Kota Careol, 5 tahun kemudian
Suasana tegang dan hawa berat menyelimuti ruangan sebesar 30 meter persegi tersebut. Para peserta yang terdiri dari sembilan orang tua berbalut jubah bertudung putih gading dan seorang gadis berambut merah ikal sedada tengah fokus pada sang pembicara dengan wajah separuh dihiasi luka bakar dengan nada lirih namun terkesan serak mendekati cempreng bagi sang gadis.
"Perang terlihat berakhir, tapi jangan lupa bahwa musuh kita masih mempersiapkan diri untuk berperang. Lihat saja bagaimana mereka memasang banyak perangkap di perbatasan hingga beberapa penjaga kita terluka,” ujarnya setengah memprovokasi.
“Benar. Salah satu bawahanku juga terluka di sana. Kudengar mereka menggunakan racun dari ikan buntal untuk melumpuhkan sekaligus mematikan musuh. Beruntung ada tim medis yang sanggup bekerja cepat,” sahut sang pria berbadan ringkih, pendek dan bungkuk, dengan rambut putih namun masih ada beberapa helai berwarna hitam yang mencuat di bagian dekat tengkuk. Hampir semua peserta mengangguk, kecuali sang gadis yang memasang ekspresi bosan, seakan-akan ia sudah tahu jalan pembicaraan itu. Sang pembicara kembali mengoceh, sesekali mata tajamnya mengarah pada gadis itu, menahan diri agar tidak melepaskan kekesalan yang sudah menumpuk di dalam hati.
Rasa kantuk perlahan menggerogoti gadis itu, matanya yang berkilau bagai topaz perlahan mulai kehilangan cahaya. Ia menguap cukup keras di ruangan hening hingga semua mata terpaku padanya. Wanita tua itu sudah kehabisan kesabaran dan memukul meja dengan tangan kosong.
BAM
"Saciel Arakawa! Beraninya kamu mengabaikanku? Apa orang tuamu tidak mengajarimu sopan santun?" sentaknya kasar. Si gadis nyaris jatuh dari kursinya, namun berhasil menguasai diri dan mengerjap mata. Hati-hati ia bangkit berdiri dan menatap wanita dengan tatapan tenang, namun terselip kilat kesombongan darinya. Ia tertawa kecil.
"Mohon maaf, Tetua Erika. orang tua saya tewas di medan pertempuran, jadi tidak ada yang mengajari saya tata krama," balasnya riang. Semua orang yang ada di dalam terkejut dan tersinggung.
"Apa kau mengejek kami?" tanya Tetua Erika sembari menahan amarah. Perlahan senyum si gadis berambut merah makin terlihat sinis dan menyebalkan.
"Oh, apa aku menyinggungmu? Padahal aku hanya mengatakan yang sebenarnya. Tetua Erika, kalau kau sering marah nanti keriputmu bertambah lho~," sindirnya pedas.
"Kurang ajar!"
"Memalukan!"
"Dasar sampah!"
"Sampah? Kau memanggilku sampah?" tanyanya, mengalihkan pandangan kepada seorang lelaki ringkih bertubuh kecil di sampingnya dengan tatapan kesal. "Orang yang kalian panggil sampah ini adalah yang terkuat diantara kalian. Bahkan," ujarnya sembari mengangkat tangan kirinya, "dia bisa saja membakar habis tubuh kalian hanya dengan satu jentikan."
Semua terdiam, bahkan beberapa menundukkan kepala. Tetua Erika diam, tapi wajahnya merah padam menahan kesal. Gadis itu mengulum senyum penuh kemenangan, lalu berjalan menuju pintu keluar tanpa menoleh sekalipun. Tiba-tiba ia berhenti.
“Oh iya, daripada kalian meributkan perang dan omong kosong soal perangkap itu, kenapa kalian tidak mencari kaisar baru untuk negeri kita? Kudengar beberapa negara sekutu kita mulai meragukan kekuatan penyihir yang kehilangan kaisar beserta seluruh anggota keluarga kerajaan. Kau tidak ingin dikudeta oleh sekutu sendiri, bukan?” sarannya sembari menyeringai.
Saciel kembali berjalan meninggalkan aula dengan langkah tegap, namun terhenti ketika seorang lelaki sepantaran dengan rambut pirang nyaris mendekati platinum menghadang jalurnya.
"Ah, Kak Phillip. Minggir,” usirnya kalem. Pria itu mengerutkan kening.
“Kak? Aku tidak salah dengar, kan? Seorang Saciel Arakawa yang terkenal judes, nyebelin dan kasar memanggilku Kak? Mau ke mana kau? Rapat belum selesai, kan?” balasnya ketus. Saciel memajukan bibirnya.
"Rapat apaan? Mereka hanya omong kosong di dalam sana, lagian kenapa juga hanya aku yang diutus ke dalam? Kan masih ada anggota lain,” keluhnya.
“Karena yang lain sedang sibuk mengurus politik negara ini, sedangkan kau kan hanya santai-santai dan asyik berpetualang ke negara sekutu seenaknya. Nggak salah kan, Duke Requiem menyuruhmu ikut ke dalam rapat?”
Saciel kembali mengerucutkan bibir dan melipat kedua tangannya, melempar tatapan ke luar jendela. Phillip menghela napas dan mencubit pipi kirinya dengan gemas.
"Aduh, Phillip! Sakit, sialan! Lepas nggak?” jerit Saciel
"Makanya lihat aku dan bertingkahlah selayaknya seorang bangsawan, bocah. Aku heran kenapa kau tidak mau mengambil gelar almarhum Duke Arakawa, padahal umurmu sudah cukup,” balas Phillip setelah melepaskan gadis itu dengan senyum puas. Saciel mengelus pipinya dan mendengus.
"Gelar itu tidak ada gunanya untukku sekarang. Lagipula, siapa juga yang berani mengambil alih harta keluargaku?” balas Saciel. Phillip termangu.
“Memang keluarga besarmu tidak berniat mengambilnya?”
"Oh? Mereka sudah habis duluan karena pernah berseteru di hadapanku perkara gelar itu. Kubakar mereka hingga tak habis bersisa, meninggalkan beberapa yang hanya diam.”
"…kau tidak serius, kan?” tanya Phillip, menahan diri untuk tidak mengumpat. Saciel hanya mengangkat bahu dan berjalan menuruni tangga, diikuti Phillip hingga tiba di lobi yang penuh dengan penyihir berlalu lalang, tenggelam dalam kesibukan mereka.
"…menurutmu apa aku berlebihan dalam membunuh mereka?” tanya Saciel. Phillip menghela napas, tidak tahu harus berkata apa terhadap gadis yang lebih muda tiga tahun darinya. Ia memijat pelipisnya dan menghela berat.
"Sejujurnya ya, sangat berlebihan. Tapi karena sudah terjadi, mau apa lagi? Kurasa sudah tidak ada yang berani mengungkit gelar duke itu untuk waktu yang cukup lama,” jawabnya tenang. “Kau benar-benar aneh, ya? Tidak ada niat sedikitpun untuk mengambil gelarnya?”
“Gelar itu hanya akan kuambil jika keadaan memaksaku,” jawabnya tegas. “Toh aku tidak akan kehilangan hakku sebagai pewaris. Saat ini kekuasaan berada di bawah naungan Seven Eternal Wizards, bahkan para tetua tidak bisa ikut campur dalam urusan politik. Yah, meski terkadang mereka bisa sedikit melakukannya.”
"Kau benar. Baiklah, lakukan saja semaumu. Berdebat denganmu hanya akan memperpendek umurku. Tahu begini aku mending pergi saja,” gumam Phillip, sedikit dongkol. Saciel melirik dan menyeringai.
"Kenapa? Gagal kencan lagi, ya? Ahahaha! Calon Marquess Arlestine sampai saat ini belum punya pacar? Gila,” ledeknya girang. Wajah Phillip merah padam. Ia meraih gadis itu dan memitingnya hingga jerit kesakitan meluncur dari bibir ranumnya. Setelah puas, ia melepaskan gadis itu dan mendengus.
"Bocah sialan,” gumamnya. Saciel meringis dan melihat ornamen bendera merah dengan lambang matahari hitam di tengah, lalu teringat sesuatu dan menggenggam tangan Phillip cukup erat.
"Ayo pergi ke kuil.”
"Kuil? Kuil Oorun?” tanyanya heran. Saciel mengangguk antusias. “…kau tidak berniat menemui Cerlina, kan?”
"Memang itu tujuanku. Ayolah, sudah hampir sepuluh tahun aku tidak melihatnya,” rengeknya. Phillip menggeleng.
"Ini sudah mendekati Festival Matahari Merah, Ciel. Kita tidak diizinkan mendekati kuil sebelum hari H. Itu sama saja menodai kesucian…”
“Persetan dengan kesucian, tidak ada yang suci di dunia ini. Kalau kau tidak mau ikut, aku bisa pergi sendiri,” balasnya kesal. Ia berjalan sembari menghentakkan kakinya, raut kesal terukir di wajah cantiknya. Phillip bergegas menyusulnya dan menahan gadis itu.
“Oke, aku akan ikut. Kuyakin tanpaku kau bisa saja membuat keonaran di sana. Biar kuminta pengawal untuk mencarikan kereta,” ujarnya menyerah. Saciel mengernyitkan keningnya.
“Kita bisa terbang dan teleportasi, kenapa juga harus pakai kereta kuda?” tanyanya heran.
“Karena kurasa peradaban kita nyaris mengikuti manusia normal, meski di wilayah kita hampir tidak ada manusia. Lagian, mendekati kuil tidak bisa menggunakan sihir, paham?” ujarnya sembari memberi instruksi pada pengawal di dekatnya. Tidak lama kemudian, kereta kuda yang mewah bergerak mendekati kedua bangsawan muda tersebut. Saciel mendongak.
“Ke Kuil Oorun. Dan jangan coba-coba kau tanya alasannya sebelum kupatahkan lehermu,” ancamnya dingin. Sang kusir segera turun dan membukakan pintu kereta dengan elegan, meski keringat dingin bercucuran di pelipisnya. Keduanya langsung naik dan duduk tanpa sepatah kata pun. Perlahan kereta tersebut bergerak meninggalkan gedung tersebut.
"Sudah berapa lama kita tidak bertemu dengannya?" kenang Phillip sembari menumpukan kepalanya di dekat jendela.
"Sepuluh tahun, bodoh. Tidak kusangka aku hanya bisa menemuinya setahun sekali, padahal dia itu kan saudariku. Aku jadi kasihan padanya,” ujar Saciel. “Seharusnya dia tumbuh dengan indah dalam naunganku, bukan dalam tangan kotor para pendeta di sana.”
"Hush, jika ada yang mendengarnya, kau bisa dalam masalah. Meski kuakui perkataanmu ada benarnya juga. Kuil beserta isinya sudah dinodai oleh para tetua, kudengar bahkan beberapa anak manusia yang mereka beli dijadikan pelayan di sana,” celetuk Phillip. Saciel terkesiap.
"Sebentar, apa katamu? Ras manusia? Bukannya mereka berada jauh dari wilayah kita?"
"Makanya, cobalah sesekali berbaur dengan bangsawan lainnya. Jadinya kau ketinggalan gosip, kan? Ada rumor mengatakan para tetua menyelundupkan budak manusia dari seorang pedagang misterius dan dipekerjakan di kuil. Makanya tidak banyak yang boleh mengakses kuil kecuali Seven Eternal Wizards dan para tetua,” papar Phillip.
“Bagaimana bisa si brengsek itu membiarkan mereka berlaku seenaknya? Ini pelanggaran perjanjian kita dengan manusia,” gumamnya. Phillip hanya angkat bahu dan melihat ke luar, mendapati mereka hampir tiba di kuil. Langkah kaki kuda perlahan melambat dan berhenti tepat di depan pintu masuk kuil. Sang kusir bergegas membuka pintu dan membantu Saciel turun. Gadis itu mengangkat kepala dan heran melihat bangunan berarsitektur Roma yang dulu ia ingat sebagai tempat yang sederhana, kini berubah total dengan lapisan emas dan permata pada setiap pilarnya.
"Perasaanku atau kuil ini berubah total?" tanyanya, setengah menyindir sembari mengamati permata besar yang melekat pada dada patung dewa bertubuh tegap dan berambut panjang, memegang sebuah pedang yang diangkat dan matahari di tangan lainnya. “Aku penasaran berapa banyak Furst yang mereka habiskan hanya untuk kuil dewa paling tidak berguna… ”
"Hush, diam,” Phillip berbisik sembari membungkam mulut Saciel ketika beberapa pendeta tua datang menyambut mereka dengan tudung yang menutupi wajah mereka. Mereka memberi hormat dengan elegan.
"Selamat datang, Nona Arakawa dan Tuan Arlestine. Suatu kehormatan bisa menyambut kalian di kuil kami," ujar seorang pendeta yang berdiri paling depan dengan jubah yang cukup mewah di mata Saciel. Dia mendengus.
"Sudah lama tidak berjumpa, kulihat kulit keriputmu tertutup oleh sutra terbaik dari negara peri, ya?" sindir Saciel sembari mendorong tangan Phillip. Pendeta itu hanya tertawa kecil, membuat Saciel sedikit kecewa karena ia tidak terpancing oleh sindirannya.
“Anda berdua datang kemari untuk menemui Pendeta Agung, bukan?” tanyanya kalem.
"Kalau kau sudah tahu, tunjukkan jalannya. Kesabaranku sudah di ambang batas, nih,” perintah Saciel.
“Mohon maaf, Nona. Pendeta Agung saat ini sedang bermeditasi dan tidak boleh diganggu oleh siapapun,” balasnya. Saciel memiringkan kepalanya sedikit, raut wajahnya tenang, namun aura kematian terpancar darinya, bahkan membuat Phillip bergidik.
"Oh? Begitukah? Kenapa ya, setiap kali aku kemari jawaban yang kau berikan selalu sama? Bisa berikan alasan yang lebih baik ketimbang hanya mengatakan ‘sedang bermeditasi’? Aku bosan mendengarnya. Bawa aku menemuinya sebelum kubakar tempat ini,” ujarnya kalem. Para pendeta di belakangnya mulai kasak-kusuk, namun sang ketua hanya mengulum senyum tipis.
“Bagaimana reaksi Duke Requiem jika beliau dengar salah satu anak buahnya bertingkah di luar batas dengan menekan pendeta tua demi menemui Pendeta Agung yang tengah menyucikan diri?” tanyanya, setengah mengancam. Saciel terkikik.
“Wah, kudengar di sini ada budak manusia, ya? Kalau kuberitahu para petinggi Seven Eternal Wizards, kuyakin reputasi kalian akan langsung hancur dan kuil ini langsung diratakan,” balas Saciel. Ujung bibir sang pendeta berkedut. Meski tertutup oleh tudung, Phillip bisa melihat wajahnya menggelap akan tuduhan Saciel.
“Bawa mereka ke dalam dan beritahu Pendeta Agung, Nona Arakawa dan Tuan Arlestine datang berkunjung. Jangan lupa sucikan mereka,” ujarnya sembari berjalan masuk. Salah satu pendeta memanggil beberapa gadis kuil untuk mengantar mereka masuk ke dalam. Seorang anak laki-laki dengan mata sebelah kanan ditutupi perban mendekat dan membawakan secawan air dengan kelopak bunga dahlia merah, lalu salah satu gadis kuil mencelupkan sebuah aspergilum dan memerciki kedua penyihir itu. Gadis kuil yang lain langsung merapalkan pujian dan kidung untuk menyucikan mereka.
“Silakan masuk,” ujar salah satu gadis kuil sembari membuka pintu ruang tamu yang megah. Saciel hanya diam dan melirik pada anak laki-laki itu dengan tatapan tajam. Dengan cepat diraihnya dagu anak itu dan memaksanya menatap kedua bola mata emasnya.
“…benar-benar deh, mereka berani menunjukkan buktinya,” gumam Saciel, setengah terkikik dengan anak di depannya. “Ahahaha!”
Phillip bergegas melepaskan anak itu dan menyuruhnya pergi, diikuti para gadis kuil di belakangnya. Ia berpaling pada Saciel dan menghempaskan diri di kursi dengan hela napas berat.
“Kau membuatnya ketakutan.”
“Aku tahu. Sudahlah, urusan anak manusia itu bisa diselesaikan nanti. Aku mau fokus menemui Cerlina terlebih dahulu,” balasnya tanpa merasa bersalah sedikit pun. Phillip menghela napas mendengarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments