Tiga hari telah berlalu. Kezia yang dalam wujud anak kecilnya perlahan membuka mata, mendapati dirinya sudah berada di ranjang yang hangat dan empuk, perapian yang menyala agar ruangannya tidak dingin, dan keremangan yang membuatnya aman. Suara hujan deras mengetuk jendela, sesekali petir menyambar dan membuatnya sedikit takut. Ia memperluas pandangannya dan mendapati Saciel tertidur pulas di sofa, dengan buku terbuka di pangkuan dan seekor serigala besar berwarna perak kebiruan ikut tertidur bersama tuannya di sampingnya. Ketika ia mencoba bangun, rasa sakit langsung menjalar seluruh tubuhnya, menghasilkan erangan lirih yang membangunkan sang serigala. Ia menggeram, namun elusan pelan di belakang telinganya menenangkannya.
"Selamat pagi. Syukurlah kau sudah sadar,” sapanya lembut. Kezia terlihat waspada, namun perlahan ia menurunkan kewaspadaannya dan menutupi separuh wajahnya dengan selimut. Saciel tertawa ringan.
"Maaf ya, hari ini cuacanya sangat buruk, terkesan suram kalau boleh jujur. Tunggu sebentar, akan kupanggilkan seseorang untuk membawakan makan…"
"Kenapa kau menolongku?” cicitnya. Saciel mengulum senyum dan memanggil pelayan, lalu kembali fokus pada Kezia.
"Apa menolongmu harus memiliki alasan?"
"Tapi aku musuhmu," balas Kezia. “Kita…masih dalam situasi perang, bukan?”
"Yah, situasinya saja. Aku saat ini posisinya netral, jadi jangan khawatir," jawab Saciel. “Siapa namamu?”
"…Kezia.”
"Kezia? Nama yang cantik untuk bocah sepertimu,” puji Saciel. Kezia tertawa kaku, dalam hati merutuki diri karena mengubah dirinya menjadi anak kecil. “Apa kau memiliki nama keluarga?”
"Tidak,” dustanya. Meski bukan musuh, Kezia tidak bisa sembarangan memberikan nama keluarganya begitu saja. Ia tidak berani mengungkapkan namanya karena berpotensi menjadi awal bencana untuknya. Saciel mengangguk dan mengelus serigalanya, lalu mengizinkan seorang pelayan dengan beraneka macam cemilan ringan dan makanan berat. Hati-hati Saciel memberikan sepiring steak dengan saus jamur dan sayuran pada Kezia. Bocah tersebut langsung memakannya dengan lahap namun tetap elegan.
"Wah, tata kramamu sangat bagus. Apa kau berasal dari keluarga bangsawan?”
"I…iya,” ujar Kezia malu-malu. Ia kembali menyantap makanannya ditemani Saciel yang asyik dengan bukunya, sesekali tangannya mengelus kepala serigalanya dengan manja. Setelah menghabiskan makannya, ia melirik pada serigala tersebut dengan tatapan penasaran.
"Kakak, aku belum tahu namamu,” ujar Kezia. Saciel tertegun, lalu tertawa keras hingga air mata menumpuk di ujung matanya. Ia mengelapnya dengan telunjuk dan meletakkan bukunya di sofa.
"Maafkan aku, terkadang saking asyiknya dengan suasana ini aku jadi lupa. Namaku Saciel Arakawa dan ini Sky, peliharaanku,” ujarnya memperkenalkan diri, sembari memamerkan serigala tersebut yang besarnya hampir seukuran singa. Sky perlahan turun dari sofa dan mendekati Kezia, mengendus ke seluruh tubuh dan mengusap kepalanya pada tangan kecilnya. “Ah, dia menyukaimu.”
"Wah, besar dan manis. Halo, Sky. Ayo berteman,” ujar Kezia sembari memeluknya dengan tubuh kecilnya. Saciel tertawa kecil dan memanggil beberapa bola cahaya untuk menerangi kamarnya. Sang anak kecil tertawa melihatnya.
"Bola cahaya! Bola cahaya!”
"Kami menyebutnya lumen orb," ujar Saciel. Kezia sudah larut dalam dunianya, membuat Saciel lega karena ia tidak perlu berusaha keras menyenangkan perasaannya. Ia bangkit berdiri dan meninggalkan kamar, lalu turun ke ruang tengah dan menelpon seseorang.
"Halo, Ciel. Kuharap kau memberiku alasan untuk menelponku di saat aku sibuk,” sahut seberang dengan nada sedikit kesal terselip. Saciel terkekeh, perlahan menyandarkan diri pada dinding. “Jangan tertawa. Cepatlah, pekerjaanku masih banyak.”
"Galaknya sama adikmu. Oh baiklah, aku juga tidak bisa berlama-lama. Bagaimana dengan investigasi mengenai alat aneh itu?"
"Ah, itu. Aku sudah menelusurinya dan memang benar itu buatan seorang alkemis, tapi bukan itu saja. Dia berkolaborasi dengan ras demi human.” Saciel terdiam, tubuhnya langsung menegak, sorot matanya yang kalem perlahan membulat. Ia menggigit bibir bawahnya tanpa sadar, rasa besi berkarat disertai sensasi basah yang asing menyadarkannya.
"...kau yakin?” tanyanya meragukan.
"Aku juga maunya menolak kenyataan, tapi perlu diingat teknologi yang dimiliki Ceshier lebih maju daripada di sini. Tidak heran jika alkemis itu bisa membuatnya dalam jumlah yang cukup banyak. Di samping itu, kudengar kau membutuhkan informasi mengenai…ras demi human yang diselundupkan?”
"…kau tidak dihukum penjara rumah, kan? Datanglah kemari,” titahnya santai. Terdengar hela napas kesal bercampur penolakan di seberang, namun suaranya yang tenang membuatnya mengulum senyum kemenangan. Hanya dalam sedetik, Phillip melompat turun di hadapannya dengan tatapan lempeng.
"Demi Dewa Oorun, terkadang ingin sekali kujitak kepalamu. Jadi apa yang kau inginkan?"
"Ikut aku dan jangan bersuara," ajaknya sembari melangkah kembali ke kamar Kezia dan membuka sedikit pintunya. Phillip melongok dan terkejut, nyaris berteriak ketika melihat sepasang telinga serigala dan ekor tebal panjang menempel pada Kezia. Ia mundur sejenak dan menatap Saciel dengan tatapan horor.
"Kau menyelundupkan demi human?" makinya sembari berbisik. Saciel menggeleng.
"Untuk apa aku melakukannya? Dia sudah ada di tamanku saat Julian berkunjung, tapi anehnya dia hanya diam saja. Apa dia menyuruhku untuk mengurusnya?”
"Kau beruntung dia diam saja, kalau tidak bisa jadi bumerang untukmu. Sebaiknya kita pulangkan dia secepat mungkin sebelum terendus para tetua, kau tahu kan mereka sangat menyebalkan?”
"Aku tahu, tapi bagaimana caranya? Saat ini saja aku masih dalam masa tahanan, mana bisa aku kabur seenaknya? Bahkan Julian memasang barikade," keluh Saciel.
"Kau kan bisa menghancurkan barikadenya.”
"…sayangnya tidak. Ini sihir milik Lao, aku tidak bisa seenaknya menghancurkan barikadenya. Salah-salah nyawaku dicabut,” balasnya pasrah. “Jangan tanya bagaimana Julian melakukannya, tapi kuyakin hanya mereka saja yang tahu.”
Keduanya terlalu larut dalam diskusi mereka hingga tak menyadari Kezia sudah berada di belakang Phillip sembari memeluk boneka lusuh namun bersih. Ia memasang ekspresi cemas dan ragu, lalu menarik pelan ujung baju Phillip hingga sang pemilik rambut berwarna platinum blonde menoleh.
"Kakak, peluk?" pintanya lirih. Phillip ragu sesaat, namun ketika ia menyadari bahaya yang menguar dari diri Saciel, ia menyejajarkan pandangan dan memeluknya. Sang anak merasa nyaman dan aman, lalu mengusap kepalanya pada pundak Phillip dengan penuh sayang. Phillip menoleh pada Saciel dan memamerkan Kezia yang mulai manja di pelukannya.
"Dia sangat tenang, kupikir dia bakal menangis karena berada di tempat asing bersama dengan musuh-musuhnya,” ujar Phillip dengan senyum tipis.
"Kezia anak baik, kan?" tanya Kezia kalem, kedua bola matanya yang besar makin membulat layaknya mata kucing yang haus akan perhatian. Saciel tertawa kecil dan mengelus puncak kepalanya sehalus mungkin.
"Benar, Kezia anak baik. Sekarang masuklah ke dalam dan beristirahat, Kakak Saciel dan Kakak Phillip harus bekerja," ujar Saciel. Phillip masuk ke kamarnya dan meletakkan Kezia di ranjang pelan-pelan, lalu memberikan sebungkus permen di tangan kecilnya. Setelah Phillip keluar dan memastikan tidak ada orang di sekitarnya, Kezia kembali ke wujud aslinya dan menghela napas.
"...aku merasa bersalah menipu mereka, tapi tidak ada pilihan lain. Aku harus berhati-hati dalam bertingkah. Ditambah lagi…emblem keluarga ini…sepertinya bukan keluarga biasa. Ditambah lagi…pria dengan senyum aneh di taman saat itu, menyadari keberadaanku dengan mudah. Tapi kenapa dia tidak mengatakan apa-apa?” gumam Kezia. Kedua matanya terpaku pada emblem keluarga Saciel yang terpaku pada dinding tepat di atas perapian yang menyala. Ia berjalan mendekati perapian dan menikmati tarian lidah api yang memancarkan kehangatan. Ia mengulum senyum dan kembali ke wujud anak kecil, lalu memeluk boneka lusuh dan melempar tubuhnya ke ranjang. Kehangatan yang menjalar menjadi pengantarnya menuju alam tidur.
Ketika kedua penyihir muda tiba di perpustakaan, Saciel langsung berbalik menghadap Phillip dan menyandarkan punggungnya pada meja kerja dengan kedua tangan dilipat di depan dada.
“Julian pernah mengatakan padaku ada penculikan terhadap keluarga kerajaan demi human. Apa menurutmu anak itu adalah keturunan kerajaan?” tanya Saciel. Yang ditanya menggelengkan kepala.
"Aku tidak yakin soal itu. Kudengar semuanya sudah beranjak dewasa, termasuk yang paling kecil. Kalaupun dia adalah salah satu keturunan kerajaan, bagaimana caranya menjelaskan pada kita mereka mengecil hingga seukuran bocah? Apa dia tidak memberitahu nama belakangnya?”
"Dia mengatakan tidak punya, meski kuyakin itu hanyalah kebohongan. Kurasa akan lebih baik jika dia bersikap seperti itu untuk keamanannya. Daripada itu, apa kau punya rencana bagaimana membawa Kezia keluar dari wilayah Respher? Paling tidak hingga ke perbatasan,” tanya Saciel. Phillip menggaruk belakang kepalanya dengan tatapan bingung.
"Kau tahu kan posisi kita saat ini tidak menguntungkan? Terutama kau yang dihukum sebagai tahanan rumah dalam kurun waktu yang cukup lama, kuyakin kau akan melewatkan festival,” ujar Phillip kalem. Saciel menghela napas dan mengurut pelipisnya. Keduanya larut dalam dunia mereka beberapa saat hingga suara lembut Saciel memecah keheningan.
"Apa kita bisa mengajukan keringanan hukuman?"
"Kuyakin Duke Requiem langsung menolaknya tanpa ragu," balas Phillip dengan suara lirih dan lirikan mata meremehkan. Saciel menghela napas berat dan nyaris membanting vas yang ada di dekatnya, namun beralih mengacak-acak rambutnya.
"Bagaimana dengan membujuk Julian?” tanya Phillip. Saciel mengerutkan kening, ekspresi jijik terpampang jelas di wajahnya. Ia menggeleng cepat.
"Lelaki itu bisa saja meminta bayaran tinggi, tidak mau."
Phillip mengangkat kedua tangan, wajahnya sudah pasrah dan pandangannya jatuh pada emblem keluarga Saciel dengan tatapan yang tidak bisa dipahami Saciel. Ia berpaling.
"Jika kau menjadi duchess, apa hukumannya akan dibatalkan?" tanya Phillip. Saciel berjengit dan mengalihkan pandangan, tangannya mengepal erat hingga urat nadinya terlihat dari balik kulitnya. Ia menggelengkan kepala.
“Gelar itu tidak akan kuambil,” gumamnya. Phillip maju dan memegang kedua pundaknya cukup erat, kilat kesal terpancar dari kedua matanya.
“Pilihanmu tidak banyak, Ciel. Pikirkan anak itu. Dia tidak akan bisa bertahan lama di sini, kecuali kau berniat membunuh anak itu di sini. Dia harus meninggalkan tempat ini secepatnya sebelum para tetua tahu dan menjadikannya tontonan eksekusi publik,” gertaknya lirih. Saciel menggigit bibir bawahnya, meresapi ide kawannya yang tidak buruk, namun di sisi lain dia benar-benar tidak mau mengambil gelar itu. Ia mendorong Phillip agar lepas dari cengkeramannya dan berbalik menghadap perapian dengan tatapan menerawang. Setelah terdiam cukup lama, ia memanggil Albert.
“Kabari Duke Requiem, aku ingin bicara padanya mengenai gelarku.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments