Capucino Untukmu

Capucino Untukmu

By: SBB

Pernahkah mengalami, melangkah dalam gamang, Hingga tak merasa siapa diri sendiri? Yakinlah satu cara mengembalikan semua itu adalah, berdamailah dengan hatimu.

***

"Aaaa!"

"Tolong ... Tolong!"

Teriakan si Ibu dari anak kecil yang tadi kausapa menjadi suara pertama yang menusuk telingaku.

Aku berbalik, mobil berwarna metalic itu masih berada disana. Pintu pintunya terbuka dan pengemudinya keluar dengan langkah cepat.

Refleks aku berlari. Bukankah kau masih duduk di bangku itu, sayangku? Tapi kepanikan disitu membuatku beku. Langkahku cepat menuju kerumunan.

"Ya, Allah... Tolong tolong ... Dia ..." ibu tadi meraung-raung sambil memeluk anaknya yang menangis sambil menunjuk.

"Tante ... Tante ..."

"Laras!"

Kurengkuh dirimu dalam pelukku.

"Laras ... Larasss ..."

Kau terdiam hanya hembusan nafasmu terdengar menderu.

"Maaf, mas ayo segera dibawa ke rumah sakit ..."

"Masukk mobil, Mas... "

"Ma-afkan saya Mas ..."

Serbuan kata masuk dalam gendang telingaku. Aku hanya tertujuu memandangmu, kuangkat tubuhmu memasuki mobil yang pintunya telah dibukakan.

"Maaf ... "

"Jaga motornya, segera lapor polisi!"

"Yah! Ayo ikuti ke rumah sakit!"

Masih kudengar suara -suara itu, tapi kau hanya diam.

"Laras ... Larasss ...!"

Kupeluk tubuhmu erat, kurasakan bagian bawah tubuhmu basah. Kuraba dan tanganku berbalut warna merah. Darah.

"Laras ... Larasss,"

"Tenang, Mas, kita segera sampai... "

"Coba sambil beri minyak gosok ini, Mas!"

Kuraih botol kecil terapi, kugoyangkan kearah bawah hidungmu. Kau tetap terdiam.

"Larass ... Larasss... "

Aku rasa suaraku menjadi serak, mengapa kau diam saja?

"Laras ... Larasss."

Terus kupanggil namamu, kau tak menjawab.

"Mas, kita sudah sampai ..."

Pintu mobil dibuka, Kubawa kau keluar tetap erat dalam dekapku.

Pintu UGD terbuka, beberapa perawat sigap membawa bed emergency, mendorongnya mendekat. Lelaki yang tadi membawa minyak terapi berada di sampingnya.

"Baringkan disini, Mas!"

"Larass ... "

"Iya, Mas. Baringkan dulu, segera kita lakukan observasi!"

Mereka memaksaku melepaskanmu dari pelukanku. Kutahan tubuhmu merapat di dadaku. Dua perawat merengangkan kedua lenganku, kedua telapak tanganku yang berwarna merah. Mereka membaringkanmu perlahan, kemudian mendorongmu dengan cepat ke sebuah ruangan.

"Larass ... Larasss!"

Kukejar tubuhmu, kurasakan lenganku dipegang oleh lelaki yang tadi berada di mobil.

"Sabar Mas, sabar ... "

Aku meronta, kau disana sendirian, dengan orang-orang yang takkukenal hanya dengan anak kita yang masih ada dalam perutmu.

"Larasss ..."

"Tenang, Mas. Kita tunggu dokter memberikan pertolongan yang terbaik."

"Sabar ... Mas, sabar ..."

Berulang-ulang kalimat itu kudengar. Tapi aku tetap mencoba mendekat tempat dimana kau berada. Beberapa perawat hilir mudik dua orang berjas putih kulihat masuk ke ruangan. Apa yang mereka lakukan padamu?

"Tolong, tahan dulu Masnya, pak,"

Seorang perawat menahanku, aku memaksa. Perawat lain ikut menahan, kemudian kedua orang yang tadi mengantar kita dengan mobilnya kembali memegang lenganku.

Aku mematung.

Seseorang menepuk nepuk punggungku. Kudengar banyak percakapan, tapi aku tak dapat memahaminya. Kau disana, tanpaku.

Seorang perawat laki-laki kembali datang, membawa peralatan.

"Tolong lepaskan jaketnya, Pak."

Dua orang lelaki mencoba melepaskan jaketku yang penuh darah.

"Apakah Masnya juga terluka?"

"Tidak, Mas. Darah yang melekat ini adalah darah istrinya, karena dia yang membopong,"

Aku dipaksa duduk, aku meronta kembali dua orang memegangku cepat. Tanganku diraih, dibersihkan semua darah yang ada. Seorang lelaki berjas putih datang dan mulai memeriksaku, meneliti kedua mataku. Memegang kedua lenganku.

"Tidak ada luka ..."

"Iya, dok. Masnya tidak sedang di lokasi ketika kejadian, kelihatannya sedang membeli sesuatu di seberang jalan,"

Suara perempuan dengan mata sembab yang menjawab.

"Ohh ... Ya. Dia nampaknya sangat shock. Tolong jangan ditinggal sendirian,"

"Baik dok!"

"Mas ..., mas, "

Aku beranjak, mencoba melangkah menuju ke ruang tempat kau berada. Lagi-lagi semua menahanku.

"Laras ... Larasss,"

Hanya itu yang dapat keluar dari mulutku.

"Iya Mas, mbak Laras sedang ditangani dokter, tenang ..."

"Sabar, Mas"

Suara-suara itu lagi, berbisik riuh menerpa daun telingaku. Kau disana tanpaku.Langkah-langkah cepat, seruan istruksi, suara-suara, yang tak dapat kufahami. Karena yang kutahu, kau disana tanpaku.

Sampai sebuah rengkuhan lengan melingkar pada tubuhku.

"Gie ...! Gie! Sadar ini aku Ardi! Sadar sobat!"

Kurasakan wajahku ditekan menghadap wajahnya. Ditepuknya pipiku berulang kali.

"Gie ingat! Kau kuat, harus kuat, demi Laras dan anakmu! Sadarlah sobat ... sadar!"

"Larasss ..."

"Ya! Dokter masih berusaha, kau harus kuat!"

Kutatap wajah di depanku, menatapku dengan pandangan tajam.

"Ardi...?"

"Alhamdulillah ... Kau mulai sadar,"

Kembali direngkuhnya aku dalam pelukannya, kudengar bisikannya tepat di telinga kiriku.

"Kau harus kuat, Gie. Doakan yang terbaik untuk Laras,"

Deg

Kurasakan pipiku membasah. Seorang perempuan paruh baya meraihku dalam pelukannya. Menenangkan dengan suara lembutnya.

"Istigfar anakku, ibu disini, Nak!"

"Astagfirullahaladzim ..., astaghfirulahaladzim..."

Aku menangis terguguk, menata puzlle peristiwa yang baru saja terjadi. Ardi menuntunku duduk, di bangku terdekat. Ibu mengusap-usap punggungku. Kutangkupkan wajahku di pangkuannya, kubasahi gamis warna abunya dengan air mataku.

Orang-orang yang sedari tadi berada di sekitarku, mendekat ke arah kami.

"Maafkan Buk, kenalkan saya Tikno, ini istri saya,"

Seorang perempuan bermata sembab tadi mengacungkan tangannya ke arah Ibu.

"Mbak ..., emm ..."

"Laras ..."

"Beliau menyelamatkan anak saya, buk. Ghilman tengah berlarian di trotoar, tiba-tiba ia turun di jalan. Mbak Laras berlari mengejar ..."

Semua terdiam, kudengarkan dengan masih menelungkupkan wajah. Kemudian kutarik badanku dari pangkuan ibu. Ardi mengacungkan tisue dan kugunakan untuk mengusap wajahku.

"Maafkan saya, Mas. Saya sudah mencoba menginjak rem secepat saya bisa... "

Lelaki yang sedari tadi mendampingiku angkat bicara. Kupandang mereka satu satu dengan duduk tegap. Kau tahu, wajah mereka tidak ada yang tersenyum. Mata mereka menyimpan sendu. Apa yang harus kulakukan? Aku ingin segera berada disampingmu. Di samping anak kita yang sedari tadi aktif bergerak di perutmu.

Aku beranjak, Ibu dan Ardipun ikut berdiri. Ardi memegang pundakku, Ibu menahan lenganku. Orang-orang memperhatikanku dengan wajah sendu mereka.

"Gie?"

"Anakkku... "

"Aku ingin bersama Laras, Buk."

Kulangkahkan kakiku.

"Tunggu Gie, ... Tunggu disini!"

Ardi mendahului langkahku menuju ke arah ruangan, dimana terakhir kulihat tubuhmu dibawa masuk. Kakiku menuju kesana, Ibu mengiring, dengan tetap mengandeng tanganku. Kurasakan sendiri tanganku sedingin es.

Kau kehausan tadi, ketika aku meninggalkanmu sendiri di bangku taman. Belum ada hitungan lima menit ketika aku menyeberang jalan dan sampai di depan kedai. Bahkan aku belum sempat memesan capucino untukmu, ketika kulihat bayanganmu beranjak lewat pantulan kaca coffe shop. Dan sekarang kau disana tanpaku, aku belum membawa capucino untukmu. Kau pasti masih merasa kehausan.

"Larass tadi minta capucino buk, dia pasti kehausan sekarang,"

"Nak, ada dokter dan perawat yang sedang membantu, Laras, kau harus kuat!"

Ardi keluar dari ruangan menghadang langkahku.

"Aku boleh masuk kan?"

"Tidak!"

"Mengapa?"

.........

Terpopuler

Comments

KIA Qirana

KIA Qirana

🌿🌿🌿🌿🌿🌿

2021-09-04

1

Dhina ♑

Dhina ♑

👍👍👍👍👍

2021-08-29

1

Firya Aulia

Firya Aulia

like like

2021-08-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!