Ekspresi arogannya luntur, wajahnya pucat pasi bagai pualam, tubuhnya gemetar menahan amarah dan takut. Pemandangan yang tidak ia inginkan membuatnya langsung keluar dan memuntahkan isi perutnya di bawah pohon tak jauh dari klinik kecil itu. Napasnya tersengal dan keringat dingin bercucuran. Rambutnya yang tergerai kini basah oleh keringat. Jess mengulurkan sapu tangan dan bersandar pada batang pohon dengan tatapan heran.
"Kau seperti melihat hantu saja, Nona.”
"Panggil aku Saciel. Dia…demi human yang membunuh orang tuaku saat perang," jawabnya lirih. Jess terkejut, namun sikap santainya mampu menutupinya. Ia menepuk pelan punggung Saciel dan membawanya duduk di bangku terdekat dengan anak-anak yang bermain dengan riang di bawah terik matahari, lalu menyodorkan sebotol air padanya.
"Pasti berat menghadapi kenyataan ini,” celetuk Jess sembari melirik pada Saciel yang menenggak isi botol dengan rakus. Penyihir berambut merah itu menghapus jejak air yang menempel di sudut bibir dengan jempolnya.
"Kurasa begitu. Kepalaku langsung sakit mengingatnya, aku yakin Kezia pasti bingung dengan reaksiku. Hah, aku lelah," balas Saciel. “Sangat lelah dengan hidup ini.”
"Kau beruntung hanya aku yang mendengarnya. Apa kau memikirkan perasaan kami sebagai manusia yang berjuang setengah mati untuk bertahan hidup di wilayah ini tanpa perlindungan dari siapapun, bahkan dewa sekalipun?" balas Jess tenang namun menusuk. Saciel terdiam, meresapi kata-kata Jess dan memantapkan hati. Ia berpaling padanya.
"Mungkin aku terlambat, tapi maukah kau mengizinkanku sebagai pelindung…tidak, sebagai tuan tanah kalian?" tanya Saciel.
"Apa saja yang kami dapat jika membiarkanmu menjadi tuan tanah di Chasata?”
"Perlindungan, pasokan makanan, pembangunan fasilitas umum dan juga pekerjaan yang layak. Aku akan segera mengirim pelayanku untuk membuatkan kontrak agar semuanya sesuai,” jawab Saciel. Jess sedikit terkejut mendengarnya, antara kagum dan tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Tidak kusangka seorang penyihir begitu memikirkan kami seperti ini, tapi apa yang kau dapatkan dari kami? Budak baru untuk rumahmu?”
"Budak? Tidak, aku tidak butuh budak. Pelayanku sudah lebih dari cukup,” jawab Saciel ringan dan mengulum senyum tipis. “Mereka kupilih atas persetujuan mendiang ayahku.”
"Dipilih…atas persetujuan? Kau ini membuat pasukan kecil apa?" tanya Jess ragu. Yang ditanya hanya diam dan mengerutkan kening ketika melihat Phillip berlari terburu-buru.
"Mereka segera datang,” sahutnya setelah sampai di hadapan Saciel dengan napas terengah-engah dan bulir-bulir keringat bercucuran. “Beruntung Lao mengutuknya sebelum pergi agar ia tidak bisa melakukan teleportasi.”
"Ini masih terlalu cepat untuk ukuran penyihir tanpa teleportasi. Bawa Kezia dan kakaknya meninggalkan Chasata, lalu evakuasi para…"
"Evakuasi para orang tua dan anak-anak, sisanya akan bertahan di sini,” potong Jess. Saciel mengerutkan kening dan berpaling padanya dengan sorot mata keberatan. Penyihir itu melipat kedua tangan layaknya seorang bos.
“Pikirkan kembali apa yang kau katakan. Lawan kita bukanlah penyihir biasa, dia salah satu SEW dan berada di urutan ketiga. Dia tidak akan segan-segan membantai kalian demi kesenangannya,” ujarnya mengingatkan. “Aku berjanji untuk melindungi kalian, tapi kumohon bekerja samalah untuk evakuasi.”
“Kami tidak akan pergi,” jawab Jess tegas.
Seorang pria bertubuh kekar dengan rambut cepak sewarna matahari terbenam dengan semburat emas di ujungnya melompat dari sapu terbangnya, diikuti pasukan kecil prajurit dengan emblem keluarga Phoenix tersampir pada dada kiri mereka. Ia menatap gerbang desa Chasata dan menyeringai.
"Manusia! Keluar dan sambutlah kami para penyihir,” sahutnya menggema hingga ke ujung desa. Beberapa orang mengintip dari balik gerbang, namun mereka tidak membukakan gerbang untuk penyihir tersebut.
"Kami tidak menerima penyihir di sini! Pulanglah,” sahut salah satu dari mereka. Comet mengangkat kepala dan mengerutkan kening, aura mengerikan terpancar darinya. Ia mengarahkan tangannya pada lubang yang muncul di sisinya dan menarik keluar sebuah pedang besar berwarna merah darah dengan ukiran burung phoenix pada bilahnya yang berkilau. Ia mengarahkan ujung pedangnya ke gerbang yang tertutup rapat dengan mata menyipit.
"Aku tidak akan mengulangi perintahku, manusia,” ancam Comet. Para penjaga tetap tidak bergeming, membuat kesabaran Comet menipis hingga rambutnya perlahan diselimuti api. Ia mengayunkan pedang besarnya dan menghempaskan segalanya hingga hancur tidak bersisa oleh angin dan api. Tubuh para penjaga langsung dilalap api hingga aroma daging terbakar menyapa indra penciuman pasukannya. Penyihir besar itu tertawa puas dan berjalan melewati mereka dengan angkuh, diikuti pasukan yang memasang ekspresi sedingin mungkin. Para penduduk langsung menyembunyikan anak-anak dan orang tua, sementara yang lain mengarahkan senjata sederhana mereka yang berupa sekop, cangkul dan arit pada pasukan Phoenix dengan kesal.
"Di mana kepala desa kalian, manusia hina?" ujar Comet dingin. Seketika aura dingin dan mencekam menyelimuti desa itu, membuat mereka mundur beberapa langkah. Tiba-tiba dari balik salah seorang penjaga Jess maju dan berdiri di hadapan Comet dengan wajah ditekuk.
"Apa para penyihir memang tidak punya tata krama terhadap ras lain atau hanya pada kami saja?” sindir Jess. Comet hanya diam, namun tangan kekarnya langsung memukul wajah manisnya hingga wanita itu tersungkur di hadapannya.
"Kasar!” sahut seseorang sembari menolong Jess untuk bangun, namun kaki Comet bergerak lebih cepat dan menginjak bahunya agar tidak berdiri. Jess melotot, Comet hanya memasang ekspresi bosan sembari menunduk untuk menyejajarkan pandangan mereka.
"Di mana penyihir berambut merah itu?"
"Penyihir berambut merah? Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan,” balas Jess kalem. Comet menyeringai, lalu menjambak belakang kepala untuk menariknya lebih dekat.
"Biar kuganti pertanyaanku. Di mana demi human itu? Jangan coba-coba menipuku, manusia,” ancam Comet. Jess diam, namun sorot matanya terlihat semakin menyala oleh api keberanian. Perlahan seulas senyum terukir di wajahnya.
"Dia kabur."
Comet diam. Ia menegakkan badannya dan berpaling, lalu mengangkat tangan kirinya dan muncul seekor burung phoenix yang diselimuti api merah membara. Sebelum Jess membuka mulutnya, phoenix itu langsung mengubah desa kecil itu menjadi lautan api. Semua orang tak luput dari api yang dihasilkan kepakannya. Jess meraung, bangkit dan mencoba menarik Comet ke dalam lautan api. Penyihir besar itu tak bergeming. Dengan sekali dorongan ia mencampakkan Jess ke dalam api besar dengan seringai mengerikan.
"Hah, lega rasanya. Perburuan kita belum selesai, ayo pergi,” ujar Comet sembari memperbaiki jubah yang dipakainya yang diselimuti api dan berjalan meninggalkan Chasata, diikuti para prajurit tanpa berpaling sedikitpun. Mereka tidak menyadari seseorang keluar dari salah satu rumah yang terbakar dengan kilat kemarahan mengisi kedua bola mata emasnya. Ia menatap desa yang terbakar itu, lalu berpaling pada tumpukan jenazah yang sudah mengering dan mengeluarkan aroma daging terbakar yang memuakkan. Ia menggigit bibir bawahnya hingga berdarah, sesekali rutukan keluar darinya. Ia diam, lalu menundukkan wajahnya untuk melihat lingkaran sihir besar di bawah Chasata mulai bersinar. Dalam sekejap semuanya kembali seperti semula. Semua orang menghilang, seakan mereka tidak pernah ada di tempat itu. Ia menghapus keringat dingin yang mengalir di pipinya, rona wajahnya memudar.
"Tidak kusangka akan menghabiskan mana sebanyak ini, tubuhku mulai mati rasa," gumamnya lirih. Ia bersandar pada tembok terdekat dan mencoba menghubungi Phillip.
"Kau baik-baik saja?"
"Yah, bisa dibilang begitu. Bagaimana dengan penduduk desa?" tanyanya dengan napas tersengal, matanya mulai tidak fokus.
"…mereka baik-baik saja. Saat ini aku sedang bersembunyi tak jauh dari desa, perlu bantuan?” balas Phillip. Saciel terkekeh.
"Boleh saja. Bagaimana dengan demi human yang tidak sadarkan diri?”
"Masih tertidur pulas, sepertinya energinya habis. Bagaimana dengan Comet?”
"…dia sudah pergi, tapi kuyakin belum jauh. Bisakah kau membawa Kezia dan kakaknya ke dalam Hutan Suci?” tanya Saciel. Meski ia tidak bisa melihatnya, ia merasakan perubahan dari suara Phillip.
“Kau ingin aku dikutuk lagi? Tempat itu bukanlah tempat yang bisa didatangi penyihir seperti kita. Kau yakin?”
"Kita tidak punya pilihan lain. Membawa mereka ke negara lain hanya akan memperumit masalah. Pilihlah,” balas Saciel lelah. Hening mengisi ruang, namun hela napas pasrah sang pemuda membuatnya lega.
"Aku mengerti. Tunggulah, akan segera kujemput kau setelah…"
Saciel memutuskan kontak dan jatuh berlutut, darah perlahan mengalir dari mulutnya. Ia menutup mulut dengan tangan dan gemetar melihat cairan kehidupan menempel pada tangannya. Ia terbatuk-batuk sembari mengelap bibirnya, lalu bangkit perlahan menuju sumur tua tak jauh darinya untuk membasuh darahnya. Ingatan saat perdebatan dengan Jess terputar di memorinya.
“Kau tidak bisa memaksa kami meninggalkan tempat ini. Chasata adalah rumah dan kami tidak akan meninggalkan tempat ini,” tolak Jess. Saciel nyaris meledak, namun waktu yang semakin sempit membuatnya menahan diri.
“Kuberitahu kau satu hal. Comet bukanlah penyihir yang mengedepankan empati pada ras lain. Dia bisa saja melakukan hal tidak terduga di sini. Contoh, membakar desa ini menjadi debu demi tujuannya.”
Jess menggelengkan kepala, masih bersikukuh dengan pendiriannya. Saciel maju dan menarik kerahnya agar bertatapan dengannya.
“DENGARKAN AKU! WAKTU KITA TIDAK BANYAK! TIDAK BISAKAH KAU MENURUT SEKALI SAJA DEMI KESELAMATANMU DAN PENDUDUK DESA? AKU BISA MEMBANGUN DESA DALAM WAKTU SEHARI, TAPI AKU TIDAK BISA MENGHIDUPKAN KALIAN JIKA MATI DI TANGANNYA!” jeritnya. Phillip hanya menonton, sementara Kezia yang masih menunggu di sisi Max menutup telinga dan menangis dalam keheningan. Rasa bersalah perlahan menggerogoti akal sehatnya. Setelah keheningan panjang mengisi, Phillip perlahan maju dan melepaskan kerah Jess dari Saciel.
“Aku hanya akan mengikuti kemauan kalian, tapi apa yang dikatakan Saciel benar. Comet tidak memiliki empati pada semua ras, jadi silakan pikirkan baik-baik hal terbaik yang bisa kau lakukan,” ujarnya sembari menepuk pelan kepala Saciel, namun tatapan tajam jatuh pada Jess. “Jangan egois.”
“Apa kalian tidak bisa bertarung melawannya?” tanya Jess hati-hati. Phillip tertawa kecil, namun tatapannya masih sama.
“Tidak ada jaminan kalian bertahan meski kami bertarung. Ada beberapa faktor yang bisa menjadi masalah dalam melawannya, jadi meninggalkan tempat ini adalah pilihan terbaik yang bisa kami tawarkan. Waktu kita hanya tinggal sepuluh menit dari sekarang.”
Wanita di hadapannya diam sejenak, perlahan ia menghela napas dan mengangguk pasrah. Apa yang dikatakan Phillip dan Saciel sangat masuk akal di situasi berbahaya ini. Saciel berpaling pada Phillip.
“Bawa mereka ke tempat teraman dan jauh dari jangkauan Comet, aku akan mengalihkan perhatiannya,” perintah si penyihir berambut merah sembari menjejakkan salah satu kakinya untuk memanggil lingkaran sihir besar yang mengelilingi Chasata. Wajah Phillip menggelap.
“Kau berniat menghabiskan manamu?”
Yang ditanya hanya diam dan berbalik memunggunginya, tidak peduli dengan tatapan tajam Phillip yang membuatnya tergelitik untuk menatapnya. Ia melirik dari balik bahu dan mengulum senyum saat pandangannya jatuh pada Kezia yang mengintip di balik pintu.
“Pergi,” ujarnya lirih. Phillip mengangguk, bergegas mengevakuasi Max dan yang lainnya sembari menggendong Kezia. Ia menatap punggung penyihir itu sekali lagi dan menghela napas.
“Semoga Dewa Oorun selalu menyertaimu.”
Penyihir berambut merah itu berbalik, mengawasi pergerakan mereka yang terburu-buru meninggalkan Chasata melalui jalur lain. Ketika Phillip dan penduduk Chasata menghilang dari pandangan, Saciel menghela napas dan membuka matanya perlahan.
“Waktunya bermain drama.”
Ia tertawa lepas, nyaris terdengar seperti gila. Kilat semangat perlahan terpancar dari matanya, tubuh lemasnya ia paksa untuk bangkit dan menatap ke langit yang mulai redup. Dengan sisa mana yang ia miliki, penyihir wanita itu langsung membuat perisai yang mengelilingi Chasata dan menambahkan penjaga astral.
“Phoenix memang benar-benar berbahaya, tidak heran Papa tidak mengizinkanku bertarung terlalu lama dengan mereka. Aku harus segera menyusul Phillip ke Hutan Suci dan memulangkan para penduduk desa,” gumamnya sembari mengikat rambutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments