Febry datang ke rumah Safira.
Febry: "Aku mau ketemu Safira."
Hardian tidak langsung menjawab. Tatapannya tajam, penuh perhitungan.
Hardian: "Dia lagi istirahat. Besok saja."
Febry tersenyum miring.
Febry: "Kamu pikir kamu siapa, ngatur-ngatur dia?"
Sebelum Hardian sempat menjawab, suara Safira terdengar dari dalam.
Safira: "Febry?"
Ketika Safira muncul, Febry langsung melihat perbedaannya. Tatapan Safira terhadapnya tidak lagi sama. Tidak ada lagi kehangatan, tidak ada lagi rasa sayang.
Dan itu menyakitkan.
Febry: "Kita bisa bicara?"
Safira ragu sejenak sebelum akhirnya mengangguk.
Safira: "Tapi sebentar saja."
Mereka duduk di bangku taman dekat rumah Safira. Febry mencoba mencari kata-kata, tapi semuanya terasa salah.
Febry: "Aku kangen kamu."
Safira tidak bereaksi.
Febry: "Aku tahu aku banyak salah, Saf. Tapi aku nggak bisa lihat kamu sama orang lain."
Safira menatapnya dengan ekspresi datar.
Safira: "Febry, kamu kehilangan aku sejak lama. Sekarang kamu baru sadar?"
Febry terdiam.
Safira: "Jangan datang ke sini lagi."
Dan dengan itu, Safira bangkit dan pergi. Meninggalkan Febry yang masih duduk di sana, sendirian dengan penyesalannya.
.
.
Febry tidak bisa tidur malam itu. Kata-kata Safira terus terngiang di kepalanya.
"Kamu kehilangan aku sejak lama. Sekarang kamu baru sadar?"
Tidak. Dia tidak akan menyerah begitu saja.
Keesokan harinya, Febry mulai mencari cara untuk mendekati Safira lagi. Dia tahu Safira sibuk dengan pekerjaannya, tapi dia juga tahu di mana dia bisa menemukannya.
Di kantor kejaksaan, di kafe tempat dia biasa bekerja, atau… bersama Hardian.
Febry memilih untuk datang langsung ke kejaksaan. Dia menunggu di luar dengan sabar, dan ketika akhirnya Safira keluar dari gedung, dia segera menghampirinya.
Febry: "Safira, sebentar."
Safira berhenti, tapi ekspresinya jelas tidak senang.
Safira: "Febry, aku sibuk."
Febry: "Aku cuma mau ngajak kamu makan. Kita ngobrol, kayak dulu."
Safira menghela napas, menatapnya dengan mata yang lelah.
Safira: "Febry, kita sudah selesai. Aku sudah bilang kemarin."
Febry menelan ludah. Dia tidak bisa membiarkan ini berakhir begitu saja.
Febry: "Aku nggak percaya perasaan kamu ke aku udah benar-benar hilang. Kamu cuma marah."
Sebelum Safira sempat menjawab, suara lain menyela.
Hardian: "Dia sudah bilang tidak, Febry."
Febry mendongak dan melihat Hardian berdiri di sana, ekspresinya dingin.
Febry: "Kamu pikir kamu siapa? Kamu cuma bayang-bayang di belakang Safira, kan?"
Hardian tersenyum tipis.
Hardian: "Bayang-bayang atau bukan, yang jelas aku nggak nyakitin dia seperti kamu."
Safira menghela napas panjang.
Safira: "Sudah cukup. Aku nggak mau ada drama di sini."
Dia melangkah pergi, dan Hardian mengikutinya, meninggalkan Febry yang berdiri sendiri dengan rahangnya mengeras.
Tidak. Ini belum selesai.
Jika Hardian menghalanginya, maka dia harus mencari cara lain.
Febry tidak akan membiarkan Safira benar-benar pergi dari hidupnya.
.
.
Febry duduk di atas motornya, menatap kosong ke arah jalanan. Tangannya mencengkeram setang erat. Dia tahu dia tidak boleh emosi, tapi melihat Hardian begitu dekat dengan Safira membuatnya muak.
Dia menyalakan motornya dan mengikuti mereka dari kejauhan.
Safira dan Hardian masuk ke sebuah restoran, bukan restoran mewah, tapi tempat yang nyaman dan cukup tenang. Febry memarkir motornya di seberang jalan dan memperhatikan dari balik helmnya.
Mereka tampak begitu akrab. Safira bahkan tersenyum… sesuatu yang sudah lama tidak dia lihat darinya.
Febry mengepalkan tangannya.
Tidak. Dia tidak bisa membiarkan ini.
Tanpa berpikir panjang, dia masuk ke dalam restoran dan langsung menghampiri meja mereka.
Febry: "Boleh gabung?"
Safira terkejut melihatnya, sementara Hardian hanya menaikkan alisnya dengan tenang.
Safira: "Febry, kamu ngapain di sini?"
Febry: "Nggak ada salahnya makan bareng, kan?"
Tanpa menunggu jawaban, Febry menarik kursi dan duduk. Pelayan datang, tapi suasana meja itu langsung terasa tegang.
Hardian: "Kamu selalu begini, ya? Nggak tahu kapan harus pergi?"
Febry menyeringai.
Febry: "Gue cuma mau ngobrol sama Safira. Apa salahnya?"
Safira menghela napas panjang, jelas kesal.
Safira: "Febry, kita sudah selesai. Tolong jangan ganggu aku lagi."
Febry menoleh padanya, kali ini dengan ekspresi yang lebih serius.
Febry: "Aku cuma mau tahu satu hal, Saf. Apa kamu benar-benar nggak punya perasaan lagi ke aku?"
Safira terdiam sejenak, lalu menatapnya lurus.
Safira: "Iya, Febry. Aku sudah selesai dengan kamu."
Kata-kata itu seperti tamparan bagi Febry. Dia tahu dia mungkin akan mendengarnya, tapi tetap saja… rasanya sakit.
Sebelum dia sempat bicara lagi, Hardian menyandarkan tubuhnya ke kursi dan tersenyum tipis.
Hardian: "Dengar itu? Sekarang kamu bisa pergi?"
Febry menatap Safira, berharap ada keraguan di matanya. Tapi tidak ada.
Dengan napas berat, Febry bangkit dari kursinya dan berjalan keluar tanpa berkata apa-apa lagi.
Tapi di dalam hatinya, dia bersumpah…
Ini belum berakhir.
.
.
Hardian memperhatikan Safira yang masih terdiam setelah kepergian Febry. Dia tahu Safira mungkin masih terpengaruh, meskipun wanita itu berusaha terlihat tegar.
Hardian: "Kamu baik-baik saja?"
Safira menghela napas, memainkan sendok di tangannya.
Safira: "Aku nggak nyangka dia sekeras kepala ini."
Hardian: "Dia belum bisa menerima kenyataan. Tapi itu bukan urusanmu lagi."
Safira tersenyum tipis.
Safira: "Aku tahu. Aku cuma capek."
Hardian menatapnya, lalu tanpa ragu meraih tangannya yang ada di meja.
Hardian: "Kalau kamu capek, kamu nggak perlu hadapi semuanya sendirian, Saf."
Safira menoleh, sedikit terkejut dengan sentuhan itu. Hardian jarang sekali menyentuhnya, dan ada sesuatu di matanya yang membuat dada Safira terasa hangat.
Safira: "Aku nggak sendiri. Aku punya kamu, kan?"
Senyum di wajah Hardian melebar, tapi ada ketulusan di baliknya.
Hardian: "Selalu."
Mereka melanjutkan makan dalam keheningan yang nyaman, tanpa menyadari bahwa dari luar restoran, Febry masih berdiri di dekat motornya, melihat mereka dengan ekspresi yang semakin gelap.
Dia tidak akan membiarkan Hardian mengambil Safira darinya.
.
.
Febry menyalakan rokok di sudut jalan, matanya tetap fokus ke arah restoran. Dia tidak tahan melihat bagaimana Safira dan Hardian semakin dekat.
Dia sudah kehilangan Safira sekali. Dia tidak akan kehilangannya lagi.
Dengan cepat, Febry mengeluarkan ponselnya dan menghubungi seseorang.
Febry: "Bro, gue butuh info tentang seorang cowok. Namanya Hardian. Gue mau tahu semuanya tentang dia."
Suara di ujung telepon tertawa kecil.
???: "Gue bisa urus, tapi ini bakal makan waktu."
Febry: "Gue nggak peduli. Cari tahu semua yang bisa lo temuin."
Dia menutup telepon dan menghela napas panjang.
Jika Hardian benar-benar hanya seseorang yang kebetulan dekat dengan Safira, Febry mungkin masih bisa bersikap biasa saja. Tapi kalau ternyata ada sesuatu yang disembunyikannya… maka Febry akan memastikan pria itu pergi dari hidup Safira.
.
.
Setelah makan malam, Hardian mengantar Safira pulang. Sepanjang perjalanan, mereka mengobrol tentang hal-hal ringan—pekerjaan, kehidupan sehari-hari, dan sesekali tentang masa lalu mereka.
Saat tiba di depan rumah, Safira tersenyum.
Safira: "Terima kasih untuk hari ini. Aku senang bisa ngobrol sama kamu lagi."
Hardian menyandarkan dirinya ke mobil, menatap Safira dengan lembut.
Hardian: "Kapan pun kamu butuh seseorang untuk mendengarkan, aku ada di sini."
Safira tersenyum lagi, tapi kali ini ada sesuatu di matanya. Sejak kapan Hardian menjadi tempat yang nyaman untuknya?
Safira: "Aku masuk dulu, ya."
Hardian mengangguk, menunggu sampai Safira masuk ke dalam rumah sebelum akhirnya berbalik pergi.
Tapi sebelum dia sempat masuk ke mobilnya, sebuah pesan masuk ke ponselnya.
Pesan dari Nomor Tak Dikenal:
"Aku tahu siapa kamu sebenarnya. Jangan coba-coba mengambil Safira dariku."
Hardian menatap layar ponselnya lama, sebelum akhirnya tersenyum tipis.
Sepertinya Febry mulai bergerak.
Dan itu berarti… permainan baru saja dimulai.
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments