Sudah seminggu sejak diskusi dengan Phillip dan permohonan untuk Lao diberikan, namun belum ada tanda-tanda yang dibutuhkan memberikan jawaban, bahkan menunjukkan dirinya pada Saciel. Gadis itu sedikit panik, namun ia mencoba menenangkan diri agar Kezia tidak menyadari kecemasannya. Anak itu sudah pulih dan berhasil menarik hati seluruh penghuni kediaman Arakawa dengan tingkah manis dan menggemaskan. Meski begitu, Saciel selalu menyuruh para pelayan menyembunyikannya ketika tamu datang kecuali Phillip.
Di suatu siang yang terik, ketika Saciel tengah asyik membaca buku di gazebo ditemani Kezia yang berlari bersama Sky di taman, seorang pelayan datang terburu-buru hingga kacamatanya melorot.
"Nona, Duke Requiem datang,” ujarnya terengah-engah. Gadis berambut merah itu membelalakkan mata dan menutup bukunya dengan cepat, namun ia tetap tenang dan mengulum senyum.
"Tolong sampaikan padanya untuk menunggu sebentar, aku akan segera bersiap," perintahnya. Ia bersiul cukup keras, lalu menanti kedatangan Sky bersama Kezia di atas pundaknya dengan tatapan penasaran.
"Ada apa, Kak? Ini kan belum jam makan siang,” tanyanya polos. Saciel mengelus puncak kepala gadis itu dan memindahkan mereka ke kamar dalam sekejap. Ia mengecup dahinya.
"Kezia, apapun yang terjadi jangan pernah keluar dari kamar. Jika kau butuh sesuatu, cukup tekan bel di sana, oke?” pinta Saciel tegas. Kezia penasaran, namun ia memilih diam dan mengangguk. Aroma mengerikan perlahan menyapa penciumannya, membuat rona wajah anak itu luntur hingga ia harus menutup hidungnya. Saciel bergegas meninggalkan kamar tanpa melihat mereka untuk kedua kalinya, memperbaiki riasannya sesimpel mungkin dan mengganti bajunya lalu berjalan menuruni tangga dan masuk ke ruang tamu. Lelaki tua di hadapannya tengah menikmati wangi melati berpadu dengan madu yang menguar dari tehnya. Ia mengulum senyum dan meletakkan cangkirnya.
"Kuharap aku tidak membuatmu menunggu terlalu lama," sapa Lao kalem.
"Kalau mau jujur, kau membuatku penasaran dengan tingkahmu. Kenapa kau tidak mengabariku sama sekali?" tanya Saciel sembari duduk di hadapan Lao sembari melipat kedua tangannya dengan alis sebelah naik. Lao tertawa lirih, lalu menyandarkan diri pada sofa dengan tatapan tajam.
"Aku tengah sibuk mengurus permintaan para tetua mengenai demi human yang berada di Respher," ujar Lao. Jantung Saciel sempat berhenti berdetak, namun ia memasang wajah tenang serileks mungkin.
"Demi human, katamu? Bagaimana bisa mereka masuk wilayah Respher tanpa diketahui penjaga perbatasan? Bagaimana dengan ras lain?”
"Negara lain tidak menemukan jejaknya, namun menurut salah satu tetua ada satu demi human yang terkapar di wilayah manusia. Saat ini aku melarang siapapun datang ke sana kecuali anggota Seven Eternal Wizards,” balasnya. Ia menyeruput teh dan menyelidiki gestur Saciel yang terlihat sama seperti sebelumnya. “Aku masih belum tahu siapa yang akan kuutus, mengingat beberapa anggota kita cukup pasif untuk urusan ini.”
"Kupikir kau akan mengirim dari keluarga Marquess Phoenix.”
"Si gila itu? Aku ragu dia bisa menahan diri untuk tidak membunuhnya,” tolak Lao sembari memainkan cangkirnya. “Meski aku melarang siapapun untuk mendekati wilayah manusia, aku yakin para tetua akan melakukan berbagai cara untuk bisa pergi menangkap demi human tersebut.”
"Apa kau berniat menolong demi human itu atau hanya akan kau tangkap dan kau bunuh?" tanya Saciel kritis. Lao mengulum senyum.
"Menurutmu? Ah iya, soal permintaanmu sepertinya harus ditunda setelah festival dan urusan dengan tamu tak diundang kita selesai. Lalu, aku akan memberikan keringanan satu hari untuk mengikuti festival, dengan catatan di bawah penjagaan Julian. Mungkin di waktu itu, kau bisa menemukan sesuatu yang menarik.”
Saciel diam, namun sorot matanya menunjukkan dia tidak menerima setiap kata yang ia lontarkan begitu saja. Tangannya meraih cangkir dan menyesap teh yang mulai dingin, pikirannya masih mencoba memahami apa yang diinginkan sang pemimpin Seven Eternal Wizards, namun ia mengalami jalan buntu. Lao tertawa.
"Kredibilitasku sepertinya tidak bagus di matamu, ya? Tidak masalah, suatu saat kau akan mengakuinya. Daripada itu, kuharap kau berhati-hati mengurus anak baru itu. Dia terlihat istimewa,” ujar Lao sembari mengerling ke langit-langit, aura membunuh menguar kuat darinya hingga Saciel bangkit dan mengarahkan pisau mentega padanya. Pria itu mengulum senyum dan melompat maju, mengubah arah pisau itu tepat di lehernya.
"Jika kau tenang, kujamin tidak ada yang terluka. Bahkan demi human di sana,” bisiknya.
"Memangnya kau bisa dipercaya? Kau membongkar rahasiaku,” balasnya sinis. Lao menarik paksa pisau itu dan melemparnya sejauh mungkin, lalu mendekatkan bibirnya pada salah satu telinganya.
"Bekerja keraslah untuk menyelamatkannya. Jangan lupa ada banyak mata-mata para tetua tersebar di wilayah Careol, ditambah dengan teknologi baru yang mereka kembangkan. Jangan sia-siakan kesempatanmu.”
Pria itu menarik diri dan tersenyum, lalu beranjak meninggalkan ruang tamu dengan langkah ringan dan berpaling pada Albert.
"Lindungi calon duchess kalian, jangan sampai dia jatuh,” ujarnya sembari masuk ke dalam kereta kuda dan melambaikan tangan. Saciel hanya menonton dari balik jendela, menggigit bibir bawahnya dan menghantam dinding dengan tangannya hingga berdarah. Sang kepala pelayan yang baru masuk terkejut dan segera merawat lukanya selembut mungkin.
"Kapan festivalnya dimulai?” tanya Saciel tanpa berpaling maupun berjengit ketika sensasi menyengat datang dari lukanya yang dibersihkan.
"Tiga hari lagi, Nona.”
"…persiapkan semua hadiah untuk Cerlina, kita akan menghadiri festivalnya.”
Hari Festival Matahari Merah
Saciel merapikan rambut Kezia dan menyematkan sekuntum dahlia merah. Ia memastikan semuanya oke, tidak ada jejak telinga maupun ekor binatang yang menempel pada tubuh gadis kecil itu. Ia menggenggam kedua pundaknya.
"Dengar Kezia, ramuan yang kuberikan padamu sifatnya terbatas. Itu akan bertahan kurang lebih delapan jam, jadi tetaplah berada di dekat pelayan agar mereka dapat menolongmu kapanpun. Meski festival ini bisa diikuti ras manapun, aku ragu demi human bisa diterima di wilayah ini. Kau paham?" ujar Saciel tegas.
"Baik, Kak, aku paham,” jawabnya sembari memeluk bonekanya seerat mungkin. Ia meraba puncak kepalanya dan tidak menemukan sepasang telinga serigala, lalu beralih ke bawah dan tidak ada ekor tebal pendeknya. Saciel tersenyum puas dan mengelus kepalanya.
“Berjanjilah padaku kau tidak akan lepas dari pengawasan para pelayan. Sky akan selalu bersamamu, termasuk Phillip. Oh, sekedar mengingatkan, sebisa mungkin jangan sampai kau terlihat mencolok,” lanjutnya. Kezia mengangguk dan memeluk Sky dengan ekspresi imutnya, membuat Saciel nyaris merusak dandanannya karena mengusap pipi tembemnya. Terdengar ketukan dari luar diikuti suara Albert.
“Nona, Marquess Zografos sudah menanti.”
"Aku mengerti, tunggu sebentar," balasnya sembari merapikan riasannya dan mengikat rambutnya asal-asalan, lalu menggandeng tangan mungil Kezia menuruni tangga dan berjalan menuju pintu depan. Terlihat pria tinggi tersebut bersandar pada dinding, mengenakan satu stel pakaian sederhana berupa celana panjang kain berwarna soft brown, kemeja putih dengan aksen emas pada bordiran berbentuk sulur ditambah sekuntum dahlia merah pada kantongnya. Rambutnya diikat rendah dan disampirkan di bahunya yang tegap. Ia berpaling dan mengulum senyum.
"Selamat pagi, Saciel dan teman kecilku. Perkenalkan, namaku Julian Zografos, tolong panggil Kakak Julian saja ya? Siapa namamu?" sapanya sembari membungkuk pada Kezia. Anak itu bersembunyi di balik punggung Saciel, namun kedua mata bulatnya terlihat antusias.
"Kezia."
"Oh? Nama yang sangat cantik untuk anak sepertimu. Mari naik dan kita akan segera menuju ke alun-alun untuk menikmati festivalnya,” ujarnya sembari menawarkan diri untuk membantu keduanya masuk ke dalam kereta. Saciel membiarkan Kezia masuk terlebih dahulu, disusul dirinya dan terakhir Julian. Sang kusir langsung mengarahkan kuda-kudanya untuk menarik kereta menuju ke alun-alun. Julian dengan senyum tipis namun mempesona memberikan setangkai dahlia merah pada Kezia.
“Bawalah bunga ini selama festival, hanya untuk hiasan saja,” ujar Julian. Kezia menerima bunga itu dan menyematkannya pada dada kirinya, lalu menggandeng tangannya hingga membuat Julian sedikit terkejut dengan tingkahnya.
“Mau pegangan tangan boleh?” pintanya dengan mata berbinar. Julian menahan diri agar tidak tersenyum, namun Kezia menyadari garis lengkung pada ujung bibirnya. Kepala sang pria flamboyan mengangguk dan membawanya berkeliling, sementara Saciel berjalan menuju pusat pertunjukan di mana para pendeta mengelilingi Cerlina dengan pakaiannya yang lebih tertutup dari pakaian yang terakhir ia lihat. Sebuah long mermaid dress berwarna gading dengan lengan lebar hingga menutupi seluruh tangannya dipenuhi bordiran dan juga butiran permata. Rambut kecubungnya dikepang longgar dan diberi aksen dahlia merah di setiap celahnya. Bibir ranum nan menggoda dipoles dengan pemulas bibir merah muda, membuatnya terlihat menawan. Tidak sedikit pemuda dan pria berumur tersipu melihat kecantikannya.
Cerlina berlutut, membiarkan salah satu pendeta menyelimuti kepalanya dengan tudung transparan dan menutupi pandangannya dengan kain berwarna merah. Di tangannya terdapat sebuah tongkat besar bewarna perak. Di bagian puncak terdapat relik berbentuk matahari dengan rubi besar yang berkilau ditimpa cahaya matahari.
"Tongkatnya aneh,” celetuk Kezia sembari menjilati es krim rasa cokelat berpadu matcha berjalan ke arahnya, tangan lainnya menggenggam erat Julian yang memasang wajah tanpa dosa. Saciel tertawa.
"Kenapa aneh, Kezia?” tanya Saciel.
"Kenapa memakai permata sebesar itu? Apa mereka tidak takut tongkatnya dicuri?" balas Kezia sembari menunjuk tongkatnya.
"Kudengar permata itu tidak akan pernah bisa dicuri karena ada kutukan yang menempel padanya. Jika seseorang mengambilnya, maka bisa dipastikan ia akan…er…tidak berada di dunia ini lagi,” jawab Saciel dengan bahasa sehalus mungkin. Tubuh kecil Kezia bergidik dan bersembunyi di belakang Julian. Mereka tertawa, namun hanya sebentar karena acara utama akan segera dimulai. Cerlina bangkit berdiri di tengah panggung, hati-hati diangkatnya tongkat itu hingga rubi tersebut memantulkan cahaya matahari ke seluruh kota dengan warna merah darahnya. Kezia tidak dapat mengatupkan mulutnya, matanya semakin bulat dan bersinar.
Para warga mulai berdoa sembari mendengarkan lantunan doa dan pujian dari Cerlina, namun Saciel hanya diam sembari memantau adik kembarnya.
"Kak Saciel tidak berdoa?” tanya Kezia polos. Gadis berambut merah mengulum senyum pahit, tatapannya langsung turun ke bunga dahlia yang ada di genggamannya. Ia diam, membuat aura di sekitar mereka tidak enak sehingga Julian mengalihkan perhatian Kezia pada Cerlina yang menarik tongkatnya agar sang surya menyinari mereka kembali. Wanita berambut ungu tersebut memberikan tongkatnya pada salah satu gadis kuil, melepas penutup mata dan berjalan menuju podium dengan langkah mantap, memberikan sedikit sambutan hingga semua bersorak memujinya. Setelah Cerlina turun, ia dikawal ke belakang dengan ketat. Sang penyihir berambut merah berpaling pada Julian yang hanya dibalas kedipan sebelah mata dan jari telunjuk yang memalang bibirnya.
"Pergi," ujarnya tanpa bersuara. Saciel mengangguk dan sembunyi-sembunyi langsung bertransformasi menjadi seekor kucing jingga, lalu berjalan mengikuti rombongan tersebut hingga tiba pada sebuah tenda sederhana. Setelah menunggu para rombongan meninggalkan Cerlina, ia menyelinap ke dalam dan mendekati sang Pendeta Agung yang tengah menikmati tehnya.
"Meow."
"...selamat datang, Kakak. Kemarilah dan nikmati teh terbaik yang kumiliki,” sambut Cerlina sembari menahan tawa melihat kucing di bawah kakinya asyik menggeliat, namun berhenti ketika kembali ke wujud aslinya dengan wajah ditekuk.
"Kemampuan mendeteksimu semakin hebat, ya? Persis seperti nenek," keluh Saciel sembari meregangkan otot dan duduk di hadapan Cerlina yang menuang teh seelegan mungkin, lalu menambahkan seiris lemon di samping cangkirnya. Saciel menikmati aromanya dan tersenyum lebar.
"Oh, Black Pearl! Tidak kusangka kalian berhasil membelinya, bahkan aku harus menunggu hampir setengah tahun untuk bisa mendapatkan satu kotak teh terbaik di dunia ini. Bagaimana bisa kau mendapatkannya?” tanya Saciel.
"Kurasa akan lebih baik jika kau tidak tahu, Ciel. Kita tidak bisa menurunkan kewaspadaan walau hanya sejenak," tegur Cerlina. Saciel menghela napas, mengambil lemon dan memerasnya hingga teh cokelat tersebut berubah menjadi hitam pekat berkilau layaknya mutiara. “Bagaimana kabar Kak Phillip?”
"Membaik karena bantuanmu. Ah, aku lupa mengajaknya,” balas Saciel santai. Cerlina tertawa lirih.
“Aku malah ingin menghabiskan waktu sejenak denganmu saja, Kak. Mari berbagi cerita.”
Hampir satu jam mereka asyik mengobrol tanpa gangguan siapapun hingga seseorang memanggil dari luar. Saciel langsung kembali berubah menjadi seekor kucing dan duduk di pangkuan Cerlina sembari menjilat cakarnya senatural mungkin. Seorang prajurit masuk dan memberi hormat pada Cerlina, tatapannya jatuh pada Saciel.
"Marquess Zografos datang untuk bertemu dengan Anda, Pendeta Agung,” ujarnya. Cerlina mengangguk, lalu mengulum senyum tipis pada Julian dan Kezia yang ada di sisinya dengan tatapan heran bercampur bingung. Ketika sang prajurit pergi, Julian memberi salam.
"Aku kemari untuk menjemput kucingku, Pendeta Agung.”
"Silakan," balasnya sembari mengelus kepalanya dengan penuh sayang. Saciel langsung bergelanyut manja dan mengeong, namun langsung mendesis ketika Julian berusaha meraihnya. Kezia masih termangu menatap Cerlina yang memiringkan kepala melihatnya. “Halo?”
"Kak Saciel rambutnya beda?" tanya Kezia. Cerlina tertegun, namun tawa kecil meluncur dari bibirnya. Ia mendekati anak itu, mengelus puncak kepalanya selembut mungkin dan memberikan kucing tadi padanya.
“Aku bukan Saciel, manis. Aku adalah saudari kembarnya, Cerlina. Siapa namamu? Aku tidak ingat Kakak mengadopsi anak cantik sepertimu,” sapanya lembut.
"Namaku Kezia. Kakak cantik sekali, aku tidak tahu kakak saudara Kak Saciel,” jawabnya malu-malu, wajahnya yang bulat memerah layaknya tomat hingga Cerlina tidak sanggup untuk tidak memeluknya.
"Imutnya, aduh. Bisa-bisanya Kakak menyembunyikan anak seimut ini. Kapan-kapan berkunjunglah ke kuil, aku akan menjamumu dengan…”
“Maaf, Pendeta Agung. Kereta sudah menunggu Anda di luar,” sahut seorang prajurit tanpa memberi salam pada Julian maupun Kezia. Julian langsung menggendong Kezia dan hati-hati meletakkannya pada punggung Sky bersama dengan Saciel yang masih menjadi seekor kucing.
“Terima kasih sudah meluangkan waktu Anda yang berharga, Pendeta Agung. Sampai jumpa di lain waktu,” pamit Julian sembari memberi hormat dan mereka meninggalkan tenda, namun berhenti tak cukup jauh ketika prajurit lain berseru.
“Gawat, ada demi human di Respher!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments