Ketegangan Hardian dan Febry.
Hardian menutup ponselnya dengan tenang, tapi dalam hatinya, dia tahu Febry mulai menaruh curiga. Itu hanya masalah waktu sebelum pria itu melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar mengirim pesan ancaman.
Benar saja.
Keesokan harinya, saat Hardian baru keluar dari kantor kejaksaan, Febry sudah menunggunya di dekat motornya.
Hardian menghela napas dan mendekat dengan santai.
Hardian: "Ada yang bisa gue bantu, Feb?"
Febry menyeringai sinis.
Febry: "Lo terlalu banyak deketin Safira."
Hardian: "Dan itu masalah buat lo?"
Febry: "Jangan pura-pura nggak tahu. Lo sadar betul Safira dulu pacar gue."
Hardian menyilangkan tangannya, tetap santai.
Hardian: "Kata kuncinya di situ, Feb. 'Dulu'."
Mata Febry berkilat marah. Dia maju satu langkah, menatap Hardian dengan penuh emosi.
Febry: "Gue nggak percaya lo cuma orang biasa. Lo siapa sebenarnya?"
Hardian hanya tersenyum tipis.
Hardian: "Kenapa? Lo takut kalau gue lebih dari sekadar teman buat Safira?"
Febry mengepalkan tangannya, tapi dia tahu jika dia memulai pertarungan sekarang, dia hanya akan terlihat bodoh.
Febry: "Dengerin gue, Hardian. Gue nggak peduli siapa lo. Tapi kalau lo ada niat buruk sama Safira, gue bakal pastiin lo nyesel."
Hardian menatapnya sebentar, lalu melangkah mendekat.
Hardian (berbisik): "Harusnya gue yang bilang gitu ke lo, Feb."
Febry terdiam.
Hardian: "Lo pernah nyakitin dia. Dan kalau gue jadi lo, gue bakal belajar menerima kenyataan daripada ngerusak diri sendiri dengan dendam."
Setelah mengatakan itu, Hardian menepuk bahu Febry pelan dan beranjak pergi, meninggalkan Febry yang masih berdiri di tempatnya dengan tatapan penuh amarah.
Permainan ini belum selesai.
Febry akan memastikan Hardian keluar dari hidup Safira, bagaimanapun caranya.
.
.
Safira mulai menaruh perasaan ke Hardian.
Beberapa hari setelah pertemuannya dengan Febry, Hardian tetap seperti biasa—tenang, penuh perhitungan, dan selalu ada di sekitar Safira. Namun, Safira mulai menyadari sesuatu yang berbeda dalam dirinya setiap kali bersama pria itu.
Hari ini, dia dan Hardian sedang duduk di kafe setelah seharian sibuk di kantor kejaksaan. Safira awalnya hanya ingin mengobrol santai, tapi entah kenapa, dia merasa nyaman saat berbicara dengannya.
Safira: "Kamu tahu, Hardian… aku dulu nggak pernah kepikiran buat ada orang lain di hidupku selain Febry."
Hardian menyesap kopinya, menatap Safira dengan tenang.
Hardian: "Dan sekarang?"
Safira terdiam sejenak. Dia menunduk, memainkan sendok di cangkirnya, lalu menghela napas.
Safira: "Aku nggak tahu… tapi aku merasa tenang kalau ada kamu."
Hardian tersenyum tipis.
Hardian: "Gue nggak akan maksa lo buat apa pun, Saf. Gue cuma ingin lo bahagia. Kalau gue bisa jadi bagian dari kebahagiaan lo, gue bakal seneng. Tapi kalau lo butuh waktu, gue bakal sabar nunggu."
Jantung Safira berdegup lebih cepat. Perkataannya sederhana, tapi ada sesuatu dalam cara Hardian berbicara yang membuatnya merasa dihargai.
Saat itu, Safira menyadari sesuatu.
Mungkin, tanpa sadar, dia sudah mulai jatuh hati pada Hardian.
.
.
Febry merencanakan langkah selanjutnya.
Di tempat lain, Febry duduk di sebuah bar dengan wajah masam. Dia sudah mencoba mengabaikan kedekatan Safira dan Hardian, tapi setiap kali melihat mereka, amarahnya semakin membakar dirinya.
Di depannya, Amara tersenyum miring sambil memainkan gelasnya.
Amara: "Kamu masih berharap dia bakal balik ke kamu?"
Febry menatapnya tajam, lalu meneguk minumannya.
Febry: "Gue nggak akan biarin dia sama Hardian."
Amara terkekeh.
Amara: "Terus? Mau apa? Mau mukulin dia? Mau ancam dia? Kalau lo cuma marah tanpa rencana, lo bakal kalah."
Febry diam, tapi otaknya mulai bekerja.
Amara mendekat, berbisik di telinganya.
Amara: "Kalau kamu beneran mau bikin Safira ninggalin Hardian, kamu harus buat dia nggak percaya sama laki-laki itu."
Febry menoleh, menatap Amara dengan penuh minat.
Febry: "Gue mulai suka cara lo mikir."
Amara tersenyum licik.
Amara: "Aku bisa bantu, asal kamu main sama aku dulu."
Febry tersenyum sinis.
Febry: "Kita lihat dulu apa rencana lo cukup bagus buat gue pertimbangin."
Amara tertawa pelan, lalu mendekat semakin intim.
Satu hal yang pasti—permainan ini baru saja naik level.
.
.
Di sebuah kamar hotel, Amara duduk di sofa sambil menyilangkan kakinya, sementara Febry berdiri di dekat jendela dengan wajah penuh amarah yang tertahan.
Febry: "Jadi, lo punya cara biar Safira nggak percaya sama Hardian?"
Amara tersenyum tipis, mengambil ponselnya, lalu melemparnya ke Febry.
Amara: "Ada sesuatu yang perlu kamu lihat dulu."
Febry mengernyit, lalu melihat layar ponsel itu. Matanya membesar saat membaca pesan-pesan yang terlihat seperti percakapan Hardian dengan seseorang.
— "Jangan khawatir, aku akan terus dekat dengan Safira. Setelah dia percaya sepenuhnya, kita bisa mulai rencana selanjutnya."
— "Aku tahu ini berisiko, tapi aku bisa mengendalikan keadaan."
— "Takahiro masih mencurigai aku, tapi Safira tidak tahu apa-apa. Ini akan lebih mudah dari yang kita kira."
Febry membaca ulang pesan itu, lalu menatap Amara dengan curiga.
Febry: "Dari mana lo dapet ini?"
Amara mengangkat bahu santai.
Amara: "Aku punya kenalan yang jago bikin manipulasi pesan. Ini bakal cukup buat bikin Safira ragu sama Hardian, kan?"
Febry menggenggam ponsel itu erat.
Febry: "Jadi, lo mau bikin Safira percaya kalau Hardian itu mata-mata musuh Takahiro?"
Amara: "Bukan cuma percaya. Kita kasih bukti."
Amara lalu menunjukkan beberapa foto editan yang menampilkan Hardian bertemu seseorang yang tampak mencurigakan di tempat yang sepi.
Amara: "Tinggal sebar ini di tempat yang tepat, dan Safira bakal mulai bertanya-tanya sendiri. Lo cuma perlu dorong dia sedikit biar makin curiga."
Febry menatap layar itu dengan tatapan penuh pertimbangan.
Febry: "Kalau ini berhasil... Safira bakal menjauh dari Hardian."
Amara tersenyum miring.
Amara: "Dan kalau dia mulai lemah, kamu bisa datang sebagai pahlawan yang menyelamatkan dia dari pria jahat."
Febry terdiam sejenak, lalu akhirnya tersenyum licik.
Febry: "Lo emang gila, Amara... tapi gue suka rencana lo."
Amara terkekeh pelan, lalu berdiri dan melingkarkan lengannya di leher Febry.
Amara: "Aku selalu tahu cara bikin sesuatu jadi menarik, sayang."
Febry hanya tersenyum tipis. Permainan baru saja dimulai, dan dia bertekad untuk mengambil kembali Safira—dengan cara apa pun.
.
.
Hari itu, Safira sedang duduk di kantornya, sibuk membaca berkas kasus, ketika sebuah amplop cokelat tanpa nama pengirim tiba di mejanya.
Dengan alis berkerut, ia membuka amplop itu dan menemukan beberapa lembar kertas yang berisi cetakan percakapan pesan—percakapan yang seolah-olah dikirim oleh Hardian.
"Jangan khawatir, aku akan terus dekat dengan Safira. Setelah dia percaya sepenuhnya, kita bisa mulai rencana selanjutnya."
"Aku tahu ini berisiko, tapi aku bisa mengendalikan keadaan."
"Takahiro masih mencurigai aku, tapi Safira tidak tahu apa-apa. Ini akan lebih mudah dari yang kita kira."
Jantung Safira berdegup lebih cepat. Matanya menelusuri kata-kata itu berulang kali, berusaha mencari tahu apakah ini benar-benar pesan dari Hardian.
"Lelucon macam apa ini?" gumamnya.
Tak hanya itu, ada juga beberapa foto yang menunjukkan Hardian sedang bertemu dengan seseorang yang tampak mencurigakan. Lokasinya terlihat gelap, seperti di sebuah gudang atau tempat pertemuan rahasia.
Safira menggigit bibirnya. Dia ingin percaya pada Hardian—pria yang selama ini selalu membantunya dan bahkan membuatnya merasa aman. Tapi bukti ini... terlalu meyakinkan.
Lalu, ponselnya berbunyi. Nama Febry muncul di layar.
Dengan sedikit ragu, Safira mengangkatnya.
Febry: "Lo udah dapet sesuatu hari ini?"
Safira terdiam sejenak.
Safira: "Apa maksud lo?"
Febry: "Gue tahu lo nggak gampang percaya sama orang, Saf. Makanya gue cuma mau bilang, hati-hati sama Hardian."
Safira mencengkeram ponselnya lebih erat.
Safira: "Lo ngomong kayak gini karena lo masih nggak suka sama dia, kan?"
Febry: "Gue bisa aja, tapi gue nggak segoblok itu buat bikin cerita tanpa bukti."
Safira menggigit bibirnya. Dia tidak mau mengakui bahwa kata-kata Febry mulai membuatnya goyah.
Safira: "Lo nggak tahu apa-apa soal Hardian."
Febry: "Lo yakin? Atau lo cuma nggak mau ngaku kalau lo udah mulai suka sama dia?"
Safira terdiam. Febry mendengus.
Febry: "Gue nggak maksa lo percaya sama gue. Tapi kalau lo emang jaksa yang cerdas, lo pasti bisa cari tahu sendiri."
Sambungan terputus, meninggalkan Safira dengan pikirannya sendiri.
Dia menatap lagi kertas-kertas di hadapannya. Sebuah pertanyaan mulai muncul di benaknya.
Seberapa baik sebenarnya dia mengenal Hardian?
.
.
.
Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments