Setelah bertukar cerita dengan anakku yang sulung, akhirnya aku dibantu berjalan dan sedikit demi sedikit membantu pekerjaan rumah yang belum selesai. Mulai dari mencuci baju, merapikan kamar anak-anak, juga memasak makanan siang ini.
Rasa pusing yang mengelilingi kepalaku berkurang seiring aku beraktivitas lagi. Walau sebagian pekerjaan telah dikerjakan Fathan dan Kalista, aku tidak mungkin terus-terusan beristirahat saja.
Melihat Fathan yang tertidur lelap di sofa, aku tersenyum kecil dan beranjak menghampiri. Pasti dia kecapekan membantuku di rumah, biasanya anak laki-laki ini lebih sering merapikan kamar dan membersihkan bagian luar rumah.
Aku mengusap keningnya yang basah berkeringat, mengelus pucuk rambutnya seakan dia masih berumur anak Sekolah Dasar. Perlahan, aku mendekatkan pengucapanku ke telinganya.
"Fathan bangun dulu, yuk. Mama udah masak tempe goreng sama telur kecap kesukaan kamu," ujarku pelan menunggunya bereaksi. "Kita makan bareng, ya."
Usai pergelangannya diguncang pelan, Fathan dengan tubuh yang mengenakan kaus hitam pun bangun mengembalikan kesadarannya. Masya Allah, bangun tidur saja anakku tampan.
"Ayo makan, Ma."
Kepalaku mengangguk. "Kamu cuci muka dulu sebelum makan, ya. Mama mau ke kamar Kalista, dia seharian ngurung di kamar, takut kenapa-napa."
Mendengarnya, Fathan manggut lalu berjalan terhuyung-huyung menuju kamar mandi di ujung ruangan. Sebetulnya aku ingin meminta tolong untuk membujuk Kalista, tetapi aku Ibunya dan memang seharusnya aku yang bergerak lebih dahulu.
Jadi aku berpindah ke kamarnya, berhenti di depan penghalang cokelat tua untuk menarik napas dan mengembuskannya lagi. Sabar, Laras.
Pintu kuketuk pelan, mengimbau seorang penghuni di dalam sana yang telah mengeram setelah aku bangun menggantikannya beres-beres di rumah. Entah apa yang dilakukan gadisku, tidak ada bunyi maupun tanda bahwa dia butuh sesuatu dari luar ruangan untuk persediaan di dalam kamar.
"Kalista, makan siang, yuk," ajakku mengetuk pintunya lagi. "Mama udah masak sayur bayem kesukaan kamu."
"Nggak mau!"
Hatiku menyusut dibuatnya. "Ya udah, Mama ambilin buat kamu, ya. Nanti kamu makan di dalem."
"Gue bilang gue nggak mau!"
Aku menatap pintu di hadapanku. Jika benda ini bisa bicara, pasti punggungku akan diusap olehnya. Apa Kalista masih marah padaku, ya? Apa dia semakin benci padaku semenjak kejadian itu? Apa aku terlalu kasar padanya?
Begitu banyak pertanyaan yang menghantui pikiranku, aku merasa dijauhi oleh anakku sendiri tanpa tahu apa penyebabnya. Namun, kalau aku mengemis di sini juga tidak menghasilkan apa-apa. Aku hanya bisa pasrah.
Aku kembali ke meja makan, duduk dengan tatapan kosong bersama anakku yang lainnya di tempat itu. Sepertinya dia menungguku tadi, aku belum melihat Fathan menyantap makanannya.
"Ma, Kalista mana?"
Aku tersenyum kecil. "Adik kamu lagi belajar, dia makan nanti."
Kebohongan yang kubuat bisa diibaratkan sebagai lembaran kertas yang diremas, lalu dilempar ke dalam air yang membuatnya masih bisa terlihat. Entah memang aku yang bodoh kalau berbohong atau Fathan yang tidak bisa dibohongi, tetapi anakku tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Buktinya, anak laki-lakiku menghampiri kamar adiknya. Sepertinya Fathan ingin membuktikannya sendiri. Aku memperhatikannya dari sini.
"Kalista, makan!"
"Nggak mau!"
"Buka pintunya," pinta anakku mengetuk kencang pintu kamarnya. "Buka!"
Mendadak Kalista membukakan pintu, mempertemukan dirinya dengan sang Kakak. "Apa, sih. Ngapain? Nggak sopan lo, makan tinggal makan!"
"Mama udah masak buat lo."
"Ya udah, tinggal dimakan."
"Buat lo," ulang Fathan memberinya kalimat penekan.
"Ya, nanti gue makan."
Kemudian, pergelangan Kalista dicekal seperti apa yang terjadi di rumah sakit kemarin. "Sekarang."
"Kenapa maksa, sih?" Anakku memberontak.
Tidak, aku tidak ingin ada pertengkaran sekarang. Biarkan Kalista menikmati makanannya nanti, mungkin dia memang tidak ingin makan bersamaku. Aku harus bisa memahaminya, hentikan semua itu, Laras!
Aku mendekati mereka. "Fathan, udah. Nanti pasti Kalista makan, kita makan duluan aja, ya. Biar Mama yang nyiapin makannya nanti," sela Aku membuat perhatiannya tergantikan.
Kemudian, laki-laki itu menurut, dia melepasnya. Jujur, aku agak takut saat Fathan emosi, takut dia kehilangan kendali lalu beralih dengan mudah memainkan tangan pada orang di sekitarnya. Lebih baik aku mengalah daripada harus melihatnya begitu, menyakitkan.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam."
Aku tidak tahu apakah ini waktu yang tepat untuk merasa senang. Apa ini waktunya aku menyambut, bagaimana caraku menyambutnya pulang? Apa topik yang harus kuberi setelah dia menatapku tajam?
Kejadian kemarin masih membuatku terkejut, tidak ada yang berusaha mengerti atau berduka cita selain ibu dan Fathan. Dia kecewa, dia juga sedih, tetapi tidak seharusnya meninggalkan aku sendirian di ruangan yang dingin, bukan? Itu mengerikan, sangat mengerikan. Aku merinding kalau mengingatnya.
Yang dinanti-nanti untuk dipukul kini berada di hadapanku, sebagai seseorang yang baru saja melangkah pulang untuk beristirahat dan tidak ingin diganggu. Yang pakaiannya berkemeja dengan tas sebagai tentengannya berangkat ke kantor, pulang dengan wajah lesu yang tidak tahu apa penyebabnya.
Suamiku, Cahyo, pulang.
"Kenapa lagi? Disuruh makan tapi nggak mau makan?" Bukannya salah fokus dengan kehadiranku, justru Cahyo malah ikut menimpali kami. "Ambil aja HP-nya, nggak usah main HP lagi."
Tentu saja anakku kesal, dia beranjak lebih dahulu ke meja makan sekarang. Kakinya mengentak-entak ke lantai saat berjalan, seakan kedatangan ayahnya adalah bencana bagi kenyamanan urusannya di kamar.
Fathan juga mengikuti adiknya ke meja, kali ini kesannya seperti memberikan ruang antara aku dan suamiku. Namun, ketika perhatianku kembali padanya, Cahyo justru pergi ke kamar.
Tanpa berpikir panjang, aku membuntutinya ke dalam. Dia tampak terburu-buru setelah melihatku datang, mengganti pakaiannya asal yang menggantung di dalam lemari, lalu bergerak ke luar kamar, kabur dari kenyataan bahwa aku menunggunya untuk berbicara.
"Ayah, belum mau makan?" tanyaku pelan usai duduk di sampingnya, berusaha mencuri atensi untuk menatapku sejenak daripada memperhatikan laptopnya terus. "Aku udah masak banyak buat kamu."
"Aku lagi ada kerjaan," balasnya singkat.
"Tapi ini di rumah, waktunya kamu istirahat."
"Oh, kalau di rumah nggak boleh mantengin laptop begitu? Jadi gue nggak boleh, nih, lanjut ngerjain proyek?"
Aku tertegun saat intonasinya langsung berubah, aku tidak suka ketika dia bersikap begini padaku. Seakan-akan aku hanyalah pembantu atau pelayan yang memberi kabar bahwa 'makanannya sudah siap' di meja makan.
"Bukan begitu, Ayah. Seenggaknya makan dulu biar ada tenaganya, kita makan bareng sama yang lain," kataku berusaha mengurangi gemetar. "Kasian, mereka udah nunggu."
"Aku udah bilang lagi ada kerjaan. Kamu ngerti nggak, sih?"
"Biasa aja kali."
"Siapa yang ngomong?" murkanya melihat ke arah anak-anakku.
"Ayah, udah ...."
"Berani kamu ngomong kayak begitu ke Ayah?"
"Ayah ...."
"AYAH, LEPASIN!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments