Julian langsung berbalik dan mendapati beberapa prajurit bukanlah bagian dari prajurit kerajaan. Ia melirik ke arah Kezia yang rona wajahnya sudah hampir sama dengan mayat. Sebelum ia bertindak, Saciel sudah kembali ke wujud semula dan menepuk puncak kepala anak itu dengan pelan.
"Tenang, kau akan baik-baik saja. Pergi dan pulanglah bersama pelayan, aku akan menyusulmu," ujarnya menenangkan. Kezia mengangguk, lalu mencengkeram bulu lebat dan halus milik Sky agar tidak terjatuh darinya. Julian menarik Saciel menjauh dan bersembunyi, lalu menumbuhkan bunga terompet mini pada batang pohon hingga suara para prajurit tersebut bisa terdengar.
"Hei, jangan teriak. Kalau sampai salah satu SEW mendengarnya, bisa-bisa Tetua Erika bakal membunuh kita."
"Aku tidak melihat mereka, memangnya tadi ada?"
"Bodoh, apa kau tidak bertemu dengan Marquess Zografos? Dia belum lama ini keluar dari tenda Pendeta Agung. Beruntung gadis naif itu tidak mendengarnya,” keluh si prajurit. Julian langsung membekap Saciel sebelum ia melepaskan sumpah serapah, lalu melotot agar ia mendengarkan pembicaraan mereka lebih lanjut.
"Kurasa dia sudah jauh, kenapa juga kau takut dengannya? Para tetua kan lebih hebat dari mereka. Ah, daripada membahas itu, Tetua Erika memberikan perintah untuk menangkap demi human itu di bawah pimpinan Marquess Phoenix."
Kedua penyihir yang mendengarnya membelalakan mata, berusaha mencerna berita buruk dari percakapan dua prajurit asing tersebut. Setelah mereka pergi, Saciel mendorong Julian agar terbebas dari bekapannya. Wajahnya mulai kehilangan warna, sementara Julian menggelengkan kepala.
"Wah gila, Erika beneran mau menangkapnya,” gumam Julian.
"...aku akan pergi mencarinya sebelum mereka,” ujar Saciel. “Di mana posisi terakhir demi human itu?”
"Ciel, kau tidak boleh meninggalkan Careol. Para tetua akan menjadikan kesempatan ini untuk menjadikanmu buronan. Tenanglah, aku akan menghubungi Lao untuk menghentikannya," tolak Julian. Saciel menggelengkan kepala.
"Tidak bisa, kau dengar kan apa yang mereka katakan? Para tetua mengutus si gila Phoenix untuk menangkapnya. Aku yakin dia akan membunuhnya di tempat,” balasnya panik. Julian sudah tidak bisa berkata-kata, semuanya sudah diabaikan penyihir berambut merah di hadapannya. Ia menghela napas berat, lalu mengusap wajahnya yang berkeringat.
"Kalau kau mau pergi, katakan padaku bagaimana caranya kau keluar dari Careol tanpa terdeteksi sihir pelindung? Melakukan teleportasi pun akan berakhir sama saja," tantang Julian. Gadis itu terdiam, kepalanya terkulai lemah, pandangannya nanar. Julian kembali menghela napas dan menuntunnya untuk pulang, sembari mengawasi pergerakan sekitarnya agar tidak ada yang mengikuti mereka.
Kereta kuda yang membawa mereka baru saja berhenti ketika Lao berdiri di depan pintu bersama dengan para pelayan kediaman Arakawa. Kezia juga berada di sana, dengan wujud manusianya memeluk Sky di sisinya. Saciel langsung meloncat turun dan berdiri di hadapan pria mapan tersebut.
"Apa kau berniat menghalangiku juga?" tanyanya dingin. Lao menutup mulut dengan tangannya, namun matanya yang menyipit terkesan meremehkan untuknya.
"Kalau mau, aku sudah membawa pergi bocah ini dari kemarin. Tapi,” potongnya sebelum Saciel menyerangnya, “aku memberimu kesempatan untuk menyelamatkan mereka sebelum para tetua menangkapnya, bagaimana? Tawaran yang bagus, bukan?”
"Memangnya kau bisa dipercaya? Sudah berapa kali kau mencoba menipuku?” sindir Saciel. Lao mengulum senyum.
"Waktumu tidak banyak, Saciel Arakawa. Jika kau tidak segera meninggalkan tempat ini bersama dengan demi human ini, kuyakin para tetua akan mengendusnya. Aku bisa menahan mereka paling lama…3 jam. Cukup, bukan?" tawarnya lagi. “Akan kupanggil Phillip untuk membantumu.”
Saciel diam sejenak, namun ia menyadari hidup dan mati Kezia sudah tidak bisa ditawar lagi. Ia menyipitkan mata pada Lao, lalu menghela napas dan menggambar lingkaran sihir untuk memanggil Phillip yang tengah asyik membaca buku. Ia mengerjapkan mata dan menatap Lao, namun memilih diam dan berpaling pada Saciel yang menghela napas pelan.
“Di mana posisi demi human yang diincar para tetua?” tanya Saciel.
"Chasata, desa para manusia yang tersembunyi di dekat Hutan Suci," jawab Julian sembari memamerkan bunga morning glory di pundaknya. “Perjalanan dari sini memakan waktu 2 hingga 3 jam dengan kereta kuda, satu jam untuk kereta uap dan…”
"Teleportasi dalam waktu kurang dari 5 detik," celetuk Phillip kalem. “Meski begitu, memasuki wilayah manusia seperti itu dianggap sebagai ajakan perang.”
"Bagaimana jika kita melakukan teleportasi di luar desa?" tanya Saciel.
"Memungkinkan, tapi jika kau berniat melakukannya jangan di kota. Pergilah keluar kota dan teleportasi sedekat mungkin dengan Chasata. Masalah Comet akan kuurus di sini,” ujar Lao datar, namun ekspresinya berubah ketika melirik pada Julian yang menggelengkan kepala.
"Dia belum lama ini pergi dengan sepasukan prajurit istana," celetuk Julian. Lao memijit pelipisnya cukup keras. Ia melirik pada Kezia dan menuntunnya mendekati Saciel dan Phillip, disusul Sky di sisinya.
"Erika brengsek, dia sudah mulai beraksi ternyata. Ya sudahlah, kalau dia memang maunya begitu akan kulayani. Kuyakin mereka tidak bisa melakukan teleportasi karena terbatasnya mana, jadi ini cukup menguntungkan untukmu. Saciel, kau akan terus kupantau dari sini. Berjanjilah padaku kau tidak akan berbuat onar atau membunuh lagi. Paham?” ujar Lao dengan suara rendah yang jauh dari kata ramah di telinga Saciel. Gadis itu mengangguk, menurunkan pandangan ketika cahaya putih lembut mengalir dari setiap garis pada lingkaran sihir di bawah kaki mereka. Dalam sekejap mereka berpindah di depan sebuah danau bening bagai kristal yang memantulkan bayangan di sekelilingnya. Kezia terpana.
"Cantiknya. Tempat apa ini, Kak?” tanyanya sembari mendekati bibir danau dan mencelupkan tangan pada airnya yang dingin nan menyegarkan.
"Danau Crystal, salah satu tempat terbaik di wilayah ini. Meski Chasata masih satu pulau dengan Careol, sayangnya kami tidak mengurus politik manusia dan kau bisa melihat nanti sejauh apa teknologi mereka saat ini,” ujar Phillip. Saciel menghela napas dan mengecek peta.
"Perjalanan kita masih lumayan jauh, ayo bergegas sebelum Comet datang,” desak Saciel sembari berjalan ke timur tergesa-gesa, disusul Phillip dan Kezia yang menunggangi Sky.
"Kenapa penyihir tidak mengambil alih pemerintahan manusia?” tanya Kezia lagi, kali ini benar-benar penasaran akan perbedaan yang terjadi di Respher. Saciel dan Phillip berpandangan, memberi kode siapa yang akan menjawab pertanyaan sederhana namun kritis untuk anak seusia Kezia.
"…rasisme di wilayah Respher cukup tinggi, terutama bagi manusia. Mereka satu-satunya ras yang tidak memiliki mana," jawab Saciel.
"Aneh, tapi penampilan mereka kan sama seperti Kak Saciel dan Kak Phillip. Masa karena tidak memiliki mana lalu mereka dikucilkan? Mereka kan juga bisa berkembang dengan kemampuan mereka yang terbatas,” desaknya lagi. Kini kedua penyihir hanya bisa terdiam, tidak bisa mengimbangi pembicaraan yang sudah kelewat jauh bagi mereka. Ketiga berjalan dalam diam hingga gapura Desa Chasata terlihat dari jauh. Perlahan ekor dan telinga serigala milik Kezia mencuat, membuat si anak sedikit panik.
"Tidak apa, mereka tidak akan bisa menyakitimu selama ada kami. Diusahakan tidak menggunakan kekerasan,” ujar Phillip menenangkan. Ketika langkah mereka semakin dekat, para penjaga langsung menutup akses dan mengarahkan berbagai senjata pada mereka.
"Penyihir, kembalilah ke wilayahmu. Tempat ini tidak menerima kalian,” sahut seorang penjaga lantang. Sebelum Saciel membuka bibirnya, Phillip melangkah maju.
"Kami kemari karena mendengar ada demi human di sini. Apa kami bisa melihatnya?" ujar Phillip tenang. Suasana tegang kembali menyelimuti mereka.
"Tidak ada demi human di sini! Kalian membuang waktu!”
"Kezia, apa kau mencium aroma familiar dari desa?” bisik Saciel sembari menyejajarkan bibirnya pada telinga Kezia. Gadis itu mengendus sejenak dan membelalakkan mata bulatnya, lalu mengangguk samar. Saciel menghela napas dan berseru.
"Panggil kepala desa kalian!”
Para penjaga tidak bisa menahan diri mendengarnya. Tanpa ragu mereka melepaskan tembakan ke arah mereka, namun Saciel langsung membuat perisai. Ia mencoba menahan diri untuk tidak menyerang balik, namun kesabarannya nyaris putus ketika melihat moncong meriam diarahkan.
"Hentikan!” sahut seseorang. Para penjaga berhenti dan berbalik untuk melihat wanita bertubuh pendek berisi dengan rambut pendek model bob berwarna coklat berjalan mendekati mereka dengan senapan laras panjang di pundaknya. Sepatu boot setinggi tujuh senti menimbulkan suara yang cukup keras di tanah seiring langkahnya mendekati para penyihir dengan tatapan tajam.
"Pulanglah, penyihir. Chasata tidak akan menyambut kalian untuk kedua kalinya,” usirnya santai. Saciel memiringkan kepala.
"Aku tidak masalah, tapi perlu kau ketahui. Pasukan penyihir akan segera datang dan memporak-porandakan wilayah ini hanya untuk menemukan demi human yang kalian sembunyikan. Jangan tanya bagaimana kami mendapatkan informasinya, tapi kami kemari dengan maksud baik," tantang Saciel kalem, kedua tangannya dilipat di dada dengan penuh percaya diri. Wanita itu mengarahkan senapan padanya.
“Rambut merah dan mata emas adalah ciri khas sang pahlawan perang Respher, Saciel Arakawa. Penyihir berbakat yang sanggup mengalahkan pasukan Ceshier. Penyihir yang paling angkuh, arogan dan terburuk di sejarah Careol,” ujarnya.
“Itu hanya omong kosong. Katakan padaku, di mana demi human itu? Ada seseorang yang ingin menemuinya,” ujar Saciel sembari mengendikkan bahu pada Kezia di belakangnya. Yang dijadikan objek hanya bengong dan bingung. Wanita itu diam sejenak, lalu menurunkan senapannya meski kewaspadaannya masih tinggi.
“Demi human lain? Jadi ada 2 yang masuk wilayah Respher?” tanyanya heran.
“Sebenarnya ada 3,” sahut Kezia keceplosan. Semuanya terdiam dan langsung menghujani anak itu dengan tatapan tajam. Wanita itu tertawa keras hingga air mata jatuh di pipinya, lalu menatap Kezia dalam.
“Sayangnya kami hanya menemukan 1 saja dan dalam kondisi yang cukup parah. Mari masuk, para tamu,” ujarnya sembari memberi ruang untuk mereka. “Aku Jess White, kepala desa Chasata yang belum lama ini dilantik.”
“Terima kasih, Nona White. Bisakah kau ceritakan padaku sedetail mungkin bagaimana demi human itu terdampar di sini?” pinta Saciel sembari berjalan memasuki Chasata dengan santai, tidak seperti Phillip dan Kezia yang tegang dan gemetar.
“Salah seorang penduduk desa menemukannya terkapar di sungai penuh luka dan kehilangan banyak darah, beruntung kami menemukan darah yang cocok untuknya. Aku kurang tahu apa yang terjadi padanya, tapi kalau dilihat dari lukanya sepertinya bekas tusukan dan gigitan hewan buas,” papar Jess, sembari berjalan di depan dan menuntun mereka ke sebuah pondok sederhana di tengah desa, dipenuhi oleh lansia dan orang sakit. Saciel mengerutkan kening.
“Kondisi tempat kalian sepertinya jauh dari layak,” komennya.
“Karena ekonomi kami cukup rendah, kami melakukan yang terbaik,” balas Jess dingin. Saciel terdiam. Ketika tiba di depan pondok, Jess berhenti di depan pintu masuk.
“Hanya dua orang saja yang diperbolehkan masuk,” ujarnya.
“Kau dan Kezia saja yang masuk, aku ingin berkeliling desa sekaligus mengawasi jika Comet datang,” ujar Phillip sembari melenggang santai bersama seorang lelaki bertubuh tinggi tegap dengan kulit tan yang sehat.
“Jaga tamu kita baik-baik, Carl!” sahut Jess. “Mari, Nona-nona. Pasien sudah menanti,” lanjutnya sembari membuka pintu dan mengajaknya ke loteng, ke sebuah kamar paling ujung yang jauh dari sinar matahari dan sedikit lembab. Jess membuka pintu, lalu membiarkan Saciel dan Kezia masuk sebelum menyalakan lampu. Sang penyihir menyipitkan mata dan terkejut melihat sosok yang tidak asing terkapar di ranjang dan tidak sadarkan diri. Sahutan Kezia yang memanggilnya ‘Kakak’ membuatnya mual.
“Dia…kakakmu?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 101 Episodes
Comments