Sudah sepuluh menit mereka menunggu, namun tidak ada tanda-tanda kehadiran Pendeta Agung maupun pendeta senior. Phillip dan Saciel mulai kehilangan kesabaran, namun mereka tetap bertahan demi menemui Cerlina.
“Ciel, kurasa membakar tempat ini bisa mempercepat urusan kita,” gumam Phillip dengan kilat kekesalan yang tidak disembunyikan. Saciel menyeringai.
“Ide bagus, Phillip. Tapi kau siap menerima hukuman berat?”
“Oh, tenang saja. Aku bisa melemparkan semua kesalahanku padamu. Kau kan kambing hitam terbaik…hmph!” sebuah bantal kursi mendarat tepat di wajahnya, sementara sang pelaku hanya memasang ekspresi kalem namun mematikan.
“Teman laknat,” ujarnya. Suara ketukan pintu mengakhiri pertengkaran mereka dan seorang gadis kuil masuk.
“Mohon maaf telah membuat Anda menunggu, Pendeta Agung akan segera menemui Anda berdua,” ujarnya sembari memberi jalan para pelayan untuk membawakan kudapan dan teh dengan tea set terbaik berlukiskan burung merak. Sang gadis kuil membungkuk dan meninggalkan ruang tamu terbuka lebar.
“Mereka sepertinya mulai berani memamerkan budaknya,” celetuk Saciel.
“Kurasa mereka tidak takut denganmu,” balas Phillip. Saciel hanya tertawa dan menyesap tehnya. “Wow, kupikir kau tidak akan meminumnya.”
“Aku haus. Beruntung tidak ada racun di dalam tehnya, kau coba makan saja kuenya,” ujar Saciel santai. Phillip melirik ke arah kue-kue cantik yang disusun sedemikian rupa dan mengambil satu, lalu menggigitnya.
“Manis banget,” keluhnya sembari menyesap teh. Tak lama kemudian sebuah parade kecil berjalan mendekati ruang tamu. Keduanya melirik dan terpaku pada sesosok wanita berbalut pakaian yang kelewat terbuka untuk ukuran seorang pendeta. Kaki jenjangnya nyaris tidak tertutup oleh sehelai benang, kerahnya terlalu rendah untuk memperlihatkan belahan dada dan meski sebuah jubah menutupinya, masih ada sedikit celah untuk melihat punggungnya.
“Bajingan mana yang membuat pakaian Pendeta Agung sedemikian hina ini?” maki Saciel. Phillip menyikutnya agar tutup mulut. Sang Pendeta Agung berjalan mendekat dan mengulum senyum di balik tudungnya, lalu menyuruh para pengikutnya untuk pergi. Setelah mereka pergi dan pintu ditutup, ia langsung menyibakkan tudung dan tampaklah seraut wajah yang sama persis dengan Saciel, namun rambut panjang sepinggang berwarna kecubung menjadi pembeda.
"Kakak!" jeritnya dengan kebahagiaan yang tak bisa dibendung dan langsung menghambur dalam pelukan saudari kembarnya. Saciel memeluknya seerat mungkin dan mengelus kepalanya.
"Kau mirip sekali dengan Mama, Lina. Sudah lama sekali kita tidak berjumpa dan kau tumbuh menjadi gadis cantik."
"Kau juga. Aku tak menyangka kau bisa senekad itu datang menemuiku," ujar Cerlina. "Bahkan Kak Phillip juga ikut. Apa kau memaksanya ikut?”
"Ya," ujar Phillip.
"Enak saja. Kau yang ingin ikut, kenapa menyalahkanku?" sindir Saciel. Phillip memasang muka lempeng.
“Kalau aku tidak ikut, kuyakin bakal ada pembantaian di sini,” balasnya kalem. Ia berpaling pada Cerlina dan tersenyum. “Kau terlihat sehat.”
"Ya. Mereka merawatku dengan baik, bahkan memperlakukanku seperti putri," jawabnya. Saciel memutar bola matanya, lalu melotot pada pakaiannya.
“Katakan padaku siapa yang menyuruhmu memakai pakaian hina ini? Ini pertama kalinya aku melihat baju pendeta sehina ini,” tanya Saciel. Cerlina menggelengkan kepala. “Lina, jangan bilang kau berniat melindungi mereka?”
"Lupakan saja, Ciel. Jangan buat kerusuhan di sini, ada banyak mata-mata,” ujarnya lirih. Saciel mengedarkan pandangan dan mendapati beberapa alat sihir yang asing di beberapa titik.
“Itu bukannya penemuan terbaru dari para alkemis?” tanyanya sembari membakar salah satu alat tersebut dan mengambilnya. “Mirip seperti kamera, namun lebih kecil. Aku penasaran apa yang bisa dilakukan benda ini. Phillip, kau bisa menemukan alkemis yang membuat ini?”
“Bisa, kau ingin aku mencarinya sekarang?” balas Phillip sembari mengambil alat itu dan mengembalikannya. Saciel mengangguk. Tiba-tiba para pendeta senior mendobrak masuk dan mengarahkan pandangannya pada alat mereka, lalu berpaling pada Saciel dengan tatapan marah.
“Nona Arakawa, Anda benar-benar keterlaluan. Bagaimana bisa Anda merusak properti kuil? Anda ingin dihukum atas tindakan Anda?” geram salah satu pendeta senior. Saciel hanya menghela napas.
“Astaga, aku tidak sengaja merusaknya. Bagaimana jika kuganti? Berapa yang kau butuhkan?” tanyanya kalem.
“…silakan pergi. Waktu berkunjung sudah habis,” ujarnya dingin. Saciel memicingkan mata.
“Bagaimana jika tidak?”
“Panggil penjaga dan seret mereka keluar!” sahutnya. Phillip bergegas memeluk pinggang langsing Saciel dan melakukan teleportasi hanya dengan sekali jentikan. Mereka berhasil mendarat tepat di depan kediaman Saciel, namun pria berambut platinum blonde itu langsung ambruk. Tubuhnya panas hingga mengepulkan uap dan ada simbol tribal merah menyala, seakan-akan simbol itu hidup di lehernya. Saciel langsung membawanya masuk.
“Bibi! Bibi Claudia! Tolong!” jeritnya panik. Seorang wanita tua bertubuh pendek dengan rambut putih disanggul serapi mungkin berlari tergopoh-gopoh dan terkejut melihat kondisi Phillip yang mengenaskan.
“Nona, apa kalian melakukan teleportasi di wilayah kuil?” tanyanya sembari mengecek simbol yang mulai merambat hingga ke dada. Saciel mengangguk ketakutan. Bibi Claudia langsung membuka baju Phillip dan menggigit bibir bawahnya.
“Tuan Arlestine, Anda mendengar saya?” panggilnya. Tidak ada jawaban, membuat Bibi Claudia mengeluarkan sebuah botol berisi air berkilauan dan menuang semua isinya ke dada bidang Phillip. Simbol tersebut mulai meredup dan berhenti menandainya.
“Belum cukup. Kita perlu lebih banyak air suci…”
“Bawakan lebih banyak air suci!” sahut Saciel. Para pelayan bergegas membuka gudang rahasia dan membawa beberapa jerigen berukuran 2 liter ke hadapan Saciel. Gadis itu langsung membuka dan menuang semua isinya dengan sihirnya. Setelah mengguyur sang pemuda yang tidak sadarkan diri itu, simbol tersebut sudah berhenti merajah tubuhnya.
“Bekasnya akan bertahan cukup lama. Beruntung nyawanya masih bisa diselamatkan,” ujar Bibi Claudia sembari menyuruh pelayan membawakan baju ganti dan handuk. “Nona dan Tuan harus berhati-hati saat menggunakan sihir di kuil. Tempat itu suci dan netral dari sihir, hanya orang tertentu saja yang diizinkan menggunakan sihir. Nona beruntung tidak terkena kutukan itu.”
“…maafkan kami, Bibi,” ujar Saciel lirih. Para pelayan langsung memindahkan Phillip ke kamar tamu dan mengganti pakaiannya, sementara Bibi Claudia mengeringkan sofa dengan sekali jentikan.
“Apa lagi yang Nona buat di kuil?” tanya Bibi Claudia. Saciel mengalihkan pandangan, nampak bulir-bulir keringat dingin meleleh di pelipisnya. “Nona?”
“Aku merusak properti dan menantang salah satu pendeta tua,” cicitnya, Bibi Claudia hanya menghela napas, pasrah terhadap majikannya yang sulit diatur tersebut. Belum cukup kekacauan yang terjadi, suara bel melengking memenuhi mansion. Sang kepala pelayan langsung membuka pintu dan terkejut melihat pasukan kecil pengawal istana berdiri di hadapannya.
“Kami kemari untuk menangkap Nona Saciel Arakawa dan Tuan Phillip Arlestine atas tuduhan membuat keonaran di Kuil Oorun. Di mana mereka?” tanya sang kapten. Sebelum sang kepala pelayan menjawab, Saciel bergegas menemui mereka dengan tatapan dingin.
“Menangkapku dan Phillip dengan tuduhan itu? Atas laporan siapa?”
“Salah seorang pendeta senior, Nona Arakawa. Mohon kerjasamanya untuk ikut…”
“Tutup mulutmu dan pergi, aku tidak akan menyerahkan diri,” tolak Saciel. Para pengawal mengarahkan senjata mereka pada Saciel seakan wanita itu adalah kriminal kelas kakap dan berbahaya, namun gadis berambut sewarna darah itu hanya mengulum senyum sinis dan berpaling pada sang kapten.
"Kau yakin bisa menangkapku? Perlukah kuingatkan bagaimana memalukannya kalian berjuang sekuat tenaga mengalahkanku dalam tes?” tanyanya santai. Sang kapten hanya diam, namun tangannya terlihat menggenggam erat tombak hingga kuku jarinya memutih. Sebelum Saciel kembali melancarkan bisanya, seorang pria flamboyan dengan rambut cokelat mahoni sebahu dan diikat ala kadarnya berjalan maju dengan senyum penuh percaya diri. Sepasang mata jamrud terlihat teduh dan menenangkan, namun Saciel langsung memasang kuda-kuda melihatnya.
“Ck ck, Ciel, kau benar-benar kelewatan. Jangan melawan dan ikutlah kami, ini perintah langsung dari para tetua dan juga Duke Requiem,” ujarnya kalem.
“Aku tidak tahu Seven Eternal Wizards bekerja sama dengan para tetua,” sindir Saciel. Pria itu memiringkan sedikit kepalanya.
“Yah, karena kasusmu agak unik sih. Kalau hanya perkara kecil, kami tidak akan turun tangan, jadi menurutlah dan ikut. Aku akan melepaskan Phillip demi dirimu,” balasnya santai. Saciel tersentak dan bersiap menyerang, namun tubuhnya sudah terbelit sulur dengan cepat.
“Jangan meremehkanku, Ciel,” ujarnya sembari mendekat dan berbisik, “aku sudah mengirim pesan pada Cerlina untuk mengurus Phillip nanti. Kau tahu Lao tidak suka menunggu, bukan?”
Ia menegakkan punggung dan berjalan, disusul para pengawal yang membawa Saciel meninggalkan kediamannya. Gadis itu berkata lantang pada seluruh pegawainya.
“Jangan khawatirkan aku, urus Phillip baik-baik!”
Sebelum pengawal mencoba melempar Saciel ke dalam kereta khusus kriminal, pria itu menahannya.
“Dia akan bersamaku.”
“Marquess Zografos, Nona Arakawa adalah seorang penjahat…”
“Kau mendengarku dengan jelas, bukan? Dia akan bersamaku dalam satu kereta. Atau aku harus mengulangnya dengan cara lain?” ancamnya sembari mengarahkan beberapa bunga terompet yang masih tertutup di dekat mereka. Para pengawal langsung bergegas memasukkan gadis itu di kereta kudanya dan meninggalkan mereka, disusul pria itu melompat masuk dan tertawa kecil.
“Mereka takut sekali dengan bunga cantik ini.” ujarnya kalem.
“Kau pernah membuat mereka lumpuh selama seminggu dengan bunga yang sama, Julian. Tidak lucu,” ujar Saciel. Julian mengulum senyum dan mengelus pipi halus miliknya selembut mungkin.
“Kau masih mengingatnya dengan jelas, gadisku?” godanya.
“Kau beruntung aku terikat, Julian. Kalau tidak sudah kupatahkan setiap jari yang ada di tanganmu,” ancamnya. “Berhentilah memanggilku begitu atau kuremukkan gigimu.”
"Kasarnya, padahal aku sudah membantumu menjauhkan Phillip dari hukuman. Yah, walau harus kuakui hukuman dari Dewa Oorun lebih mengerikan sih,” ujarnya santai. “Kau sudah tumbuh menjadi gadis yang cantik seperti ibumu.”
“Apa maumu?”
“Wah, wah. Kau benar-benar tidak bisa berbasa-basi ya? Tapi kurasa itu yang menarik darimu. Kau sudah dengar sendiri tuduhan dari pendeta tua, kan? Bisa-bisanya kau berbuat onar di sana. Jangan karena kau kuat kau bisa seenaknya di kuil,” ujar Julian. “Aku yakin Lao pasti marah besar denganmu.”
“…aku tahu,” ujarnya lirih, terselip nada bersalah di dalamnya. “Tapi bagaimana bisa aku tidak marah melihat adikku berpakaian seperti wanita penghibur di kuil suci?”
Julian terkejut dan menatapnya intens, namun ia tidak mengatakan apapun padanya dan menatap keluar. Tangannya perlahan menumbuhkan setangkai mawar merah dan menyelipkannya pada telinga gadis itu.
“Berdoalah semoga hukumanmu tidak terlalu berat.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Vronc
menarik sekali
2021-05-15
0