Hutan Suci
Kelompok buronan yang berisi dua demi human dan dua penyihir menjejakkan kaki mereka di bagian terdalam Hutan Suci. Tidak seperti bagian luar yang seperti surga, bagian dalam justru lebih terkesan suram seperti gua yang dipenuhi kristal Mata Oorun yang mengintimidasi semua makhluk yang mencoba masuk. Max merinding.
“Rasanya seperti diawasi oleh makhluk tak kasat mata,” keluhnya.
“Sayangnya tempat ini adalah tempat terbaik untuk bersembunyi. Kau boleh kok kembali, tapi jangan salahkan aku kalau kau ditangkap,” balas Phillip sembari membangun tenda di dekat danau tak jauh dari mereka dan membaringkan Saciel yang masih lemah. Tatapannya jatuh pada lukanya yang masih belum tertutup sempurna.
“Mau kubantu?” tanyanya. Saciel mengangguk, mengulurkan tangannya agar Phillip bisa membagi mananya untuk memperkuat jahitan operasinya. Rona wajahnya perlahan mulai kembali, namun bibirnya masih terlalu pucat. Lukanya perlahan tertutup rapat karena benang sihirnya sudah diperkuat mana milik Phillip hingga tidak ada setetes darah yang lolos.
“Sepertinya kau benar-benar harus istirahat total, Saciel. Ini pertama kalinya aku melihatmu dalam kondisi seperti ini, apa yang sebenarnya terjadi?”
“...kita akan membahasnya nanti, oke?” balas Saciel lirih. Phillip hendak mengomel, namun ia hanya menghela napas dan meninggalkan Saciel untuk beristirahat. Langkahnya melambat ketika melihat kakak beradik demi human tersebut tengah asyik berbaring di perut Sky. Ia cukup merasa tenang dan kembali ke dalam untuk menjaga Saciel. Tak lama kemudian Kezia masuk.
“Kak Saciel baik-baik saja?” tanyanya lirih.
“Dia hanya butuh istirahat, Kezia. Jangan cemas,” ujarnya menenangkan, tangannya perlahan mengelus puncak kepalanya selembut mungkin. “Apa kalian lapar?”
“Tidak, Kak. Aku hanya mencemaskan Kak Saciel,” balasnya. Phillip menuntunnya keluar dan kaget setengah mati ketika Max berada di ambang pintu tenda dengan tatapan datar.
“Bisa nggak jangan berdiri dan diam saja seperti itu? Kau mau membunuhku apa?”
“Bisa jadi nanti. Tapi fokus saat ini bukan itu,” balas Max kalem. Phillip menghela napas.
“Pasti soal saudaramu, kan? Duduklah, kurasa aku punya beberapa hal yang bisa menjadi patokan kita dalam mencarinya,” ujar Phillip sembari berjalan menuju api unggun yang dibuat Max dan duduk di sisi Sky, sementara Kezia dan Max duduk di seberang dengan tatapan serius. Phillip membentangkan peta sihir di hadapan mereka.
“Persis seperti peta hologram yang kami ciptakan, meski lebih baik versi milik kalian dengan kontur permukaan yang nyaris mirip dengan kondisi aslinya,” ujar Max.
“Teknologi kalian memang mengerikan. Oke, mari kembali ke topik utama. Kita saat ini ada di sini,” ujar Phillip sembari menunjuk wilayah Hutan Suci yang berada di ujung barat Careol. “Karena kalian kabur dari penculik kalian di Perbatasan Mandalika, ada beberapa pilihan. Pertama, di wilayah elf.”
Tatapan kedua demi human jatuh pada sebuah pulau besar di tenggara perbatasan dengan tulisan Rivendell di atasnya. Tidak lupa Phillip memberikan tanda berupa bendera merah di pulau itu.
“Tempat ini cukup strategis jika saudaramu jatuh dan hanyut karena masih cukup dekat, tidak seperti kau yang terdampar di Chasata. Aku penasaran bagaimana caramu bisa terdampar di sini. Hanya saja, rasisme di Rivendell sangat tinggi. Berdoalah dia baik-baik saja, kasus terburuknya dia bisa saja menjadi budak.”
“Budak, katamu?” ulang Max. Phillip mengangguk.
“Penjelasan lengkapnya nanti saja. Kedua, wilayah alkemis,” lanjutnya sembari menunjuk kepulauan di selatan perbatasan. “Tempat ini sebenarnya pilihan pertamaku, tapi karena ada kemungkinan kalau dia ditangkap, Rivendell menjadi urutan tertinggi. Para alkemis memiliki tingkat toleransi tinggi, terbukti dengan adanya kerjasama antara demi human untuk menciptakan ini.”
Phillip membuat ilustrasi kamera pengintai yang pernah dihancurkan Saciel lengkap dengan beberapa detail di sekelilingnya. Max terkejut.
“Benda ini memang sudah dipakai di tempatku sebagai pengawas, tapi aku tidak menyangka jika penggunaannya sudah sampai di sini,” ungkapnya.
“Sejujurnya benda ini ilegal digunakan karena belum ada izin. Ini saja kudapat saat mampir di kuil,” balas Phillip.
“Hah, kuil katamu? Aku tidak ingat ada pengiriman…ah, sialan,” ceplos Max, menyadari ia membuka sedikit rahasianya.
“Apa kau berkuasa mengurus logistik ke luar?” tanya Phillip cepat.
“...bukan, tapi aku cukup paham urusan logistik. Aku tidak pernah menerima laporan pengiriman kamera pengintai di wilayah Respher,” ujar Max pasrah. Phillip terdiam.
“Hah, lagi-lagi jalan buntu. Kupikir aku bisa mendapatkan sedikit petunjuk,” keluhnya. Ia bermain dengan percikan petir yang meliuk-liuk di setiap celah jemarinya dan menghela napas.
“Memangnya kau ingin mencari petunjuk apa?”
“Siapa yang menciptakan kamera pengintai untuk wilayah Respher.”
Max terdiam sejenak, mencoba mengingat-ingat setiap pengrajin yang ia kenal dan terdaftar, namun ia pun menemui jalan buntu. Mendadak suara Kezia mengagetkan mereka.
“Kenapa tidak bertanya pada Aaron?”
Bak tersambar petir, Max berpaling pada adiknya dengan tatapan heran.
“Aaron, maksudmu si kakek gila Aaron itu?” tanya Max. Kezia mengangguk. Max merenung.
“Ya, dia memang bisa menjadi daftar pengrajin yang bekerja sama dengan alkemis. Ada rumor mengatakan dia memiliki kekasih dari Respher, hanya saja belum ada bukti kuat untuk memastikannya,” gumam Max. “Aku akan memberikan informasi soal kakek tua gila itu, tapi kau harus membantuku menemukan saudaraku.”
“Tenang saja, timku sedang dalam pencarian. Jika ada kabar terbaru kau pasti yang pertama kukabari,” jawab Phillip. Ia melihat ke arah matahari terbenam dan menghela napas, mengeluarkan peralatan masak dan mulai menyiapkan semua bahan yang ia miliki. Aroma daging bakar bercampur rempah sanggup membuat semuanya kelaparan dalam hitungan detik. Sky yang tertidur langsung bangun dengan wajah penuh harap.
“Nanti dulu, serigala manja. Bersabarlah,” ujar Phillip sembari membalikkan daging asap agar matang merata. Tidak lama kemudian mereka makan dengan lahap, sementara Kezia membantu Saciel untuk makan meski ia hanya makan sesuap dua suap. Setelah makan dan membereskan sisa api unggun, mereka tertidur lelap ditemani suara geraman lirih yang tidak mereka sadari.
Fajar telah memecah cakrawala. Vristhi dan Tania berdiri di depan gerbang Hutan Suci dengan tatapan lempeng. Wanita tinggi itu menurunkan pandangannya pada Tania.
“Kau siap, Tania?”
“Entahlah Tante, tempat ini terlihat menakutkan,” cicitnya.
“Jangan panggil aku Tante, bocah. Aku tidak setua itu,” geram Vristhi. “Panggil aku Kakak.”
“Baiklah, Kak. Padahal umurmu saja sudah lebih dari 30 tahun,” balasnya lirih. Vristhi mendengarnya, namun mengabaikannya dan berjalan masuk hingga tiba di bekas pertempuran Comet. Ia menyentuh salah satu kristal dan mematahkannya hanya dengan sekali sentak, membuat Tania yang menyusulnya terkesiap.
“Pasti sakit sekali saat kristal dingin ini menggerogotinya. Aku penasaran bagaimana raungannya di saat terakhirnya,” gumamnya sembari membuang kristal itu dan kembali berjalan. “Mereka masih ada di hutan, tapi kurasa mereka berada di bagian terdalam. Nah, bocah, pilihlah. Lanjut atau kembali?”
“Apakah aku punya pilihan? Aku yakin Paman Lao bakalan memarahiku kalau kembali,” gerutunya sembari berpaling pada sekuntum bunga terompet berwarna kuning cerah yang tumbuh pada sebatang kayu lapuk tak jauh dari kakinya. “Bahkan Kak Julian mengawasiku.”
“Dia membantu kita untuk menemukan mereka,” ujar Vristhi sembari mengarahkan pandangan pada jalur yang terbentuk oleh ratusan jamur fosfor yang mengarah ke wilayah terdalam. “Bersiaplah, kita akan bertarung melawan salah satu SEW terkuat sepanjang sejarah.”
“Apa benar dia sekuat itu?” ejek Tania sembari menekan salah satu jamur fosfor dengan gemas hingga menciut. Vristhi tertawa kecil.
“Yah, itu jika kondisinya prima. Kita harus berterima kasih pada Comet, karena pengorbanannya membantu kita melemahkan wanita itu,” balas Vristhi dengan senyum liciknya, berjalan mengikuti jamur fosfor tersebut tanpa suara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments