Semua prajurit semakin terkejut akan berita buruk itu, terlebih para prajurit dari keluarga Phoenix. Beberapa mulai meneteskan air mata kesedihan akibat kehilangan kepala keluarga mereka.
"Bagaimana itu bisa terjadi?”
"Ia menyerang Saciel dan melanggar larangan di sini, menumpahkan darah pada tanah suci ini. Setelah darah Saciel menyentuh tanah, tubuhnya langsung diselimuti kristal Mata Oorun dan kini menjadi patung penghias tak jauh dari tempat kalian berdiri. Masuklah,” jawab Phillip. Semua prajurit segan, namun kepala prajurit langsung berjalan masuk tanpa menoleh sekalipun. Phillip tersenyum sinis dan menatap para prajurit.
"Apa hanya itu kesetiaan pasukan keluarga Phoenix? Atau mungkin ada beberapa orang luar?” sindirnya sembari memicingkan mata pada salah satu prajurit dari para tetua. Max memiringkan sedikit kepalanya.
"Wah, ternyata kalian ini termasuk buruan paling bernilai, ya?”
"Hanya Saciel saja yang bernilai, aku masih tidak ada apa-apanya. Ayo kembali, kita tidak ada waktu mengurusi mereka,” ajak Phillip sembari berbalik. Seorang prajurit mengeluarkan sebuah belati dari balik baju zirahnya dan menerjang Phillip, namun Max menjegalnya hingga ia terpelanting. Phillip melirik dengan tatapan dingin.
"Percobaan pembunuhan padaku hanya akan menjadi bumerangmu. Jangan lupa statusmu," ujar Phillip sembari berjalan masuk, diikuti Max dengan pongah dan menjulurkan lidahnya. Setelah tidak ada orang di sekitar mereka, Max bersuara.
"Kau ternyata tidak sebaik yang kukira.”
"Aku? Naif sekali pikiranmu hanya menilaiku penyihir baik dari luar. Mungkin suatu saat kau akan mengenaliku lebih dari ini,” balasnya dengan senyum palsu yang membuat Max muak dan ingin sekali memukulnya, namun tubuhnya masih dalam masa perawatan dan ia tidak mau ambil resiko melawan penyihir yang kemampuannya masih belum diketahui. Mereka berhenti pada tempat Comet mati secara mengenaskan, di mana terlihat kepala prajurit berlutut dan menundukkan kepala, mulutnya bergerak dan doa lirih terdengar dari kedua telinga Max. Phillip hanya diam memperhatikan, lalu kembali ke tenda. Sementara itu Max berjalan mendekati kepala prajurit yang langsung berdiri dan mengarahkan senjata padanya.
"Kau juga mau mati dengan cara yang sama seperti penyihir itu?” tanya Max sembari menunjuk patung Comet dengan tatapan tajam. Kepala prajurit bimbang, sementara Max berbalik menatap patung tersebut dan mengeluarkan sabitnya, memotong kristal yang mengikat kedua kakinya hingga hancur. Ia mendorong patung itu untuk memastikan patung tersebut bisa dipindahkan.
"Bawalah. Dia hanya akan merusak pemandangan di tempat secantik ini,” ujarnya kalem. Kepala prajurit tidak bisa menyembunyikan kesedihannya, air mata perlahan mengalir dan ia mengangguk, mengangkat patung itu dengan sihir.
"Terima kasih. Saya tidak akan melupakan kebaikan Anda.”
"Pergilah," ujar Max. Setelah kepala prajurit menghilang dari pandangan dengan patung Comet, Phillip sudah berdiri di belakang dengan senyum tipis.
"Heh, baik sekali kau,” godanya. Max berpaling dan menyeringai.
"Heh, kau bercanda? Mana mungkin, aku hanya menyingkirkan patung jelek itu dari tempat ini,” balas Max tak kalah. Keduanya larut dalam tawa hingga membuat serigala besar kesayangan Saciel keluar dengan rasa penasaran tinggi. Phillip membelai kepala Sky.
"Apa Saciel sudah bangun?" tanyanya. Sky menggigit ujung bajunya dan menarik Phillip ke dalam tenda lagi untuk melihat Saciel tengah mengelus kepala Kezia dengan posisi duduk yang cukup sempurna. Phillip menggerutu dan menghampirinya.
“Kau ini baru sadar sudah duduk saja, bagaimana jika lukanya terbuka? Kau belum bisa mengontrol manamu dengan akurat, kan?”
"Tidak bisa," balas Saciel lirih, hampir tidak terdengar. Kezia yang asyik dielus langsung diangkat Max seperti anak kucing.
"Biarkan dia istirahat, kau ikut denganku,” ujarnya. Kezia memberontak sambil memanggil nama Saciel, namun Max cepat-cepat membawanya kabur ke tenda mereka dan menurunkan dia di tempat tidurnya. “Kenapa juga kau harus menggunakan wujud anak kecil?”
"Aku tidak ada pilihan lain. Keberadaanku saat bersembunyi sudah ketahuan oleh teman Kak Saciel, tapi dia tidak menangkapku,” balas Kezia sembari mengembalikan wujudnya ke sosok remaja. “Daripada itu, apa Kakak tidak tahu keberadaan Kak Nero?”
