The Two Empresses
Apa yang kau tahu tentang sejarah? Bagi Eurashia, sejarah hanyalah dipenuhi oleh satu hal. Perang. Satu kata itu cukup untuk membuat semua makhluk bergidik. Bagaimana tidak, sudah banyak korban berjatuhan dalam perang.
Apa yang menarik dari perang di Eurashia? Tidak ada. Hanya ada perselisihan antara dua kubu yang berbeda. Dua kubu yang mencoba mempertahankan ego dan hak mereka, tanpa mempedulikan apa yang sebenarnya mereka harapkan. Entah apa yang sebenarnya memicu dua kubu itu untuk mulai mengangkat senjata mereka, yang mereka tahu hanyalah kegelapan dari dua belah pihak.
Apakah mungkin semua ini akan berakhir? Mereka sudah lelah bertarung hanya untuk melihat darah tumpah di mana-mana, kekejian terhampar luas di setiap sudut dan perbudakan yang merajalela. Lucunya, para dewa hanya asyik menikmati tanpa berbuat apa-apa, terlebih sang raja dari para dewa. Ia hanya mengatakan seuntai kalimat yang menjadi sebenih harapan.
“Tenang saja, perang akan segera berakhir.”
Tahun 506, Mandalika, sebuah perbatasan Respher dan Ceshier
Sudah tidak terhitung berapa banyak mayat yang tergeletak bersimbah darah yang menguarkan aroma besi berkarat yang sanggup melumpuhkan indra penciuman siapapun di tempat segersang Mandalika. Tidak ada satupun makhluk yang mampu bertahan lebih dari sehari di padang gurun itu. Meski begitu, masih ada beberapa orang yang merintih menahan rasa sakit dan menunggu sang malaikat kematian datang untuk membawa mereka dari rasa sakit itu. Tanah gersang itu kini terlihat seperti lautan darah.
Terlihat seorang gadis berambut ikal merah sebahu berlutut di hadapan sepasang mayat yang terbaring di atas kolam darah, tubuh mereka saling menindih satu sama lain. Seorang lelaki berumur dengan rambut sewarna dengan darah dan wanita berambut ungu violet. Tatapan mereka kosong dan nampak lubang besar bersarang di dada kiri mereka. Tubuh sang gadis gemetar hebar, air mata mengalir deras dari pelupuk matanya. Perlahan ia meraih tangan mereka dan menggenggamnya erat-erat.
"Papa, Mama? Bangun, ayo bangun," panggilnya lirih. Hati-hati ia menepuk pipi mereka, namun tak ada jawaban. Hanya keheningan yang menyelimuti mereka. Perlahan ia memeluk mereka yang dingin bagai es, mencoba membagi kehangatan tubuhnya. Sekeras apapun dia mencoba, keduanya tidak mengedipkan mata dan memeluknya. Ia tidak menyadari seorang demi human serigala dengan rambut dan mata berwarna pirus berjalan ke arahnya dengan tatapan dingin dan penuh kebencian.
"Gadis penyihir malang. Kehilangan sangat menyakitkan bukan?" tanyanya datar, namun ada sedikit nada menghina di sana. Gadis itu tersentak dan langsung mengangkat kepalanya, melihat pemuda demi human serigala tersebut memamerkan senyum sinis. Di bahunya bersandar sebuah sabit besar dengan ukiran bahasa kuno dan tengkorak sebagai hiasannya. Tatapannya dingin, merendahkan dan jijik. Penyihir itu mencoba bangkit, namun kedua lututnya lemas dan kelelahan hingga ia jatuh berlutut di hadapan pemuda itu.
"Penyihir bodoh, kalian seharusnya tau perbedaan diantara kita," sindirnya. "Aku ini monster, dan kau hanyalah penyihir rendah yang suka memamerkan kemampuan konyol kalian."
"A...aku bukan...penyihir rendah!" balasnya ketakutan. Pemuda itu tertawa lantang dan menendangnya hingga ia terpental cukup jauh dari jenazah orang tuanya tanpa ampun.
"Hah! Memangnya kau bisa apa? Melawan saja tidak!" tanyanya sembari terus menendang sang gadis yang tak berdaya. "Jawab aku, hei penyihir! Kau tidak mau berakhir seperti mereka kan?"
Dia tidak menjawab dan hanya menerima tendangan dengan pasrah. Air mata kembali mengalir deras, namun bibirnya tidak mengeluarkan suara apapun. Pemuda itu mulai bosan, matanya beralih pada mayat orang tua gadis itu. Tanpa suara dan rasa hormat ia mulai menendang mayat-mayat itu hingga daging mereka mulai terkoyak dan terdengar suara tulang patah beberapa kali yang cukup menyayat hati.
"Jangan! Hentikan! Jangan sakiti mereka!" jeritnya. Ia berlari dan menahan kakinya dengan air mata mengalir deras di kedua pipinya, namun pemuda itu tidak merasa iba sedikit pun.
"Lepaskan aku, penyihir kotor!" sahutnya sambil menampar wajahnya. Si gadis terjungkal dan mencoba untuk bangkit, namun tubuhnya sudah tidak sanggup. Ia melihat si pemuda dengan tatapan kebencian dan kemarahan yang memuncak, meremas batu hingga hancur berkeping-keping.
"Kumohon, jangan sakiti mereka!" teriaknya. Pemuda itu tertawa keras mendengarnya, lalu menarik rambut merah menyalanya dengan kasar.
"Memang kau bisa apa? Menyerangku saja tidak mampu," cibirnya. Gadis itu menggertakkan gigi, mencoba memberontak sekuat tenaga namun genggamannya malah semakin erat hingga membuatnya kesakitan. Pemuda itu hanya diam, menatapnya dengan tatapan sedingin mungkin hingga terlihat seperti seekor serigala yang tengah menanti mangsanya untuk menyerah. Ia melempar gadis itu dan berjalan meninggalkannya sembari menyeret mayat orangtuanya tanpa beban, membuat emosi gadis itu meledak. Tiba-tiba tubuhnya bercahaya, membuat sang pemuda terkejut dan berpaling. Wajah sang gadis dipenuhi oleh tato tribal berwarna merah darah. Tubuh langsingnya dibalut oleh bahasa kuno yang tidak pernah ia lihat. Rambutnya memanjang hingga menyapu tanah bagai api yang menyelimuti dirinya. Pemuda itu terkejut dan berbalik dengan posisi siap menyerang.
"Kau...brengsek! Sejak awal kau menyembunyikan kekuatanmu?!" teriaknya. Sang gadis mengabaikannya, tatapannya kosong dan tak berjiwa. Pemuda itu maju dan mencoba menyerang, namun sang gadis mampu menahan serangannya dengan pedang di tangan. Tak habis akal, dia mengayunkan sabitnya dan menggores lengan gadis itu hingga darah menyembur cepat. Meski luka besar menganga, ekspresinya tidak berubah sama sekali. Dengan santai ia menjentikkan jemarinya dan mengurung pemuda itu di dalam penjara gelembung air.
"Sialan!" makinya sambil mencoba memecahkan gelembung yang mengurungnya sekuat tenaga, namun tidak ada tanda-tanda gelembung itu pecah. Si gadis kembali menjentikkan jarinya dan ratusan pedang muncul di sekeliling gelembung. Wajah pemuda itu mulai panik.
"Sialan! Sialan! Sialan!" makinya sembari memberontak dengan keras.
"Sudah cukup, Nona. Tidak perlu membunuhnya," ujar seseorang. Di belakang gadis itu muncul sesosok pria bertubuh besar dengan sayap seputih salju menahan tangan si gadis. Wajahnya ditutupi oleh tudung besar sehingga tidak ada celah untuk memamerkan wajahnya. Sang demi human merasakan kelegaan luar biasa, namun ia tidak mampu menutupi kecurigaan pada pihak ketiga itu.
"Tidurlah" ujarnya. Ia menyentuh dahi si gadis dan detik berikutnya ia roboh.Wajah pemuda itu berubah terkejut dan makin curiga akan orang itu.
'Dia menidurkannya hanya dengan sentuhan?! Siapa dia? Penyihir? Tidak, auranya berbeda! Sayap itu...apa milik flugel?' tanyanya dalam hati. Pria itu membaringkan si gadis perlahan dan berjalan mendekati si demi human. Ia menyentuh gelembung itu dan dalam hitungan detik gelembung itu pecah. Demi human itu bangkit dan mencoba menyerang, namun rantai mendadak muncul dari tanah dan membelit tubuhnya dengan cepat.
"Siapa kau!?" sahutnya.
"Aku adalah sekutumu dan juga sekutu gadis itu. Aku tidak ada niat untuk membunuh kalian. Pulanglah, perang ini berakhir," ujarnya kalem. Pemuda itu tertawa mendengarnya.
"Berakhir? Hah! Meski perang berakhir sekalipun, Respher dan Ceshier tidak akan mencapai kedamaian semudah itu," jawabnya sinis. Pria itu hanya menghela napas, lalu menjentikkan jarinya dan rantai yang membelitnya jatuh ke tanah hingga menimbulkan suara keras. Tanpa menunggu lama demi human itu berlari meninggalkan medan tempur menahan rasa malu demi keselamatan nyawanya. Pria besar itu menghela napas, lalu berpaling pada gadis yang tidak sadarkan diri tersebut.
"Saciel Arakawa, takdirmu mungkin terlihat penuh dengan bahaya, tapi percayalah bahwa kau akan menemukan kebahagiaan di balik ini semua," ujarnya lembut sembari menggendongnya dengan hati-hati dan pergi meninggalkan tempat itu bersama dengan ratusan jenazah penduduk Respher yang melayang di belakangnya. Ia tidak menyadari seorang anak kecil berdiri jauh dari tempat itu mengawasinya dengan mata berkilauan.
"Ck ck, kau melanggar apa yang seharusnya tidak boleh kau lakukan. Oh, biarkan saja, toh cuman sekali. Harus pergi, banyak tugas menanti," ujarnya riang. Dalam sekejap mata ia sudah menghilang dengan meninggalkan setangkai bunga lili di atas batu tempat ia berpijak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments
Srirahayu Rahmadani
mmm
2021-07-04
0
Vronc
menarikkk
2021-05-15
0
Ayu Ungraini
ceritanya seru
2021-05-14
0