12. Ramah.

Kalau diingat-ingat, sudah lama aku tidak berbelanja ke pasar berjalan. Lebih tepatnya tukang sayur keliling, akhir-akhir ini bahan masak di dapur tersedia lengkap, tetapi lama kelamaan tersisa penghabisan jadi aku berniat membelinya siang ini.

Biasanya, tukang sayur keliling yang biasa kusebut Pak Andi selalu berhenti di depan gang rumahku di jam ini. Bermodalkan setelan baju linen dengan dompet wanita, aku mengunci pintu rumahku dan berjalan menuju pertigaan jalan.

Kamis ini cuacanya cerah tetapi tidak menghilangkan hawa segar dari bunga-bunga yang ditanam di trotoar perumahan, suasananya tenang dengan derum sedikit kendaraan yang melaju di area aspal. Sesekali terdengar tangisan anak-anak dari rumah yang aku lewati, beberapa ada yang menjemur baju, menemani anak kecil mereka yang bermain di luar, juga bersantai di teras rumah.

Tak lama, terlihat sekumpulan ibu-ibu yang sedang memilih bahan makanan sambil bercengkerama akrab. Jumlahnya tak begitu banyak tetapi mampu meramaikan situasi, aku mengenal beberapa dari mereka.

"Eh, Laras. Udah jarang liat kamu ke luar rumah tau!" sahut seseorang melihatku datang, dia membalas senyumku juga. "Lagi ada masalah?"

"Nggak, kok. Emang kemarin-kemarin sempet beli banyak sayuran, jadi ada stok di rumah," jawab aku menyertai keberadaan mereka.

Kemudian, yang mendengar ikut ber-"oh." ria.

"Eh, Ibu. Masih inget sama si Citra nggak?"

"Oh, Bu Citra yang di ujung gang?"

Tetanggaku dengan wajah penuh make up itu pun manggut. "Iya, denger-denger dia cerai sama suaminya, lho. Padahal lagi hamil, kasian banget."

"Ih, kenapa?"

Aku tidak ikut pembicaraan. Aku kurang nyaman kalau mulai menggunjing orang, apalagi diperpanjang hingga membanding-bandingkan. Seakan tidak punya topik lain sampai menikmati penderitaan orang lain dengan kuping-kuping mereka, aku membencinya.

"Diselingkuhin, Bu! Udah begitu selingkuhan suaminya masih anak SMA, katanya sih ikutan tanda-tanda hamil juga itu ceweknya."

Salah satu dari kami spontan mengangkat bahu, merinding. "Amit-amit, deh. Pergaulan anak jaman sekarang."

"Bener, saya sih yakin pasti anak ABG itu tau kalau suaminya Citra punya istri yang lagi hamil. Emang udah akhir jaman jadi begini deh, Bun ...," duganya sembari membayar belanjaannya kepada Pak Andi.

"Iya, bener. Anak jaman sekarang juga kebanyakan main HP, diminta bantuan aja kayak disuruh kerja. Bingung deh aku."

Yang memancing topik tadi namanya Bu Romlah, tetangga yang rumahnya bersebelahan denganku dan memang tipikal orang yang gampang membicarakan sesuatu. Entah yang dibicarakannya sekadar bentuk dugaan ataupun fakta yang tidak semestinya dibiarkan meluas, Bu Romlah termasuk orang yang mulutnya pedas.

Sembari menyimak, aku memilih bahan masakan yang akan habis di rumah. Beberapa buah tomat, cabai merah, bawang putih dan bawang merah, juga butir-butir telur yang kumasukkan ke dalam plastik. Aku berniat memasak ayam kecap malam ini.

"Laras, tadi pagi aku denger ada yang berisik dari rumah kamu. Beneran nggak apa-apa?" Yang begini juga biasanya memang sering dipertanyakan sama Bu Romlah, seakan sengaja sebelum aku pergi dari sini.

"Nggak apa-apa, Bu. Tadi pagi Fathan sama Kalista berangkat lebih cepet."

"Oalah ... iya-iya." Dia mengangguk. "Kamu tuh kemarin sempet hamil, ya? Sekarang gimana kandungannya? Udah lama nggak ngelihat kamu, deh. Jadi aku lupa."

Aku tidak tahu apa Bu Romlah memang benar-benar bertanya atau tidak, tetapi bukankah ini terlalu jauh? Bahkan tetanggaku yang rumahnya lebih jauh juga mendapat kabar keguguranku, mana mungkin dia tidak mendengarnya. Pasti ada bisikan yang sempat masuk ke telinganya meski sebentar.

Beberapa orang di sampingku tidak memberi perhatian, mereka bertingkah sibuk memilih bahan makanan dan sayuran yang akan dibeli seolah merasa tidak enak. Aku yakin mereka juga kurang nyaman mendengar Bu Romlah bertanya terkait ini.

"Iya, saya keguguran."

"Oh, maaf aku nggak tau, Laras. Yang sabar, yaa."

Kepalaku mengangguk, tersenyum membenarkan apa yang dibilang Bu Romlah. Mau tidak mau aku harus mengalah, tetapi bukan berarti aku akan mengalir patuh di setiap perkataannya, ya. Aku hanya tidak mau berurusan banyak dengan Bu Romlah.

Setelah membayar yang kubeli tadi, aku memutuskan pulang dengan tengtengan belanjaan yang aku ambil. Kalau boleh jujur, aku sempat sedih mengingat Nathan yang tidak bisa kupeluk, mengingat banyak harapan keluarga besar untuk bisa menggendong anggota keluarga baru mereka.

Aku kurang diperlakukan baik oleh keluarga suamiku. Walaupun manusia memang tidak luput dari kesalahan dan aku termasuk seorang ibu yang punya banyak kekurangan, tetapi mereka benar-benar cuma melihat sisi dari apa yang tidak mampu kulakukan. Mereka tidak memaklumi apa yang terjadi padaku dari sebelum-sebelumnya.

Aku mengembuskan napas, membuka pintu rumah yang dalamnya kosong tidak berpenghuni. Sebentar lagi anak-anakku pulang, aku harus merapikan barang-barang dan mempersiapkan cucian baju-baju baru untuk di esok hari.

Baru akan duduk di sofa, terdengar suara guncangan benda yang menjadi pembatas antara rumah-rumah di sini. Pagar milikku mengalami tekanan seakan ada orang yang datang bertamu, tumben di siang buta ini ada yang berkunjung. Siapa, ya?

Aku menghampiri sumber suara, lalu menerima eksistensi seorang gadis dengan rambut yang diikat cantik melambaikan tangan, dia tersenyum menyapa saat aku semakin mendekat. Cantiknya, tetapi aku agak asing dengan kehadirannya. Sepertinya dia tetangga baruku.

"Maaf ganggu jam segini ya, Ibu. Aku Karina, baru pindah di sini hari ini. Mau ngobrol-ngobrol sebentar," ujarnya sopan dengan senyum yang mengembang sehingga matanya kelihatan sipit.

Kepalaku menggeleng. "Nggak, Karina nggak ganggu Ibu. Saya Laras, semoga nyaman sama lingkungannya, ya. Kayaknya kamu seumuran anak Ibu."

"Anak Ibu umur berapa?"

"Tujuh belas tahun, kembar tapi nggak identik," jawabku ramah.

"Oh, beda dua tahun berarti, Ibu. Aku sembilan belas."

Aku terkejut mendengarnya. "Wah, tapi kelihatan masih ABG, ya," ucapku menggodanya sedikit, bermaksud mencairkan suasana meski lama kelamaan matahari berhasil membuatku kegerahan.

Karina tertawa kecil, lalu menyuguhkan sebuah tempat makan dengan warna bening yang membuatku menyadari ada beberapa potongan pisang goreng di sana. Sepertinya masih hangat, uap-uap panasnya membekas di setiap sisi.

"Ini, tadi Karina sempet masak di rumah buat tetangga-tetangga baru Karina."

Aku menerimanya dengan senang hati. "Eh makasih, Karina. Mau main ke dalem dulu nggak, nih?"

Kepalanya langsung menggeleng cepat. "Nggak, Ibu. Ini masih ada yang perlu Karina kasih, lain kali pasti main ke sini. Makasih, yaa."

Tangannya melambai-lambai meski hanya berpindah ke satu rumah, sikapnya begitu ramah seakan aku adalah Ibunya yang diberi salam sampai jumpanya Karina saat berangkat ke sekolah. Aku senang dengan kehadirannya di sini, seandainya anak-anakku ramah sepertinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!