Si Cantik Berambut Ikal
Setiap dari kita akan tiba saatnya, mengalami penantian yang tak berujung waktu. Hanya Rahmat dan kasih sayang serta doa dari keridhoan yang akan selalu menemani.
****
Ardi menatapku lekat di kedua mataku. Kau tahu, rambutnya masih juga bergelombang panjang. Menjadi pekerja seni tak harus membuatnya memangkas rambut dan memotongnya dengan rapi. Kuingat waktu itu, kau sempat mengagumi rambut ikalnya, dan berharap anak kita punya rambut yang sama. Aku cemberut dan kau selalu punya cara untuk membuatku kembali tersenyum. Kau bercerita tentang eyang putrimu yang berambut bergelombang.
"Aku suka memainkan rambut eyang sebelum disanggul," katamu waktu itu.
"Siapa tahu, anak kita menuruni rambut eyang," lanjutmu dan aku tertawa mengiyakan.
Kuhela nafasku, Ardi meminta kesanggupanku, saat ini. Aku merasa tak dapat menguasai hatiku.
"Tidak bisa, jika kaupun butuh bantuan!"
"A aa ku..."
"Kau harus bisa menguasai dirimu sendiri, agar kau bisa mendampingi Laras, sobat!"
Aku tertunduk, badanku bergetar.
"Gie?!"
"Aku baik baik saja, Ar. Aku akan baik baik saja!"
"Gielang Syailendra?"
"Ya, Ardi Prasetyo!"
"Baiklah, ayo masuk."
Perawat menghadang sebelum langkahku menuju ruangan.
"Apakah anda suami Ibu Laras?"
"Ya, saya suaminya. Suster, tolong lakukan yang terbaik untuk istri dan anak kami,"
"Silakan masuk dulu, Mas!"
Aku melangkah mengikuti, ibu berada di sampingku. Ardi berbisik akan menyelesaikan persoalan di luar. Kedua orang lelaki yang mengantar kita masih menunggu, orang tua si anak kecil yang kau selamatkan masih juga menanti. Senja hampir habis berganti gelap.
Langkahku diarahkan menuju bed 07 di ruang HCU. Wajahmu terlihat pucat dan sayu, matamu masih terpejam. CPR tak lagi terpasang, hanya selang udara melekat menuju hidung, tabung oksigen tersanding, aliran inpus melewati pergelangan tangan kananmu. Terkadang alismu tertaut, menahan nyeri. Tak terlihat lagi darah yang tadi membasahi jaket dan tanganku.
"Laras, sayang... "
Ibu mengusap kepalamu, mengecup dahimu sepenuh hati. Kugenggam tangan kananmu, dan kuusap punggung tanganmu dengan tangan kiriku menandakan hadirku.
"Sayang, Cupikkk ini,"
Nafasmu berhembus pelan, mengerjap lemah, kelopak matamu membuka, mencari-cari.
"Nduk, ini Ibu ..."
"Ibu... "
Kulihat senyummu, matamu mulai berbinar. Ketika kau menoleh kearahku, kulempar senyum ceriaku. Kau meringis.
"Cupikkk ..."
"Aku disini, maafin Cupikkk ya, sayang ..."
Kau menggeleng tetap dengan tersenyum. Tapi kemudian mengeryit menahan sakit.
"Ada apa sayang ..."
"Pe -rut- La-ras, buk..."
"Kenapa perutnya, sayang ... "
"Nyeri ..., cengkring-cengkring, buk, apa adek mau keluar?"
Suaramu lemah, tak merintih, hanya meringis sambil menarik nafas dari mulutmu. Tanganmu mencengkeram tanganku. Ibu sigap melihat kondisi perutmu. Dan aku tak tahan melihat ekspresi wajahmu yang kesakitan.
"Suster ...!"
Sontak aku berteriak ke arah ruangan suster yang tak jauh dari situ, hanya berjarak satu bed. Bed 06 yang kosong. Ruangan perawat di Ruang HCU adalah sebuah tempat terbuka, hanya dibatasi meja kerja yang tertutup. Berada persis di tengah ruangan. Dari arah ruangan tersebut perawat bisa melihat seluruh ruangan HCU dari ujung kiri hingga ujung kanan.
2 perawat langsung mendekat, memeriksa mu dengan cermat. Wajahmu meringis kesakitan.
Benturan yang membuatmu pingsan sesaat, beberapa saat yang lalu tak menimbulkan luka. Hanya saja kehamilan tuamu membuatmu beresiko.
"Aku segera hubungi dokter Lany,"
Salah seorang perawat segera kembali dan mengangkat telepon, percakapan terdengar samar. Perawat dengan papan nama tertulis Husnul, meraba perutmu.
"Tadi sudah sempat bukaan 2, Buk, Mas ... mungkin babynya ingin segera keluar,"
"Semoga diberi kelancaran, sayang ..."
Ibu kembali mengusap kepalamu. Bibirmu tetap mengembang meski terlihat meringis menahan nyeri. Pendarahan yang terjadi akibat trauma, mengakibatkan kontraksi lebih cepat.
Seorang perawat pria bergegas masuk, di belakangnya seorang perempuan berjas putih dengan kerudung nude Berjalan cepat. Mendekatimu.
"Cuupikkk ...."
"Iya tenang, sayang, kuat, kuat nduk ..."
Ibu menguatkan sambil tetap mengelus panggungnya. Dokter Lany memeriksamu, 3 perawat siaga.
"Kita pindah ke ruang bersalin ya ... "
"Ya, dokter ..., tolong istri saya ..."
"Semoga persalinan lancar, bayinya bergerak aktif,"
"Maju dua minggu dari perkiraan dok,"
Dokter dari raut wajahnya terlihat seusia adik Ibu itu mengangguk.
"Ya, kondisi bayi sehat. Ini sudah bukaan 4. Istri anda sangat kuat, Mas, tak merintih sama sekali ...."
Senyum dokter membuatku tersadar. Kau sedang menahan sakit yang amat sangat. Aku harus kuat agar dapat menguatkanmu, itu kata Ardi.
Salah seorang perawat memutar Inpus dan mengambilnya dari tiang, kemudian meletakkannya di sisi lenganmu. Menaikkan penyangga bed, melepas saluran oksigen kemudian mulai mendorong bed keluar ruangan.
Sebuah mobil pengangkut bed pasien sudah menunggu.
*
Ruang bersalin sepi, hanya ada satu pasien di dekat pintu masuk, yang tengah merintih-rintih. Sesekali dia berteriak teriak. Perawat terlihat menuju ruangannya dan sebentar kemudian kembali ke ruang perawat. Sempat kudengar obrolan dari perawat itu.
"Belum ada bukaan, sudah panik ibu itu,"
"Anak ke berapa?"
Srtt
Terdengar suara kertas dibuka, mungkin melihat data.
"Anak ketiga,"
"Padahal anak ketiga, ya ..."
"Aduhh ... aduhh ..., suster tolong,"
Pasien itu kembali merintih, suara-suara menghibur terdengar menetramkan. Tapi rintihannya tak juga berkurang. Kulihat dirimu, mengapa kau hanya meringis? Mengapa kau tahan nyerimu hanya untukmu?
Suster Husnul mengantar kami sampai di bed paling ujung.
"Ibu, Cupikkk... "
Kugenggam tanganmu.
"Ya Nduk?"
"Rasanya mau mengejan ..."
"Ya, sayang tunggu perawat dulu ya ... "
Suster Husnul menghampiri, di sampingnya seorang perawat dengan papan nama tertulis Raisa. Perawat itu segera melakukan pengecekan standar. Mengaitkan kembali inpus di tiang penyangganya memutarnya dan mengatur waktu tetesannya. Menyiapkan tabung oksigen kemudian mengatur selangnya.
"Maaf Mbak Laras, nanti bersama suster Rasia ya, saya kembali ke ruang HCU,"
"Terima kasih, suster,"
Suster Husnul mengangguk kemudian berlalu. Ibu duduk sembari melatunkan dzikir, mengelus-elus kepalamu. Kau iringkan tubuhmu, sambil menutup mata, kurasa wajahmu kembali memucat dan aku merasa gundah. Hampir 20 menit berlalu, aku hanya dapat memandang wajahmu tanpa bisa berbuat apapun, kecuali melantunkan doa.
"Ehhhkkk..."
"Sayang... "
"Cupikkk... "
"Bagaimana nduk?"
"Rasanya, pingin ngejan, bu ..."
Aku melangkah, menyibak korden penutup, kemudian memanggil perawat disana.
"Suster, tolong istri saya pingin ngejan ..."
Bergegas dua perawat yang terlihat senior merasuk ke ruangan.
"Ambil posisi yang paling nyaman, ya Mbak."
Kau meringis mencoba setengah duduk, kuminta satu bantal lagi untuk menopang punggungmu. Kakimu menekuk dan terbuka, suster menutup bagian bawah tubuhmu. Perawat yang lain menyiapkan peralatan untuk membersihkan bayi. Tepat saat itu dokter Lany datang, dengan memakai baju pelindung dan berkaos tangan.
"Ehkkkk ..."
Kuusap peluhmu, Ibu tak henti mengucap dzikir dan takbir di dekat telingamu.
"Bagus mbak Laras, pinter ... Ayokk ..."
Kau berhenti mengejan, hidungnya mengembang menghirup oksigen dari saluran selang yang dimasukkan kedalam lubang hidungmu. Kau geleng gelengkan kepalamu dengan mengatupkan kedua kelopak matamu.
"Atur nafas, Mbak Laras. Miring dulu ke kiri,"
Dokter Lany memberi instruksi, kau kembali memiringkan tubuhmu menghadap ke kiri. Tangan kananku tetap menggenggam tangan kananmu, tak melepaskannya.
Tikkkk!!!
Terdengar suara seperti balon yang terlubang, bukan meletus tapi mendesis mengeluarkan gas.
"Ehkkkk ..."
"Nah itu yang ditunggu tunggu, terus, bagus Mbak Laras, rambut dedek sudah mulai terlihat.
"Subhanalah ... Subhanalah ..."
"Allah Akbar ... Allah Akbar,"
Kau kembali mengejan kuat, sekali, dua kali. Dan untuk ketiga kalinya, dokter Lany berseru.
"Allhamdulillah ..."
"Ooeeekkk ... Ooeekk ...!!!
Aku tergugu, sesaat setelah tali pusar diputus, dibalut, seorang bayi mungil dibaringkan di dadamu yang telah dilapisi handuk.
"Allhamdulillah ..."
Kau raih jemari mungilnya, sambil tak berhenti mengucap syukur. Aku tersenyum menatapmu haru, menatap bayi mungil kita.
Seorang gadis kecil cantik yang berambut ikal.
........
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments
KIA Qirana
⭐⭐⭐⭐⭐⭐
2021-09-04
0
Yessy Eria
baru mampir kk. keren
2020-12-04
1
👑
suka banget sama kata-kata 😍
2020-11-30
1