Aku kehilangan bayiku.
Entah bagaimana setiap pasien di rumah sakit ini mendengar kabar menyedihkan itu, menerima informasi yang membuat mereka serentak menundukkan kepala. Bayiku, Nathan, gagal menyentuh garis selamat datang di kehidupannya.
Aku tak lagi terganggu melihat mereka terheran-heran, seakan para pasien yang kukenal di sini bertanya-tanya, "Padahal rutin konsultasi mingguan, kok bisa gugur?"
Aku juga tidak tahu, tak tahu siapa yang harus kusalahkan selain diriku sendiri. Aku yang mengandung Nathan, yang merawatnya hingga trimester ketiga sampai keluarga besarku bangga dan tetap memperlakukan aku dengan istimewa meski Nathan akan berada di urutan anak ketiga.
Namun, takdir justru mengambil tindakan lain. Ia menjauhkan aku darinya, dunia mengambil Nathanku lebih dahulu sebelum aku memeluknya erat. Ini tidak adil.
"Mama ...."
Sayangnya, aku tidak bisa. Aku gagal terlihat kuat di mata anak-anakku. Aku gagal menyembunyikan keriput wajah ini yang semakin terlihat saat mataku mengundang hujan, aku belum bisa menjadi ibu yang baik untuk Fathan dan Kalista.
Ibu macam apa aku ini?
"Mama, Mama hebat karena masih bertahan sampai sekarang, Mama lebih kuat dari kemarin."
Mendengar putraku bersuara, ada semilir angin yang membuat perasaanku lebih tenang sekarang. Aku masih menangis, aku masih menjatuhkan air mata kewalahan walau Fathan memelukku sejenak.
"Nggak usah drama. Mending lo keluar cari makan sama bapak lo, biar gue yang jaga Mama."
Kalau kamu belum tahu rasanya ditusuk pisau saat dada sudah penuh sayatan, perkataan itu bisa menjadi perumpamaan rasa sakitnya. Perih, tetapi aku belum mau berdebat.
Akhirnya, Fathan mengalah, meninggalkan aku bersama Kalista di ranjang dengan suasana canggung yang paling dingin. Selangkah dia maju berhadapan denganku, menyentuh punggung tangan ini yang masih lemas.
"Ma, ini bukan soal pemberian Tuhan atau keberuntungan orang, tapi emang Mama yang nggak pantes punya anak lagi. Ngurus dua anak aja nggak becus apalagi tiga. Iya 'kan, Ma?"
"Kalista ...."
"Aku tinggal dulu, ya, Ma. Mau bersyukur sama Tuhan."
Kemudian, Kalista benar-benar pergi dengan kalimat paling menyakitkan yang pernah kudengar seumur hidup. Pintunya dibanting kencang, bunyinya tak sengaja mengundang air mata ini lagi.
"Oh, Anakku ...."
Aku terperanjat melihat seorang wanita tua beranjak memelukku, pelukannya terasa hangat walau aku sudah banyak diberi kata 'semangat'. Ibu, dia Ibuku yang aku sayangi. Ibu masih bersamaku sampai sekarang dan aku bersyukur mengingatnya di sini.
"Ibu ... Laras minta maaf, Laras belum bisa jadi orang tua yang baik kayak Ibu. Laras belum bisa menuhin harapan banyak orang," lirihku tak berani menatapnya sekarang.
"Sayang, ini bukan salah kamu. Ibu yakin, ada rencana lebih baik lagi yang udah disiapin buat kamu. Kamu harus bertahan demi keluarga kamu. Kamu bisa 'kan, Nak?"
...***...
Kalau seandainya aku jawab 'tidak bisa', apa kehidupan ini akan berubah? Apa Nathan akan kembali dengan berputarnya lagi waktu di masa lalu? Akankah aku bisa mengubah nasibku sebelum aku terikat dengan suamiku sekarang, Ibu?
Saat aku membutuhkan kehadirannya, suamiku justru pergi entah ke mana sampai tidak bisa menemaniku di sini. Setidaknya, dia perlu berkunjung atau memberi kabar tidak bisa datang, tetapi Cahyo adalah Cahyo, dia tidak berubah setelah menjadi seorang ayah.
Walaupun aku tak melakukan persalinan melahirkan, tetapi wanita mana yang tidak terpuruk mendengar kandungannya gugur tanpa kehadiran suami di sisi kita? Aku sedih, sangat sedih sampai tidak tahu caranya menangis lagi.
Wanita yang hamil dan melahirkan tidak hanya mengorbankan nyawanya, dia mati-matian berusaha agar bisa memberikan gelar seorang ayah kepada suaminya.
Sudah lima jam berlalu, tidak ada yang menjengukku lagi. Entah karena waktunya pasien istirahat atau memang tidak ada yang peduli, yang pasti, aku masih berada di perasaan terburuk yang belum pernah kualami.
"Mama, Fathan izin masuk, ya."
Kemudian, pengisi suara itu mendatangkan raganya padaku. Dengan semangkuk bubur yang masih mengeluarkan uap panas, kakinya menghampiri ranjang dengan senyum sapa yang sopan.
"Ma, makan sama Fathan, yuk."
Namun, aku menggeleng. "Nanti, Fathan."
"Ya udah, Fathan juga makan nanti aja."
"Emangnya nggak laper?"
"Laper."
Aku tertawa kecil. "Nggak apa-apa, Fathan makan duluan aja," responsku tersenyum simpul. "Kamu nggak bareng Kalista?"
Ada beberapa saat untuk terdiamnya Fathan di tempat, tatapannya tak lagi berwarna, bahkan raut wajahnya jelas terganggu setelah mendengar pertanyaanku. Sekarang aku malah khawatir dengan kondisi mereka.
"Kalista lagi ada urusan, Ma."
Aku cemberut sedih, sepertinya Kalista kecewa padaku seperti aku pada diriku sendiri.
"Ayah di mana, Fathan?"
Aku tidak tahu apa ini pas menanyakan kehadiran Cahyo di mana, tetapi aku benar-benar berharap dia dapat menemaniku di sini. Aku ingin bertemu dengannya, aku ingin memeluknya sejenak sebelum pulang dari tempat ini.
Anak sulungku tampak kebingungan menjawabnya, seakan diam-diam mencari alasan apa yang harus disuguhkan padaku. Dari cara beratnya mengembuskan napas dan lirikan yang ke sana kemari, aku sudah paham apa maksudnya.
"Nggak apa-apa, Mama paham," kataku menatapnya sejenak, berusaha kelihatan tenang meski sesekali gemetar. "Fathan makan dulu, ya. Duduk di sofa aja, Mama mau istirahat sebentar."
Akhirnya, Fathan menurut. Laki-laki 17 tahun itu bangkit dari kursinya, meletakkan semangkuk bubur yang telah dingin untuk membantuku berbaring sejenak, kemudian menghampiri sofa panjang yang tempatnya tertutup oleh tirai ranjangku.
Bukan berarti aku terganggu sama kehadirannya Fathan, tetapi aku belum mau berinteraksi dengan siapa pun sekarang. aku masih terkejut menerima kenyataan pahit ini, kenyataan yang lebih pahit dari secangkir kopi hitam.
Aku mengembuskan napas, beralih menatap langit-langit ruangan yang mengurung badai oksigen di tempat ini. Tak lama, ada sesuatu yang mengganggu penglihatanku dari arah lainnya. Kulirik sebentar, ternyata ponselku menyala karena notifikasi yang masuk.
Setelah berusaha meraih dan menaruh benda itu ke pangkuanku, aku menyesal. Karena lagi-lagi, aku menangis sendirian.
Dari Cahyo
Aku kecewa.
Setelah dilakukan kuretase, aku disarankan beristirahat sebelum pulang ke rumah. Dokter sempat menjelaskan, aku punya trauma setelah kecelakaan itu menimpaku. Untuk beberapa waktu, aku dikatakan punya emosi yang lebih sensitif dan diharapkan untuk tidak banyak berpikir.
Kadang, aku berpikir aku cuma membebankan suami. Aku menjadi tanggung jawabnya seumur hidup, aku menjadi salah satu hal yang harus dimaklumi anak-anakku, seakan-akan aku tidak bisa bekerja dengan baik. Aku belum bisa membelikan mereka banyak barang dan belum bisa memasak makanan sesedap keluarga di puluhan iklan televisi.
Hidup sederhana memang dianggap baik-baik saja bagi sebagian orang, tetapi aku selalu tidak puas melihat anak-anakku cemberut di rumah, entah ketika pulang sekolah, saat aku menyuruhnya makan atau saat dimintai bantuannya. Aku sedih.
"Mama, mau makan apa malem ini?" tanya Fathan mendekati ranjang. "Biar Fathan yang beliin."
Aku tersenyum simpul. "Mama belum mau makan."
Fathan menatapku bertanya-tanya.
"Kalista udah makan?"
Mendengarku balik bertanya, Fathan langsung memperbaiki letak pakaiannya seakan mengulur waktu untuk mencari jawaban atas pertanyaanku.
"Udah, Ma. Dia udah makan di rumah," jawabnya ikut tersenyum. "Mama makan bareng Fathan, ya. Mau bubur atau ...."
Gelengan kepalaku membuat perkataannya berhenti. "Nggak, Mama nggak mau bubur. Mama mau buah aja."
"Emang ada toko buah yang buka malem-malem?" sahut seseorang mendatangi kami, menimpal pembicaraan antara aku dan Fathan. "Nggak usah pilah-pilih, deh. Tinggal makan aja, mau pulang, 'kan? Ada makanan di rumah, makan aja yang ada."
"Kalista."
"Kenapa? Ayah juga selalu bilang begitu, 'kan?" Perempuan itu menatapku sengit. "Beresin barangnya, mobil udah dibenerin jadi pulangnya naik mobil aja. Gue duluan."
"Kita pulang bareng aja," responsku.
Kalista tampak enggan, tatapannya seakan menyepelekan siapa aku baginya. "Nggak usah, gue ada urusan."
Namun, saat dia hendak meninggalkan tempat, anak laki-lakiku lantas mencegahnya pergi dengan mencekal lengan adiknya. Kurasa emosi Fathan terpancing, lirikannya lebih tajam dari Fathan yang sebelumnya mengobrol denganku.
"Mau ke mana lagi?"
"Apaan, sih. Kan gue udah bilang ada urusan!"
"Nggak liat Mama lagi begini?" cetus anak pertamaku menarik tangannya mundur, membuat emosi Kalista memanas. "Nggak usah ke mana-mana, ikut pulang."
"Bukan urusan lo, lepasin!"
"Gue bilang diem!"
"Fathan, udah, lepasin aja." Aku menyentuh pergelangan anakku, memelas agar dia mau melepas cekalan tangan adiknya.
Aku tidak ingin ada kegaduhan di sini, aku juga tidak mau memaksa Kalista untuk menemaniku sampai di rumah. Ya, meski aku menginginkannya, tetapi perempuan berpakaian sweter itu sepertinya tidak ingin bersamaku.
Aku sedih, tetapi aku tidak mau memaksa.
"Fathan, dengerin kata Mama. Nanti Kalista pasti pulang, lepasin ya, Sayang, ya," imbuh Ibuku juga yang masih berada di sini.
Akhirnya, Fathan mengalah yang disambut kepergian adiknya dengan kaki mengentak-entak, membuat tubuhku lemas disertai embusan napas yang lagi-lagi dikeluarkan berat. Sakit rasanya.
"Mama, Mama pulang duluan sama Oma, ya. Fathan mau beli makan buat di rumah, Fathan beliin buah-buahnya."
"Nggak, Fathan pulang sama Mama."
"Ma ... Fathan janji, habis beli buah nanti langsung pulang. Fathan nggak ke mana-mana," katanya terdengar berusaha menenangkan aku, lalu menatap Ibuku di sampingnya. "Oma, aku duluan, ya."
"Iya, Sayang. Hati-hati."
Aku menatap sebal pada Ibu, seharusnya dia menolak anakku pergi, tetapi Fathan meninggalkan kami di sini. Wajahku seketika murung mengingat Cahyo juga belum menjenguk. Huft, sepertinya suamiku marah.
"Ibu, Ibu tau Cahyo di mana?"
Sayangnya, Ibuku menggeleng. "Dia belum ke sini?"
"Belum ...," jawabku muram.
Seakan mengerti perasaanku, Ibu langsung mengantar perasaan hangat yang masuk tiba-tiba ke dada. Punggung dan rambutku diusap olehnya secara bergantian, lalu Ibu mengatakan sesuatu.
"Pasti kamu terpukul karena semua ini, Ibu minta maaf, Laras. Seharusnya Ibu bisa lebih ngertiin kamu, Ibu minta maaf."
Entah seperti apa masalahnya, seberapa banyak pengaruh yang menciptakan masalah pada rumah tangga dan keluarga. Peran ibu akan menjadi posisi yang selalu disalahkan, dipertanyakan, dan selalu dituntut menjadi yang sempurna. Yang lebih hebat dari seorang ayah, yang lebih kuat dari anak-anaknya.
Tuhan, aku minta maaf, tetapi aku memohon izin untuk jujur di hadapanmu. Aku letih, aku capek selalu menjadi yang harus memaklumi, selalu menjadi tuduhan 'ini semua gara-gara kamu!' dari suamiku. Aku muak mendengarnya.
Aku tidak tahu di mana Cahyo sekarang, yang jelas aku berharap dia bertemu denganku hari ini. Aku membutuhkannya, aku ingin menangis di pelukannya sebelum memukul dadanya karena dia memilih tidak bersamaku di sini.
Aku tidak tahu apa yang sedang dihadapi Cahyo sekarang, aku harap dia baik-baik saja. Kuharap kami bisa bertemu malam ini.
...***...
Purwasari dihujani gerimis yang telah menggenangi beberapa lubang di jalan perumahan, menyambut kedatangan kami dengan dinginnya menuju rumahku yang dalam kondisi penerangan menyala.
Kuharap Cahyo di rumah, tidak apa-apa bila dia dalam amarah yang memuncak. Karena aku juga berhak marah nantinya, aku bisa mengomelinya kapan saja seperti apa yang dilakukannya padaku. Jika aku berani.
Turun dari mobil, aku berterima kasih pada petugas rumah sakit yang mengantarku dan Ibu pulang ke rumah. Karena miliknya tidak jauh dari sini, akhirnya dia meninggalkan kami setelah mengobrol dan membantu membawakan barang-barang juga.
Aku mengembuskan napas, mencari titik lega di permukaan lubuk hatiku untuk sabar walau baru saja kena musibah. Pintunya tidak dikunci, kalau Cahyo tahu soal ini pasti aku diteriakinya habis-habisan. Pasti aku disalahkan, siapa yang masuk dan tidak mengunci pintu pada malam hari begini?
Namun, kurasa kejadian itu tak akan berlangsung malam ini. Tidak akan ada yang mengira suamiku berada di sana, tergeletak mabuk dengan banyaknya pecahan gelas alkohol di lantai yang berserakan. Dia berantakan dengan kemeja kotor bernoda minuman jahat sembari berusaha mengembalikan kesadarannya lagi.
"Cahyo ...."
"DASAR MENANTU NGGAK GUNA!"
"Istrinya kecelakaan, keguguran di rumah sakit dan suaminya malah mabuk-mabukkan di sini!"
Aku meminta maaf. Bukan karena Ibu yang menjambak kepala suamiku atau karena Ibu mengomel di malam hari, aku minta maaf karena tidak menghentikan Ibu menyakiti Cahyo. Aku membiarkannya, aku mengabaikannya atau aku menontonnya.
"Sadar nggak?" Ibuku masih menjambaknya dengan tarikan yang sesekali ditahan. "SADAR NGGAK!"
Namun, tidak ada respons yang keluar dari setengah kesadarannya Cahyo. Dia justru terkulai lemas dan tidak sadarkan diri setelah Ibu mengempasnya kembali ke sofa, Ibu menyerah. Cahyo terlalu mabuk untuk disentak.
Akhirnya, aku memilih menenangkan Ibu. Tetapi saat aku menghampirinya, dia menggeleng pelan lalu menyentuh bahu kiriku.
"Ibu minta tolong sama kamu, kalau Cahyo masih kayak begini, kamu jujur sama Ibu. Bilang sama Ibu, jangan diem aja," resahnya menatapku. "Bisa 'kan, Sayang? Jangan dipendem, Ibu nggak suka."
Tetapi aku hanya ingin Ibu tidak banyak pikiran, aku mau bisa melakukannya seperti Ibu yang tidak banyak mengadu. Aku akan menjadi seorang ibu yang kuat seperti banyak wanita di luar sana, aku akan membuktikannya lewat kondisi keluarga di rumah ini yang akan membaik.
Aku berjanji.
Kuiyakan perkataan Ibu, kemudian wanita dengan kardigan hitam itu meninggalkanku di sini, di rumah yang memang seharusnya menjadi tempat aku belajar dan pulang.
Kulirik keadaan rumah ini lagi, berantakan seperti kapal pecah yang selalu diucapkan ibu dahulu. Bau alkohol semakin menyengat di sini, ada puluhan beling kaca dari barang dan gelas alkohol yang berserakan di lantai, di beberapa sudut ruangan terlihat sekumpulan debu yang belum dibersihkan juga. Sepertinya Fathan maupun Kalista juga tidak sempat membersihkannya.
"Mama!"
Aku menoleh ke sumber suara, melihat kepulangan anak sulungku dengan tas belanja yang digenggamnya. Dia tampak khawatir setelah melihatku berada di ruangan ini, langkahnya bisa dibilang terburu-buru sehingga aku khawatir ada belahan kaca yang mengenai kakinya nanti.
Sayangnya ketika ingin memungut satu persatu kepingan itu, kepalaku terasa pusing dengan dada yang tiba-tiba sakit. Sampainya Fathan di hadapanku menjadi waktu yang bersamaan bagi tubuhku terkulai lemas.
...***...
Aku pingsan dan bangun di hari berikutnya. Kuraba dahiku sembari sesekali menekannya ke dalam, pusing, aku masih bisa mengingat kejadian kemarin malam. Saat itu Cahyo dalam kondisi mabuk yang berat, aku harus membangunkannya untuk berangkat kerja sebelum semakin terlambat.
Aku berniat menggunakan meja sebagai tumpuanku bangun, berat rasanya membuat lutut ini tidak menekuk lagi. Sampai aku pun kehilangan kendali dan tak sengaja menjatuhkan gelas di atas meja.
"Mama!"
Seseorang mendekat, berlutut di hadapanku untuk membantuku berdiri sehingga berakhir di permukaan kasur ini lagi. Huft, kenapa aku begitu lemah, sih?
"Mama jangan ke mana-mana, di kamar aja. Biar Fathan sama Kalista yang beresin rumah."
"Kalista ... Kalista nggak sekolah? Kenapa kamu biarin dia di rumah, di mana Kalista?" tanyaku berturut-turut, melirik ke sana kemari hingga mencoba bangun dari tempat tidur lagi. "Seharusnya dia sekolah aja."
"Ma, Kalista udah izin. Ini udah jam sepuluh, nggak mungkin kalau Kalista ke sekolahnya sekarang."
"Jam sepuluh? Mama belum masak, Mama belum siapin bajunya ayah kamu, Mama–"
"Ma, udah." Kali ini, Fathan penuh penekanan. "Semuanya udah dikerjain aku sama Kalista, kali ini Mama istirahat aja, ya. Mama baru pulang dari rumah sakit, Fathan nggak mau Mama kecapean terus."
"Lebay lo."
Dari intonasinya berbicara, aku lantas menunduk seakan ditegur oleh atasanku karena memergoki percakapan kami. Baik aku maupun Fathan, kami sama-sama terbungkam sampai seorang perempuan berambut panjang menyertai eksistensinya di sini.
Aku sempat melihatnya sebentar, Kalista bersedekap dengan pandangan meremehkannya tertuju padaku. Ditilik dari dahi yang basah seakan sebelumnya diluncuri keringat, netra yang memiliki kantung mata lebih gelap, juga bagian rambut lepeknya membuatku sadar bahwa anak bungsuku memang melakukan pekerjaanku. Dia melakukan pekerjaan rumah.
"Gara-gara Mama, gue jadi nggak masuk sekolah hari ini," celetuk Kalista melirik kuku-kukunya sebagai objek pengalihan. "Padahal hari ini ada ujian yang nggak bisa disusul."
"Lebay lo."
Merasa tersindir balik, anakku lantas membalas, "Dih, yang lebay itu Mama. Begitu aja nggak bisa."
"Kalista!"
"Kenapa? Ayah juga sering ngomong begitu ke gue."
"Keluar."
Aku mengusap wajahku yang murung, menyembunyikan ekspresi yang membuat siapa pun merasa khawatir atau meminta maaf sebagai perwakilannya. Sepertinya Kalista memang tidak menyukaiku, sepertinya dia masih kecewa.
Kemudian, anak perempuanku melangkah pergi dari tempat ini. Aku menghela napas, menatap kesepuluh jariku yang masih lemas meski telah terbaring seharian penuh.
"Mama istirahat aja, ya."
"Ayah gimana?"
"Ayah udah berangkat dari tadi, Ma. Pasti udah di kantor," jawab Fathan menenangkan. "Oh, iya sebentar, Ma."
Seakan terburu-buru dikejar deadline, Fathan lantas pergi meninggalkan aku di kamar. Lima menit kemudian, dia datang dengan sepiring buah-buahan untukku. Wajahnya semringah, aku ikut tersenyum haru.
"Ini buah yang Fathan beli semalem," ujarnya sempat melirik barang bawaannya itu. "Maaf cuma ada sedikit, Ma. Waktu itu Fathan bawa uangnya nggak banyak."
"Nggak apa-apa, Sayang. Makasih, ya."
Fathan tersenyum kecil, lalu duduk di sampingku juga. Beberapa detik berikutnya, aku merasakan ketenangan yang sudah lama tidak ditemukan, momen kebersamaan antara aku dan anakku meski tubuh ini sepertinya masih perlu beristirahat.
Fathan, anak pertama dengan ciri khas rambut berwarna cokelat natural keturunan dari ayahnya. Seingatku, tingginya 170 cm dengan hobi bermain futsal. Dahulu, dia sering meminta izin untuk pulang terlambat karena latihan bersama teman-temannya.
Tetapi akhir-akhir ini tidak lagi, mungkin karena Cahyo sering kali memarahinya. Saat selesai diomeli, biasanya anakku yang satu ini akan terdiam sambil beradaptasi dengan suhu tubuh dari hawa panas yang dipicu ayahnya sendiri. Sedangkan, aku kadang menghampiri dan mengusap punggung Fathan untuk menenangkan perasaannya.
Fathan itu pintar, aku juga pernah mendengar kabar tentang kekasihnya di sekolah. Namun, karena suamiku jarang memberinya izin ke luar rumah, alhasil kemungkinan besar ada perseteruan yang diam-diam selalu diungkit karena kurangnya waktu kebersamaan Fathan dan perempuannya.
Aku jarang melihat anak sulungku sedih, dia juga lebih sering membantuku meski perasaanya sudah memburuk lebih dahulu. Aku tidak menuntutnya perkara nilai atau tidak memintanya harus berjalan di arah yang mana, aku yakin Fathan tahu tentang kebutuhan dan minat bakatnya sendiri.
Kami mengobrol santai dan sesekali tertawa kecil, aku menikmati alpukat yang dikupas oleh anakku sambil berpikir tentang apa yang dihadapi Fathan akhir-akhir ini. Pasti semuanya berat baginya, dia pandai menyembunyikan masalah. Aku resah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!