"Kita terpisah darinya, oke? Kalau aku tahu akan kuseret dia keluar dari sini. Berarti kita harus mencari Nero, tapi di mana? Bisa saja dia sudah tidak ada di wilayah penyihir.”
"...mungkin Kak Saciel dan Kak Phillip bisa membantu...”
"Jangan terlalu mengandalkan mereka, Kezia. Kita adalah musuh, jangan lupa itu. Selain itu, terlalu lama bersama mereka hanya akan membuat posisi mereka terancam dan kita tidak bisa keluar dari sini hidup-hidup,” potong Max tegas. Kezia menghela napas dan mengerucutkan bibir.
“Kau terlalu kaku.”
“Kau terlalu santai. Pikirkan apa yang terjadi kedepannya, Kezia,” balas Max. ketika suasana makin tegang, Kezia kembali menjadi anak kecil dan berjalan meninggalkan tenda dengan wajah ditekuk. Max menarik napas dalam-dalam, lalu menghela kuat dan memijat pelipisnya untuk membantunya rileks. Ia menyusul adiknya dan melihatnya memeluk Sky di bawah pohon sembari menikmati angin lembut yang menyapa pipinya. Max merasa tenang melihatnya, namun pikirannya masih terlalu kalut mengingat keberadaan Nero yang tidak jelas.
“Hei, aku masih belum tahu namamu,” sahut Phillip sembari berjalan keluar dengan muka ditekuk.
“Max. Cukup panggil aku Max,” balasnya ketus.
“Tanpa nama keluarga? Baiklah. Jadi apa kalian punya rencana setelah ini? Aku ingin membawa Saciel lebih dalam agar tidak mudah dilacak oleh yang lain,” ujar Phillip. Max terdiam sejenak.
“Apa kau bisa membantu kami menemukan satu demi human lagi?” tanya Max.
“Bukan permintaan yang sulit, tapi akan makan waktu. Akan kuhubungi orang-orangku segera,” balas Phillip santai. “Hanya itu?”
“Itu saja sudah lebih dari cukup. Sisanya akan kuurus sendiri,” ujar Max tenang. “Bagaimana dengan penyihir wanita itu?”
“Dia baik-baik saja, hanya perlu istirahat untuk pulih. Hari ini sudah cukup melelahkan, beruntung kita tidak perlu melawan pasukan prajurit di depan. Kalian sebaiknya istirahat, aku akan mengurus beberapa hal dulu.”
“Aku bisa membantumu, jangan salah paham. Aku hanya membalas apa yang sudah kalian lakukan untuk kami. Kau bilang akan memindahkan kita lebih dalam? Kenapa tidak dilakukan sekarang saja untuk berjaga-jaga?”
“…lukanya masih belum menutup seutuhnya. Ingat benang sihir yang ditanam oleh Bibi Claudia padamu? Mereka butuh mana untuk tetap menutup luka, tapi dalam beberapa kasus sepertimu, benangnya sudah permanen dengan aliran mana rendah.”
“Apakah sulit untuk mengontrol mana saat dalam kondisi kritis?”
“Untuk penyihir sebenarnya tidak sulit, hanya saja kondisi Saciel saat ini bisa dibilang unik,” jawab Phillip ragu. “Aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi kondisinya berbeda saat dulu ia berperang.”
“Begitu. Sebaiknya kita bagi tugas saja, kau masuk ke dalam dan cari tempat sementara aku dan Kezia beberes di sini dan membantu…siapa namanya?”
“Saciel.”
“Ya, itu,” balas Max santai. Phillip menghela napas dan mengangguk, lalu pergi meninggalkan kedua demi human bersama Sky yang sudah terlelap di pangkuan Kezia. Dengan cepat Max langsung membereskan semuanya kecuali tenda kurang dari lima belas menit, hingga mengundang tepukan apresiasi dari sang adik.
“Masih cepat seperti biasanya meski terluka, wah,” celanya. Max nyaris melempar kain lap pada adiknya saat matanya mendarat pada penyihir wanita berambut merah yang berpegangan pada pintu tenda dengan wajah pucat dan napas tersengal. Ia menjatuhkan lap tadi dan mendekatinya, lalu mengulurkan tangan dengan wajah datar.
“Pegang tanganku,” ujarnya. Saciel melihatnya sejenak, lalu meraih tangan itu dan terkejut ketika Max menariknya dan menggendongnya bagai seorang tuan putri. Ia berjalan ke bawah pohon dan mendudukkannya di samping Kezia.
“Diam di sini saja, lukamu masih belum sembuh, kan? Kalau kau mati aku bisa dalam masalah,” ujar Max. Saciel masih bengong, namun tawa kecil meluncur dari bibirnya.
“Benar juga, kalian tidak bisa pergi dari sini tanpaku,” balasnya santai. Max hanya memutar bola matanya dan kembali membersihkan perkemahan mereka hingga Phillip kembali dengan wajah cerah.
“Berita bagus, aku menemukan tempat untuk kita bermalam cukup jauh dari sini. Oh, tempatnya sudah bersih? Baguslah, cepat berdiri di dekatku,” ujarnya sembari melipat tenda dengan sekali jentikan dan membuat lingkaran sihir di bawah kaki mereka.
“Sky, jadi anak baik oke?” ujar Phillip sembari memegang kalungnya agar tidak kabur. Dengan sekali jentikan mereka menghilang dalam kepulan asap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments