kejutan Hardian

Malam itu, Safira duduk di dalam mobilnya, memandangi bangunan tempat tinggal Hardian dari kejauhan. Matanya tajam, pikirannya penuh dengan keraguan dan pertanyaan.

Ia tidak ingin percaya begitu saja pada bukti yang dikirimkan kepadanya. Tapi sebagai jaksa, ia tahu satu hal—bukti tidak pernah muncul begitu saja tanpa alasan.

Setelah menghela napas panjang, ia keluar dari mobil dan berjalan ke arah apartemen Hardian. Ia mengenakan hoodie hitam, berusaha tidak mencolok.

Setibanya di lantai tempat Hardian tinggal, ia berjalan pelan ke depan pintu dan mendekatkan telinganya.

Hening.

Namun, tepat saat ia akan mengetuk, suara samar terdengar dari dalam.

Hardian: "Aku tahu ini sudah terlalu jauh... tapi aku tidak bisa berhenti sekarang."

Safira menahan napas.

Suara Lain: "Takahiro mulai mencurigai kita. Kalau ini terus berlanjut, kita bisa dalam masalah besar."

Safira semakin merapat ke pintu, jantungnya berdetak lebih cepat.

Hardian: "Aku akan mengurusnya. Safira tidak boleh tahu apa pun sebelum waktunya."

Mata Safira melebar.

Tidak boleh tahu apa?

Perlahan, ia mundur beberapa langkah, lalu bergegas pergi sebelum ketahuan.

Saat ia masuk ke dalam mobilnya, pikirannya berkecamuk.

Apakah Hardian benar-benar menyembunyikan sesuatu? Apa mungkin dia memang mata-mata musuh Takahiro?

Tangannya mengepal di atas kemudi.

Tidak ada pilihan lain. Ia harus mencari tahu sendiri siapa sebenarnya Hardian.

.

.

Di dalam apartemennya, Hardian menatap pintu dengan ekspresi serius.

Hardian: "Seseorang tadi ada di luar."

Lawan bicaranya, seorang pria bertubuh tegap dengan luka di pelipisnya, menghela napas berat.

Pria: "Mungkin hanya tetangga."

Hardian menggeleng.

Hardian: "Tidak. Aku bisa merasakannya. Mungkin..."

Ia terdiam sejenak, lalu tatapannya berubah tajam.

Hardian: "Safira."

.

.

.

Keesokan harinya, Safira duduk di depan laptopnya di kantor kejaksaan. Berkas-berkas yang biasanya menjadi prioritasnya kini terabaikan. Di layar, terpampang riwayat aktivitas dan catatan perjalanan Hardian yang berhasil ia akses menggunakan sistem internal kejaksaan.

Matanya menelusuri setiap detail dengan seksama. Ada sesuatu yang janggal.

Hardian sering menghilang tanpa catatan resmi.

Beberapa kali ia keluar kota tanpa izin yang jelas, dan anehnya, setiap kali ia kembali, ada laporan kasus besar yang tiba-tiba mengalami perubahan arah investigasi.

Safira menyipitkan mata. Ini bukan kebetulan.

Ia beralih ke folder lain yang berisi rekaman transaksi keuangan. Hardian tidak pernah dikenal sebagai orang yang boros, tapi ada beberapa transaksi besar yang mencurigakan—terutama dalam bentuk tunai dan dikirim ke rekening anonim.

"Tidak mungkin..." gumamnya pelan.

Pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan. Apakah Hardian benar-benar seorang intel yang jujur? Atau ada sesuatu yang lebih besar yang sedang ia sembunyikan?

Sebelum ia bisa berpikir lebih jauh, ponselnya bergetar. Nama Hardian muncul di layar.

Dengan sedikit ragu, ia mengangkatnya.

Hardian: "Kita perlu bicara."

Safira: "Tentang apa?"

Hardian: "Bukan lewat telepon. Temui aku di tempat biasa."

Klik. Sambungan terputus sebelum Safira bisa menjawab.

Ia menghela napas panjang.

Jika benar Hardian menyembunyikan sesuatu, ini adalah kesempatan untuk mengetahui kebenarannya.

.

.

.

Di tempat lain, Febry duduk di sebuah bar bersama Amara. Di hadapan mereka, dua gelas minuman hampir kosong.

Febry: "Jadi lo yakin ini bakal berhasil?"

Amara tersenyum licik, mengaduk minumannya dengan santai.

Amara: "Tentu saja. Lo pikir kenapa gue dekat sama lo, Feb? Lo bukan cuma pria yang pernah gue tiduri... lo juga alat yang bisa gue pakai."

Febry mendengus, menatap Amara dengan tatapan tajam.

Febry: "Jangan main-main sama gue."

Amara: "Gue serius. Kita punya tujuan yang sama, kan? Lo mau Safira kembali ke lo, dan gue mau Safira jatuh hancur. Kita bisa saling membantu."

Febry terdiam. Ada sesuatu yang mengganggunya, tapi pikirannya terlalu kacau untuk menganalisis semuanya sekarang.

Amara: "Percaya sama gue. Gue tahu cara bikin dia bertekuk lutut."

Febry mengambil napas dalam. Jika ada cara untuk merebut kembali Safira... mungkin ini adalah satu-satunya kesempatan.

Tapi apa dia benar-benar siap untuk melangkah sejauh ini?

.

.

.

Safira tiba di sebuah kafe kecil di sudut kota, tempat biasa ia dan Hardian bertemu secara informal. Ia mengenakan pakaian kasual, tetapi pikirannya tetap tajam.

Hardian sudah menunggunya di sudut ruangan. Tatapannya serius, berbeda dari biasanya.

Safira menarik kursi dan duduk di depannya.

Hardian: "Lo kelihatan capek."

Safira: "Lo manggil gue cuma buat ngomongin itu?"

Hardian tersenyum tipis. "Enggak. Gue tahu lo udah mulai nyelidikin gue."

Safira menahan ekspresinya agar tetap netral.

Hardian: "Lo nemu apa?"

Safira: "Kenapa gue harus kasih tahu lo?"

Hardian tertawa kecil. "Karena lo belum nemuin semuanya."

Safira mengepalkan tangannya di atas meja. "Lo kerja sama sama siapa, Hardian?"

Hardian menatapnya lama, lalu mengeluarkan ponselnya dan meletakkannya di meja, layar menghadap ke bawah.

Hardian: "Gue bukan musuh lo, Safira."

Safira: "Buktikan."

Hardian menarik napas panjang. "Lo pikir Takahiro itu bersih? Lo pikir dia cuma pengusaha biasa?"

Mata Safira menyipit. "Gue tahu siapa kakak gue."

Hardian: "Kalau lo tahu, kenapa lo masih percaya sama dia?"

Safira diam. Ia tahu Takahiro bukan orang biasa, tapi...

Hardian: "Gue kerja untuk kejaksaan, tapi bukan berarti gue bisa percaya siapa pun. Bahkan lo sekalipun."

Safira: "Jadi lo nyelidikin kakak gue?"

Hardian: "Bukan cuma dia."

Safira terdiam. Ia merasa seperti berada di tengah badai yang lebih besar dari yang ia duga.

Safira: "Siapa yang nyuruh lo?"

Hardian menatapnya tajam. "Itulah yang harus kita cari tahu."

.

.

.

Sementara itu, di tempat lain, Amara sedang bersiap.

Ia berdiri di depan cermin, memakai gaun merah yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Senyumnya licik.

Di belakangnya, Febry duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke lantai.

Amara: "Gue udah atur semuanya. Lo siap?"

Febry: "Gue enggak tahu, Mar... ini terlalu jauh."

Amara berjalan mendekatinya, tangannya menyentuh bahunya lembut.

Amara: "Lo mau Safira balik ke lo, kan?"

Febry mengangguk pelan.

Amara: "Percaya sama gue. Malam ini, dia bakal tahu kalau dia enggak bisa hidup tanpa lo."

Febry menatap Amara, masih ragu. Tapi dalam hatinya, keinginan untuk memiliki Safira kembali terlalu besar.

Tanpa sadar, ia sudah melangkah lebih jauh dari yang seharusnya.

Dan tidak ada jalan untuk kembali.

Rencana Amara Berjalan

Malam itu, Amara dan Febry berada di sebuah klub mewah. Lampu neon menyala terang, memancarkan warna-warna cerah di antara kerumunan orang yang sedang berdansa. Amara mengenakan gaun merah yang memikat perhatian, dan Febry mengikuti di belakangnya dengan tatapan kosong.

Amara menggenggam tangan Febry dan membawanya ke pusat keramaian. Suara musik yang menggema terasa seperti penghalang dari segala pikiran yang mulai merayap di benaknya.

Amara: "Sekarang, lakukan seperti yang kita bicarakan."

Febry hanya mengangguk, meskipun hatinya terasa berat. Namun, perasaan rindu terhadap Safira yang belum hilang membuatnya tidak bisa berpikir jernih.

Amara, dengan percaya diri, melangkah ke meja VIP di tengah klub, yang dihiasi dengan botol-botol champagne dan berbagai jenis minuman mewah. Ia memimpin Febry ke sana, memastikan semua mata tertuju pada mereka.

Amara: "Ini cara kita membuat Safira tahu siapa yang sebenarnya pantas untuknya."

Febry duduk dengan sedikit enggan, sementara Amara duduk di sampingnya dan dengan sengaja menempelkan tubuhnya lebih dekat, memberi kesan bahwa mereka sedang dekat.

Mereka mulai berbicara dan tertawa, menciptakan suasana yang lebih intim, berharap Safira, yang pasti masih memantau, akan melihat semuanya.

.

.

Sementara itu, di tempat lain, Safira duduk di apartemennya setelah pertemuan dengan Hardian. Kepalanya dipenuhi pertanyaan, dan semakin lama ia semakin merasa bahwa ia belum tahu banyak tentang orang-orang di sekitarnya, bahkan orang yang paling dekat dengannya sekalipun.

Setelah berjam-jam merenung, ia memutuskan untuk keluar dan berjalan-jalan untuk menenangkan pikirannya. Langkah-langkahnya terhenti ketika ia melihat sebuah pemberitahuan di ponselnya—sebuah postingan foto dari akun sosial media Febry.

Febry terlihat sangat dekat dengan Amara. Dalam foto itu, mereka tersenyum ceria, duduk berdampingan dengan sedikit kontak fisik.

Safira terdiam, matanya menatap layar ponsel dengan tajam. Perasaan yang sudah hampir terkubur kini muncul kembali—rasa sakit dan kecewa.

Safira (dalam hati): "Jadi ini yang dia lakukan setelah semua yang terjadi..."

Safira menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi hatinya terasa hancur.

.

.

.

Bersambung.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!