NovelToon NovelToon

Ayo Menikah Lagi!!

Awal Mula

"Saya terima nikah dan kawinnya.. Bla bla bla "

"Sah!!" ucap penghulu yang menjabat tangan seorang pria yang ada di depannya.

Tak ada senyum ataupun ekspresi senang diwajah mempelai pria. Hanya tatapan datar dan dingin. Sedangkan mempelai wanita hanya diam tertunduk.

Suasana ijab pun tampak sepi karena hanya beberapa orang yang hadir. Terdiri dari saksi, kedua mempelai, wali mempelai wanita, asisten mempelai pria, dan penghulu.

"Pak, saya akan mengambil foto pernikahan anda sebagai bukti untuk diserahkan ke Tuan Besar", ucap Rendi selaku asisten Tuan Muda yang baru saja menikah.

"Tak perlu! Cukup kirimkan saja surat nikah ini pada Kakek sesuai rencana kita", jawab sang Tuan Muda, Langit Satria Cakrayudha.

"Baik Pak, akan segera saya kirim sesuai perintah". Rendi undur diri bersama dengan penghulu, wali nikah, dan saksi.

Kini menyisakan Langit bersama dengan mempelai wanitanya. Tapi wanita itu bukanlah pengantin yang sesungguhnya. Lebih tepatnya "pengantin sementara".

"Sesuai perjanjian kita, kita akan tinggal satu atap selama satu tahun sampai kekasihku menyelesaikan pendidikannya di luar negeri. Jangan lupa bahwa namamu sekarang Renata Bunga Adijaya. Jangan sampai salah sebut", ucap Langit dengan nada datar dengan tatapan tajam pada wanita yang berstatus sebagai 'istri sementara'-nya itu.

"Baik. Tapi gimana kalau aku ketemu sama temen yang aku kenal?"

"Terserah sikap apa yang akan kamu ambil. Yang terpenting kamu tidak melanggar perjanjian dan jangan sampai ketahuan oleh kakekku", jawab Langit sambil melepaskan jas dan melonggarkan dasinya.

"Dan satu lagi. Panggil saya Tuan atau Pak kalau sedang berdua dan gunakan bahasa formal ketika berbicara. Karena kita terikat kontrak sebagai atasan dan bawahan. Sedangkan saat bersama orang lain selain asisten saya, kamu boleh memanggil saya 'Kak' seperti Renata memanggil saya", tegas Langit.

"Baik, Pak".

"Oh ya, saya lupa. Siapa namamu tadi?"

"Nama saya Aurora Zalameyda, Pak. Panggil saja Aurora".

"Baiklah. Tapi saya akan memanggilmu Nata, sperti panggilan saya ke Renata. Agar kamu juga terbiasa dengan nama itu."

"Baik, Pak."

"Baiklah kalau kamu sudah paham. Kamar kamu ada di sana. Kalau masih ada yang kurang atau perlu apapun silahkan bilang ke Rendi". Langit beranjak dari tempat duduknya dan pergi menuju ke lantai dua.

"Dan satu lagi. Jangan pernah naik ke lantai dua tanpa seizin saya", tegas Langit.

Seperginya Langit ke lantai dua, Aurora menarik nafas dalam-dalam. Ia tak menyangka statusnya akan berubah menjadi seorang istri dalam sekejap. Ya, meskipun ia hanya menjadi 'istri sementara'.

Semua berawal saat Aurora mencari pekerjaan setelah menyelesaikan studi Fashion Designer di sebuah Universitas di pinggir kota yang tak begitu terkenal. Ia ingin mencari pengalaman lebih dulu untuk memperdalam ilmunya.

Saat ia lelah kesana kemari mencari pekerjaan, ia beristirahat di sebuah kafe yang lumayan ramai pengunjung. Sampai ada seseorang pria mengenakan setelan jas rapi menghampirinya dan menawarkan pekerjaan yang misterius.

Aurora tampak begitu bingung, namun pria itu meninggalkan kartu namanya. Yang tertera nama Rendi Mahendra beserta alamat kantor dan nomor yang bisa dihubungi.

"Pertimbangkan baik-baik, Nona. Segera hubungi saya jika Anda sudah memutuskan". Lalu Rendi pergi meninggalkan meja Aurora. Tampak pria itu berjalan keluar mengekor seorang pria lagi yang bertubuh lebih tinggi dan berkulit putih dengan tatanan rambut yang rapi.

Sesampainya di rumah, Aurora menelpon sahabatnya. Menceritakan semua yang terjadi padanya.

"Coba aja datengin kantornya. Siapa tahu rejeki lo ada disana, Zal", ucap Mika dalam sambungan telepon. Mika biasa memanggil Aurora dengan Zala, nama belakangnya.

"Tapi kok gue curiga, sih. Tiba-tiba aja ada orang yang nawarin gue kerja. Apa jangan-jangan itu akal-akalan penculik? Trus nanti gue di jual ke om-om? Hiii.." Aurora bergidik.

"Mana ada penculik yang pakai jas rapi, nongkrong di kafe? Apalagi punya alamat kantor segala?" Mika mulai sebal.

"Kan jaman sekarang para penculik udah maju metodenya", Aurora tetap ngeyel.

"Au ah, Zal. Serah lo dah. Yang penting gue ingetin ya, bulan depan lo harus lunasin utang-utang ortu lo di rentenir. Kalo lo nggak mau kehilangan rumah peninggalan ortu lo dan jadi gelandangan tidur di bawah jembatan!" Mika segera menutup sambungan teleponnya, karena pasti akan jadi sesi curhat berkepanjangan kalau udah menyangkut hutang ortu Aurora.

Akhirnya Aurora nekat datang ke alamat yang tertera dalam kartu nama Rendi. Saat tiba di alamat yang dituju, betapa terkejutnya ia ketika yang dilihatnya bukan sebuah kantor kecil seperti yang ada dalam bayangannya. Ternyata itu sebuah pusat perkantoran besar di tengah kota yang terkenal.

Di depan lift, dia menekan angka 17, sesuai perintah Rendi dalam teleponnya beberapa saat lalu. Tak lama kemudian lift terbuka dan kembali Aurora menekan angka 17.

Keluar dari lift, rasa mual menggerayangi perutnya. Karena baru pertama kali Aurora naik lift setinggi itu. Dulu menurutnya, lantai lima tempatnya kerja sampingan di sebuah kafe saat kuliah, sudah terlalu membuatnya mual.

"Pagi, Pak", sapa Aurora yang langsung mengenali Rendi yang menyambutnya keluar dari lift.

"Ya, Nona Aurora. Silahkan ikuti saya ke kantor", ajak Rendi kemudian berjalan menuju sebuah ruangan. Aurora mengekor di belakang dengan sedikit berlari kecil karena langkah Rendi yang lebar dan terlalu cepat.

"Silahkan duduk", Rendi mempersilahkan sambil membuka kulkas yang ada di samping sofa.

Mata Aurora menyapu seluruh ruang kantor Rendi. Sangat luas, rapi dan tentunya maskulin.

"Gilak! Nih kantor luasnya udah kayak lapangan futsal", batin Aurora sembari matanya berkeliling memikirkan luasnya.

"Silahkan diminum dulu. Pasti Anda lelah selama perjalanan", Rendi menyodorkan segelas minuman berwarna oren yang diyakini Aurora adalah minuman rasa jeruk.

Glek! Aurora menelan ludah membayangkan betapa segarnya minuman itu ketika melewati tenggorokannya. Apalagi rasa mual setelah naik lift sampai lantai 17. Namun ia membayangkan kisah-kisah dalam novel yang sering dibacanya. Seseorang akan menaruh obat tidur dan menjebaknya.

"Tidak, Pak Rendi. Terima kasih", jawab Aurora sembari kembali menelan salivanya.

"Anda jangan khawatir, Nona Aurora. Saya tidak menarih racun atau obat-obatan dalam minuman tersebut", sepertinya Rendi bisa menebak apa yang ada dalam pikiran Aurora.

Aurora hanya tersenyum malu karena pikiran ya sendiri.

"Pak Rendi tau aja sama apa yang saya pikirkan", cengir Aurora. Kemudian ia langsung meminum minuman itu hingga tersisa setengahnya.

"Nona Aurora sudah datang kesini. Yang artinya Nona Aurora sudah siap bekerja sama dengan kami", ucap Rendi membuka pembicaraan tentang pekerjaan yang akan diberikan pada Aurora.

"Ya, Pak. Saya siap bekerja apapun", jawab Aurora mantap.

"Saya akan menjelaskan lebih detail tentang pekerjaan ini. Setelah saya menjelaskan semuanya, Nona harus memikirkan kembali keputusan Nona. Karena jika Nona sudah membuat keputusan, maka Nona akan terikat perjanjian dan tidak bisa lagi membatalkan", panjang Rendi memberi penjelasan.

"Baik, Pak. Akan saya dengarkan dulu penjelasannya".

Rendi menyodorkan laptop pada Aurora.

"Silahkan scroll kebawah pelan-pelan sesuai apa yang saya sampaikan. Dan mohon Anda pahami".

Aurora mendengarkan penjelasan dari Rendi sesuai perintah sebelumnya. Ia men-scroll sebuah file yang berisi detail pekerjaan. Semakin kebawah ia men-scroll. Semakin ia bergidik ngeri dengan isi file tersebut.

File itu berisi tentang "Perjanjian Pengantin Pengganti"!!

Hari pertama

"Gilak, Zal! Lo abis dicuci otak deh kayaknya!", ucap Mika dengan lantang.

"Pelan-pelan, nying! Gue belum budeg!" Aurora menggosok-gosok telinganya.

"Bener kata lo! Itu pasti modus penipuan!" Mika membara.

"Mana ada penipuan mau ngebayar gue tiga ratus juta buat setahun? Kita kerja kantoran aja gak bakal nyampe deh gaji segitu kalo dikumpulin setahun!"

"Tapi lo jadi simpanan Om-om, Zaaaall!" teriak Mika gemas.

"Ya nggak Om-om juga sih, Mik. Kan katanya umurnya tigapuluh tahun. Cuma beda tujuh tahun sama kita", Aurora mencoba meyakinkan Mika.

"Lo beneran yakin mau ambil pekerjaan ini, Zal?"

Aurora mengangguk.

"Kayaknya gue nggak ada pilihan lain, Mik. Darimana gue bisa dapetin uang enam puluh juta dalam waktu satu bulan? Katanya gue bakal dikasih uang muka seratus juta. Dan setelah kontrak berakhir, baru dilunasin".

Mika membawa Aurora ke dalam pelukannya. Mika ikut merasakan kesedihan yang dirasakan sahabatnya.

Aurora kehilangan kedua orangtuanya dalam kecelakaan saat ia masih berada di bangku SMA. Usaha orangtuanya yang bangkrut menyisakan hutang gaji karyawan. Untuk menutupi semua pembayaran gaji dan pinjaman bank, mereka berhutang ke rentenir. Dan entah apa yang terjadi, kedua orangtuanya diburu oleh penagih hutang sampailah terjadi kecelakaan yang menewaskan keduanya.

Kini Aurora yang harus menanggung sisa pembayaran hutang tersebut. Jika tak bisa segera melunasi, rumah satu-satunya peninggalan orangtuanya akan disita.

Hal itu yang membuat Aurora akhirnya nekat melakukan pekerjaan yang menurutnya di luar nalar. Yaitu menjadi pengantin pengganti.

Yang awalnya dia dipikir, Rendi adalah orang yang akan dinikahinya. Ternyata Rendi hanya seorang asisten dari 'calon suaminya'. Sampai sesaat sebelum Ijab dilakukan, Aurora belum pernah sekalipun bertemu dengan orang itu.

Pertama kali melihat pria yang akan jadi calon suaminya, Aurora yakin kalau dia adalah pria yabg saat itu bersama Rendi di kafe pertama kali mereka bertemu, yaitu Langit.

Ketika Aurora mencoba senyum ramah kepada Langit, ia hanya memasang ekspresi datar.

"Dasar Om-om dari suku Eskimo (suku yang tinggal di Kutub Utara)", batin Aurora karena kesal.

Segera mereka duduk di depan penghulu dan memulai acara. Prosesi Ijab berjalan dengan begitu cepat tanpa kendala. Langit pun dengan sekali jabat dengan tegas dan lantang mengucapkan Ijab.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Sekarang Aurora sudah sah menjadi 'Nyonya sementara' di rumah yang kini ia tempati bersama dengan Langit. Rumah minimalis dengan dominan warna abu tua itu tampak maskulin seperti pemiliknya.

Namanya juga rumah minimalis. Saking minimalnya, alat untuk memasak pun tak ada. Maklum saja, karena pemiliknya cowok, jadi mungkin tak mementingkan peralatan memasak. Apalagi seorang CEO, tak mungkin ia sempat berkutat di dapur.

Ini hari pertamanya menjalani kehidupan sebagai Renata, bukan sebagai Aurora.

Pagi ini Aurora ingin memasak sesuatu, tapi ia bingung karena tak ada peralatan dapur yang lengkap. Hanya ada pisau tanpa ada talenan, ada satu panci yang terlihat mahal, tapi tak ada penggorengan.

"Rumah ini seperti bangunan 'rumah contoh' saja", gumam Aurora sambil menghela nafasnya.

Ia melirik kearah lantai dua, tapi belum ada tanda-tanda kehidupan. Dirinya mulai merasa bosan karena tak tahu harus melakukan apa.

"Ah, nonton tv aja. Siapa tahu ada acara menarik?", muncul ide dalam benaknya. Dan segera Aurora berlari ke ruang tengah, tapi hanya ada sofa yang menghadap ke tembok tanpa ada tv di depannya. Ia pergi ke ruang tamu, juga tak menemukan tv di sana. Lalu ia kelilingi seluruh ruangan, tak ada tempat yang menyembunyikan keberadaan tv di dalam rumah tersebut.

"Aarrgh! Bisa gila gue lama-lama disini!" teriaknya dengan volume kecil sambil menjambak rambutnya karena frustasi.

Aurora memutuskan duduk di ruang makan sambil memainkan ponselnya. Ia meletakkan kepalanya di atas meja seperti anak kecil yang sedang bosan.

Lalu terdengar langkah dari arah tangga lantai dua. Segera dia berdiri menyambut kehadiran 'suaminya'.

"Selamat pagi, Pak", sapa Aurora sambil tersenyum.

"Hmm. Pagi juga", jawab Langit dengan dingin lalu menarik kursi dan meletakkan laptop di atas meja makan yang terbuat dari marmer berwarna hitam itu.

"Anu, Pak saya ingin membuatkan Anda kopi atau teh. Tapi saya lihat, di dapur tidak ada apapun. Begitu juga dengan peralatan dapurnya", Aurora ragu mengatakan keluhannya.

"Jadi kamu mau mengeluh kalau rumah ini kosong? Seperti itu?"tanya Langit sambil menatap tajam kearah Aurora.

"Ah, nggak juga Pak. Saya hanya ingin sedikit membantu Anda menyiapkan makanan atau minuman", jawab Aurora secepat kilat sambil menelan salivanya dengan berat. Ia takut kalau salah omong di depan Langit yang notabene-nya sekarang adalah 'Tuannya'.

"Tapi memang di rumah ini tak ada apa-apa. Karena saya tidak berpikir akan tinggal bersama seseorang. Jadi, kamu mau beli perabotan apa saja? Saya akan menghubungi Rendi untuk segera membelinya".

"Anu, sebenarnya dapur Anda sepi sekali, Pak. Hampir seperti rumah hantu. Bahkan saya lihat ada sarang spiderman di dalam laci— uups!", Aurora segera membungkam mulutnya. Lalu menepuk-nepuk kecil bibirnya. Kebiasaan bicara ceplas-ceplos memang sedikit susah dihilangkan. Dan lagi dia sudah terbiasa bicara sembarangan dengan teman-temannya.

"Maaf, Pak saya bicara keterlaluan", sambung Aurora canggung plus takut.

"Tidak apa. Saya memakluminya. Karena memang saya mengisi rumah ini sesuai keperluan saya saja. Kamu butuh apa saja?"

"Saya akan pergi membelinya sendiri, Pak. Kan Pak Rendi sedang sibuk".

"Baiklah, kalau kamu mau membelinya sendiri. Jadi kamu tau apa saja yang kamu butuhkan", jawab Langit kembali fokus ke laptopnya.

Beberapa menit berlalu, tapi Langit melihat Aurora yang masih duduk tenang di depannya. Ia mengernyitkan alis penasaran.

"Kenapa kamu belum beranjak?" tanya Langit yang melipat tangannya di dada sambil memberikan tatapan intens.

"Anu, Pak.. Itu-"

"Katakan yang jelas!"

"Ehem. Sepertinya saya butuh kucuran dana. Karena nggak mungkin kalo saya mau membelinya dengan sistem kredit. Pasti akan membuat Anda malu kan, Pak?"

Langit mengusap pelan keningnya. Ia lupa memberikan uang untuk membeli barang yang diperlukan.

"Tunggu sebentar. Saya akan mengambilkan kucuran dana seperti yang kamu inginkan", jawab Langit yang tanpa sadar mengikuti gaya bicara Aurora.

Segera dia beranjak menuju kamarnya di lantai dua. Dengan rasa malu ia meninggalkan Aurora yang tampaknya menahan tawa.

Tak lama kemudian Langit turun dengan pakaian tang sudah berbeda. Jika sebelumnya ia memakai celana rumahan pendek dan kaos hitam oblong, kini ia tampak memakai celana jeans panjang dipadukan dengan jaket.

Deg deg deg deg.

"Jantung sialan! Bisa-bisanya malfungsi kalo liat cowok ganteng!" umpat Aurora dalam hati.

"Lho kamu mau pergi dengan baju tidur seperti itu?" tanya Langit sambil menatap Aurora dari ujung rambut sampai ujung kaki.

"Anda mau mengantarkan saya?" Aurora balik bertanya.

"Saya bukan sopir yang mau mengantarkan kamu, tapi saya akan pergi bersama kamu! Saya tunggu 5 menit, kalo lebih saya anggap batal dan tidak jadi beli semua keperluan!" ancam Langit.

"Ah i-iya Pak!", segera Aurora lari ke kamarnya dan ganti pakaian.

"Bisa-bisanya saya menikah dengan bocah ingusan!" gumam Langit dalam hati.

Perasaan Iri

"Mik hari ini gue diajak belanja perabotan tuh sama si bos buat ngisi peralatan dapur di rumahnya. Gilak lo tau nggak berapa harga satu set panci sama penggorengan?" curhat Aurora melalui telepon.

"Ya nggak tau lah. Mana pernah gue beli panci? Semua peralatan dapur kan emak gue yang beli!" jawab Mika kesal.

"Sepuluh juta kurang seribu perak, anjir!" Aurora setengah teriak girang.

"Gile lo ya sekarang! Lo udah jadi nyonya muda konglomerat beneran!" teriak Mika di seberang telepon.

"Kapan Lo ada libur? Gue traktir. Duit gue masih ada sisa empat puluh juta nih!" pamer Aurora. Tapi tak membuat Mika kesal atau iri. Karena mereka sudah seperti saudara dan Mika tahu kalau Aurora tak berniat pamer. Mereka memang suka bercanda seperti itu.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Satu bulan berlalu..

Sekarang, kegiatan Aurora setiap hari adalah 'melayani' suaminya. Mulai dari menyiapkan sarapan, semua yang Langit perlukan sampai makan malam. Tapi tidak dengan urusan ranjang. Karena sudah tertulis dalam perjanjian bahwa mereka tidur terpisah dan dilarang melakukan kontak fisik.

Dan perjanjian itu juga menguntungkan bagi Aurora. Dengan begitu, dia tak perlu 'melayani' suaminya. Dan juga bisa menjaga 'mahkota kesucian'-nya.

Hari ini dia ada janji bertemu dengan Mika di sebuah kafe. Segera setelah membereskan rumah, Aurora bergegas mandi dan pergi menuju kafe yang dituju.

"Mikaaa!" Aurora melambaikan tangan kearah sahabatnya yang baru saja masuk ke dalam kafe. Mereka berpelukan dan sedikit berputar untuk melepaskan rindu. Sehingga mereka jadi pusat perhatian.

"Lo udah jadi nyonya konglomerat masih aja pake baju gembel!" seru Mika menilai cara berpakaian Aurora.

"Sadar posisi gue, Mik! Gue kan cuma istri sementara sampai istri asli Om Eskimo itu pulang ke Indonesia", ucap Aurora dengan nada lemah.

"Gilak! Lo bisa tahan apa tiap hari disodorin wajah tampan tapi haram buat jatuh cinta?"

Aurora pun memikirkan hal yang sama dengan Mika. Bagaimana bisa dua insan hidup dalam satu atap bersama selama satu tahun dapat bertahan tanpa adanya muncul perasaan spesial?

"Au ah, Mik! Jangan sampe dih, amit-amit gue jadi pelakor!" ucap Aurora kemudian diikuti gelak tawa keduanya.

Mereka menghabiskan waktu bersama untuk melepas rasa rindu. Setelah makan di kafe, Mika mengajak Aurora nonton film. Lalu dilanjutkan Aurora yang merengek mengajak berkaraoke dan lanjut berbelanja ke mall. Tanpa sadar, langit sudah malam. Waktu sekarang menunjukkan pukul 20.30 .

Segera Aurora menghentikan sebuah taksi dan segera pulang. Ia lupa memasak makan malam untuk Langit. Selama perjalanan pulang, Aurora merasa gelisah dan bersalah.

Saat memasuki rumah, ia mencium bau masakan yang sedap. Bergegas dia lari ke dapur untuk memastikan.

Dilihatnya Langit sedang memasak sesuatu. Terlihat sebuah afron tergantung dilehernya. Meninggalkan kesan seksi ala-ala cowok drakor atau novel.

Deg deg deg deg.

"Lagi-lagi jantung sialan ini!" gumam Aurora dalam hati.

Langit yang tak menyadari kedatangan Aurora masih asik membuat nasi goreng. Ia mengaduk-aduk nasi dalam penggorengan agar bumbu menyatu dengan nasi beserta sayuran dan bahan-bahan lain.

Tak lama nasi goreng sudah matang. Langit membaginya dalam dua piring.

"Wah, enak tuh, Pak", ucap Aurora yang membuat Langit terkejut.

"Sejak kapan kamu ada di sana?" tanya Langit malu-malu.

"Sejak zaman nenek moyang, Pak", jawab Aurora sambil nyengir kuda.

Langit sudah terbiasa mendengar kalimat-kalimat aneh yang keluar dari mulut Aurora.

"Ini coba kamu makan dan koreksi rasa!", perintah Langit.

Dengan senang hati Aurora memakan nasi goreng buatan Langit.

"Hmm.. kalo menurut saya, ini kurang garam sedikit. Dan kurang pedas, Pak".

"Kalau begitu rasanya udah pas di lidah Nata. Karena dia mengkonsumsi sedikit garam dan nggak suka pedas".

Aurora mengernyit tanda tak mengerti maksud perkataan Langit.

"Saya ingin belajar masak. Biar nanti kalau Nata lelah, saya yang akan memasakkan untuknya", Langit menjelaskan maksud dari pernyataannya.

Jedeer! Hilang sudah nafsu makan Aurora. Ternyata hatinya terasa sakit ketika mendengar suaminya menyebut nama wanita lain. Meski kenyataanya mereka bukan suami istri sesungguhnya.

Langit menyantap nasi goreng buatan tangannya sendiri dengan lahap. Sedangkan Aurora yang telah kehilangan nafsu makan hanya bisa menatap Langit.

"Betapa beruntungnya pemilik gelar 'istri' dari Om Eskimo", batin Aurora.

Aurora berdiri hendak meninggalkan meja makan.

"Kenapa tidak kamu habiskan?" tanya Langit yang melihat nasi goreng Aurora berkurang sedikit sekali.

"Saya lupa Pak kalau sudah makan tadi bersama teman saat keluar", jawab Aurora dengan nada lesu.

"Oh", hanya itu yang keluar dari mulut Langit.

Sesampainya di kamar, Aurora mengambil kertas dan pensil. Ia menumpahkan rasa kesal dan kekecewaannya dalam sebuah goresan. Bukan menulis 'death note' untuk nyantet Langit, ya. Hehehe

Selama berperan menjadi 'Nyonya Cakrayudha', Aurora dibatasi dari dunia luar untuk mengantisipasi kecurigaan atau kemungkinan bertemu dengan orang-orang yang kenal dengan Renata ataupun Aurora. Sehingga Aurora memutar otak untuk tetap bisa bekerja meski dari rumah. Dan dia menemukan sebuah situs yang jual-beli jasa desain. Mulai dari desain pakaian, perhiasan atau logo perusahaan.

Meski memakan waktu, setidaknya dia punya kegiatan ketika di rumah. Dan juga tempat mencurahkan semua perasaanya melalui desain-desain yang unik.

Seperti saat merasa kesal, maka desain yang muncul dalam benaknya pun semakin unik karena ada unsur emosi yang meledak-ledak.

Kali ini, rasa kesalnya ditumpahkan dalam desain gaun. Tangannya begitu lincah menggoreskan pensil di atas kertas.

Dan terciptalah sketsa awal yang masih acak-acakan dalam waktu delapan menit. Langkah berikutnya adalah membuat desain sesungguhnya yang akan memakan waktu berjam-jam.

"Kenapa semakin hari perasaan gue gak bisa dikendalikan? Gue nggak yakin kalau gue nggak jatuh cinta sama Om Eskimo kalau begini terus", gumam Aurora dalam hati.

Setelah berkutat dengan desain yang baru dia ciptakan, Aurora merasa haus. Botol minum yang ada di atas mejanya terlihat kosong. Dengan langkah gontai, ia menuju ke dapur.

Keadaan dapur jadi kotor dan berantakan akibat ada chef dadakan. Segera Aurora membereskan semua kekacauan itu meski sudah larut malam.

"Huuuh.." Aurora menghela nafas ketika mendapati tempat sampah yang sudah penuh. Segera dia menarik kantong sampah yang penuh itu dan pergi membuangnya di tempat sampah depan rumah.

Saat keluar melalui pintu garasi, Aurora mendengar suara Langit yang sedang bercengkrama dalam telepon. Karena balkon kamar Langit tepat di atas garasi.

Aurora berhenti sejenak untuk mencuri dengar. Suaranya bariton Langit terdengar ramah dan lembut. Berbeda ketika berbicara dengannya. Suara itu terdengar tegas.

Terdengar percakapan mereka yang begitu mesra. Langit beberapa kali memanggil nama kekasihnya dengan lembut dan manja.

"Huuh. Membuat orang iri saja", gumam Aurora lirih sembari lanjut membuang sampah.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!