"Jangan ngomong kayak begitu ke ayah, Kalista," bisik aku sembari menatapnya sebentar. "Nggak sopan."
Bukannya aku menyalahkan anakku, tetapi dari perkataannya kemarin, Kalista mengalami lebam di bagian siku karena dorongan ayahnya. Dia terluka karena menyahut, dia terluka karena keguguranku.
Kalau ditanya khawatir atau tidak, tentu saja aku khawatir, aku merasa bersalah karena perlakuan suamiku padanya. Apalagi melihat kelopak mata sembab anakku, dia pasti menangis semalaman. Dadaku sesak.
"Mama nggak pernah ngertiin perasaan aku."
"Gimana mau ngertiin kalau kamu nggak pernah cerita?"
"Nggak semua hal bisa diceritain, Ma."
Kemudian, Kalista menjadikan perkataannya sebagai pungkasan meninggalkan rumah. Selepas menghabiskan sepiring nasi uduknya, dia bersalaman padaku, dan berangkat ke sekolah tanpa kalimat terakhir. Dia pergi dengan luka yang belum sembuh.
Aku mengembuskan napas, melirik Kakaknya yang ikut muram seakan merasa tidak enak. Sebenarnya Fathan dan Kalista biasa berangkat bersama, tetapi kali ini tidak, keberangkatan Kalista mendahului Kakaknya.
Ya ampun, aku lupa memberinya uang saku! Aku langsung mengambil kotak makan di dapur lalu mengisinya dengan nasi milikku, setidaknya Kalista makan di sekolah, aku bisa makan kapan saja. Jadi aku menitip pada Fathan yang sedang bersiap-siap.
Sebelumnya, aku sempat mengambil selembar kertas untuk menulis pesan kalau aku lupa membawakan uang sakunya, semoga Kalista membacanya.
...Dari Mama...
...Maaf, Mama lupa ngasih uang jajan kamu. Nasinya tolong dimakan, ya. Mama minta maaf buat yang kemarin, Mama sayang Kalista....
"Mama, Fathan berangkat."
"Fathan, sebentar!" Aku mengejarnya setelah menyiapkan bekal makan Kalista. "Tolong kasih ini ke Kalista, Mama lupa nggak ngasih uang jajannya. Ini uangnya ada di dalem amplop, sendoknya ada di dalem tempat makan. Nanti ...."
"Mama ...." Fathan menatapku sebentar. "Tenang aja, pasti Fathan kasih. Fathan berangkat, ya."
Aku mengangguk setelah dia bersalaman padaku. Sepeda motornya dinyalakan, anak laki-lakiku menaiki dengan gagahnya, lalu mengendarakan miliknya meninggalkan aku dan ratusan peralatan rumah di tempat ini.
Aku melambaikan tangan, berharap hari-hari mereka baik-baik saja.
"Laras!"
Di sinilah semuanya dimulai.
"Ya, sebentar!"
Buru-buru aku menghampiri sumber suara, berharap suamiku masih dalam perasaan yang baik setelah bangun dari tidurnya. Biasanya dia berangkat jam tujuh pagi, aku belum membersihkan rumah karena bangun agak terlambat.
"Ambilin handuk aku."
Aku mengangguk, mengambil barang yang dimaksud Cahyo sebagai perlengkapannya mandi. Selama suamiku membilas tubuhnya, aku mempersiapkan sarapan dan setiap keperluannya untuk massenger bag yang akan dibawa bekerja hari ini.
Waktu mandinya Cahyo tidak sama dengan bapak-bapak yang kabarnya sering seliweran di beranda Facebook milikku. Yang rata-rata mandi setahun, pria berusia 45 tahun itu justru menetapkan menit kesepuluh sebagai jangka waktu terlamanya di kamar mandi.
Aku tidak berpikir hal itu bagus. Mungkin akan ada banyak orang yang bertanya, "Kenapa?" padaku setelah mendengar pendapat itu, aku tak berpikir Cahyo melakukannya karena pikiran yang rasional dan mengutamakan kepentingan pekerjaan. Melainkan ....
"Aku buru-buru, bawa kotak makan aja."
Dia tidak suka berada di rumah.
"Makan di sini aja, masih satu jam lagi, kok."
"Aku berangkat lebih cepet hari ini."
"Ya udah, biar porsinya aku yang atur, ya."
"Kamu kenapa nggak bisa diomongin, sih?"
Aku memang sengaja memancingnya ke situasi ini, aku ingin melihat apa dia benar-benar akan meninggalkanku lagi atau tidak dengan anggapan semua baik-baik saja. Jika memang tidak ada yang perlu dibicarakan, setidaknya Cahyo basa-basi padaku.
Sebenarnya, siapa aku di matanya?
"Ada yang mau aku bicarain sama kamu."
"Sebentar."
Aku menurut, melihatnya yang malah mengaktifkan alat elektronik lipat. Perhatianku masih mengamati meski layarnya telah menyala, aku tidak protes, lebih tepatnya tak mau ada masalah yang semakin berkepanjangan. Beruntung ketebalan rasa sabarku tidak setipis tisu.
Cahyo mengarahkan petunjuknya menuju situs sosial media yang selalu kita gunakan, WhatsApp. Ada banyak grup yang memenuhi berandanya, pesan-pesan yang belum terbaca, juga panggilan tidak terjawab seakan Cahyo memang orang yang sangat penting di kantornya.
Di saat begini, aku merasa tenang karena isinya tidak menunjukkan sesuatu yang janggal. Semuanya wajar, begitu juga suamiku yang tidak menutupi notifikasi atau pesan-pesan yang sekilas sempat kulihat tadi.
Jemarinya menggeser mouse ke sebuah grup, grup itu berisi percakapan sesama karyawan dengan pembahasan makan malam mereka. Sepertinya Cahyo sempat makan malam bersama rekannya kemarin, tetapi aku tidak tahu kegiatan lengkapnya.
Kemudian, suamiku mengetik beberapa kalimat di sana. Selesai dengan pesannya, dia mendapat balas konfirmasi penerimaan dari seseorang yang tercantum dengan nama kontak 'Bos' di sana. Sebentar, suamiku meminta izin kerja di rumah hari ini.
Dia ... merelakan pekerjaannya untuk berbicara denganku?
"Kamu nggak apa-apa izin?"
"Jadi, mau ngomong apa?"
Yang awalnya tersentuh, kini terasa pilu seakan dia terpaksa melakukannya untukku. Aku pikir, Cahyo akan mengerti lalu bersikap manis seakan menyadari apa yang seharusnya dia lakukan saat aku berada di rumah sakit, saat anak-anakku bertengkar, atau saat situasi ini berlangsung.
Nyatanya, pria ini cenderung menganggapku sebagai urusan yang harus didiskusikan dengan logika, tidak melibatkan perasaan, sekali pun berduka untuk keguguranku kemarin. Cahyo, apa aku benar-benar berbicara denganmu sekarang?
"Soal keguguran kemarin."
Mendengar kata yang baru saja terjadi kemarin, Cahyo langsung membetulkan posisi duduknya, mencari letak ternyaman untuk membicarakan hal pribadi yang selalu terdengar canggung. Wajahnya tampak serius, tetapi tidak membalas tatapanku.
"Kenapa?"
"Kenapa?" Aku mengulangi pertanyaannya. "Di mana kamu waktu aku di rumah sakit? Kamu nggak mikir perasaan aku gimana tanpa kamu di sana?"
"Aku ada urusan."
"Urusan?" Aku menatapnya tidak percaya. "Yang lebih penting daripada kehamilan aku? Kalau kamu terlambat dan tetep ngunjungin aku, aku masih bisa maklumin. Tapi kemarin kamu mabuk, Yah. Ayah mabuk."
"Ya udah, itu kejadiannya juga kemarin, 'kan? Nggak usah dipikirin."
Saking anehnya, aku sampai menganga ketika Cahyo menjawabnya begitu mudah, seakan aku hanya kehilangan angan-anganku untuk mempunyai anak ketiga. Apa dia benar-benar setega itu?
"Kamu kenapa, sih?" Kali ini, aku memberanikan diri untuk mengguncang badannya. "Ayah lagi ada masalah? Ini aku lho, Yah. Aku Laras, istri kamu."
"Masih ada yang perlu diomongin lagi?"
Ternyata harapanku terlalu tinggi, tetapi setidaknya Cahyo bisa berbohong daripada aku mendengarnya berkata begitu. Kebohongan yang sudah aku ketahui nantinya akan lebih baik daripada menelan fakta bahwa dia memang tidak benar-benar peduli.
Dia menyepelekan kehamilanku.
"Udah, lanjutin aja."
Setelah tubuhku berdiri, aku punya harapan terakhir semoga suamiku akan mencegahku pergi. Tetapi sampai aku masuk ke kamar, aku yakin matanya tidak membuntutiku lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments