Kegusaran Citra

Kegusaran Citra

Kegusaran membuat kita was-was akan sesuatu yang sebenarnya sudah berjalan pada alurnya. Jadi, tenanglah

****

"Ar, mestinya kau ingatkan sejak awal!"

Suara Citra terdengar nyaring dari ruang tengah. Kukerjapkan mataku, menatap dinding kamar, kepalaku terasa pening. Kusentuh dahiku, panas. Apakah aku demam? Mengapa kepalaku terasa sangat berat?

"Laras istrinya, Cit. Apa hakku coba, melarang Gie bertemu dengannya?"

Jawaban Ardi terdengar santai, disambut dengusan kesal Citra yang nampak nya sedang gusar.

"Tapi ..."

"Duduklah, Cit, sabar... tenangkan dirimu,"

Itu suara Lidya, lembut dan datar seperti biasa.

"Aku khawatir jika ini berlanjut, akan menganggu jiwa dan pikirannya ..."

Nada suara Citra berangsur menurun. Aku mencoba bangkit dari tidur, pandanganku berputar. Kutenangkan diriku sesaat, mengumpulkan pandangan kemudian mencoba melangkah. Terhuyung aku mencoba bersandar pada almari dan dinding untuk mencapai pintu.

Klek

"Gie!?"

Ardi segera berdiri, memapahku menuju ruang tengah, dimana mereka mengobrol.

"Kau masih pusing?Istirahatlah saja dulu, Gie!"

Aku meringis. Ardi mendudukanku di sofa, Kemudian meletakkan bantalan kursi di sebelah kananku.

"Dah tiduran saja," ujarnya lagi.

"Trims, Kapan kalian kembali, Ar?"

Kulihat Citra terdiam menatapku, sementara Lidya berjalan ke belakang menuju dapur.

"Semalam aku kesini, Gie. Tapi kau demam tinggi,"

"Ohhh ..."

"Citra bilang, kau main hujan hujanan, kemarin?"

"Hehehe ..."

Aku tertawa tapi kepalaku masih berat, hingga akhirnya aku hanya menarik bibirku sambil menahan nyeri.

Lidya membawa napan berisi teh hangat dan sepiring pisang goreng buatan Bik Nah.

"Dimana Ghifa?"

Pandanganku menyapu ruangan.

"Tertahan di rumah Eyang,"

Jawab Lidya sembari menarik bibirnya, aku mengeryit.

"Ibu dan Ghifa datang, memberitahu kalau Citra datang ke rumah pagi ini, Yaudah kami kesini, Ghifa dan Ibu ditahan Eyang," jelas Ardi.

"Oohh ... Ghifa sudah makan belum ya?" tanyaku.

Biasanya minggu pagi, Ghifa aku ajak jalan-jalan seputar kompleks sambil menyuapinya dengan bubur atau nasi tim sayur.

Hari ini sehabis sholat subuh yang kulakukan dengan duduk, aku kembali terlelap karena kepala yang terasa berat.

"Sudah, tadi Ibu sambil menyuapin kok, bawa sepeda dorong."

"Oohhh...."

"Ayo, Cit ... diminun tehnya," ajak Lidya, lalu duduk di samping Ardi. Kulihat mereka, sungguh pasangan yang serasi. Beruntungnya diriku mempunyai mereka yang selalu siap membantu. Kau pasti juga bahagia kan, Laras? Ah seandainya kau ada disini.

Sementara Citra yang duduk di seberang meja dari tempatku berbaring, hanya mengangguk. Kelihatannya Ia masih menyimpan sesuatu untuk disampaikan.

"Gie," panggil Ardi.

"Hemmm ...."

"Kata Citra, kemarin ..."

"Ya," potongku cepat sambil tetap memejamkan mata.

"Jadi, Laras memang ada disana?"

"Aku dah bilang sejak dulu, Ardi..."

Protesku, kemudian aku mencoba duduk dengan bersandar, tumpukan bantalan kursi ikut menyangga tubuhku dari sisi kiri. Rasanya seperti typusku kambuh, pening, pandangan sedari tadi masih berputar-putar.

"Sorry ... sorry, aku pikir kau, halu, Gie ..."

"Ayo diminum dulu,"

Lidya memecah kekakuan, disodorkanny secangki teh, kepada Ardi. Lalu mengerling, menunjuk dengan kedua bola matanya kearahku.

Ardi menyodorkan secangkir teh itu ke padaku. Kuterima dengan sedikit bergetar.

"Terima kasih,"

Suasana hening, Citra tak bersuara semenjak aku berada disana.

"Terima kasih Cit,"

Kulihat Citra mengangguk.

"Aku mengkhawatirkanmu, Gie," ucap Citra lirih.

Aku menarik senyum getir.

"Adakah yang mengganjal, sehingga dia ... dia..."

"Namanya Laras, Cit,"

"Ya, emmh Laras, apa yang menyebabkan Laras masih disana?"

Aku menggeleng gusar.

"Aku tidak tahu apa maksudmu, Cit. Yang kutahu Laras dan aku berjanji untuk mendampingi Ghifa tumbuh dewasa."

Suaraku bergetar, antara mulutku yang terasa hangat dan pahit, serta hatiku yang tak terima jika kau dikatakan tak wajar. Kulihat Citra menunduk.

"Apakah kau menganggap Laras, hantu? Apakah Laras berbuat jahat padamu?"

"Tapi... Gie, kau juga harus tahu, dia bukan Laras dalam arti sesungguhnya, bukankah ketika seseorang telah meninggal ... Eee ..."

Citra berhenti berkata, dia ragu meneruskan pendapat. Diusapnya rambut depan kemudian dibawa kebelakang telinga.

Kami terdiam.

Aku menghela nafas, kau tahu Laras, menerima kehilangan dirimu adalah hal yang tak mudah bagiku. Tapi aku mencoba menjaga kewarasanku demi Ghifa.

Dan ketika aku bertemu denganmu kembali di bangku taman itu, dadaku terasa terhenti. Apa yang salah denganmu?Apa yang salah denganku? Apa yang salah dengan kita?

Berhari-hari aku berkecamuk antara suka dan khawatir. Kehilangan akan dirimu mulai terobati setelah setiap petang dari jam 4 sore hingga jam, 5 lebih 37 menit aku dapat bersamamu.

Aku tak tahu mengapa hanya di sana, di bangku taman dan pada jam itu kau berada. Bahkan kaupun tak sanggup untuk menolak, atau meminta.

Bukannya aku berdiam diri tentang semua ini, bahkan akupun mencoba mencari tahu. Bahwasannya 'Ajal menjadi sesuatu yang pasti bagi makhluk Allah di muka bumi. Dan bahkan jadwal kematian manusia sudah ditetapkan pula ketika masih berada di dalam kandungan, ketika roh ditiupkan oleh malaikat.

Manusia tidak bisa menawar. seberapapun kuatnya perlindungan yang manusia buat, dia akan mati tatkala malaikat maut dijadwalkan datang untuk menjemput. Dan dalam kondisi ini, roh pun harus berpisah dengan jasad.

Lalu Kemana sebenarnya keberadaan roh setelah mati hingga kiamat datang? Syekh Ibnu Qayyim al Jauziy dalam kitabnya, Roh, hendak mengangkat fenomena ini.

Dalam pembahasan tentang bab tersebut, Ibnu Qayyim memulai dengan pertanyaan, apakah roh itu berada di langit atau di bumi? Apakah roh berada di surga atau neraka? Apakah ia dititip kan di badan yang bukan badannya yang dulu ditempati, lalu dia disiksa atau diberi kenikmatan di dalam badan itu? Ataukah, roh berdiri sendiri dalam artian terlepas dari badan?

Pertanyaan mengenai roh sebenarnya sudah ada pada zaman Rasulullah dan para sahabat. Allah SWT pun memerintahkan rasul-Nya untuk menjawab. Roh itu adalah urusan Rabb-ku. (QS al-Israa: 85).

Kuhela kembali nafasku, kuhirup kembali teh hangatku. Bukankah aku hanya manusia yang hanya bisa menjalani?

"Apakah kau yakin, Jika dia bukan Laras sesungguhnya?" cercaku.

Deg

Citra mendongak, menatapku dengan kedua mata bulat penuh. Sementara aku terduduk dengan sedikit mencondongkan tubuhku ke depan. Kutangkupkan kedua tanganku diantara lutut, untuk menjaga keseimbangan dudukku. Kubalas tatapan Citra yang gusar dengan datar.

"Maafkan aku, Gie ...." kata Citra kemudian kembali menunduk.

Hening.

"Hemm ..., Ayo Cit, diminum tehnya, keburu dingin." seru Lidya memecah kebekuan.

Lidya melempar senyum diantara kerudung ungunya yang rapi menutup kepala. Istri Ardi itu kemudian membawa secangkir teh kearah Citra dan duduk di sampingnya. Citra bergegas meminumnya untuk menghilangkan kikuk. Sementara Ardi menepuk pundakku dengan santai.

"Lain kali, kalau mau hujan hujanan yang cerdas Gie, jadi nggak terus sakit kayak gini," ledek Ardi dengan nada kocak.

Semua tergelak.

Laras, sungguh aku harus bersyukur mempunyai sahabat seperti mereka. Seperti pernah kau bilang, sahabat itu tak pernah berhenti menyapa kita dengan hatinya.

.......

Terpopuler

Comments

👑

👑

jadi,, apakah Laras hantu??
apa ia kaan berada di bangku taman hingga Ghifa dewasa sesuai janjinya???

2020-12-03

1

👑卂尺丂ㄚ

👑卂尺丂ㄚ

like

2020-11-26

1

Dian Lestari

Dian Lestari

suka banget dgn jalan ceritanya....natural bgt spt kehidupan sehari2

2020-11-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!