama kita, ia terlihat bahagia sekali bertemu Ghifa."

Ujarku tanpa ragu, namun serempak Ibu dan Ardi berseru.

"Apa?"

"Gie!"

Kau menggeleng, menatapku dengan bibir terkatup, aku menunduk.

"Gielang ..."

"Ya buk, dulu Laras menungguku disini,"

Ralatku pada akhirnya. Aku tak mungkin memaksa Ibu dan Ardi percaya kau ada disini. Karena kenyataannya, kau tidak terlihat oleh mereka.

"Doakan yo, Le. Setiap kali teringat, doakanlah, biar hatimu juga tenang,"

Aku mengangguk, sembari kulirik wajahmu, kau pun mengangguk sambil tersenyum. Dan ketika pandanganku mengarah pada Ghifa, gadis kecil kita itu tengah terpana menatap ke arahmu.

"Apakah Ghifa bisa melihatmu?"

Kau mengangguk. Tepukan Ardi pada pundak kembali mengagetkanku. Si gondrong itu mengerutkan alisnya dengan curiga. Ia meletakkan pantatnya di trotoar di depan bangku taman yang Ibu dan kau duduki.

"Gie ... Ngomong sama siapa sih?"

"Sudah ah, aku bilang juga, kau ndak akan percaya," sungutku.

Ibu merapatkan selimut Ghifa. Angin mulai terasa lebih dingin. Cukup sudah beberapa hari yang lalu aku dianggap depresi hingga sering merasa bengong, blank, lupa pula dengan orang-orang terdekat. Sekarang, biarkan hanya aku dan Ghifa yang tahu, jika kau ada disini.

"Sudah yok Gie, pulang, anginnya semakin dingin," ajak Ibu, sambil beranjak.

"Emmm ..., Ghifa capek ya... "

Kulihat tanganmu melambai, dengan tersenyum dan Ghifa membalasnya.

"Ayo, om antar pulang yok ..."

"Halah kau, jangan goda anakku ya!"

"Hahaha!"

Kutatap dirimu, kau menyuruhku dengan tatap matamu untuk mengikuti kata-kata Ibu. Senyummu tak pernah lepas.

"Pulanglah ...."

..... Next episode

Terpopuler

Comments

KIA Qirana

KIA Qirana

🌿🌿🌿🌿🌿🌿

2021-09-04

1

@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

@M⃠ⁿꫝieʸᵃɴᵉᵉʰʜɪᴀᴛ𓆊🎯™☂⃝⃞⃟ᶜᶠ

masih terisak.. hiks

🍀

cinta pak bos hadir lagi ya😉

mampir kembali yuk kak

sehat dan semangat selalu ya💪

2020-12-25

0

Caramelatte

Caramelatte

lanjut thorrr

2020-12-07

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!