11. Manusia Biasa.

Cutter, benda tajam pertama kali yang aku temukan dengan jarak terdekat bersama anakku di kamarnya. Ujungnya masih dalam kondisi lancip, masih bisa menyayat benda apa pun ketika porosnya digesekkan secara sengaja maupun tidak.

Seperti apa yang aku pikirkan saat itu, aku tidak ingat pernah membeli alat pemotong ini. Kalaupun iya, bisa kupastikan benda ini akan jarang dipakai. Meski bentuknya kecil dan mudah dibawa ke mana-mana, aku tidak banyak memotong sesuatu di setiap waktu.

Benda ini sedang kugenggam, diam-diam aku membayangkan bagaimana anakku melakukannya. Apa dia benar-benar mau melakukan ini? Kenapa dia harus melakukannya padahal aku bisa membuatnya merasa aman? Aku bisa mendengar ceritanya kapan saja.

Kamis ini aku sudah bersama anakku di meja makan, dia menikmati sepiring nasi uduk yang selalu kubeli setiap pagi untuk sarapannya. Kadang aku berpikir anakku bosan memakannya, tetapi nasi uduk adalah pilihan yang tepat, aku tidak mau ribet memasak pagi-pagi.

"Di mana Kalista?" Aku bertanya saat kegiatannya hampir selesai. "Jangan sampe dia berangkat tapi nggak sarapan dulu."

"Fathan udah siapin bekal makannya Kalista, Kalista juga mau makan di kelas hari ini. Takut terlambat jadi ini mau berangkat."

Aku tidak kesiangan, Fathan dan Kalista juga bangun tepat waktu, mereka tidak akan terlambat sampai di sekolah. Lagi pula, aku sudah membeli nasi uduk ini saat mereka mandi, jadi keduanya bisa langsung menyantap tanpa menunggu lagi.

Melihat Fathan yang tergesa-gesa, aku ikut bangkit dari kursi sembari melirik kamar anakku. Kalista berada di sana, dia memeluk dirinya sendiri dengan kepala yang tunduk melayu. Ditilik dari sini, anak gadisku sudah siap dengan atributnya seakan waktu berangkatnya mereka adalah hal yang paling dinanti-nanti.

Ini tidak seperti yang sebelumnya. Biasanya Kalista akan mengeluh tentang seberapa malasnya berangkat ke tempat itu, biasanya dia juga berdebat denganku atau Fathan sebelum berangkat ke sekolah. Tetapi anak itu berada di sana, dia mengurung diri di kamar dengan sweter biru favoritnya.

"Kalista, ayo berangkat!"

Mendengar Kakaknya memanggil, Kalista beranjak meninggalkan ruangannya. Tetapi melihatku di depan pintu, dia tidak lagi terburu-buru, tidak terlihat mau menghadapiku juga seakan pasrah dengan apa yang menghambatnya sekarang.

"Tangannya masih sakit?"

"Udah nggak," jawabnya singkat.

"Kenapa nggak sarapan di rumah aja? Jam masuknya masih lama daripada di sana kepagian."

"Mending kepagian daripada diocehin terus."

"Emangnya Mama ngomelin kamu terus?"

"Mama nggak bakal ngerti."

Lalu anakku berani melewati pintu, dia bebas dari kamar yang dianggap seperti sel penjara narapidana. Mulanya aku hendak mengejar, tetapi Fathan lebih mendahuluiku dengan menyuruh adiknya ke luar rumah.

"Kalista!"

"Mama, Kalista masih butuh waktu."

"Mama mau denger penjelasan dia ngelakuin kayak begitu, Mama juga mau ngertiin dia sekarang."

Namun, pergerakanku dihentikan olehnya. Laki-laki itu mencegahku pergi, kepalanya menggeleng sebagai petunjuk agar aku membiarkan anak gadisku pergi dengan rasa gelisahnya. Aku tidak paham, aku berusaha untuk mengerti keadaan.

"Ma, kemarin Mama kasar sama Kalista. Dia emang bandel, nggak banyak nurutnya. Tapi anak kalau makin dibatesin atau dikekang, dia bisa ngelakuin hal yang lebih dari kemarin!" Fathan menatapku kesal. "Mama sadar yang kemarin Mama lakuin itu salah, 'kan?"

"Nggak sopan lo ngomong begitu sama orang tua," sahut seseorang menyertai pembicaraan, dia mengisi slot pemotong pembicaraan yang kosong di antara aku dan anakku. "Siapa yang ngajarin lo begitu? Gue nggak pernah ngajarin."

"Ayah nggak tau masalahnya apa."

"Kenapa nggak?" Cahyo lantas menukar perhatiannya padaku. "Laras, sebenernya ada masalah apa sih dari kemarin? Kenapa nggak cerita?"

"Yah, biar nanti aku ceritain di dalem, ya."

"Nggak bisa, harus sekarang!"

"Itu anak-anak mau berangkat sekolah, nanti kita omongin, ya?"

"NGGAK BISA! Dibilangin nggak bisa kenapa sih nggak ngerti kalau dibilangin?"

"Ayah, berisik. Malu didenger tetangga!" Kalista juga ikut bersuara. "Aku berangkat duluan aja."

"Kalista!"

"Lo ngutang penjelasan sama gue, ya."

Lagi-lagi kami berada di situasi yang paling buruk, ketika masing-masing anggota keluarga mulai pergi ke arah yang berbeda-beda. Kami berpisah secara tidak teratur, berakhir dengan perasaan yang sama-sama berkecamuk dengan berbagai penyebabnya perseteruan.

Setelah kepergian Kalista, Kakaknya ikut menyusul dengan melajukan motornya secepat mungkin. Usai punggungnya tidak terlihat lagi, suamiku berdecak dan langsung membanting tubuhnya di sofa panjang. Dia masih menunggu penjelasanku.

Aku takut, takut disalahkan lagi. Takut dianggap sebagai ibu yang gagal, sebagai ibu yang tidak becus untuk mengasuh dua anak saja. Alis suamiku dipertemukan, sesekali bibirnya menyeruput secangkir teh sembari menyindir kondisiku dan anak-anakku.

Butuh sepuluh menit hingga aku merasa tenang untuk menceritakan kejadian kemarin padanya, memastikan perasaan dan ego milikku mampu meneguk setiap kalimat dan komentar negatif dari apa yang akan dikatakan suamiku nantinya.

Aku tidak tahu respons yang muncul dari Cahyo adalah bentuk kasih sayang yang tidak bisa ditunjukkan sesuai harapan anak atau justru murka dari emosi yang tidak bisa turun dengan banyak gugatan. Tetapi setidaknya, aku tidak menutupi apa pun dari suamiku.

"Sebenernya kamu di rumah itu ngapain aja sih, Laras?"

Aku menghela napas, sudah ribuan kali aku mendengar pertanyaannya yang terkesan merendahkan peranku di rumah ini. Seandainya Cahyo mengerti saat dia meninggalkanku di rumah sakit, seandainya dia memahami perasaanku ketika Kalista menyindir dengan kepergian keluarga besar yang penuh dengan raut wajah kecewa.

Aku juga masih berusaha.

"Kamu ngebiarin anak kamu sendiri ngelakuin hal kayak begitu," tambahnya lagi dengan napas yang dibuang berat. "Masa hal begitu aja sampe kejadian, kan kamu Ibunya."

"Jangan lempar semua tanggung jawab ke aku."

"Ngomong apa lo tadi? Lempar semua tanggung jawab kayak yang kerja aja, bisanya cuma minta duit, duit, duit. Asal gue taro duit di mana aja tiba-tiba hilang, sekarang ngurus anak aja nggak bisa."

"Kok kamu begini, sih?" Aku terbawa suasana. "Kamu kayak ngerendahin aku, ini awalnya kita bahas Kalista yang ngelukain diri sendiri, lho."

Suamiku berdecak, "Nggak ngertilah gue sama kalian." Lalu memutuskan pembicaraan dengan meninggalkan tempat, dia pergi tanpa saran atau kata penyemangat yang seharusnya kudengar.

Aku ditinggalkan, lagi, dengan emosi yang sama. Aku bisa mengakui ini memang kesalahanku juga, aku terlalu kasar pada anak-anakku. Tetapi aku juga ingin dimengerti meski cuma sebatas didengar.

Aku seorang ibu dan aku manusia biasa, bukan pahlawan atau superhero yang pantas diagungkan dan tidak layak dikasihani. Aku juga ingin kuat seperti ibuku sendiri. Aku cuma sedih kalau mengingat selama ini masih berusaha menjadi apa yang diharapkan orang-orang sekitar sebagai ibu yang pantas diapresiasi.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!