3. Resah.

"Istrinya kecelakaan, keguguran di rumah sakit dan suaminya malah mabuk-mabukkan di sini!"

Aku meminta maaf. Bukan karena Ibu yang menjambak kepala suamiku atau karena Ibu mengomel di malam hari, aku minta maaf karena tidak menghentikan Ibu menyakiti Cahyo. Aku membiarkannya, aku mengabaikannya atau aku menontonnya.

"Sadar nggak?" Ibuku masih menjambaknya dengan tarikan yang sesekali ditahan. "SADAR NGGAK!"

Namun, tidak ada respons yang keluar dari setengah kesadarannya Cahyo. Dia justru terkulai lemas dan tidak sadarkan diri setelah Ibu mengempasnya kembali ke sofa, Ibu menyerah. Cahyo terlalu mabuk untuk disentak.

Akhirnya, aku memilih menenangkan Ibu. Tetapi saat aku menghampirinya, dia menggeleng pelan lalu menyentuh bahu kiriku.

"Ibu minta tolong sama kamu, kalau Cahyo masih kayak begini, kamu jujur sama Ibu. Bilang sama Ibu, jangan diem aja," resahnya menatapku. "Bisa 'kan, Sayang? Jangan dipendem, Ibu nggak suka."

Tetapi aku hanya ingin Ibu tidak banyak pikiran, aku mau bisa melakukannya seperti Ibu yang tidak banyak mengadu. Aku akan menjadi seorang ibu yang kuat seperti banyak wanita di luar sana, aku akan membuktikannya lewat kondisi keluarga di rumah ini yang akan membaik.

Aku berjanji.

Kuiyakan perkataan Ibu, kemudian wanita dengan kardigan hitam itu meninggalkanku di sini, di rumah yang memang seharusnya menjadi tempat aku belajar dan pulang.

Kulirik keadaan rumah ini lagi, berantakan seperti kapal pecah yang selalu diucapkan ibu dahulu. Bau alkohol semakin menyengat di sini, ada puluhan beling kaca dari barang dan gelas alkohol yang berserakan di lantai, di beberapa sudut ruangan terlihat sekumpulan debu yang belum dibersihkan juga. Sepertinya Fathan maupun Kalista juga tidak sempat membersihkannya.

"Mama!"

Aku menoleh ke sumber suara, melihat kepulangan anak sulungku dengan tas belanja yang digenggamnya. Dia tampak khawatir setelah melihatku berada di ruangan ini, langkahnya bisa dibilang terburu-buru sehingga aku khawatir ada belahan kaca yang mengenai kakinya nanti.

Sayangnya ketika ingin memungut satu persatu kepingan itu, kepalaku terasa pusing dengan dada yang tiba-tiba sakit. Sampainya Fathan di hadapanku menjadi waktu yang bersamaan bagi tubuhku terkulai lemas.

...***...

Aku pingsan dan bangun di hari berikutnya. Kuraba dahiku sembari sesekali menekannya ke dalam, pusing, aku masih bisa mengingat kejadian kemarin malam. Saat itu Cahyo dalam kondisi mabuk yang berat, aku harus membangunkannya untuk berangkat kerja sebelum semakin terlambat.

Aku berniat menggunakan meja sebagai tumpuanku bangun, berat rasanya membuat lutut ini tidak menekuk lagi. Sampai aku pun kehilangan kendali dan tak sengaja menjatuhkan gelas di atas meja.

"Mama!"

Seseorang mendekat, berlutut di hadapanku untuk membantuku berdiri sehingga berakhir di permukaan kasur ini lagi. Huft, kenapa aku begitu lemah, sih?

"Mama jangan ke mana-mana, di kamar aja. Biar Fathan sama Kalista yang beresin rumah."

"Kalista ... Kalista nggak sekolah? Kenapa kamu biarin dia di rumah, di mana Kalista?" tanyaku berturut-turut, melirik ke sana kemari hingga mencoba bangun dari tempat tidur lagi. "Seharusnya dia sekolah aja."

"Ma, Kalista udah izin. Ini udah jam sepuluh, nggak mungkin kalau Kalista ke sekolahnya sekarang."

"Jam sepuluh? Mama belum masak, Mama belum siapin bajunya ayah kamu, Mama–"

"Ma, udah." Kali ini, Fathan penuh penekanan. "Semuanya udah dikerjain aku sama Kalista, kali ini Mama istirahat aja, ya. Mama baru pulang dari rumah sakit, Fathan nggak mau Mama kecapean terus."

"Lebay lo."

Dari intonasinya berbicara, aku lantas menunduk seakan ditegur oleh atasanku karena memergoki percakapan kami. Baik aku maupun Fathan, kami sama-sama terbungkam sampai seorang perempuan berambut panjang menyertai eksistensinya di sini.

Aku sempat melihatnya sebentar, Kalista bersedekap dengan pandangan meremehkannya tertuju padaku. Ditilik dari dahi yang basah seakan sebelumnya diluncuri keringat, netra yang memiliki kantung mata lebih gelap, juga bagian rambut lepeknya membuatku sadar bahwa anak bungsuku memang melakukan pekerjaanku. Dia melakukan pekerjaan rumah.

"Gara-gara Mama, gue jadi nggak masuk sekolah hari ini," celetuk Kalista melirik kuku-kukunya sebagai objek pengalihan. "Padahal hari ini ada ujian yang nggak bisa disusul."

"Lebay lo."

Merasa tersindir balik, anakku lantas membalas, "Dih, yang lebay itu Mama. Begitu aja nggak bisa."

"Kalista!"

"Kenapa? Ayah juga sering ngomong begitu ke gue."

"Keluar."

Aku mengusap wajahku yang murung, menyembunyikan ekspresi yang membuat siapa pun merasa khawatir atau meminta maaf sebagai perwakilannya. Sepertinya Kalista memang tidak menyukaiku, sepertinya dia masih kecewa.

Kemudian, anak perempuanku melangkah pergi dari tempat ini. Aku menghela napas, menatap kesepuluh jariku yang masih lemas meski telah terbaring seharian penuh.

"Mama istirahat aja, ya."

"Ayah gimana?"

"Ayah udah berangkat dari tadi, Ma. Pasti udah di kantor," jawab Fathan menenangkan. "Oh, iya sebentar, Ma."

Seakan terburu-buru dikejar deadline, Fathan lantas pergi meninggalkan aku di kamar. Lima menit kemudian, dia datang dengan sepiring buah-buahan untukku. Wajahnya semringah, aku ikut tersenyum haru.

"Ini buah yang Fathan beli semalem," ujarnya sempat melirik barang bawaannya itu. "Maaf cuma ada sedikit, Ma. Waktu itu Fathan bawa uangnya nggak banyak."

"Nggak apa-apa, Sayang. Makasih, ya."

Fathan tersenyum kecil, lalu duduk di sampingku juga. Beberapa detik berikutnya, aku merasakan ketenangan yang sudah lama tidak ditemukan, momen kebersamaan antara aku dan anakku meski tubuh ini sepertinya masih perlu beristirahat.

Fathan, anak pertama dengan ciri khas rambut berwarna cokelat natural keturunan dari ayahnya. Seingatku, tingginya 170 cm dengan hobi bermain futsal. Dahulu, dia sering meminta izin untuk pulang terlambat karena latihan bersama teman-temannya.

Tetapi akhir-akhir ini tidak lagi, mungkin karena Cahyo sering kali memarahinya. Saat selesai diomeli, biasanya anakku yang satu ini akan terdiam sambil beradaptasi dengan suhu tubuh dari hawa panas yang dipicu ayahnya sendiri. Sedangkan, aku kadang menghampiri dan mengusap punggung Fathan untuk menenangkan perasaannya.

Fathan itu pintar, aku juga pernah mendengar kabar tentang kekasihnya di sekolah. Namun, karena suamiku jarang memberinya izin ke luar rumah, alhasil kemungkinan besar ada perseteruan yang diam-diam selalu diungkit karena kurangnya waktu kebersamaan Fathan dan perempuannya.

Aku jarang melihat anak sulungku sedih, dia juga lebih sering membantuku meski perasaanya sudah memburuk lebih dahulu. Aku tidak menuntutnya perkara nilai atau tidak memintanya harus berjalan di arah yang mana, aku yakin Fathan tahu tentang kebutuhan dan minat bakatnya sendiri.

Kami mengobrol santai dan sesekali tertawa kecil, aku menikmati alpukat yang dikupas oleh anakku sambil berpikir tentang apa yang dihadapi Fathan akhir-akhir ini. Pasti semuanya berat baginya, dia pandai menyembunyikan masalah. Aku resah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!