Terbelenggu Hati
Tiada yang dapat memaksa Hati. Bahkan, ketika raga, jiwa dan keinginan mencoba mengikari. Hati tetap bertahan meski dalam pedih sendiri.
****
"Gie ..."
"Ya?"
Kumasukkan sesuap soto ayam kedalam mulutku dan kukunyah pelan. Jam makan siang, kantin Yu Yem yang berada di sudut bangunan kantor ini, penuh.
"Ada apa?" tanyaku pada Sapto yang tak segera melanjutkan kata-katanya.
"Emmm ...., apa kau tak ingin menikah lagi?"
Aku menelan kunyahanku cepat, dan kugelontor dengan menyeruput jeruk nipis hangat.
"Apa maksudmu?"
Tanyaku tak suka.
"Maaf Gie, aku tahu belum ada setahun Laras pergi, tapi ..."
"Laras tak pernah pergi, dia masih bersama kami. Jadi lupakan Sap, apapun yang ingin kaukatakan,"
Sapto mengalah, kemudian melanjutkan makannya.
"Maaf, Gie."
Aku mengangguk tak ingin memperpanjang. Tentu saja, aku tak bisa memaksa mereka untuk memahami, bahwa kau tak sepenuhnya tiada. Nyatanya aku masih menemukanmu di Bangku Taman. Mereka akan bilang aku berhalusinasi, depresi lebih lagi, sakit jiwa? Ahh, memang jiwa bisa sakit?
"Eh Gie, Sap, disini tho? Tak cari-cari lho eh tahunya sudah duluan?"
Bu Retno datang bersama Nania dan Wulan. Mereka Kemudian duduk di bangku kosong satu meja denganku dan Sapto.
"Maaf, Bu keburu keroncongan, tadi ndak sempat sarapan!" elak Sapto.
"Makanya cari istri, biar ada yang ngurusin!" ledek Bu Retno, Sapto tertunduk sembari nyengir kuda.
"Iya tho Nania, Wulan ... Kalian juga, jangan lama-lama membujang, nanti jadi perawan tua lho ..."
"Hihihi ..." Kulihat Nania dan Wulan tersipu malu.
"Bu Retno, ini ah ..."
"Sukanya ngomporin ....!"
"Iyaaa,"
Bu Retno gantian yang terkekeh, diserang tiga jomblo yang kena skak.
"Habis kalian tuh aneh, sudah cantik, ganteng, pegawai lagi. Kurang apa coba, yo to mas Gie?" serang Bu Retno minta dukungan.
"Benar buk," kutarik senyumku lebar. Kau pasti juga akan terkikik kegelian melihat Sapto yang berkulit putih, mukanya menjadi semerah kepiting rebus.
"Belum ketemu jodohnya Buk," elak Sapto.
"Emang dicari belum?" sindir bu Retno tak mau kalah.
Kami tergelak, kemudian segera kuteguk jeruk hangat yang tersisa, lalu pamit mendahului. Sapto segera bergegas mengikuti, tentu tak ingin lagi terpojok olok-olok Bu Retno. Sepintas Kulihat Nania dan Sapto saling bersitatap, ketika aku melewati mereka sebelum membayar di kasir.
"Kau ada rasa dengan Nania?"
Tanyaku to the point ketika kami berjalan keluar kantin. Sapto terhentak.
"Darimana kau tahu?"
"Dah bener kata Bu Retno, sudah saatnya kau beranikan diri, Ayokk," dukungku.
Kami berjalan menuju Mushola yang berada di bagian sisi depan gedung-gedung yang terbagi menjadi ruang-ruang bagian yang berbeda. Di sekeliling mushola terdapat bunga-bunga kertas warwa warni
"Tapi ...."
"Tinggal yakin saja, ndak usah ragu,"
Kataku sambil duduk di serambi dan melepas sepatu.
"Tapi Gie ... aku takut mengalami hal yang sama denganmu ..."
Deg
Aku terdiam.
"Aku takut hatiku akan terbelenggu seperti hatimu, ketika aku harus kehilangan orang yang kusayangi,"
Sapto tertunduk. Aku menghela nafas panjang, kemudian nenuju tempat wudhu dengan diam. Apakah ini maksud pertanyaannya beberapa saat yang lalu? Laras, bagaimana menurutmu?
***
Awal September ketika gerimis mulai sering datang, hari bahagia untuk Ardi tiba, tepat di hari lahirnya yang ke 25. Dua bulan setelah lamaran, akhirnya sah juga Lidya menjadi istrinya. Kau tahu, Ghifa ikut menjadi ratu. Semua teman ingin merengkuhnya, mengajaknya berfoto bersama. Rambut ikalnya lebat terurai. Gerakannya aktif, tak henti ingin mulai belajar berjalan , tertatih, jatuh bangun tak kenal takut. Kakak Satu-satunya Ardi yang tinggal di Jambi juga pulang beserta keluarganya.
Kau pasti ingat, Ardi tinggal bersama neneknya, Eyang Sukma, seorang janda pensiunan guru. Kedua orang tuanya telah meninggal dunia sejak dia masih SMP. Jadi terbayang kan bagaimana bahagianya Eyang Sukma melihat hari bahagia cucunya? Ah seandainya kau disini, aku akan bahagia memandang senyummu yang tersungging untuk Ardi dan Lidya.
"Gie!!!"
Suara melengking terdengar sayup disela riuh canda teman-teman di akhir acara resepsi. Seorang perempuan bergaun putih gading melekat tubuh, mendekat dengan mengangkat gaunnya sedikit keatas.
"Gie!!! Ingat aku, kan?"
Mata bulat perempuan itu mengerjap. Kedua bulu alisnya yang tebal hampir bertaut di pangkal hidungnya yang mancung.
Aku mengeryitkan alisku sambil melangkah mundur, ketika kedua tangannya memegang kedua lenganku.
"Akuu ..., maaf?"
Jawabku ragu, sambil melayangkan sudut mataku mencari keberadaan Ghifa. Di tepi panggung, Sapto terlihat menggendongnya, dan Nania mengajaknya bercanda. Aman, aku tersenyum.
"Aku Citra, Gie! Citra! Ingat kan, kau?"
"Eh ... Oh, Citra?"
"Keterlaluan, kita teman satu kelas waktu SMA, mosok lupa?"
Gadis itu cemberut, tapi kemudian mencubit pinggangku. Aku menghindar, mengambil jarak meski sedikit ketika ia kemudian menarikku untuk duduk bersebelahan.
"Bagaimana kabarmu, Gie? Mana anakmu? Katanya istrimu meninggal setelah melahirkan ya?"
Gadis bernama Citra itu nyerocos tanpa ampun, kutatap dia sepintas, apakah benar ia Citra teman sekelasku? Apakah ini Citra yang sama? Gadis tomboy yang suka ceplas ceplos, itu?
"Eh, ... iya, Laras ...."
"Aduhhh, Gie, aku turut berduka ya ... Maaf aku tidak hadir waktu pemakamannya."
Wajah Citra berubah sendu sambil mengelus pundakku.
"I ... ya, tak apa, terima kasih ..."
"Eh tahu tidak, aku dapat berita duka ini, dari Agung. Ingat Agung, kan? Ketua kelas kita?"
Aku mengangguk, Agung masih sering berkunjung jika ia pulang ke rumah orang tuanya. Saat ini ia tinggal di kota yang berbeda bersama keluarganya.
"Nah waktu itu aku ketemu dia di bandara. Dia cerita semua tentang kamu, aduhh kisah yang sangat sedih, aku sampai sesek mendengarnya saat itu,"
Aku menunduk, sementara Citra berganti menepuk-nepuk lututku.
"Gie, kamu yang sabar, ya. Ingat, hidup harus jalan terus. Kamu harus bisa move on, apalagi kamu sudah punya anak, ya kan?"
"Ya Cut, terima kasih perhatiannya,"
"Sama-sama ...."
"Itu anakkku!"
Tunjukku pada Ghifa, sambil melepaskan tangannya yang bersandar di lututku.
"Aihhh cantiknya ..."
Citra melambai-lambaikan tangannya.
"Permisi ya, maaf waktunya Ghifa bobok siang," pamitku.
Aku segera beranjak sambil meraih tas kecil tempat kebutuhan anakku tersimpan. Kemudian bergegas menghampiri Ghifa yang berada dalam gendongan Sapto. Sementara Ardi dan Lidya masih sibuk melayani permintaan teman-teman yang masih bertahan untuk bernostalgia.
"Wait, Gie!"
Citra ikut beranjak dan dengan gesit mengikutiku. Meski gaunnya sedikit ketat, gerakannya lincah karena dia memakai sepatu sporty. Dasar gadis aneh!
"Ghifa, sayang ... bobok dulu yokk,"
"A ... ya ..." Ghifa menyambutku dengan mengulungkan kedua tangannya.
"Tasnya saya bawakan pak,"
Nania sigap mengambil tas kecil yang kubawa, hingga kedua tanganku leluasa meraih Ghifa. Tapi sebelum Ghifa kecil Kuraih, kedua tangan ramping ikut terulur.
"Sini, mama gendong sayang,"
Serentak Sapto dan Nania saling bersitatap, sementara aku terkejut hingga mulutku sedikit terbuka.
"Mama?"
........
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
KIA Qirana
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
2021-09-04
1
ARSY ALFAZZA
romantika 😳
salam soto ayam Thor ..
2020-11-26
1
Jenong
wah seru ini.
2020-11-05
1