Belajar Menjadi Seorang Ibu

Belajar Menjadi Seorang Ibu

1. Hanya Permulaan.

Aku kehilangan bayiku.

Entah bagaimana setiap pasien di rumah sakit ini mendengar kabar menyedihkan itu, menerima informasi yang membuat mereka serentak menundukkan kepala. Bayiku, Nathan, gagal menyentuh garis selamat datang di kehidupannya.

Aku tak lagi terganggu melihat mereka terheran-heran, seakan para pasien yang kukenal di sini bertanya-tanya, "Padahal rutin konsultasi mingguan, kok bisa gugur?"

Aku juga tidak tahu, tak tahu siapa yang harus kusalahkan selain diriku sendiri. Aku yang mengandung Nathan, yang merawatnya hingga trimester ketiga sampai keluarga besarku bangga dan tetap memperlakukan aku dengan istimewa meski Nathan akan berada di urutan anak ketiga.

Namun, takdir justru mengambil tindakan lain. Ia menjauhkan aku darinya, dunia mengambil Nathanku lebih dahulu sebelum aku memeluknya erat. Ini tidak adil.

"Mama ...."

Sayangnya, aku tidak bisa. Aku gagal terlihat kuat di mata anak-anakku. Aku gagal menyembunyikan keriput wajah ini yang semakin terlihat saat mataku mengundang hujan, aku belum bisa menjadi ibu yang baik untuk Fathan dan Kalista.

Ibu macam apa aku ini?

"Mama, Mama hebat karena masih bertahan sampai sekarang, Mama lebih kuat dari kemarin."

Mendengar putraku bersuara, ada semilir angin yang membuat perasaanku lebih tenang sekarang. Aku masih menangis, aku masih menjatuhkan air mata kewalahan walau Fathan memelukku sejenak.

"Nggak usah drama. Mending lo keluar cari makan sama bapak lo, biar gue yang jaga Mama."

Kalau kamu belum tahu rasanya ditusuk pisau saat dada sudah penuh sayatan, perkataan itu bisa menjadi perumpamaan rasa sakitnya. Perih, tetapi aku belum mau berdebat.

Akhirnya, Fathan mengalah, meninggalkan aku bersama Kalista di ranjang dengan suasana canggung yang paling dingin. Selangkah dia maju berhadapan denganku, menyentuh punggung tangan ini yang masih lemas.

"Ma, ini bukan soal pemberian Tuhan atau keberuntungan orang, tapi emang Mama yang nggak pantes punya anak lagi. Ngurus dua anak aja nggak becus apalagi tiga. Iya 'kan, Ma?"

"Kalista ...."

"Aku tinggal dulu, ya, Ma. Mau bersyukur sama Tuhan."

Kemudian, Kalista benar-benar pergi dengan kalimat paling menyakitkan yang pernah kudengar seumur hidup. Pintunya dibanting kencang, bunyinya tak sengaja mengundang air mata ini lagi.

"Oh, Anakku ...."

Aku terperanjat melihat seorang wanita tua beranjak memelukku, pelukannya terasa hangat walau aku sudah banyak diberi kata 'semangat'. Ibu, dia Ibuku yang aku sayangi. Ibu masih bersamaku sampai sekarang dan aku bersyukur mengingatnya di sini.

"Ibu ... Laras minta maaf, Laras belum bisa jadi orang tua yang baik kayak Ibu. Laras belum bisa menuhin harapan banyak orang," lirihku tak berani menatapnya sekarang.

"Sayang, ini bukan salah kamu. Ibu yakin, ada rencana lebih baik lagi yang udah disiapin buat kamu. Kamu harus bertahan demi keluarga kamu. Kamu bisa 'kan, Nak?"

...***...

Kalau seandainya aku jawab 'tidak bisa', apa kehidupan ini akan berubah? Apa Nathan akan kembali dengan berputarnya lagi waktu di masa lalu? Akankah aku bisa mengubah nasibku sebelum aku terikat dengan suamiku sekarang, Ibu?

Saat aku membutuhkan kehadirannya, suamiku justru pergi entah ke mana sampai tidak bisa menemaniku di sini. Setidaknya, dia perlu berkunjung atau memberi kabar tidak bisa datang, tetapi Cahyo adalah Cahyo, dia tidak berubah setelah menjadi seorang ayah.

Walaupun aku tak melakukan persalinan melahirkan, tetapi wanita mana yang tidak terpuruk mendengar kandungannya gugur tanpa kehadiran suami di sisi kita? Aku sedih, sangat sedih sampai tidak tahu caranya menangis lagi.

Wanita yang hamil dan melahirkan tidak hanya mengorbankan nyawanya, dia mati-matian berusaha agar bisa memberikan gelar seorang ayah kepada suaminya.

Sudah lima jam berlalu, tidak ada yang menjengukku lagi. Entah karena waktunya pasien istirahat atau memang tidak ada yang peduli, yang pasti, aku masih berada di perasaan terburuk yang belum pernah kualami.

"Mama, Fathan izin masuk, ya."

Kemudian, pengisi suara itu mendatangkan raganya padaku. Dengan semangkuk bubur yang masih mengeluarkan uap panas, kakinya menghampiri ranjang dengan senyum sapa yang sopan.

"Ma, makan sama Fathan, yuk."

Namun, aku menggeleng. "Nanti, Fathan."

"Ya udah, Fathan juga makan nanti aja."

"Emangnya nggak laper?"

"Laper."

Aku tertawa kecil. "Nggak apa-apa, Fathan makan duluan aja," responsku tersenyum simpul. "Kamu nggak bareng Kalista?"

Ada beberapa saat untuk terdiamnya Fathan di tempat, tatapannya tak lagi berwarna, bahkan raut wajahnya jelas terganggu setelah mendengar pertanyaanku. Sekarang aku malah khawatir dengan kondisi mereka.

"Kalista lagi ada urusan, Ma."

Aku cemberut sedih, sepertinya Kalista kecewa padaku seperti aku pada diriku sendiri.

"Ayah di mana, Fathan?"

Aku tidak tahu apa ini pas menanyakan kehadiran Cahyo di mana, tetapi aku benar-benar berharap dia dapat menemaniku di sini. Aku ingin bertemu dengannya, aku ingin memeluknya sejenak sebelum pulang dari tempat ini.

Anak sulungku tampak kebingungan menjawabnya, seakan diam-diam mencari alasan apa yang harus disuguhkan padaku. Dari cara beratnya mengembuskan napas dan lirikan yang ke sana kemari, aku sudah paham apa maksudnya.

"Nggak apa-apa, Mama paham," kataku menatapnya sejenak, berusaha kelihatan tenang meski sesekali gemetar. "Fathan makan dulu, ya. Duduk di sofa aja, Mama mau istirahat sebentar."

Akhirnya, Fathan menurut. Laki-laki 17 tahun itu bangkit dari kursinya, meletakkan semangkuk bubur yang telah dingin untuk membantuku berbaring sejenak, kemudian menghampiri sofa panjang yang tempatnya tertutup oleh tirai ranjangku.

Bukan berarti aku terganggu sama kehadirannya Fathan, tetapi aku belum mau berinteraksi dengan siapa pun sekarang. aku masih terkejut menerima kenyataan pahit ini, kenyataan yang lebih pahit dari secangkir kopi hitam.

Aku mengembuskan napas, beralih menatap langit-langit ruangan yang mengurung badai oksigen di tempat ini. Tak lama, ada sesuatu yang mengganggu penglihatanku dari arah lainnya. Kulirik sebentar, ternyata ponselku menyala karena notifikasi yang masuk.

Setelah berusaha meraih dan menaruh benda itu ke pangkuanku, aku menyesal. Karena lagi-lagi, aku menangis sendirian.

Dari Cahyo

Aku kecewa.

Terpopuler

Comments

pineapple

pineapple

semangat nulis nya kk

2023-06-15

1

El

El

huhu kak nad keren. tulisannya rapi juga gak bosenin

2023-06-15

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!