"Menolong? Kau yakin dengan apa yang kau katakan? Kepalamu tidak terbentur, kan?" tanya Saciel meragukan. Julian menyandarkan kepalanya pada jendela dan mengulum senyum teduh dan tulus.
"Oh, Ciel. Aku sangat tahu kau membenci perang, makanya kau mati-matian menghentikannya walau untuk sementara. Kau bahkan pernah menyembunyikan anak dwarf dari para prajurit agar ia bisa kembali ke Ceshier dengan aman,” papar Julian. Pipi Saciel merona, tawa kecil perlahan meluncur dari bibirnya.
"Mata-matamu banyak juga ya? Aku hampir tidak bisa bersembunyi darimu.”
Keduanya tertawa lepas, sampai membuat prajurit di luar heran akan apa yang terjadi di dalam kereta, namun ia menyadari untuk tidak berurusan dengan mereka dan terus mengawal hingga bangunan megah di wilayah Arakawa mulai terlihat. Para pelayan sudah berdiri menanti dengan wajah cemas dan takut. Ketika kereta berhenti dan Saciel turun dengan borgol dari sulur membelit kedua lengannya, Bibi Claudia langsung mendekat.
"Nona, kau baik-baik saja? Mereka tidak menyakitimu, kan?"
"Bibi, tenanglah. Aku hanya menjalani sidang, bukan dihukum mati. Ah iya, berikan suratnya pada Albert,” balasnya tenang, namun lirikan mematikan ke arah kepala prajurit sanggup membuatnya tidak berkutik dan menyerahkan surat kepada kepala pelayan dengan keringat dingin mengalir di pelipisnya. “Tolong siapkan 2 juta Furst dan berikan kepada mereka.”
"Baik, Nona,” ujar Albert sembari berjalan masuk, sementara Bibi Claudia melirik ke arah Julian dengan tatapan heran bercampur cemas. Julian mengulum senyum dan mengangguk pada Bibi Claudia, lalu menyerahkan sepucuk kertas secara diam-diam padanya.
"Titip untuk Pendeta Agung," bisiknya. “Cantik, aku pulang dulu. Jangan coba-coba meninggalkan rumah tanpa izin.”
"Tanpa kau beritahu aku juga paham, kok. Sana pulang, kau hanya merusak pemandangan,” balas Saciel ketus. Julian tertawa terbahak-bahak, lalu memutar telunjuknya untuk menyingkirkan sulur yang membelitnya. Saciel bersiul rendah.
"Padahal baru mau aku bakar,” ujarnya kalem. Julian memasang wajah datar, namun aura di sekelilingnya terasa berat dan gelap. Kilau amarah terpancar kuat dari tatapannya, membuat semua penyihir di sekitarnya mundur selangkah kecuali Saciel. Gadis itu hanya menyeringai dan memutar tubuhnya, berjalan memasuki rumahnya diikuti Bibi Claudia dan pelayan, sementara Albert memberi hormat dan menyusul. Julian segera melapisi rumah itu dengan sihir agar Saciel tidak bisa kabur, lalu berpaling pada kapten prajurit.
"Kau sudah tahu tugasmu, kan? Jika kudapati gadis itu kabur, kau yang akan menerima hukumannya,” ujarnya dingin sembari berjalan masuk ke kereta dan meninggalkan kediaman Arakawa. Setelah memastikan kereta yang ditumpangi Julian sudah menghilang dari pandangan, para pengawal bergegas menemui Albert. Sang kepala pelayan langsung mengetuk pintu kamar.
"Nona Cerlina, Marquess Zografos sudah pergi," ujarnya. Ketika pintu terbuka, gadis berambut ungu dengan pakaian sederhana dan tertutup keluar dengan wajah ragu.
"Aku tidak mengerti kenapa dia menyuruhku bersembunyi sampai ia pulang, bahkan membuat perintah untuk menunggu sampai penjemputku datang,” ujarnya sembari melihat kertas kecil yang diselipkan pada tangan tua Bibi Claudia. Saciel datang dan menyenderkan diri pada ambang pintu.
"Jangan lupa kau ini Pendeta Agung, Cerlina. Kalau sampai ada rumor kau kembali ke rumah ini, bisa-bisa aku dianggap penjahat."
Sang kembaran hanya terdiam, meresapi keakuratan kata-kata kakaknya dan menghela napas. Ia menggenggam kedua tangan kakaknya dan mengusapnya selembut mungkin, membuat Saciel menyunggingkan senyum.
"Orang lain boleh melihatmu sebagai anomali, tapi untukku kau adalah kakak terbaik yang kumiliki. Jangan biarkan keunikanmu menjadi penghalang dalam mengarungi kehidupan ini,” ujar Cerlina, nyaris tidak terdengar karena suara lembutnya nyaris mengikuti suara angin musim semi. Saciel tertawa kecil dan mengelus puncak kepalanya.
"Terima kasih. Kurasa jemputanmu dan Phillip sudah datang, segeralah kembali agar para pendeta tua tidak curiga kita menaruh mainan di kamarmu,” kata Saciel sembari mengerling ke luar jendela dan melihat dua kereta berjalan memasuki wilayahnya. Cerlina mengangguk dan memeluknya untuk terakhir kali sembari membisikkan sesuatu dengan suara yang cukup berat untuk ukuran wanita.
"Berhati-hatilah, takdir yang membentang di depanmu bukanlah hal yang mudah, Saciel Arakawa.”
Gadis itu tersentak dan mendorong Cerlina, namun sang kembaran bahkan sama terkejutnya dengan apa yang dilakukannya. Saciel mengerjapkan mata, memastikan apa yang ia dengar memang benar berasal dari Cerlina, namun ia memutuskan untuk mengabaikannya dan mengantar Cerlina dan Phillip yang masih tidak sadarkan diri ke depan. Setelah mereka pergi, ia menghela napas berat dan masuk ke dalam kamar.
Perbatasan Mandalika
"Awas, jangan sampai mereka sadar. Menangkap mereka bukanlah hal yang mudah,” ujar seseorang dengan tubuh dan wajah tertutup rapat tanpa celah kecuali bibirnya. Beberapa orang dengan hati-hati memindahkan sebuah kandang besar berisi tiga demi human yang tertidur pulas. Namun naas, salah satu orang jatuh karena terantuk kerikil dan membuat keseimbangan mereka goyah hingga kandangnya jatuh. Para demi human yang ada di dalam langsung terbangun dan melihat sekeliling.
"Dasar bodoh! Sudah kubilang untuk berhati-hati! Cih, aku juga yang harus bekerja,” ujar orang itu sembari mengarahkan tangannya yang bercahaya ke arah mereka, namun demi human dengan rambut hitam berpadu dengan pirus yang berkilau di bawah sinar rembulan langsung menggenggam pergelangan tangannya dan meremukkannya. Ia hanya berdecih dan melompat mundur, mencoba menyerang dengan tangan satunya, namun kandang berhasil dihancurkan dengan cakar besar dan tajam dari demi human betina dengan rambut panjang sebahu berwarna violet, mata bulatnya yang sewarna batu kecubung berpadu gelapnya onyx memancarkan api amarah, geraman meluncur lirih dari bibirnya. Orang bertudung hanya diam sembari mengembalikan pergelangan tangannya yang remuk dengan sihir, namun aura dingin dan mengerikan terpancar darinya.
"Benar-benar kasar."
"Yang kasar itu kau, sialan. Kau kira kami ini barang apa, mengurung kami di kandang seperti binatang dan berniat menjual kami di pasar gelap? Penyihir seperti kalian memang tidak memiliki moral,” ujar si rambut pirus dengan nada jengkel terselip, tubuhnya membelakangi kedua demi human lainnya.
“Hah, rencanaku cukup berantakan sekarang. Kalau begitu kalian tidak ada gunanya,” gumam si orang bertudung sembari menyerang mereka membabi buta. Gadis demi human langsung melompat maju dan menangkis semua serangan sihir dengan mudah, sementara si rambut pirus mengeluarkan sabit besarnya. Demi human berambut hitam berpadu merah bagai api hanya diam mematung, namun pancaran mata kosongnya mengintimidasi. Sang bertudung kembali menyerang dengan kecepatan yang sama, namun tidak membuahkan hasil.
“Hanya itu saja kemampuanmu?” tanya gadis demi human. Yang ditanya hanya menyeringai dan membuat lingkaran sihir di sampingnya, lalu menarik keluar sebuah pedang berwarna hitam pekat dengan mata di bagian genggamannya.
“Dia pengguna sihir hitam, berhati-hatilah,” ujar si rambut merah sembari mengarahkan tangannya. Mereka langsung bersiaga, mengantisipasi serangan yang dilancarkan.
“Tidak kusangka kau bisa mengetahui benda ini hanya dengan sekali lihat. Ah, tunggu sebentar, kau ini barang langka,” ujar sang bertudung, mengawasi si rambut merah dengan seringai makin lebar. “Hargamu ternyata yang paling mahal.”
“Kami bukan barang!” jerit si gadis sembari menerjang maju dan mengayunkan cakarnya, namun ia mampu menahan dengan pedangnya.
“Kezia, mundur! Dia berbahaya!” sahut si merah. Sebelum si gadis bereaksi, orang itu menarik kembali pedangnya dan menusuknya tepat di perutnya. Belum cukup ditusuk, pedang itu mengeluarkan duri besar dan menancap di tubuhnya.
“Max! Cabut pedangnya sebelum ia mati kehabisan darah!” teriaknya lagi, kali ini suaranya bergetar. Sang rambut pirus bergegas maju dan menendang orang bertudung itu, menarik Kezia menjauh. Matanya terpaku pada pedang yang menancap kuat, perlahan warnanya mulai memerah. Sebelum Max menyentuh pedang itu, suara sang bertudung menghentikannya.
“Kau juga bisa mati hanya dengan menyentuhnya.”
Max terdiam, detak jantungnya semakin cepat dan tidak beraturan, pandangannya tidak fokus. Suara-suara di kepala mulai membuatnya pusing, bahkan teriakan sang rambut merah tidak digubrisnya. Tangan yang membeku di udara kini mulai bergetar.
“Ka…kak?” panggil Kezia. Suara itu berhasil membuatnya kembali ke situasi semula dan menurunkan pandangannya pada gadis demi human yang saat ini tidak berdaya, senyum kecil terukir di wajahnya. Sadar bahwa ia tidak bisa membiarkan adiknya terluka lebih lama, Max menggenggam pedang itu dan menariknya sekuat tenaga hingga tercabut. Sang pedang langsung melilitkan duri pada pergelangan tangan Max dan menghisap darahnya.
“Kh!” erang Max. Ia menebas duri yang membelitnya dan melempar benda itu sejauh mungkin, membiarkan darah mengucur deras dari luka-lukanya. Orang bertudung itu mengambil pedang yang tergeletak dan dengan santai memutarnya.
“Kapabilitas kalian sebagai demi human memang mengerikan, tapi beda cerita jika kalian adalah keluarga kerajaan. Nah, jadilah anak-anak manis dan ikut aku…” kalimatnya terputus ketika sebuah jarum lewat dan menggores pipinya. Ia menatap tajam ke arah demi human berambut merah yang baru saja melempar senjata ke arahnya.
“Jangan hina keluarga Ata Lafoia dengan bibir busukmu,” ujarnya dingin. “Penghinaan terhadap keluarga kerajaan berarti hukuman mati untukmu.”
“…yah, itu pun jika kalian bisa kembali dengan selamat, bocah. Mau taruhan?” tanya si penyihir hitam sembari berlari cepat ke arahnya dan mengayunkan pedang, namun sebuah perisai tak kasatmata menghalanginya. Penyihir itu berbalik mencari sumber sihir perisai, namun ia tidak melihat siapapun. Begitu ia berpaling, sang demi human berambut merah mengeluarkan cakar dan berhasil menggores wajahnya cukup dalam. Lengkingan kesakitan langsung meluncur darinya. Ia melotot pada demi human di hadapannya, sebuah bola mata berwarna kristal kebiruan memancarkan kebenciannya.
“Mati kau!” sahutnya sembari mengayunkan pedang, namun berhasil dihindari dan si rambut merah melayangkan pukulan telak di bagian tengah hingga penyihir itu ambruk dan tak sadarkan diri. Max berjalan mendekat sembari menggendong Kezia yang pingsan, lalu menendang pelan bokongnya.
“Kita harus pergi, Nero. Kurasa mereka segera menyusul,” ujar Max. Yang dipanggil mengangguk dan bangkit berdiri, namun mereka langsung lari ketika mendengar suara gonggongan anjing dipadu dengan seruan sekelompok orang.
“Itu mereka! Tangkap!”
Dua pemuda demi human berusaha sekuat tenaga untuk kabur, namun stamina Max sudah terkuras dari wajahnya yang memucat dan napasnya yang tersengal. Sesekali ia oleng dan nyaris menjatuhkan Kezia. Nero yang menyadarinya langsung berhenti dan berbalik tujuan.
“Lari! Aku akan menyusul kalian!” sahutnya sembari mengeluarkan beberapa anak panah. Max langsung mempercepat larinya, meninggalkan Nero di medan pertempuran hingga ia berakhir di sebuah jurang.
“Mampus, salah jalan,” keluhnya lirih. Saat berbalik, gerombolan hewan buas sudah menanti dengan air liur menetes dari sudut bibirnya. Aroma anyir darah membuat mereka gila. Max sudah tidak sanggup bertarung, apalagi dengan luka yang menguras cairan kehidupannya. Ia melirik ke dalam jurang dan menghela napas, lalu mengerahkan seluruh tenaganya untuk melompat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments