8 jam sebelumnya
Malam masih panjang, namun sang penyihir berambut merah terbangun dari tidurnya. Keringat dingin meluncur cepat dari pelipis, napasnya tersengal hingga membangunkan Sky yang tertidur di bawah kakinya. Rasa sakit di dadanya ia abaikan ketika ia melompat dari tempat tidur, lalu keluar tenda dan bertemu Max yang tengah berjaga dengan secangkir teh di tangannya.
“Kau terlihat baru saja bermimpi buruk,” celetuknya santai. Saciel terdiam, perlahan mengatur napasnya dan menghela.
“Kau benar,” jawabnya sembari duduk di seberang dengan tatapan turun ke api di depannya. “Kurasa kita dikejar.”
“...aroma mereka masih cukup jauh, kurasa mereka akan ke sini saat fajar tiba. Tenanglah,” ujarnya sembari menuangkan teh pada gelas dan memberikannya pada Saciel.
“Entahlah, aku tidak bisa tenang. Kurasa lawan kita bukanlah penyihir biasa,” balasnya sembari menyeruput teh dengan hati-hati. “Kondisiku tidak memungkinkan untuk melawan mereka.”
“Kau tidur saja, aku sanggup mengalahkan mereka,” balasnya pongah. Saciel memutar bola matanya, namun ia merasa sedikit tenang mendengarnya. Kezia keluar dari tenda dan langsung memeluk Saciel dengan manja sembari menikmati aroma tubuhnya yang menenangkan bercampur darah dan rempah.
“Kau terbangun, Manis?” tanyanya sembari mengelus puncak kepalanya dengan lembut. Gadis kecil mengangguk, menyandarkan kepalanya pada pangkuan Saciel dan langsung tertidur dalam hitungan detik.
“Sihir apa yang kau gunakan padanya?” tanya Max heran.
“Entahlah,” balasnya sembari tetap mengelus sembari bersenandung lirih, membuat geraman lirih yang mengisi hutan perlahan menghilang. Max yang tadinya terjaga, kini mulai merasa kantuk menyerang.
“Tidurlah, aku akan membangunkanmu nanti,” ujar Saciel disela senandungnya. Max menggeleng kepala, mencoba tetap terbangun meski tubuhnya menjerit ingin segera menutup mata. Meski begitu, ia kalah. Matanya telah tertutup rapat dan tidur dalam posisi duduk. Saciel mengulum senyum dan hati-hati mengubah posisinya dengan sihir, lalu memalingkan pandangan kepada sepasang mata berukuran raksasa berwarna kuning terang dengan iris tajam di belakangnya.
“Kalau kau memang ingin memamerkan diri, silakan saja. Kuyakin para tamu akan sangat terkejut dengan kehadiranmu. Tapi saat ini, tolong pergilah. Kami sangat butuh istirahat,” ujarnya kalem. Sepasang mata itu berkedip, lalu menghilang dalam gelapnya hutan. Saciel bergidik, keringat dingin mengalir di pipinya.
“Mampus.”
Pagi telah menyinari Hutan Suci. Phillip keluar dari tenda dan mendapati Saciel, Max dan Kezia tertidur di luar. Ia menepuk pundak mereka untuk membangunkan, namun tangannya terhenti di udara ketika suara dingin dan tidak berperasaan menghentikannya.
“Akhirnya kutemukan kalian.”
Phillip berbalik, mendapati Vristhi dan Tania berdiri di belakangnya dengan senyum tipis. Ia menegakkan tubuh, menendang kaki Saciel cukup keras hingga ia terbangun. Wanita bergaun hitam itu mengulurkan tangan.
“Tuan Muda Arlestine, apa kabarmu?”
“Haha, aku sangat baik, Duchess Rosemary. Ada gerangan apa dirimu datang ke tempat berbahaya ini?” balasnya berbasa-basi.
“Menyeret kalian berdua pulang dan menangkap dua demi human di sana. Jika kau menurut, aku tidak akan menggunakan kekerasan,” ujarnya kalem. Sebelum bibir Phillip bergerak, Saciel menggenggam erat tangannya dan melotot pada Vristhi.
“Pulang sana, aku tidak menerima tamu,” ujarnya terengah-engah. Wanita itu menyeringai, lalu disusul tawa mengerikan hingga membuat Phillip dan Tania merinding. Hati-hati disibaknya tudungnya hingga menampilkan seraut wajah cantik nan pucat, dengan eyeshadow didominasi warna gelap membingkai sepasang mata berwarna ungu pucat dan bibir tipis dipulas dengan lipstik soft pink. Sebuah anting berbentuk ular yang meliuk di telinga kiri menambah kesan mistis yang terpancar darinya. Rambut panjang sepunggung berwarna ash blue terbuai oleh angin lembut.
“Yang benar saja, Saciel? Lao menyuruhku menjemputmu bersama dengan musuh, jadi bersikaplah seperti anak baik dan kembalilah. Kujamin guillotine akan jauh dari lehermu,” balasnya. Saciel bangkit berdiri dan menggeleng kepala.
“Pulang. Kau tidak akan bisa menarikku kembali meski harus bertarung denganku,” tolaknya. Vristhi menyeringai.
"Oh, benarkah? Mari kita lihat apakah hal itu masih berlaku,” ujar Vristhi santai. “Tania, bersiaplah. Kita akan bertarung.”
“Kak, kau yakin? Kau tidak takut dengan kutukannya?” tanya Tania ragu. Wanita itu diam, lalu membuat lingkaran sihir besar yang melingkupi semua dan memindahkannya ke luar hutan, tak jauh dari perbatasan. Max terpikat untuk kabur, namun ia sadar Nero masih ada di Respher dan ia tidak mungkin meninggalkannya. Ia berpaling pada Vristhi yang mengangkat tangan, bersamaan dengan munculnya puluhan zombie dari tanah. Kedua demi human tersebut langsung tutup hidung.
“Sialan, bau banget! Dia ini necromancer? Pantesan aroma kematian daritadi berseliweran!” maki Max.
“Bau,” keluh Kezia sembari beringsut di dekat Max. Vristhi tertawa kecil.
“Astaga, apa aku membunuh indra penciuman kalian?” cibir Vristhi sembari mengulum senyum sinis. Tania menjentikkan jemarinya dan sebuah boneka beruang jelek dengan mata sebelah terdapat luka melintang membawa sebuah parang di tangannya.
“Akan kucabik-cabik kau, Kak Saciel,” ancamnya. Saciel tertawa lirih dan membakar habis hingga menjadi debu semua zombie di hadapannya dengan sekali ayunan pedang.
“Lucu sekali, Tania. Kau masih perlu banyak belajar sebelum menantang seniormu,” balas Saciel. Wajahnya makin tak keruan, namun ia tetap berdiri tegak seakan rasa sakit yang ia rasakan menghilang. Vristhi tertawa lantang.
"Oh, Saciel, kau kira dengan kondisimu yang nyaris mati bisa bertahan? Mari kita lihat,” ujarnya sembari terus memanggil pasukan zombie baru dengan senyum picik. Max berjalan maju dan langsung membabat habis dengan beberapa ayunan sabitnya.
“Jangan mati dulu, penyihir. Kau ini satu-satunya jalan keluarku,” ujarnya dengan gaya angkuh. Saciel terdiam, lalu seulas senyum terbit.
“Tenanglah, aku tidak akan mati secepat itu,” balasnya. “Phillip, kau lindungi Kezia.”
“Sialan, aku nggak selemah itu. Awas saja kau tumbang,” keluh Phillip sembari membawa Kezia menjauh dari tempat pertarungan. Saciel memainkan pedangnya dan mengarahkan ujungnya pada lawan.
“Kalau begini aku bisa membunuhmu tanpa ragu.”
“Kau lupa dengan perintah Lao untuk tidak membunuh siapapun?” tanya Vristhi sembari membuat singgasana dari tumpukan mayat dan duduk di atasnya tanpa ekspresi. “Atau kau memang terlalu bebal untuk memahami arti perintah?”
Saciel terdiam. Sebelum tubuhnya bereaksi terhadap serangan dadakan Tania, Max langsung menahan parang itu. Tania berdecih dan meningkatkan kekuatan boneka itu hingga Max terdorong.
“Kalau kau berniat mati akan kuseret jiwamu balik!” sahut Max sembari menendang boneka itu dan menarik Saciel mundur. Penyihir berambut merah itu tidak membalas, penglihatannya sudah buram. Phillip bergegas maju dan menggendong Saciel, menatap Max namun hanya dibalas dengan tatapan dingin.
“Kak Ciel!” sahut Kezia sembari berlari mendekat dan memegang tangannya yang mulai dingin. “Dingin.”
“Kau tidak kuizinkan mati, penyihir,” ujar Max dingin.
“...beri aku waktu sejenak,” bisiknya. Max berbalik dan bersiap menyerang dengan seringai mengerikan bagaikan serigala kelaparan.
“Akan kubuat kau berhutang padaku, penyihir,” ujarnya girang. Vristhi menguap dengan elegan, lalu kembali memanggil pasukan zombie dua kali lipat dari sebelumnya. Tania kembali mengendalikan bonekanya dengan tatapan penuh percaya diri.
“Aku tidak akan kalah denganmu, demi human,” ujarnya.
“Bocah, akan kuajarkan padamu apa itu kekalahan,” ancam Max sembari menyipitkan kedua mata.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments