KENANGAN LARA
Kenangan tentangmu akan selalu bangkit, kadang menguat menusuk dada, kadang pula menyapa bagai angin sepoi.
"Nania ndak berangkat Sap, ada apa?"
Tanyaku pada Sapto, sehabis sholat dhuha. Kusandarkan punggungku pada tiang mushola kantor, dan kuselonjorkan kedua kakiku untuk melemaskan otot. Pagi tadi sempat aku berpapasan dengannya sebelum meninggalkan tempat parkir.
Semenjak Sapto menikah dengan Nania, ia dipindahkan ke bagian lain di Bapermades tepatnya. Tapi kami masih sering bertemu, terutama di saat jam sholat, dhuha maupun dhuhur.
Dan tadi pagi tak terlihat Nania masuk kerja. Bahkan sampai aku ijin ke Mushola untuk sholat dhuha pukul 09.30, Nania juga belum hadir. Jadi kebetulan aku bertemu dengan Sapto, disini.
Sapto menoleh, padaku, tengak kanan tengok kiri. Padahal mushola kantor memang sepi di jam-jam seperti ini.
Pemuda berkulit putih itu mendekat, kemudian berbisik padaku.
"Apa? Beneran kau?" seruku tak terbendung dengan gemuruh dada yang membuncah.
Sapto mengangguk dan tersenyum lebar.
"Alhamdulillah, selamat ya friend, hebat kau!" seruku sembari menepuk kedua pundaknya.
"Terima kasih, Gie. Doakan sehat, ya. Setiap pagi Nania selalu kewalahan dengan mual dan muntahnya, untung ada Ibu yang menemani, jadi aku bisa berangkat kerja,"
Cerita Sapto panjang lebar.
"Iyaaa, namanya juga bawaan bayi, setiap tubuh perempuan berbeda dalam merespon keberadaan makhluk hidup lain dalam rahimnya, jadi kau harus tenang sobat,"
Pesanku tulus.
"Siaaap Bos! Eh gimana kabar Wulan, dah jadian belum kau, Gie?"
"Kenapa tanya padaku soal Wulan? Ha?! Aku belum kepikiran ke arah situ, Sap."
"Aaah, kau ini! Kudengar ada yang mulai mendekati Wulan, lhooo."
"Alhamdulillah, bagus kan Sap?"
"Gie, Gie! Kau ini sama sekali tak peka!"
Aku terkekeh, sementara Sapto mencibir kesal. Kuambil benda di saku kemeja batikku, sejak sampai kantor jam tujuh tadi aku tak membukanya. Kulihat banyak pesan yang tertunda kubaca. Dari Citra menumpuk sekian chat. Kulalui.
Tepat ketika kubaca pesan dari Ardi tawaku terhenti, kulihat pada jam pengiriman, 2 jam yang lalu. Tiba-tiba aku merasa sangat ketakutan.
"Ada kabar apa, Gie, tegang amat?"
"Lidya, istri Ardi mau melahirkan, aku harus kesana, Sap. Aku duluan ya."
Sapto terkesima, membiarkan diriku memakai kaos kaki dan sepatuku dengan cepat.
"Hati hati Gie, salam buat Ardi!"
Seru Sapto ketika setengah berlari aku menuju tempat parkir.
"Oke!!!"
Kubergegas mengambil motor maticku, setelah kukirim pesan kepada Bu Retno mengabarkan aku keluar sebentar.
'Ardi ceroboh! Mengapa dia hanya membawa Lidya ke klinik bidan Rini? Bagaimana kalau kejadian yang terjadi padamu terulang kembali, Laras?'
***
Klinik bidan Rini berada di perumahan sebelah kompleks tempat kami tinggal. Aku melajukan maticku kencang, keluar dari halaman perkantoran menuju klinik berada. Tak sampai 15 menit, kumasuki halaman klinik yang rindang dengan pohon mangga.
Deretan bunga anggrek menyambut kedatanganku. Klinik ini termasuk besar, ada beberapa kamar inap dengan fasilitas yang komplit tersedia. Layanan pemeriksaan ada di jadwal pagi dan sore. 'Kau ingat Laras? Kita rutin kesini untuk memeriksakan kehamilanmu'
Langkahku menuju meja resepsionis, ada dua perawat jaga disana yang sibuk dengan berkas pasien.
"Maaf mbak, ada pasien atas nama Lidya Prasetyowati?"
Sedikit kerling mata sipit salah satu perawat menatapku, sembari melihat daftar yang ada.
"Di kamar nomor 03, Mas, anda ... siapanya ya?"
Perawat itu menatapku dengan raut muka curiga. Aku mendengkus kesal.
"Saya saudaranya, Mbak ..."
"Ooohh, saya pikir ..., soalnya sudah ada pemuda grondong yang sedari tadi menunggui, Mas."
"Itu suaminya, Mbak. Emang ndak boleh cowok grondong punya istri cantik?"
Solotku setengah jengkel, tapi perawat itu justru tertawa kegelian.
"Ya, udah mbak terima kasih!"
"Sama-sama, Mas single ..."
"Haaa? Kepo! Saya sudah punya anak, Mbak!"
Ups
Mereka terkekeh. Ada ada saja.
Satu lorong setelah ruang informasi, kutemukan Ardi tengah keluar dari sebuah ruangan, di tangannya membawa bungkusan plastik.
Emosiku yang kutahan sejak pesan Ardi kubaca menjadi naik kembali ke ubun-ubun.
Kuraih kaos Ardi yang berkerah hingga hampir merapat ke tubuhku. Pemuda berambut gondrong itu kaget dan menatapku dengan keheranan.
"Apa yang kamu lakukan, Ar! Mengapa kaubiarkan Lidya disini? Mengapa tidak kau bawa langsung ke rumah sakit? Ha?!"
"Gie ..."
"Bagaimana kondisinya, apakah demam? Apakah wajahnya pucat? Apakah tubuhnya lemas?"
"Gie... "
"Cepat bawa Lidya langsung ke rumah sakit Ar, jangan sampai kau menyesal, Ayo!"
"Gie ..."
Kutarik tangan Ardi, nanar kupelototi nomor kamar yang menempel di pintu dengan panik. Kilasan tentang malam itu menghantuiku, Laras.
"Ayo Ar, dimana Lidya, kau ingin bernasib sama denganku?! Bagaimana kalau tensi darahnya drop, bagaimana kalau terjadi perdarahan, seperti ... Ayo! Ar! Larass, ... Larass ..."
Dadaku tersenggal-senggal merasa sesak. Air menetes dari hidungku yang menahan tangis.
"Gie! Dengarkan aku sobat!"
Kurasakan pipiku ditepuk dengan keras. Kedua tangan Ardi memegang kepalaku dengan kedua tangannya. Membawaku menatap lurus ke arah matanya.
"Gie, tenang. Lidya ba-ik-ba-ik sa-ja."
Aku masih tersenggal.
"Lidya baik-baik saja, tensinya bagus. Umur kandungannya cukup, hari ini adalah HPLnya,"
Aku masih tersenggal.
"Lidya kontraksi dengan wajar, masih bisa berjalan jalan dengan tersenyum untuk mempercepat proses. Dia tidak demam, dan tidak pucat, bahkan dia masih bisa melayangkan tendangan memutarnya jika ada orang yang menggodanya,"
Aku tersenggal dan tergelak.
"Larass ... Ar,"
"Tenang sobat ..."
Aku tertunduk memuntahkan tangisku. Seandainya malam itu aku bertindak cepat, ketika kulihat wajahmu pucat, melemah dan demam. Seandainya aku langsung meminta dokter untuk memeriksamu malam itu juga. Seandainya aku lebih peka bahwa keryitan keningmu adalah menahan sakit yang luar biasa. Hingga, seharusnya aku tak merasakan kehilangan dirimu seperti saat ini.
Kurasakan Ardi memelukku, menepuk punggungku.
"Alhamdulillah bayinya telah lahir, laki laki, Ar. Satu jam setelah aku kirim Pesan tadi. InshaAllah sore ini bisa pulang. Lidya sehat dia sudah bisa berjalan sendiri ke kamar mandi, meski aku tetap buntuti."
"Ar ..."
"Lidya sudah bisa makan dengan lahap, bahkan Eyang Sukma memaksanya untuk menghabiskan sayur kuah satu mangkuk penuh,"
Aku tergelak, tangisku masih jatuh begitu juga mata Ardi berkaca-kaca. Kami saling tatap, menangis dan tertawa bersama.
"Alhamdulillah, selamat ya Ar, kau jadi bapak ..."
"Terima kasih Gie, kita seorang Bapak."
Kami mengangguk-anggukkan kepala dengan penuh haru. Emosiku mulai luruh, aku berharap yang terbaik untuk Ardi, tentu saja aku tak ingin dia mengalami hal yang sama sepertiku. Kehilangan.
"Hahaha, maafkan kekonyolanku tadi ya, Ar."
Ardi menggeleng.
"Aku tahu, kau sangat khawatir."
"Sekarang dimana Lidya dan anakmu?"
"Ayo, kita kesana!"
Ardi mengambil bungkusan plastik berisi camilan dan berbagai macam minuman yang tadi terjatuh ketika kugeret kerah bajunya. Baru kusadar kami berada di ruang swalayan kecil yang berada di dalam klinik. Kemudian langkah kami mengikuti lorong hingga menemukan kamar 03 berada di pojok.
Kembali kami bersitatap, ketika terdengar tangisan kencang dari dalam kamar.
"Oooeeekkk, Oooeeekkk!"
......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
Kristin Hluvart
bawangnya manis, bikin tersenyum dan terharu
2024-06-28
0
👑
semangat
2020-11-27
1
ARSY ALFAZZA
❤️
2020-11-26
1