Taruhan Maut

Max dan Kezia terdiam sejenak, antara bingung dan tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh penyihir berambut merah tersebut. Saciel menghela napas frustrasi melihat reaksi mereka, tahu betul apa yang mereka pikirkan.

"Aku tahu kalian meragukanku, tapi dia memang psikopat. Keluarga Phoenix memang dikenal akan kegilaan yang turun menurun di setiap generasi, walau tidak semua. Kenapa bisa dia terpilih menjadi salah satu SEW karena alasan aturan mereka yang melarang wanita menjadi penerus. Lucu bukan?” papar Saciel kalem.

"Alasan konyol. Beruntung aku tidak menemui mereka saat ini,” ujar Max. Saciel memutar bola matanya dan membereskan semuanya, lalu mengajak mereka berjalan memasuki bagian terdalam hutan dengan santai. Phillip bersikeras untuk mencari jalan lain, membuat perjalanan mereka terhambat.

"Ah, kutukannya. Tapi kan kita tidak tahu apakah…"

"Kau saja yang jadi korban berikutnya. Aku tidak mau mengulanginya” tolak Phillip cepat. Saciel terdiam sejenak, lalu mengangguk samar hingga membuat darah Phillip menggelegak oleh amarah.

"Kau berniat mati?" tanyanya dingin. Yang ditanya melirik dengan tatapan dingin hingga membuat kakak beradik demi human merinding. Saciel menurunkan pandangannya.

"Kalau kau segitu takutnya dengan kutukan, kembalilah. Waktu kita semakin sempit dan keberadaan mereka bisa saja terbongkar dalam waktu dekat. Aku tidak memaksamu untuk…” kalimatnya terputus ketika siluet mengerikan mencoba menebas leher Phillip. Dengan cepat ia menarik Phillip dan berpindah ke atas pohon, sementara Max melompat bersama Kezia ke pohon lain yang agak jauh dari mereka. Sebuah tawa mengerikan memecah keheningan. Cahaya mentari menimpa rambut jingganya hingga terlihat seperti keemasan. Ekspresi puas bercampur bangga terpampang jelas di wajahnya hingga seringai mengerikan pun terpatri. Ia menancapkan pedang besarnya dengan sekali hentak dan berpaling pada Saciel.

"Ketemu.”

"Bukannya kau bilang jarak kita sekitar tiga kilometer? Bagaimana bisa dia menyadari keberadaan kita secepat itu?” tanya Phillip lirih. Saciel tidak menjawab, melainkan menarik sebilah pedang dari balik jubah dan melompat turun di hadapan Comet dengan santai.

"Kau kira kita sedang bermain petak umpet, hah?” tantang Saciel. Comet tertawa nyaring dan menarik dagu penyihir di hadapannya dengan kasar.

"Heh, kau kira aku bodoh? Kau mungkin bisa bersembunyi, tapi jangan lupa aku cukup tajam soal bau darah yang kau sebarkan di dekat perkemahanku,” ujarnya bangga. Saciel berdecih.

"Dasar bodoh, bisa-bisanya dia meninggalkan jejak untuk ditemukan si bodoh ini,” gumam Max lirih.

"Kak, apa yang harus kita lakukan?” tanya Kezia.

"Kita lihat situasinya dulu,” balas Max kalem. Kedua demi human hanya diam menyaksikan, sementara Phillip berpikir keras untuk menarik Saciel mundur dari pertarungan yang tidak bisa dihindari itu. Sebelum Saciel menikam perutnya, Comet lebih dulu mencengkeram kerahnya dan melempar gadis itu sejauh mungkin hingga melubangi batu besar sekitar seratus meter dari tempatnya.

"Kh!”

"Kekuatan fisiknya oke juga, jadi ingin mengajaknya bertarung,” puji Max. “Kezia, tetap di sini dan jadi anak baik. Aku akan menolongnya kalau keadaan mendesak.”

"Tapi kutukannya?" tanya Kezia cemas. Max termangu.

"Kau benar. Sebaiknya kita tetap di sini saja, mengingat kutukan apa yang menimpa kita di sini," balasnya. Saciel segera menghapus darah yang mengalir dari ujung bibirnya sembari memastikan tidak ada setitik darah yang membasahi tanah suci itu, lalu melotot pada Comet yang memainkan pedang besarnya dengan gagah.

"Arakawa, ke mana kesombonganmu yang biasa menjadi tamengmu? Kau saat ini terlihat menyedihkan sekali,” sindir Comet. Saciel menutup mulut rapat-rapat, lalu bangkit berdiri dan mengarahkan mata pedangnya pada Comet.

"Kenapa? Kau takut mengalahkanku yang lemah ini?" pancing Saciel. Ujung bibir Comet berkedut, membuat seulas senyum culas terpatri di wajah cantik Saciel.

“Apa tebakanku benar, Comet? Kau takut? Seorang kepala keluarga Phoenix yang terkenal akan hidup panjangnya takut melawan penyihir Arakawa sepertiku? Wah, bakal jadi gosip bagus, nih.”

Wajah Phillip memucat. Ia tahu betul apa yang ada di pikiran sang penyihir pewaris gelar Duke itu, memancing emosi lawan agar pergerakannya mudah diprediksi. Walau cara itu mungkin saja berhasil, kemungkinan gagal pun juga tidak bisa dihindari mengingat Comet tidak terlalu bodoh untuk jatuh ke perangkap penyihir itu. Ia baru saja berniat untuk membantu ketika pohon di samping Comet roboh dengan satu ayunan pedang besarnya.

"Akan kubakar kau dalam api keabadian, Saciel Arakawa,” ancam Comet dengan wajah gelap menahan amarah. Saciel tertawa lantang bagaikan orang gila, lalu memasang kuda-kuda dengan tubuhnya yang gemetar akibat rasa sakit yang menjalar.

"Coba saja kalau kau bisa,” balasnya santai. Keduanya melesat maju dan beradu senjata, dentingan besi menjadi musik dalam dansa pertarungan mereka. Max dan Kezia menuruni pohon diam-diam dan memberi isyarat pada Phillip untuk segera turun. Ketika penyihir berambut platinum blonde sudah berada di sisi mereka, Max menyerahkan adiknya.

"Aku mau menonton dari dekat. Jaga dia,” titah Max.

"Kau kira aku ini pengasuh, hah? Tetap jaga jarak, kau bisa saja tertebas oleh mereka,” balas Phillip dongkol. Max langsung menyelinap tanpa suara mendekati area pertempuran yang semakin sengit antara Saciel dan Comet. Entah sudah berapa kali Saciel terdesak akan tenaga besar Comet dan terdorong beberapa senti, namun ia mampu berkelit dari tajamnya pedang agar tidak melukai tubuhnya. Sesekali ia memberikan serangan balik, namun kecepatannya yang rendah ditambah staminanya yang terkuras lebih dulu membuatnya berada dalam posisi yang kurang menguntungkan.

"Hanya ini saja kemampuanmu? Ke mana penyihir yang dikenal sebagai pahlawan Respher yang termasyhur dan terkuat itu? Yang kulihat saat ini hanyalah penyihir lemah yang dimakan oleh waktu," sindir Comet. Ia menghempas penyihir muda itu dengan sekali ayunan hingga ia terpelanting, namun Saciel berhasil mendarat kembali dengan menancapkan pedang ke tanah. Wajahnya mulai kehilangan warna, darah perlahan mengucur dari pelipisnya. Penglihatannya mulai buram, kesadarannya hampir padam namun ia berusaha untuk tetap terjaga sembari memikirkan rencana untuk mengalahkan Comet yang mulai bosan dengannya.

"Darah, darah, darah. Kenapa Hutan Suci tidak boleh dinodai darah setitik pun? Apa yang disembunyikan di sini? Tidak ada sumber yang memadai kenapa tidak boleh ada darah tumpah di sini, hanya kata kutukan saja yang menjadi objek itu. Apa mungkin…bisa kugunakan untuk melawan Comet? Bagaimana jika aku yang malah jadi sasarannya?” gumam Saciel sembari mencoba bangkit dengan napas tersengal.

"Apa yang kau gumamkan, bodoh? Kalau kau mau berdoa, percuma saja," ujar Comet sembari mengangkat tinggi tangannya untuk memanggil burung phoenix yang diselimuti api. “Kita akhiri saja permainan ini.”

Sebuah ide konyol terlintas di pikiran Saciel. Ia langsung berlari ke arah Comet dengan kecepatan tinggi, membuat Comet membatalkan sihirnya dan menebas tubuh Saciel dari pundak hingga mencapai perutnya. Darah langsung menodai pedang serta pakaian Comet, lalu mengalir deras ke tanah Hutan Suci. Max melongo, sementara Kezia dan Phillip yang baru saja sampai terkejut setengah mati.

"Ciel!"

“Kak Saciel!”

Comet termangu menatap kedua tangannya yang berlumur darah penyihir berambut itu dengan tatapan bingung, lalu berpaling pada Saciel yang jatuh berlutut di hadapannya sembari memegang lukanya.

“Apa yang kau lakukan?” tanyanya. Sebelum Saciel membuka mulut, gempa besar mengguncang seluruh wilayah Tanah Suci hingga mencapai Chasata. Raungan keras terdengar dari bagian terdalam hutan, disusul munculnya kristal berwarna hitam dengan kristal sewarna mata Saciel di tengah yang mengelilingi mereka. Comet mencoba menghancurkan salah satu kristal di dekatnya, namun naas pedang besarnya langsung hancur berkeping-keping hanya dengan sekali ayunan. Ia berbalik ke Saciel dan berniat membunuhnya, namun langkahnya terhenti. Ia menurunkan pandangannya dan terkejut ketika kakinya mulai diselimuti kristal hitam.

"SACIEL! APA YANG KAU LAKUKAN PADAKU?!" raungnya sembari menyiapkan serangan, namun tangannya langsung membatu sebelum sihirnya aktif. Ia memberontak, mencoba melepaskan diri dari kristal yang menyelimutinya, namun sampai akhir ia hanya bisa berteriak meminta tolong hingga tubuhnya berubah menjadi kristal hitam. Saciel terbatuk-batuk, namun seringai kecil terpatri di wajahnya.

"Dugaanku....ternyata benar. Huf, mati rasa tubuhku,” gumamnya sembari menahan diri untuk tidak ambruk, namun energinya habis seakan disedot oleh tenaga tak kasat mata hingga ia jatuh. Beruntung Max berhasil menangkapnya sebelum kepalanya terbentur tanah. Ia menatap penyihir yang berada di ambang hidup dan mati itu dengan rasa penasaran tinggi.

"Aneh. Dia sangat berbeda saat di medan perang, seakan-akan kekuatannya disegel. Apa ini ada kaitannya dengan makhluk itu?” gumamnya. Ia beranjak dari medan pertarungan dan membawanya pada Phillip.

"Kurasa hanya kau yang bisa menolongnya.”

"Lukanya terlalu dalam. Aku hanya bisa melakukan pertolongan pertama, tapi sisanya…seandainya saja aku membawa ramuan penyembuhan, aku bisa menolongnya…”

"Lakukan saja sebisamu, aku akan menemanimu," potong Max santai. “Aku tidak masalah jika dia mati, tapi jalan keluarku satu-satunya hanya dia. Waktu kita tidak banyak.”

"Kak Saciel! Kak Saciel!" panggil Kezia panik. “Jangan tinggalkan Kezia!”

Phillip segera membawa Saciel ke dalam tenda dan mengubah interiornya menjadi ruang bedah setingkat rumah sakit. Tanpa ragu ia membuka pakaian gadis penyihir itu dan menggigit bibir bawahnya ketika melihat luka menganga besar yang nyaris membelah tubuhnya. Max berjalan masuk dan terpukau dengan bagian dalam tenda.

"Menjadi penyihir ternyata menyenangkan juga, bisa mengatur ruang pada tenda kecil ini. Oh sial, lukanya besar juga. Apa kalian penyihir tidak punya dokter atau tabib?”

"Ada. Tapi membawanya ke sini akan beresiko…"

"Keselamatan dia lebih penting, kan? Bawa saja siapapun yang bisa tutup mulut," potong Max sembari mensterilkan diri dan mengamati lukanya dengan seksama. “Cepatlah.”

"Sabar, melakukan teleportasi untuk orang lain dengan jarak segini agak makan waktu," balas Phillip sembari membuat lingkaran sihir di dekatnya dan memfokuskan mananya hingga sesosok wanita paruh baya muncul di atas lingkaran sihir.

"Ah, Tuan Muda Phillip. Ada apa…NONA?! Apa yang terjadi di sini?” tanyanya panik sembari berlari mendekati Saciel dengan wajah seputih pualam. “Ini…luka akibat senjata?”

"Kubilang panggil dokter, bukan nenek ini," keluh Max. Phillip tidak menjawab, membiarkan Bibi Claudia mengambil alih dengan cepat hingga membuat Max kagum melihatnya. Wanita paruh baya itu melirik pada Max.

"Apa Anda bisa melakukan operasi darurat?” tanya Bibi Claudia.

"Hanya sebagai asisten,” balas Max sembari membantu Bibi Claudia mensterilkan diri. Wanita tua itu mengangguk, lalu mulai membuat ruang sihir yang melingkupi mereka. Ia memasang beberapa instalasi pada tubuhnya dan mengecek kondisinya.

"Waktu kita memang tidak banyak, tapi bertindak gegabah hanya akan memperburuk kondisinya. Kau sudah membersihkan lukanya cukup baik,” ujar Bibi Claudia sembari menyiapkan ratusan benang sihir yang bergerak layaknya tentakel di sekitarnya, lalu mulai menutup lukanya dari yang paling dalam dengan presisi yang luar biasa. Max cukup terkesima melihat kemampuannya, hingga berpikir ia hanya cukup berdiri di sampingnya untuk melakukan hal remeh temeh. Ia menghapus keringat wanita itu hati-hati agar tidak mengganggu konsentrasinya.

"Tuan Muda Phillip, bagaimana dengan penyerangnya?” tanya Bibi Claudia tanpa mengalihkan pandangannya.

"Sudah mati menjadi patung kristal di luar. Akan kutunjukkan nanti," ujar Phillip sembari mengawasi pintu agar Kezia tidak menerjang masuk dan mengganggu jalannya operasi. Setelah lebih dari dua jam, Bibi Claudia menghentikan pekerjaannya dan membalut tubuhnya dengan perban.

"Tuan Muda, saya akan kembali ke kota. Kondisi Nona Saciel sudah cukup stabil dan pemulihannya akan bekerja setelah ia sudah bisa mengatur mananya. Tolong tetap awasi Nona Saciel,” ujar Bibi Claudia sembari menghilangkan perisai ruang dengan sekali lambaian. “Beruntung kita tidak perlu melakukan transfusi darah.”

Penyihir tua itu melirik ke arah Max, lalu mendekatinya dengan senyum tulus. Ia memberi isyarat padanya untuk membuka baju agar ia bisa melihat lukanya yang kembali berdarah. Setelah Max melepaskan atasannya, benang sihir Bibi Claudia langsung menjahit semua lukanya dengan rapat hingga tidak ada bekas luka yang terbuka.

“Aku tidak memiliki mana sebanyak penyihir, bagaimana bisa?” tanya Max.

“Benang sihir bisa bekerja dengan cepat tergantung keinginanku. Untuk penyihir, biasanya aku membiarkan mereka mengontrolnya sendiri untuk melatih kontrol mana. Jangan cemas, Anda akan baik-baik saja setelah beristirahat total,” balas Bibi Claudia. “Terima kasih sudah menolong saya mengobati Nona Saciel.”

“Anggap saja semuanya impas,” balas Max sembari memamerkan tubuhnya yang bersih dari luka. “Tidak kusangka wa…Saciel memiliki penyihir pengobatan di bawah pimpinannya.”

“...saya berutang budi kepada Nona Saciel dan saya tidak bisa membalasnya, jadi saya menjadi salah satu pelayan beliau,” ujarnya sendu.  “Tuan Muda, tolong buatkan jalan untuk saya.”

Phillip mengangguk, membantu Bibi Claudia melakukan teleportasi dan membuka pintu tenda, menemukan Kezia meringkuk sembari memegangi sebuket bunga liar yang ia dapat di hutan. Phillip mengulum senyum dan bergegas mengubah interior tendanya menjadi kamar Saciel agar Kezia merasa tenang.

"Masuklah,” ajaknya ramah. Kezia bergegas menuju ranjang tempat Saciel terbaring dengan berlinang air mata. Phillip menjentikkan jemarinya dan Sky langsung muncul di atas lingkaran sihir. Serigala besar itu mengendus udara, lalu berjalan mendekati Saciel dengan sorot kesedihan yang terpancar dari kedua bola matanya yang sebiru langit cerah. Phillip menyadari ada kudapan dan teh hangat yang sepertinya baru saja disiapkan tersedia di atas meja. Ia menghela napas dan mengajak Max untuk menikmatinya, sementara ia memotong kue dengan potongan cokelat yang banyak untuk Kezia. Setelah meletakkan kue tadi di meja dekat tempat tidur, Phillip berkacak pinggang.

"Waktunya beristirahat, kawan. Aku akan mengurus sisanya,” ujar Phillip sembari berjalan ke luar tenda, diikuti Max dan Kezia di belakangnya. Phillip berputar dan menggelengkan kepala melihatnya.

"Diam di tenda dan jangan ganggu aku, terutama orang sakit dan anak kecil," gertak Phillip. Max membalasnya dengan menjulurkan ujung lidahnya.

"Aku masih sanggup menghajar satu pasukan penyihir."

"Bodo amat. Kezia, kalau kau menurut padaku akan kuberikan semua jatah kueku untukmu. Kezia bisa jaga Kak Saciel kan?" ujar Phillip dengan nada manis demi membujuk si gadis cilik. Kezia diam sejenak, lalu mengangguk dan kembali ke sisi Saciel bersama Sky di sisi lain. Phillip kembali menatap Max.

"Kau masih berniat mengikutiku?"

“Kenapa? Kau tidak mau diikuti? Anggap saja aku ini anjing besar di sana,” balas Max sembari menunjuk Sky yang tertidur pulas. Phillip menaikkan salah satu alisnya.

“Baiklah, kau boleh ikut,” balas Phillip mengalah. Mereka berjalan ke luar Hutan Suci dan menemukan sekelompok prajurit Comet berdiri menanti dengan senjata di tangan. Ketika melihat Phillip dan Max, mereka mengarahkan ujung senjata kepada mereka.

“Tuan Arlestine, Anda telah membelot negara Careol dengan menolong demi human itu. Mohon serahkan diri Anda dan ikut kami ke Careol,” sahut kapten prajurit sembari berjalan maju. Phillip diam sejenak dan menggelengkan kepala.

“Membelot mungkin ada benarnya, tapi aku tidak mau menyerahkan diriku begitu saja. Kalian kan juga sama, membelot perintah Duke Requiem selaku ketua SEW. Kembali dan sampaikan pada para tetua bahwa Comet Phoenix gugur dalam mengemban tugasnya,” ujar Phillip santai. Semua prajurit terkesiap, tidak percaya dengan apa yang ia katakan.

“Anda tidak boleh berbohong soal kematian Marquess Phoenix, Tuan Arlestine! Itu tidak…”

“Kalau begitu masuk dan lihat sendiri dengan matamu. Apa untungnya bagiku berdusta soal itu?” tantang Phillip. Semuanya terdiam.

“Heh, kenapa diam? Kalian yang bilang penyihir ini berbohong, sekarang malah takut untuk masuk ke dalam hutan? Sebegitu pengecutnya kalian untuk membuktikan omongannya?” ledek Max. Sang kapten melirik pada pasukannya, lalu berpaling pada Phillip yang melipat kedua tangannya dengan santai.

“Anda tahu peraturan soal memasuki Hutan Suci, bukan?” tanya kepala prajurit.

“Ah, itu? Aku tidak mendapat berkat dari Pendeta Agung dan hidupku masih menempel kuat di tubuh ini.”

“Lalu kenapa Marquess Phoenix bisa tewas? Tolong katakan Anda hanya berbohong,” pinta kepala prajurit. Phillip menggeleng.

“Sebab Comet…maksudku, Marquess Phoenix dikutuk oleh Hutan Suci karena telah melanggar perintah yang tidak boleh dilanggar oleh semua makhluk di sini.”

Terpopuler

Comments

Dinda Natalisa

Dinda Natalisa

Hai author aku mampir nih kasih like jangan lupa mampir di novel ku "menyimpan perasaan" mari saling mendukung.

2021-03-09

0

lihat semua
Episodes
1 Prolog
2 Kisah Sang Penyihir Muda
3 Sisi Gelap Kuil Oorun
4 Tuduhan dan Hukuman
5 Penculikan dan Kabur
6 Terdampar
7 Pertemuan
8 Festival Matahari Merah dan Rumor
9 Penyelamatan
10 Drama di Chasata
11 Sang Kegilaan Phoenix
12 Taruhan Maut
13 Kematian sang Marquess Phoenix
14 7 Eternal Wizards
15 Perburuan
16 Duchess Rosemary and Lady Schariac
17 Play with Fire
18 Penghuni Hutan Suci
19 The Alpha Dragon
20 The Elf Territory
21 The Tamer
22 Phyton Wizard
23 Hellhound
24 Dying
25 Quarrel and Memories
26 Nightmare of a Witch
27 Sang Pengintip Ramalan
28 Taming the Monster
29 A New Contract
30 Menyusun Rencana
31 Archolen dan Alkemis
32 Cerita Lama
33 Permulaan
34 Tabir Neraka
35 Alkimia
36 Sang Marchioness dari Mizuki
37 Kegagalan
38 Adu Tanding
39 A Strange Kid
40 Primordial God of Sea, Pontus
41 Akhir Perdebatan
42 Penyusup
43 Cobaan Dewa Primordial
44 Game On
45 Menghilang
46 Broken Rules
47 Ilmol Hwangmok
48 Sudden Request from Ceshier
49 Tsar and Tsarina Ata Lafoia
50 Chaos
51 Another Monster
52 Portal dan Penyerangan
53 The Half God, Vatra
54 Awal Perang
55 Kangen
56 Kiss Under the Moonlight
57 Broken
58 Dewa Oorun
59 Father and Son
60 Anggrek Onyx
61 Burden
62 Depression
63 Secret Recipe
64 Desperate
65 The Rebirth of Tania Schariac
66 Betrayal
67 Kesibukan Calon Putri Mahkota
68 Ramuan
69 Keluar dari Penjara
70 Revolution
71 Wishes and Hopes
72 Before Coronation
73 The Coronation
74 Step One
75 Empress' Trial
76 Ceshier in Danger
77 Dancing Devil
78 Death vs Death
79 Funeral, Pain and Healing
80 Dilemma
81 Execution
82 A Small Fight
83 Leisure Day
84 Step Two, On Fire
85 Gorgon's Curse
86 Festival of Death
87 Perseteruan
88 Hidden Card
89 Lolos
90 The Dying Avant Heim
91 Cerlina and the Alpha Dragon
92 The Axe of Minotaur
93 Pencarian
94 Show Off
95 Jalan Buntu
96 Puzzle
97 The New Spring
98 Mirror
99 Conceal the Power
100 Temporary Solution
101 Langkah Terakhir
Episodes

Updated 101 Episodes

1
Prolog
2
Kisah Sang Penyihir Muda
3
Sisi Gelap Kuil Oorun
4
Tuduhan dan Hukuman
5
Penculikan dan Kabur
6
Terdampar
7
Pertemuan
8
Festival Matahari Merah dan Rumor
9
Penyelamatan
10
Drama di Chasata
11
Sang Kegilaan Phoenix
12
Taruhan Maut
13
Kematian sang Marquess Phoenix
14
7 Eternal Wizards
15
Perburuan
16
Duchess Rosemary and Lady Schariac
17
Play with Fire
18
Penghuni Hutan Suci
19
The Alpha Dragon
20
The Elf Territory
21
The Tamer
22
Phyton Wizard
23
Hellhound
24
Dying
25
Quarrel and Memories
26
Nightmare of a Witch
27
Sang Pengintip Ramalan
28
Taming the Monster
29
A New Contract
30
Menyusun Rencana
31
Archolen dan Alkemis
32
Cerita Lama
33
Permulaan
34
Tabir Neraka
35
Alkimia
36
Sang Marchioness dari Mizuki
37
Kegagalan
38
Adu Tanding
39
A Strange Kid
40
Primordial God of Sea, Pontus
41
Akhir Perdebatan
42
Penyusup
43
Cobaan Dewa Primordial
44
Game On
45
Menghilang
46
Broken Rules
47
Ilmol Hwangmok
48
Sudden Request from Ceshier
49
Tsar and Tsarina Ata Lafoia
50
Chaos
51
Another Monster
52
Portal dan Penyerangan
53
The Half God, Vatra
54
Awal Perang
55
Kangen
56
Kiss Under the Moonlight
57
Broken
58
Dewa Oorun
59
Father and Son
60
Anggrek Onyx
61
Burden
62
Depression
63
Secret Recipe
64
Desperate
65
The Rebirth of Tania Schariac
66
Betrayal
67
Kesibukan Calon Putri Mahkota
68
Ramuan
69
Keluar dari Penjara
70
Revolution
71
Wishes and Hopes
72
Before Coronation
73
The Coronation
74
Step One
75
Empress' Trial
76
Ceshier in Danger
77
Dancing Devil
78
Death vs Death
79
Funeral, Pain and Healing
80
Dilemma
81
Execution
82
A Small Fight
83
Leisure Day
84
Step Two, On Fire
85
Gorgon's Curse
86
Festival of Death
87
Perseteruan
88
Hidden Card
89
Lolos
90
The Dying Avant Heim
91
Cerlina and the Alpha Dragon
92
The Axe of Minotaur
93
Pencarian
94
Show Off
95
Jalan Buntu
96
Puzzle
97
The New Spring
98
Mirror
99
Conceal the Power
100
Temporary Solution
101
Langkah Terakhir

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!