Dua Kue Ulang Tahun

Dua kue Ulang Tahun

Setiap hari akan berulang hingga tiba saatnya kita mengawali dari awal. Tergantung dengan a poo apa kita akan melaluinya, kenangan atau harapan

"Pagi mas Gie!!!"

Seru Sapto dan Nania dengan semangat.

"Panjang umurnya, panjang umurnya, panjang umurnya serta mulia, serta mulia ..... Yeeeaaaa!!!!" Di bawah komando Bu Retno dan Pak Reno, ruangan aset yang berada di sudut bangunan ini terdengar riuh pagi ini.

Wulan membawa kue ulang tahun, black forest berbentuk bulat dengan hiasan buah ceri diatasnya. Perempuan berkerudung ungu muda serasi dengan seragam batik yang kami pakai hari ini, mendekatiku dengan tersipu. Benarkah Wulan tersipu?

"Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya serta mulia, serta mulia...."

"Selamat ulang tahun ya, Gie. Semoga barakah dalam usia yang tersisa."

Pak Reno menjabat tanganku dan membawaku dalam dekapannya. Ditepuk tepuknya punggungku seperti Ayah pada anaknya.

"Terima kasih, Pak. Atas semua perhatiannya ..., jadi ini alasan bapak tadi?"

"Hehehe .... Ya, ya, maaf, pagi pagi sudah kusuruh kau ke kantor BP2KAD, sebenarnya agar kau tak terlalu cepat sampai kendor, agar kami bisa menyambutmu bersama-sama,"

Pak Reno tersenyum lepas, aku mengangguk terharu.

"Terima kasih, Pak... "

"Ayo Gie! Tiup lilinnya!"

Wulan mendekatiku, kulihat pipinya memerah. Gadis pendiam dengan lesung pipit di kedua pipinya itu sedikit menunduk.

Lilin dengan angka 26 tertancap Dan menyala diatas black forest.

"Tiup, tiup, tiup!!!" seru Sapto, Nania dan Bu Retno dengan penuh semangat.

Tapi tiup lilin? Kita tak pernah melakukan sebelumnya ya, Laras. Aku ragu memandang nyala lilin itu, kuingat dirimu yang menggelengkan kepala.

"Butuh bantuan, Gie?!" cerocos Sapto mendekat. Aku mengiyakan.

"Ayooo, satu dua tiga!"

"Wusss!!"

Kepala Sapto terjulur bersamaan denganku. Api yang menyala di lilin terhembus menjadi kepulan asap.

"Alhamdulillah... "

Bu Retno menyalamiku, mengusap pundakku sambil berbisik.

"Semoga segera mendapatkan Mama baru untuk Ghifa,"

"Haaa?"

"Hehehe ..." Bu Retno terkekeh.

Satu satu teman teman menjabat tanganku.

"Terima kasih ..., terima kasih ..." kutangkupkan kedua tanganku sambil menahan haru.

Hari ini tepat Dua puluh enam tahun usiaku. Satu tahun lebih lima bulan sejak kepergianmu meninggalkan aku dan Ghifa. Hari yang biasa kita lalui dengan sederhana, doa panjang menjelang waktu subuh. Saat ini teman-teman memberikan kejutan menunjukkan kasih sayang mereka.

"Ayo, potong kuenya, Gie!"

"Iyaa, potong kuenya, potong kuenya, potong kuenya sekarang juga, sekarang juga!"

Aku menurut, kue ulang tahun itu diletakkan diatas mejaku. Tepat saat itu Mang Zuki membawa napan berisi gelas-gelas air minum panas dan meletakkan di atas meja samping pintu.

"Sini dulu, Mang Zuki, ikut pesta dulu!" ajak Pak Reno.

"Pesta!?"

"Iyaaa, pesta ulang tahun ... nih." Sapto berseru sambil melambaikan tangannya.

"Oooh ... Mas Gie ulang tahun? Asyiikk!!!"

Kupotong kue mengikuti alur pembagian bilangan jam. Teman-teman melemparkan senyum ceria mereka. Kuambil potongan pertama, kemudian kuserahkan pada pak Reno yang telah bersikap bagai seorang ayah bagiku.

"Terima kasih atas segalanya, Pak."

"Wow, terima kasih kembali, Gie. Benar nih untuk bapak? Bukan untuk Wulan?"

"Haaa?"

Aku hanya bisa ternganga, beberapa minggu ini, Pak Reno dan Bu Retno sering menyebut nama Wulan untuk menggodaku.

Spontan Sapto dan Nania tambah menggoda. Sementara yang digoda hanya tertunduk malu. Aku tak menanggapi, kulanjutkan membagi kue ulang tahun itu kepada semua yang hadir disitu. Tak terkecuali pada Mang Zuki.

Dan ketika tiba pada giliran Wulan, tak sengaja jemari tangan kami bersentuhan. Kurasakan tangannya dingin dan bergetar.

"Cieee, cieee,...!"

Sontak suara Sapto bersorak kegirangan. Kutinju pundaknya pelan, tapi justru pemuda jangkung berkulit putih itu mengaduh seakan kesakitan.

"Aduhhhh!!!"

"Lebay kau!"

Kami tergelak.

"Oh ya, pengumuman, pengumuman,... "

Sapto mulai pidatonya, aku khawatir jika dia akan bicara yang tidak tidak, tapi kutunggu pemuda itu melanjutkan perkataannya.

"Perkenankan, di pagi siang ini, kami akan memberikan kabar gembira!"

"Yeaaaaahhh!"

Teman-teman bertepuk tangan gembira.

Dag.

Dig.

Dug.

Semoga kabar gembira itu bukan karangannya tentangku. Tapi tak urung, hatiku deg-degan menunggu apa yang akan disampaikan.

"Mohon maaf bapak ibu sekalian, perkenankan hari ini kami mohon restu bapak ibu untuk kami. Agar pernikahan saya dan Nania bisa berjalan dengan lancar sesuai rencana,"

"Apa?!!!"

"Alhamdulillah....!"

Kuhampiri Sapto dengan gembira, kami berpelukan penuh tawa.

"Selamat bro! Akhirnya kau berani juga, semoga lancar sampai waktunya ya,"

"Terima kasih, sobat. Kutunggu Kabar baik dirimu ya,"

"Hahaha ..."

"Hebaaat! Ini nih lelaki sejati!" puji Bu Retno.

Sapto terkekeh, Nania tersipu sipu ketika Wulan, Bu Yanti dan Bu Anik mulai menggodanya.

"Ayoo, Gie kapan nyusul nih," kejar Pak Sis, senior di bawah Pak Reno. Beliau juga duda, tapi putra putrinya sudah kuliah semua.

"Ah, saya nunggu Pak Sis duluan saja,"

"Hahaha ... kamu ini selalu menghindar,"

Kami masih bersendau gurau sampai beberapa saat. Nania mengeluarkan kartu undangan pernikahan yang sudah disiapkan. Lengkap dengan gambar pre-wedding dengan nuansa kuning keemasan. Pintar juga mereka menjaga rahasia. Meski sebenarnya Sapto sempat mengajakku untuk menemaninya pada sesi pengambilan foto. Sayangnya typusku kambuh waktu itu, hingga aku tak bisa beranjak dari tempat tidur.

"Aku pamit dulu,"

Bisikku di telinga Sapto.

"Kemana?"

Aku hanya mengacungkan jam tanganku yang telah menunjukkan pukul 09.30. Kemudian beringsut keluar ruangan. Kulihat Sapto bergegas menyusul langkahku, durangkulkan tanganya pada pundakku sampai di serambi Mushola.

"Gie,"

"Ya?"

Kulepaskan kaos kakiku, tanpa menoleh pada Sapto.

"Kata Nania, Wulan ada rasa padamu ..."

"Apa?"

\*\*\*

Hampir jam tiga ketika aku sampai di rumah. Sebuah mobil metalic sudah terpakir di halaman. Kuarahkan Vario hitamku menuju garasi yang berada di samping kiri bangunan rumah. Kemudian memasuki rumah dari pintu samping, setelah membasuh kedua tanganku di kran yang berada di sudut garasi.

"Assalamualaikum ..."

"Waalaikumsalam ..."

"Selamat Ulang Tahun Gie!" seru Citra bersemangat.

Aku terpana. Gadis itu menutupi rambutnya dengan phasmina instan bermotif bunga. Celana jeans masih membumgkus kakinya yang jenjang. Tunik polos warna abu-abu dipakainya sebagai atasan, terkesan lebih lembut dibanding sebelumnya.

"Cit ... Citra?"

"Selamat panjang umur anakku,"

Ibu menyambutku dengan pelukan, mengecup kening dan kedua pipiku. Kubalas dengan mencium kedua punggung tangannya.

"Terima kasih Buk,"

"Semoga berkah di sisa umurmu ya, Nak ..."

Aku mengangguk, mengaminkan dalam hati.

Bik Nah ikut bergegas menghampiri, memberi ucapan selamat. Kurengkuh tubuh mungil Bik Nah, orang tua yang telah merawatku sejak kecil, dan kukecup pula punggung tangannya, bagai ibu Kedua bagiku.

Citra melangkah kikuk, mengulurkan tangannya, Kusambut dengan ragu pula. Kedua pasang mata memperhatikan kami dengan jenaka. Segera kulepaskan, ketika kudengar suara khas yang selalu kurindukan.

"A ya... A ya... "

"Assalamualaikum Ghifa," kubopong gadis kecil berambut ikalku yang cantik. Kupejet hidung bangirnya.

"He he he,"

Si kecil terkekeh. Menempelkan kedua telapak tangan kecilnya pada kedua pipiku.

"Gie..."

Aku menoleh.

"Lihat ini, nak Citra yang bikin lho..."

"Bik Nah yang bantuin, den ..." sahut Bik Nah tak mau kalah.

Aku tergelak, sambil masih membopong Ghifa dalam gendongan, kumelangkah menuju meja di ruang tengah.

Sebuah kue ulang tahun dengan cremer berwarna pink, semua lapisannya berbentuk bunga mawar dengan warna merah muda. Diatasnya terdapat lempengan coklat bertuliskan "Gie ~ 26"

Kutatap berkeliling, wajah wajah penuh kasih menatapku dengan tulus.

"Terima kasih, Buk, Bik, Citra. Terima kasih sangat,"

"Ayok ganti pakaianmu dulu, habis itu kita nikmati kuenya ya," tepuk Ibu pada pundakku.

Citra mengulurkan kedua tangannya ke arah Ghifa.

"Mam ... ma ... mam ... ma,"

"Iya, ikut mama dulu ya, Ayah biar mandi dulu,"

Kata Citra dengan santai, Ghifa telah berpindah ke dalam pelukannya. Sesaat tadi kami begitu dekat, hingga aroma wangi tubuhnya menyusup, membuatku sedikit bergetar.

Aku bergegas melepaskan diri, menghalau kecanggunganku. Bik Nah terkekeh melihatku salah tingkah, tapi tak kuhiraukan, langkahku cepat menuju kamar.

Kudengar canda ceria di ruang tengah, saat kuselesai mandi dan sholat Ashar. Laras, seandainya kau disini, senyummu pasti akan membuat bahagiaku menjadi lengkap.

"Gie, sudah belum? Ghifa ndak sabar nih ... "

"Iya Bu ..." seruku menghalau resah.

Ketika kembali ke ruang tengah, Citra sudah kewalahan menahan tangan Ghifa yang ingin menarik kue pink di atas meja.

"Tunggu Ayah dulu sayang ..." ucapnya sambil mengecup pipi Ghifa.

Kuraih Ghifa kembali dalam dekapku kemudian kuajak untuk duduk bersila menghadap kue yang menjadi perhatiannya. Citra pun ikut duduk bersimpuh di sampingku. Kembali getar itu datang.

"Ghifa mau kue?"

"Yam ... yam ... yam ..."

"Ayo berdoa dulu ya,"

Sesaat kupanjatkan doa terbaik untuk semua, untukmu Laras, untuk Ghifa, Ibu dan keluarga kita. Kemudian kuajak telapak kecilnya memotong kue. Ghifa tertawa bahagia.

*Hari ini 2 kue ulang tahun kupotong, dengan membayangkan senyum manis menghias wajahmu, Laras*.

.......

Terpopuler

Comments

ARSY ALFAZZA

ARSY ALFAZZA

❤️👌

2020-11-26

1

Jenong

Jenong

Thor aku datang ya😘

2020-11-18

1

Bagus Effendik

Bagus Effendik

hebat sip pokoknya

2020-10-15

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!