Karawang, Purwasari pada jam lima sore saat matahari akan kembali ke tempat peraduannya. Setelah menyajikan sepiring pisang goreng hangat, aku meletakkan secangkir kopi susu favorit suamiku di meja ruang tamu. Dia tidak sendirian, dia bersama laptop kesayangannya.
Merasa pekerjaanku selesai, akhirnya aku merapikan pakaianku dan duduk bersamanya di sofa. Aku tidak memintanya untuk menganggap kehadiranku kali ini, katanya proyek yang akan dibangun lebih besar dari rencana pekerjaan sebelumnya. Jadi aku berusaha memahami Cahyo.
"Masih sakit nggak perutnya?"
Aku terkejut. "Nggak, Yah. Alhamdulillah udah mendingan," jawabku tersenyum malu. Ternyata Cahyo masih bisa bertanya, ya.
"Tadi udah makan?"
"Udah, kok."
"Kalau ada yang kurang nanti bilang ke gue."
Aku mengangguk patuh, diam-diam senyumku mengembang meski hanya sesaat Cahyo berbasa-basi. Aku tidak meminta perkataan maafnya, aku berharap Cahyo mencoba memahamiku, meski tidak sepenuhnya aku bisa dimengerti.
Beberapa menit kemudian, perhatiannya tak lagi berpusat di satu titik. Pria di sampingku melepas alat elektronik itu dari pangkuannya ke meja, punggungnya bersandar pada sofa yang masih bisa disorot sinarnya senja dari rumah ini.
Kalau saja Cahyo menjadikan aku sebagai satu-satunya prioritas, aku yakin ini semua tidak akan terjadi. Usia suamiku di tahun ini menginjak 46 tahun, dia masih terlihat tampan di mataku meski diselingi puluhan helai uban putihnya, karakternya juga sesekali kelihatan hangat walau sering kali membuat kami tertekan. Suamiku punya kepribadian yang kompetitif dan tegas seperti anak keduanya.
Biasanya anak pertama akan lebih menyerupai ayahnya. Namun, yang terjadi di keluargaku justru sebaliknya. Fathan mirip denganku, dia lebih kalem dan mau mengalah pada adiknya. Sedangkan Kalista mirip ayahnya, dia rasional dan sulit mengontrol emosi.
Anak-anakku lahir di waktu yang bersamaan, bisa dibilang mereka adalah kembar yang tidak identik. Fathan lebih dekat denganku, sedangkan aku tidak yakin dengan siapa Kalista berhubungan baik di antara kami. Beberapa bulan lalu aku sadar terlalu memanjakannya, jadi Kalista tumbuh menjadi pribadi yang selalu ingin dimengerti.
Tidak heran bila ayahnya selalu mengomel, mengomentari bagaimana Kalista semestinya berperilaku. Meski kadang mereka ada benarnya juga, tetapi suamiku tidak mudah menurunkan gengsi hanya untuk membenarkan apa yang dibilang anak-anak.
Kupikir malam ini akan berlangsung tenang setelah obrolan kecil yang terjadi di antara kami. Namun, usai mendengar langkah pulang seseorang yang tergesa-gesa, perasaanku jadi tidak enak.
"Jangan lari-lari!"
Anak perempuanku sempat melirik tajam pada ayahnya. Mungkin dia akan melewatkan kami kali ini, tetapi Kakaknya mampu membuat Kalista menunduk patuh meski harus terpaksa. Mereka bersalaman pada kami.
"Tadi bekelnya dimakan nggak, Kalista?"
"Dimakan," jawabnya singkat.
"Dimakan orang lain."
"Orang lain?" tanyaku menatap Kalista yang mengalihkan perhatiannya. "Dimakan sama siapa?"
"Cowoknya."
"Cowok?"
"Temen sekelas!"
"Berisik!"
Kemudian, kami bertiga membungkam setelah suamiku berteriak. Sepertinya dia terganggu, buktinya Cahyo kembali mengerjakan urusannya sekarang. Aku tidak tahu sesibuk apa suamiku, bagaimana perintah dari tugas yang dikerjakannya, tetapi yang pasti seharusnya kami tidak membuat kebisingan ini.
Setelah membuat kami terdiam, Cahyo memandang kami satu persatu dengan lirik mengerikannya. Mulai dari Fathan, aku, lalu Kalista sebagai objek terakhir bola matanya berhenti.
"Mama ngasih bekal makannya buat kamu, bukan buat orang lain. Kamu disuruh makan aja susah!" sentak Cahyo padanya. "Liat orang-orang di luar sana, nggak semua bisa makan enak!"
"Cuma makan doang."
"Ngomong apa tadi lo?"
"Ayah," panggilku menatapnya resah. "Udah, biarin aja."
"Nah, begini, nih. Lo juga ngerawat anak lembek banget, liat jadinya kayak gimana, 'kan? LIAT!"
"Udah, deh. Males gue."
Setelah memutus pertengkarannya, Kalista masuk ke dalam kamar dengan bantingan pintu sebagai penutup percakapan mereka. Bisa kupastikan, perasaannya langsung memburuk sekarang.
"Fathan, masuk ke kamar, ya."
Pria di sampingku berdecak sebal, dia meletakkan laptopnya lagi untuk menyeruput secangkir kahwa. Kalau boleh jujur, aku langsung kepikiran dengan perkataannya tadi. Mungkin aku memang terlalu lembek atau lemah pada anakku, tetapi aku juga tidak mau kelihatan kasar persis suamiku.
Aku belum bisa bersikap netral, belum tahu kapan waktunya aku bersikap tegas untuk menghadapi anak-anakku. Aku tak ingin terlalu keras, juga tak mau membuat mereka tertekan. Meski Kalista selalu bertindak sesukanya, aku masih menyayanginya.
Selepas bayangan Fathan mengikutinya masuk ke dalam ruangan, aku mengembuskan napas sebagai permulaan membahas hal yang serius pada suamiku. Aku tidak ingin dia semakin dibenci oleh anak-anakku.
"Ayah, aku minta tolong banget. Jangan kasar sama Fathan atau Kalista," tegurku menyentuh pergelangannya. "Aku takut mereka tertekan nantinya."
"Kalau aku nggak begini, mereka nggak bakal bener. Kamu juga harusnya lebih tegas, jangan mau dikasarin sama anak-anak."
"Aku bukannya ...."
"Takut?"
Aku melipat bibirku ke dalam, tak mampu menjawab apa yang dikatakan Cahyo sekarang. Aku tidak takut, tidak sepenuhnya takut. Aku hanya ....
"Terserah kamulah," pungkas suamiku menonaktifkan laptopnya. Dia bangkit dari tempat ini, membawa pergi benda kesayangannya sampai aku terkejut usai Cahyo membanting pintu kamarnya juga.
Aku sendirian.
Beberapa detik kemudian, pergelanganku gemetar dengan perasaan gelisah yang berkelana di sekujur tubuh. Apa aku benar-benar takut atau ini semua hanya kesan pilu sementara yang akan hilang perlahan-lahan?
Tanpa seizin pemilik mata, anak-anak air meluncurkan kehadirannya setelah wajah ini kututup dengan telapak tanganku. Aku malu, di usia 40 tahun ini masih bersikap bimbang untuk mengasuh Fathan dan Kalista yang sekarang di fase anak remaja.
Aku menatap pisang-pisang yang telah kugoreng tidak lagi di suhu hangat, mereka semakin mendingin seiring malam menerbitkan eksistensinya. Kopi yang sebelumnya kuaduk merata juga tidak dihabiskan, ampasnya masih tidak terlihat dengan uap-uap panas yang telah hilang.
Sesekali aku merasa tidak dianggap, tidak diapresiasi oleh orang-orang di sekitarku meski aku masih di tahap mencoba untuk mengerti keadaan di sini. Mungkin ini salah satu kelemahanku juga, tetapi aku mohon kepada siapa pun jangan memperumit urusanku lagi.
"Mama."
Yang tadinya emosiku menggebu-gebu, semakin lama melumer dikarenakan dekapan kedua tangan yang melekuk hangat pada tubuhku. Kepalanya disandarkan padaku, dia bernapas dengan terengah-engah seolah menyamakan caraku menangis tadi.
"Mama, Fathan minta maaf."
Tangisku berhenti, aku menyentuh punggung tangannya sambil menggelengkan kepala. Bukan, ini bukan salah Fathan maupun Kalista. Aku tidak lagi menyalahkan Cahyo, memang perlakuanku yang terlalu lembut dan mengiyakan semuanya terjadi.
Mungkin ini waktunya aku mengambil sikap, aku tidak perlu ragu untuk menegur dan menghentikan apa yang sekiranya salah. Aku harus berpikir rasional seperti suamiku. Aku tidak boleh kalah di matanya lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
•Rifa_Fizka
Hallo kakak mampir juga dong di novel aku ,yang berjudul kekuatan hati wanita ceritanya seruuu
2023-07-05
0