Ayo Menikah Lagi!!
"Saya terima nikah dan kawinnya.. Bla bla bla "
"Sah!!" ucap penghulu yang menjabat tangan seorang pria yang ada di depannya.
Tak ada senyum ataupun ekspresi senang diwajah mempelai pria. Hanya tatapan datar dan dingin. Sedangkan mempelai wanita hanya diam tertunduk.
Suasana ijab pun tampak sepi karena hanya beberapa orang yang hadir. Terdiri dari saksi, kedua mempelai, wali mempelai wanita, asisten mempelai pria, dan penghulu.
"Pak, saya akan mengambil foto pernikahan anda sebagai bukti untuk diserahkan ke Tuan Besar", ucap Rendi selaku asisten Tuan Muda yang baru saja menikah.
"Tak perlu! Cukup kirimkan saja surat nikah ini pada Kakek sesuai rencana kita", jawab sang Tuan Muda, Langit Satria Cakrayudha.
"Baik Pak, akan segera saya kirim sesuai perintah". Rendi undur diri bersama dengan penghulu, wali nikah, dan saksi.
Kini menyisakan Langit bersama dengan mempelai wanitanya. Tapi wanita itu bukanlah pengantin yang sesungguhnya. Lebih tepatnya "pengantin sementara".
"Sesuai perjanjian kita, kita akan tinggal satu atap selama satu tahun sampai kekasihku menyelesaikan pendidikannya di luar negeri. Jangan lupa bahwa namamu sekarang Renata Bunga Adijaya. Jangan sampai salah sebut", ucap Langit dengan nada datar dengan tatapan tajam pada wanita yang berstatus sebagai 'istri sementara'-nya itu.
"Baik. Tapi gimana kalau aku ketemu sama temen yang aku kenal?"
"Terserah sikap apa yang akan kamu ambil. Yang terpenting kamu tidak melanggar perjanjian dan jangan sampai ketahuan oleh kakekku", jawab Langit sambil melepaskan jas dan melonggarkan dasinya.
"Dan satu lagi. Panggil saya Tuan atau Pak kalau sedang berdua dan gunakan bahasa formal ketika berbicara. Karena kita terikat kontrak sebagai atasan dan bawahan. Sedangkan saat bersama orang lain selain asisten saya, kamu boleh memanggil saya 'Kak' seperti Renata memanggil saya", tegas Langit.
"Baik, Pak".
"Oh ya, saya lupa. Siapa namamu tadi?"
"Nama saya Aurora Zalameyda, Pak. Panggil saja Aurora".
"Baiklah. Tapi saya akan memanggilmu Nata, sperti panggilan saya ke Renata. Agar kamu juga terbiasa dengan nama itu."
"Baik, Pak."
"Baiklah kalau kamu sudah paham. Kamar kamu ada di sana. Kalau masih ada yang kurang atau perlu apapun silahkan bilang ke Rendi". Langit beranjak dari tempat duduknya dan pergi menuju ke lantai dua.
"Dan satu lagi. Jangan pernah naik ke lantai dua tanpa seizin saya", tegas Langit.
Seperginya Langit ke lantai dua, Aurora menarik nafas dalam-dalam. Ia tak menyangka statusnya akan berubah menjadi seorang istri dalam sekejap. Ya, meskipun ia hanya menjadi 'istri sementara'.
Semua berawal saat Aurora mencari pekerjaan setelah menyelesaikan studi Fashion Designer di sebuah Universitas di pinggir kota yang tak begitu terkenal. Ia ingin mencari pengalaman lebih dulu untuk memperdalam ilmunya.
Saat ia lelah kesana kemari mencari pekerjaan, ia beristirahat di sebuah kafe yang lumayan ramai pengunjung. Sampai ada seseorang pria mengenakan setelan jas rapi menghampirinya dan menawarkan pekerjaan yang misterius.
Aurora tampak begitu bingung, namun pria itu meninggalkan kartu namanya. Yang tertera nama Rendi Mahendra beserta alamat kantor dan nomor yang bisa dihubungi.
"Pertimbangkan baik-baik, Nona. Segera hubungi saya jika Anda sudah memutuskan". Lalu Rendi pergi meninggalkan meja Aurora. Tampak pria itu berjalan keluar mengekor seorang pria lagi yang bertubuh lebih tinggi dan berkulit putih dengan tatanan rambut yang rapi.
Sesampainya di rumah, Aurora menelpon sahabatnya. Menceritakan semua yang terjadi padanya.
"Coba aja datengin kantornya. Siapa tahu rejeki lo ada disana, Zal", ucap Mika dalam sambungan telepon. Mika biasa memanggil Aurora dengan Zala, nama belakangnya.
"Tapi kok gue curiga, sih. Tiba-tiba aja ada orang yang nawarin gue kerja. Apa jangan-jangan itu akal-akalan penculik? Trus nanti gue di jual ke om-om? Hiii.." Aurora bergidik.
"Mana ada penculik yang pakai jas rapi, nongkrong di kafe? Apalagi punya alamat kantor segala?" Mika mulai sebal.
"Kan jaman sekarang para penculik udah maju metodenya", Aurora tetap ngeyel.
"Au ah, Zal. Serah lo dah. Yang penting gue ingetin ya, bulan depan lo harus lunasin utang-utang ortu lo di rentenir. Kalo lo nggak mau kehilangan rumah peninggalan ortu lo dan jadi gelandangan tidur di bawah jembatan!" Mika segera menutup sambungan teleponnya, karena pasti akan jadi sesi curhat berkepanjangan kalau udah menyangkut hutang ortu Aurora.
Akhirnya Aurora nekat datang ke alamat yang tertera dalam kartu nama Rendi. Saat tiba di alamat yang dituju, betapa terkejutnya ia ketika yang dilihatnya bukan sebuah kantor kecil seperti yang ada dalam bayangannya. Ternyata itu sebuah pusat perkantoran besar di tengah kota yang terkenal.
Di depan lift, dia menekan angka 17, sesuai perintah Rendi dalam teleponnya beberapa saat lalu. Tak lama kemudian lift terbuka dan kembali Aurora menekan angka 17.
Keluar dari lift, rasa mual menggerayangi perutnya. Karena baru pertama kali Aurora naik lift setinggi itu. Dulu menurutnya, lantai lima tempatnya kerja sampingan di sebuah kafe saat kuliah, sudah terlalu membuatnya mual.
"Pagi, Pak", sapa Aurora yang langsung mengenali Rendi yang menyambutnya keluar dari lift.
"Ya, Nona Aurora. Silahkan ikuti saya ke kantor", ajak Rendi kemudian berjalan menuju sebuah ruangan. Aurora mengekor di belakang dengan sedikit berlari kecil karena langkah Rendi yang lebar dan terlalu cepat.
"Silahkan duduk", Rendi mempersilahkan sambil membuka kulkas yang ada di samping sofa.
Mata Aurora menyapu seluruh ruang kantor Rendi. Sangat luas, rapi dan tentunya maskulin.
"Gilak! Nih kantor luasnya udah kayak lapangan futsal", batin Aurora sembari matanya berkeliling memikirkan luasnya.
"Silahkan diminum dulu. Pasti Anda lelah selama perjalanan", Rendi menyodorkan segelas minuman berwarna oren yang diyakini Aurora adalah minuman rasa jeruk.
Glek! Aurora menelan ludah membayangkan betapa segarnya minuman itu ketika melewati tenggorokannya. Apalagi rasa mual setelah naik lift sampai lantai 17. Namun ia membayangkan kisah-kisah dalam novel yang sering dibacanya. Seseorang akan menaruh obat tidur dan menjebaknya.
"Tidak, Pak Rendi. Terima kasih", jawab Aurora sembari kembali menelan salivanya.
"Anda jangan khawatir, Nona Aurora. Saya tidak menarih racun atau obat-obatan dalam minuman tersebut", sepertinya Rendi bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Aurora.
Aurora hanya tersenyum malu karena pikiran ya sendiri.
"Pak Rendi tau aja sama apa yang saya pikirkan", cengir Aurora. Kemudian ia langsung meminum minuman itu hingga tersisa setengahnya.
"Nona Aurora sudah datang kesini. Yang artinya Nona Aurora sudah siap bekerja sama dengan kami", ucap Rendi membuka pembicaraan tentang pekerjaan yang akan diberikan pada Aurora.
"Ya, Pak. Saya siap bekerja apapun", jawab Aurora mantap.
"Saya akan menjelaskan lebih detail tentang pekerjaan ini. Setelah saya menjelaskan semuanya, Nona harus memikirkan kembali keputusan Nona. Karena jika Nona sudah membuat keputusan, maka Nona akan terikat perjanjian dan tidak bisa lagi membatalkan", panjang Rendi memberi penjelasan.
"Baik, Pak. Akan saya dengarkan dulu penjelasannya".
Rendi menyodorkan laptop pada Aurora.
"Silahkan scroll kebawah pelan-pelan sesuai apa yang saya sampaikan. Dan mohon Anda pahami".
Aurora mendengarkan penjelasan dari Rendi sesuai perintah sebelumnya. Ia men-scroll sebuah file yang berisi detail pekerjaan. Semakin kebawah ia men-scroll. Semakin ia bergidik ngeri dengan isi file tersebut.
File itu berisi tentang "Perjanjian Pengantin Pengganti"!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments