Kota Careol
“Tidak bisa begini terus. Kita harus bergerak cepat untuk menangkap Saciel sebelum dia berhasil melepaskan para demi human,” ujar Tetua Erika.
“Tapi bagaimana caranya? Wanita itu lebih licin dari yang kubayangkan, bahkan Comet pun gagal menangkapnya,” sahut Tetua Yorktown kecewa.
“Lord Phoenix marah besar dan memutus hubungan akibat kita membuat anaknya tewas di tempat suci, bahkan beliau tidak ingin menemui kita lagi,” ujar Tetua Boldstone. “Mereka sudah tidak memiliki pewaris lagi untuk meneruskan gelar itu.”
Para tetua tengah berargumen cukup sengit di ruang tahta sampai tidak menyadari kehadiran Lao beserta beberapa penyihir lain di belakangnya. Penyihir itu berdeham cukup keras hingga mereka langsung berbalik dengan ekspresi kesal sekaligus was-was.
“Turut berduka cita atas kehilangan salah satu anggota kalian, Lao. Bagaimana pemakamannya?” ujar Tetua Erika datar.
“Terima kasih, tapi sebaiknya kalian menyampaikannya langsung pada Lord Phoenix, bukan aku. Oh iya, kalian baru saja dimaki habis-habisan kan?” sindirnya riang. Tetua Erika diam, membuat Lao hanya berjalan melewati mereka dan duduk di singgasana dengan santai. Wajah para tetua menggelap.
“Duke Requiem, kusarankan kau turun dari sana sebelum prajurit menyeretmu turun,” ujar Tetua Boldstone. Lao menyeringai.
“Tidak mau. Kau tidak ada hak untuk mengusirku dari sini, Tetua Boldstone. Harap diingat posisimu masih lebih rendah daripada aku. Prajurit kekaisaran tidak akan bisa menuruti perintahmu untuk selanjutnya,” ujar Lao santai. Wajah Tetua Boldstone makin menyeramkan, membuat seringai terpatri di wajah Lao.
“Benar-benar tidak sopan,” keluh Tetua Erika.
“Kalian juga sama saja,” celetuk seorang wanita berperawakan tinggi langsing dengan wajah ditutupi kerudung hitam transparan yang mampu menutupi wajahnya kecuali bibir tipisnya yang dibalut dalam lipstik soft pink mendekati ungu. Tetua Boldstone mengerling.
“Duchess Rosemary, tidak biasanya Anda berkomentar soal ini,” celetuknya. Wanita bergaun hitam kelam panjang tersebut mengulum senyum.
“Oh, mungkin karena aku tidak mau berdebat dengan orang tua yang bertingkah seperti bocah,” sindirnya lirih. Sebelum para tetua berdebat, Lao mengangkat tangannya.
“Sudah cukup, Vristhi. Saat ini kita semua masih berduka atas kepergian Duke Comet Phoenix, jadi sebaiknya tidak perlu…”
“Saciel Arakawa membunuhnya, kan? Jangan berkelit,” potong Tetua Erika. Lao diam, namun senyum tipis nyaris tidak terlihat masih senantiasa terpatri.
“Atas dasar apa kau mengatakan itu, Tetua Erika?” celetuk Julian, menahan diri agar tidak memaki wanita tua yang tak jauh darinya. Dia menyeringai, namun segera memasang ekspresi serius dan berpaling pada Julian.
“Lalu bisakah kau jelaskan padaku bagaimana Comet Phoenix bisa terkutuk jika tidak ada pemicunya?” tantang Tetua Erika santai. Julian nyaris menyerang, namun sebuah tombak mengarah tepat di bawah lehernya. Ia menelan ludah dan melirik, mendapati sosok mengerikan Lao yang terbalut bayangan hanya menyisakan sepasang mata biru kelamnya.
“Julian, jangan bergerak,” ancamnya. Yang diancam diam, keringat dingin perlahan mengalir di pelipisnya. Lao berpaling pada Tetua Erika dengan tatapan tajam.
“Kau bisa menjawab pertanyaan Julian, kan?” tanya Lao dingin. Ia diam, menelisik Lao yang makin menguarkan aura dingin dan mematikan.
“...salah satu anak buahku yang ikut dalam pasukan Phoenix melaporkan bahwa Saciel yang berinisiatif membunuhnya dengan cara melukai dirinya di tangan Phoenix,” jawab Tetua Erika. Lao tidak bersuara, namun perlahan ia menurunkan tombak dan kembali ke wujud semula.
“Ah ya, aku ingat. Kau mengutus beberapa anak buahmu menemani Comet untuk memburunya, tapi atas perintah siapa kau melakukan ini, Erika?” tanya Lao.
“Kami tidak butuh persetujuanmu untuk menangkap Saciel dan juga demi human tersebut. Apa yang kami perbuat bukanlah…”
“‘Bukan urusanmu’, begitu? Jangan sembarangan bicara, Erika. Kau mungkin tua, tapi otoritas sementara kekaisaran ini masih menjadi milikku selaku ketua SEW. Aku bisa memenjarakanmu atas tuduhan membangkang perintah,” potong Lao.
“Benar-benar tidak bermoral. Kau bahkan tidak memanggilku Tetua,” sindir Erika. Lao memutar tombaknya dan menghilangkannya setelah dilempar ke udara, lalu kembali ke singgasana dan menghadap semua penyihir.
“Urusan Saciel Arakawa akan dipegang oleh SEW dan kalian para tetua tidak boleh ikut campur,” titahnya. Semua tetua protes, namun mampu diredam oleh satu bantingan palu besar oleh sebuah boneka besar di samping gadis kecil berusia 12 tahun dengan dua kepang bergelombang dengan wajah bosan.
“Haduh, berisik sekali sih kalian. Tidak bisa apa diam sebentar?” keluhnya sembari duduk di salah satu tangan boneka tersebut.
“Bocah tengik, kau benar-benar memuakkan,” ujar Tetua Yorktown. Gadis itu melirik dan tertawa kecil, terkesan mengejek di telinga para tetua.
“Ya ampun, aku hanya bercanda. Jangan marah, Kek,” godanya.
“Tania, sudah cukup. Kita kembali ke topik utama dulu,” ujar Lao sembari melepas jasnya. “Seperti yang kukatakan, urusan Saciel Arakawa akan menjadi prioritas kami. Dan aku harus mencari pengganti Comet Phoenix secepat mungkin.”
“Lao, aku akan mengejarnya,” sahut Vristhi. Julian menggelengkan kepala, tapi jawaban Lao membuatnya berpaling dengan ekspresi yang tidak bisa dijelaskan.
“Boleh saja, Vristhi. Memang rencanaku mengutusmu, tapi sebaiknya kau ditemani seseorang.”
“Aku,” ujar Julian mengajukan diri.
“Tidak bisa, aku butuh kamu di sini. Istvan juga tidak boleh keluar karena ada hal penting yang kau kerjakan setelah ini,” tolak Lao. Julian nyaris memaki, namun celetukan Tetua Erika menghentikannya.
“Julian, kenapa kau sangat ingin menemui Saciel?”
Yang ditanya diam, merutuki penyihir wanita tua itu dalam hati dan mengontrol napasnya untuk rileks. Erika menyeringai, namun sebelum ia melancarkan pertanyaan berikutnya Lao sudah bersuara duluan.
“Bawa saja bocah Schariac itu. Dia butuh pengalaman, sekalian jalan-jalan ke luar Careol.”
“Aku?” celetuk Tania kaget. Lao mengangguk. “Kenapa?”
“Sudah kubilang kau butuh pengalaman, Tania. Kau masih terlalu muda soalnya, meski setelah kau ada Istvan sih,” ujar Lao santai.
“Sialan kau, orang tua. Bukannya salahmu menjadikanku anggota SEW dengan paksa?” sindir Istvan. Lao mengabaikannya dan mengulum senyum pada Vristhi dan Tania.
“Hati-hati di jalan, Duchess Vristhi dan Nona Tania,” ujarnya sembari melakukan teleportasi kepada dua penyihir itu dengan sekali jentikan. “Rapat sudah selesai, silahkan pergi.”
Setelah para tetua pergi, Lao berpaling pada Julian dan Istvan yang menatapnya heran. Ia melirik ke segala arah dan menemukan beberapa benda yang mirip di kuil Oorun. Ia menyeringai dan langsung menghancurkan semuanya tanpa sisa.
“Itu…”
“Kamera pengintai yang baru-baru ini dikembangkan oleh alkemis dan demi human. Benda ini mampu merekam apa saja yang terlihat di kamera dan langsung ditampilkan pada layar yang tersambung, seperti ini,” papar Lao sembari memunculkan layar dan menampilkan potongan rekaman sebelum kamera pengintai dihancurkan.
“Luar biasa, perkembangan teknologinya sangat tinggi. Tapi bagaimana bisa mereka mendapatkannya?” tanya Istvan.
“Julian tengah mencari tahu, bahkan Tuan Muda Arlestine pun masih menemui jalan buntu.”
“Jadi kenapa kau menahan kami di sini?” tanya Julian ketus.
“Hei, kenapa kau marah? Ayolah, jangan memasang wajah cemberut seperti itu. Nanti akan kupertemukan kau dengan Saciel, tapi bukan sekarang. Ada tugas yang harus kau lakukan untukku,” ujar Lao kalem.
“Apa? Jangan bilang kau ingin aku menguntit para tetua?” tebak Julian.
“Untuk apa? Tidak ada gunanya mereka dikuntit. Sebaliknya, aku malah minta kau untuk mengurus Cerlina,” balas Lao. Julia mengernyit.
“Bentar, Cerlina? Memang ada apa dengannya?”
“...kupikir agen kecilmu memberitahu segalanya padamu, ternyata aku salah,” keluh Lao kecewa. “Ya sudahlah, tidak ada gunanya berdebat. Posisi Cerlina cukup terancam setelah Saciel pergi, ditambah lagi kebanyakan pendeta memihak para tetua.”
“Jadi apa yang harus kulakukan?”
“Sering-seringlah berkunjung untuk mengawasinya. Perlu diingat, mereka juga punya kamera pengintai jadi tetap waspada,” ujar Lao. Julian mengangguk, lalu Lao berpaling pada Istvan.
“Karena kau belum lama ini bergabung, aku akan memberimu misi sederhana. Awasi nenekmu itu,” ujarnya santai. Istvan mengerang.
“Kenapa juga aku yang mengawasinya?”
“Kau kan cucu kesayangannya, meski aku yakin dia pasti akan sangat waspada setelah kau menjadi SEW. Cukup awasi saja, tidak perlu bertindak gegabah. Dia masih cukup kuat untuk melawanmu,” balas Lao.
“Baiklah, aku mengerti. Aku pergi dulu,” ujarnya malas, berjalan meninggalkan ruang singgasana dengan kedua tangan di belakang kepala. Julian melirik sejenak, lalu mengangguk dan pergi menyusulnya. Lao menghela napas.
“Mari kita lihat apa yang akan terjadi dengan masa depan kita.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments