Phillip terdiam kaku di posisinya setelah kontak dengan Saciel terputus. Meski wajahnya tidak berekspresi, keringat dingin dan tatapan nanar terpampang jelas di wajahnya yang tampan. Kezia yang menyadari keanehan padanya langsung menggenggam tangannya hingga ia berpaling.
"Kak Phillip baik baik saja?”
"…ya, aku baik-baik saja. Maaf membuatmu khawatir," balasnya kalem. “Kita harus pergi sekarang.”
"Bagaimana dengan kakakku dan penduduk Desa Chasata?” tanya Kezia sendu. Phillip mengelus puncak kepalanya dan membuat jalur dari bola-bola cahaya berwarna biru pucat bersama dengan sebuah golem kecil di dekat Jess.
"Para penduduk akan kembali bersama dengan golem ini, tapi kita akan pergi ke Hutan Suci. Akan kujelaskan selama perjalanan, oke?" ujarnya sebelum pertanyaan keluar dari bibir Kezia. Ia melirik pada Max dan membuatnya melayang di udara, lalu berpaling pada Jess.
"Jangan membuang waktumu untuk kami. Pergilah,” ujar Jess sembari melipat kedua tangannya. Phillip mengangguk dan membawa Kezia berjalan meninggalkan para penduduk desa, sementara Jess memandu penduduk desa kembali ke desa. Setelah memastikan mereka jauh dari penduduk, ia menghela napas lirih hingga nyaris tidak terdengar.
"Para pengejar masih berada di sekitar kita, jadi akan lebih baik jika kita berpisah. Jangan cemas, aku akan selalu melindungimu dan juga kakakmu," janjinya kalem.
"Bagaimana dengan Kak Saciel? Apa Kak Saciel baik-baik saja?” tanya Kezia sembari menggenggam erat tangan Phillip. Ia tersenyum dan mengelus puncak kepalanya sembari menggosok belakang telinga serigalanya yang baru saja muncul setelah delapan jam berakhir.
"Saciel baik-baik saja, hanya perlu istirahat sebelum menyusul kita. Kita harus masuk ke dalam Hutan Suci sebelum matahari tenggelam, kau masih sanggup berjalan?” balas Phillip. Kezia diam, lalu mengangguk dengan ekspresi menahan tangis. Phillip menahan tawa, lalu hati-hati digendongnya anak itu dan berjalan cepat ke arah Hutan Suci.
"Kak Phillip?"
"Hm?"
"Apakah berbahaya jika kita masuk ke Hutan Suci? Kenapa tempat itu dihindari oleh Kak Phillip?” tanya Kezia lagi. Phillip berpikir sejenak, lalu berpaling pada bunga terompet berwarna kuning keemasan yang menjuntai ke bawah.
"Tempat yang kita tuju sangatlah cantik, namun penuh bahaya. Tidak semua penyihir mampu bertahan lama di sana, apalagi dengan rumor kutukan yang akan menimpa jika kita mencoba masuk tanpa berkat Pendeta Agung,” jawabnya tenang.
"Kakak tidak takut?"
“Mana mungkin, anak manis. Mendengar kutukan saja membuatku bergidik, apalagi masuk ke wilayah terlarang di seluruh Careol. Berharap saja semuanya baik-baik saja, oke? Waktu kita terlalu banyak untuk dihabiskan di sini,” ujarnya mengakhiri sembari terus melangkah, tanpa menyadari tubuh Max mulai bergerak samar mulai dari ujung tangannya yang berkedut. Mereka berhenti tepat di depan gapura berbentuk dua ekor naga dengan permata di seluruh punggung hingga ekor mereka. Kezia kagum.
"Apakah mereka naga asli? Bisakah kita melihat mereka di dalam hutan ini?” tanya Kezia.
“Sepertinya begitu. Kami para penyihir belum pernah melihat naga dari Hutan Suci, jadi aku tidak bisa memberikan keabsahan keberadaan mereka,” balas Phillip santai. “Kalau mau jujur, aku ingin menghindari mereka. Kita belum tahu apakah mereka berbahaya atau tidak,” lanjutnya tanpa menyadari Max sudah bangun, memegangi sabitnya dengan tatapan mematikan dan siap untuk menyerang. Teriakan Kezia menyadarkan penyihir itu, ia berpaling sejenak dan langsung berteleportasi sebelum ujung sabit berhasil memenggalnya. Ia nyaris menjatuhkan Kezia karena pendaratannya kurang mulus, namun berhasil melindungi kepalanya agar tidak terantuk batu. Max menggeram.
"Penyihir, beraninya kau membawaku kemari. Mau mati?” ancamnya. Phillip mencoba untuk bersuara, tetapi sahutan Kezia lebih cepat darinya.
"Kakak! Jangan!”
Demi human dewasa itu berpaling dan mengernyitkan kening, namun tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia kembali menatap Phillip dan mengarahkan sabitnya.
"Brengsek, kau bahkan menculik adikku,” geramnya. Phillip menurunkan Kezia dan berdiri, mengangkat kedua tangannya dengan tatapan malas dan mengundang rasa heran dari Max. Kezia bergegas mendekati Max dan memeluknya, sesekali memohon agar ia menurunkan senjatanya dan tidak melukai Phillip.
"Tuan demi human, jika berkenan sebaiknya kita baku hantam di luar hutan saja. Jika ada pertumpahan darah di sini, kita bisa dikutuk,” ujar Phillip. Max mengerling.
"Memangnya penyihir bisa dipercaya?”
"Terserah sih, tapi aku nggak mau tanggung jawab kalau terjadi sesuatu padamu. Aku kemari hanya ingin membantu Kezia menemukanmu, jadi tolong jangan membuang waktuku. Tambahan lagi, kita masih harus bersembunyi dari pengejar kita," papar Phillip santai. Max terdiam, sesekali melirik pada Kezia yang masih merengek dengan mata sembabnya dan kembali pada Phillip.
"Kau tidak sendiri, kan? Ada aroma orang lain menempel di badanmu,” tanya Max. Phillip bersiul dan menyeringai.
"Tepat sekali, sayangnya dia sedang ada urusan di tempat lain. Kau bisa bertemu dengannya nanti, tapi sebaiknya kita mencari tempat beristirahat dulu. Kulihat lukamu masih belum sembuh seutuhnya.”
Yang ditawari terdiam, lalu menghela napas dan melempar sabitnya ke udara hingga lenyap dari pandangan. Ia mengedarkan pandangan dan menunjuk ke sebuah pohon besar tak jauh dari mereka.
“Tempat itu cukup strategis untuk beristirahat dan aman dari sergapan musuh,” ujar Max. Phillip mengangguk dan menjentikkan jemarinya hingga dua tenda berukuran sedang muncul bersama dengan api unggun di depannya. Max tidak bereaksi. Ia menggenggam tangan mungil Kezia dan langsung mengajaknya ke salah satu tenda tanpa ucapan apapun pada Phillip. Penyihir itu maklum dengan sikapnya, namun sedikit kesal ketika demi human dewasa itu menggambar garis pembatas diantara kedua tenda dan memberikan jari tengahnya.
“Brengsek,” makinya lirih. Ia membuat empat lapis perisai tembus pandang di sekitar tenda, lalu berjalan kembali ke gapura untuk menunggu Saciel yang masih belum sampai. Rasa cemas menjalar dari dada hingga bernapas saja membuatnya sesak. Pikirannya makin kacau, takut jika terjadi sesuatu pada penyihir muda yang ia anggap sebagai adiknya itu.
"Dewa Oorun, tolong lindungi dia," gumamnya. Ia menghela napas dan berjalan masuk ke tenda. Ketika tubuhnya berbaring, alarm lelahnya mampu membuatnya tertidur lebih cepat dari biasanya.
Sebuah tepukan pelan membangunkan Phillip dari tidurnya. Meski pandangannya masih samar, namun aroma anyir sudah menyapanya terlebih dahulu. Ia mengerjapkan mata dan terkejut melihat Saciel menyeringai puas dengan luka kering di kedua lengannya.
"Kau! Darimana saja kau? Kenapa lama…”
"Ssh, ini masih jam 2 pagi. Tidak bisa apa kau tidak berteriak?” potongnya sembari menutup mulutnya dengan tangan. “Aku tersesat dan nyaris masuk ke wilayah perkemahan Comet, makanya baru sampai kemari.”
"Apa mereka dekat dengan tempat kita?" tanya Phillip sembari menyingkirkan tangan Saciel sekaligus mengobati lukanya dengan peralatan seadanya. Penyihir muda itu menggeleng.
"Sekitar tiga kilometer dari sini, tapi cukup jauh dari Chasata. Bagaimana dengan penduduk desa?”
"Mereka semua aman dan kembali ke Chasata. Daripada itu, kau seharusnya mengkhawatirkan dirimu dulu," balas Phillip sembari mengelus lengannya yang berbalut perban. “Tidurlah, kau pasti lelah.”
Saciel mengangguk. Ia berbaring di samping Phillip dan langsung tertidur pulas dalam hitungan detik, membuat Phillip tenang melihatnya. Ia baru saja membuka pintu tenda ketika melihat Max duduk di depan api unggun dengan wajah ditekuk. Phillip yakin ia mendengar pembicaraan mereka, jadi ia hanya duduk di seberangnya tanpa bersuara.
"Dia sudah tidur?” tanya Max. Phillip mengangguk, lalu tertegun ketika mendengar suara keras yang berasal dari perut Max. Ia mencoba menahan tawa ketika Max salah tingkah, lalu bangkit berdiri.
"Tunggu di sini," ujarnya. Ia langsung pergi ke luar area Hutan Suci dan berburu beberapa hewan, mengulitinya sebelum membawanya masuk bersih tanpa darah. Max mengerutkan kening melihatnya.
"Sekedar info untukmu, aku hanya ingin meminimalisir kemungkinan kita dikutuk akibat darah,” ujar Phillip sembari memanggang daging tersebut, membumbui ala kadarnya dan memberikannya pada Max. “Makanlah.”
Demi human tersebut perlahan meraih makanan yang dibuat dan memakannya dengan lahap, namun cara makannya yang elegan membuat Phillip sedikit heran bercampur penasaran. Ia memasak sisanya dan menyimpannya untuk perbekalan.
"Apa motif kalian?” tanya Max. Phillip menaikkan sebelah alisnya, tidak percaya dengan kata-katanya yang cukup menyakitkan.
"Apa untungnya kami menculik kalian?" balas Phillip ketus. Max diam, pandangan tajamnya sesekali naik turun untuk menganalisa penyihir di hadapannya, namun ia tidak mendapati niat buruk darinya. Meski begitu, kewaspadaannya masih tinggi hingga membuatnya berhat-hati dalam bicara.
"Kau tidak perlu menjawab jika tidak bisa menjawab, aku sangat paham. Daripada itu, kau masih perlu istirahat. Meski kami berdua penyihir, kemampuan penyembuhan kami nyaris mendekati nol. Hanya beberapa penyihir saja yang bisa melakukannya,” ujar Phillip santai. Ia mendekati Max dan menunjuk perbannya yang mulai berdarah.
"Buka bajumu, akan kuganti perban di tubuhmu itu."
"…nih,” ujarnya sembari membuka bajunya, memperlihatkan lengan kanan dan perut yang diselimuti perban mulai merah. Phillip bergegas melepas perban dan membakarnya sebelum perban tersebut menyentuh tanah, mengelap luka yang sudah dijahit dengan hati-hati karena makian terus keluar dari bibirnya dan membubuhkan ramuan yang ia bawa sebelumnya sekaligus membalutnya dengan perban bersih. Ia kembali membakar kain yang berlumur darah tadi hingga tak bersisa dan menghela napas.
"Ternyata kau cukup cekatan juga dalam mengurus luka," puji Max tulus.
"Aku pernah ikut perang lima tahun lalu di barisan belakang," balas Phillip kaku. “Ditambah lagi kawanku paling sering bikin ulah hingga luka senantiasa menempel padanya.”
Max tidak menanggapi, menyibukkan diri memakai kembali pakaiannya dan melanjutkan makannya walau nafsu makannya menghilang. Ia melirik ke tenda milik Phillip dengan rasa penasaran tinggi.
"Penyihir di dalam…wanita itu sepertinya familiar untukku," gumamnya. Phillip menatapnya dengan kebencian mengisi kedua bola matanya, namun ia diam sejenak untuk menyusun kata-kata yang cukup enak didengar meski pikirannya dipenuhi rutukan untuk Max.
"Akan lebih baik jika kau melihatnya sendiri untuk memastikan,” hanya itu yang keluar dari bibirnya. Max mencoba menahan diri untuk bertanya lebih lanjut untuk kebaikan bersama. Mereka berjaga hingga sang fajar perlahan menyembul dari balik pegunungan. Phillip bangkit berdiri dan merapikan jaketnya.
"Tunggulah di sini, aku akan mencari bahan makanan lain untuk sarapan. Kuharap kau tidak membuat keributan selama kutinggal,” ujar Phillip tegas. Max hanya melambaikan tangan malas-malasan, membuat Phillip yakin meninggalkannya adalah pilihan yang salah. Meski begitu, ia memilih pergi. Tak lama setelah Phillip pergi, Saciel perlahan keluar dari tenda dan tersentak melihat Max, begitu pula sebaliknya. Sang penyihir mencoba menahan diri agar tidak gentar, namun gemetar di tubuhnya tidak bisa berhenti, sementara si demi human menelisik kondisi sang lawan bicara dengan hati-hati.
"Kau sudah sadar,” ujarnya lirih, nyaris seperti bisikan untuknya. Max mengangguk, lalu memberikan ruang untuk Saciel menikmati sisa bara api yang masih menyala. Gadis itu berjalan mendekat, lalu duduk di tempat Phillip dengan tatapan turun ke tanah.
"Ini benar-benar takdir yang buruk, kan? Menolong musuhmu di wilayahmu sendiri, bahkan saudaraku pun kau tolong. Kau bisa saja langsung membantai kami selagi masih sempat,” ejek Max. Saciel mengangkat wajahnya, kilat kemarahan terpancar dari kedua bola mata emasnya, namun ia tidak berkata-kata. “Kenapa? Lidahmu kaku?”
"...jangan memancingku, sialan. Kalau bukan karena adikmu, kurasa aku akan tetap membunuhmu atas apa yang kau lakukan pada keluargaku,” ancam Saciel dingin. Max menyeringai.
"Oh, aku akan sangat berterima kasih pada Kezia karena menyelamatku dari situasi itu. Melawanmu di kondisi seperti ini hanya akan menyudutkanku,” lanjut Max. Saciel memilih diam dan mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru.
"Kawanmu sedang mencari makanan untuk kita, dia akan kembali.”
"Terima kasih infonya, tapi aku sedang mengawasi jika ada musuh mendekat," ujar Saciel. Max menggeleng.
"Tidak ada siapapun di jangkauan kita, paling hanya sekedar hewan kecil.”
Saciel mengakui kehebatan indera milik demi human, walau ia masih mengkhawatirkan serangan mendadak dari Comet yang tidak cukup jauh dari mereka. Ia menghela napas dan menatap langit, rasa bosan perlahan menjalar tubuhnya. Ia menurunkan pandangan pada Max.
"Bagaimana kalian bisa terdampar di Respher?” tanya Saciel. Sebelum Max menjawab, Phillip datang dengan beragam jamur di tangannya dengan muka belepotan. Saciel nyaris tidak bisa menahan tawa, sementara Max hanya memandanginya dengan datar
"Wajahmu kotor, lalu beberapa jamur yang kau bawa itu beracun. Buang sebagian,” ujar Max. Yang diberitahu melongo dan menatap jamur-jamurnya, lalu meminta Max membantunya memilah agar ia tidak salah. Saciel segera menyalakan api unggun dan menyiapkan semua peralatan memasak yang dibutuhkan, lalu Phillip memberikan semua daging hasil tangkapannya semalam pada Saciel agar segera diolah.
"Kau bisa masak?” tanya Max meragukan. Saciel memutar bola matanya dan mengabaikannya, masih fokus pada masakannya hingga aromanya memancing Kezia keluar dari tenda dengan muka malu-malu. Ia langsung menghampiri sang kakak dan memeluknya dengan manja.
"Selamat pagi,” sapanya lirih.
"Pagi. Duduklah, sarapan akan segera siap. Setelah ini kita akan melanjutkan perjalanan lebih dalam, jadi kuharap kalian tetap mengisi perut kalian walau nafsu makan kalian turun,” balas Saciel kalem. “Aku yakin pertempuran dengan Comet tidak akan bisa dihindari dengan mudah.”
“Memangnya dia kenapa? Apakah penyihir berbahaya sepertimu?” sindir Max pedas. Yang disindir diam sejenak, lalu memberikan semangkuk sup dengan potongan daging yang cukup banyak dengan tatapan serius.
“Dia psikopat.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments