18. Kegaduhan.

Setelah mendengarnya berpendapat kemarin malam, aku jadi kepikiran tentang apa yang dikatakannya juga. Apa mungkin semua ini terlalu lama untuk ditetapkan sebagai suami dan istri? Apa aku dan Cahyo terlalu lama untuk menetap serumah bersama Fathan dan Kalista di sini?

Memang adakalanya aku tertekan, terdiam dengan ribuan teriak dari suamiku yang sulit mengontrol emosi, juga membungkam meski yang dikatakannya belum tentu benar. Aku tidak seberani itu untuk membalas, untuk memberi tahu apa yang semestinya dia lakukan.

Istri selalu tunduk kepada suami, begitulah prinsip Cahyo kepadaku yang dibangun sejak kami menikah. Sebelum kami menjalin hubungan yang lebih serius, aku tidak pernah membayangkan seberapa banyak perubahan Cahyo setelah kami menikah, seberapa baiknya Cahyo setelah mempunyai anak.

Namun, aku terperanjat sampai sekarang bila mendengarnya masih menutup telinga. Dia tidak mau mengakui kesalahan, dia hanya ingin memenangkan perdebatan meski dirinya yang menanggung malu di setiap pembicaraan. Dari Cahyo yang kutemui banyak segi romantis, kini menjadi Cahyo yang tidak punya waktu untuk bersikap manis.

Aku mengembuskan napas, aku sedang belajar menjadi seorang ibu sampai sekarang. Mungkin Cahyo pun begitu tetapi tidak pernah terlihat di mataku, mungkin Cahyo juga belajar menjadi seorang ayah sampai sekarang.

Sabtu ini anak-anakku menikmati hari libur mereka. Setelah membantuku mencuci baju, Fathan mengambil istirahatnya di meja makan bersama sebatang ponsel dengan lembaran roti selai cokelat di mejanya. Sedangkan, adiknya ... aku lupa. Katanya hari ini Kalista akan menyelesaikan tugas kelompoknya, jadi aku mengizinkannya pergi tadi pagi.

Sedangkan, suamiku mengambil lembur untuk hari ini di kantornya. Cahyo menggantikan posisi temannya yang tidak masuk hari ini, karena tidak ingin ada informasi yang terlewat, akhirnya suamiku berangkat lebih pagi sebelum Kalista ikut ke luar rumah.

Mencuci piring, menyapu, melipat tumpukan baju yang kering menjadi sarapanku pagi ini. Kalau urusan baju memang tidak pernah selesai, aku lebih banyak mengeluh tentang pekerjaan rumah yang satu ini. Tetapi mau bagaimana lagi, ini sudah menjadi tanggung jawabku di rumah, bukan?

Tak lama, terdengar dering telepon dari ponselku yang kukenal bunyinya itu. Fathan juga memberi tahuku lewat tatapannya, lalu buru-buru aku mencari di mana letak ponselku yang ternyata tertimpa bantal sofa.

Aku tidak sempat melihat siapa yang menelepon, kupikir ini sangat penting karena jarang ada yang menelepon pagi-pagi. Jadi langsung disambungkan saja.

"Halo," sapaku lebih dahulu.

"Halo, apa ini dengan Bu Laras?"

Kepalaku refleks mengangguk. "Ya, ini dengan saya, Laras."

"Saya Irma, guru konseling di sekolah Kalista. Sepertinya tadi ada pertengkaran di sekolah antara Kalista sama temennya, saya harap Ibu bisa memenuhi panggilan ke sekolah sekarang, ya."

"Oh, iya. Saya ke sana sekarang. Makasih, Bu."

Kemudian panggilan dimatikan, responsku mengundang perhatian Fathan yang menoleh mempertanyakan apa dan siapa yang menelepon.

"Gurunya Kalista."

Keningnya mengerut. "Ini hari libur, Ma. Kok nelepon?"

Aku pura-pura tidak tahu. "Nggak tau, tapi tadi ada panggilan diminta ke sana. Mama mau ke sana sekarang."

"Mau Fathan temenin, Ma?"

Kepalaku menggeleng, sepertinya membawa Fathan bukanlah hal yang bagus. Bisa-bisa ada perdebatan yang berlanjut, aku juga tidak ingin membawa masalah rumah ke sekolah anakku. Aku belum mengenal baik bagaimana Fathan di sekolahnya, yang kudengar memang dia amat penurut dan banyak diamnya. Tetapi akan berbeda jika semua itu berurusan dengan sang adik.

Karena tujuannya ke sekolah anakku, aku memakai basic sleeve long dress sebagai pilihan busana penampilanku di sana. Tidak terlalu menyorot perhatian, aku mengambil warna cokelat susu dengan dompet tangan juga ponselku sebagai jaga-jaga bila diperlukan.

Aku tidak mengerti apa yang telah terjadi, tetapi mendengar Kalista terlibat dalam pertengkaran di sana, aku sempat berdecak kecil. Kupikir anak itu belajar dari apa yang dilakukannya sejak kemarin, tetapi dia malah membuat kegaduhan di sekolah.

...***...

Sesampainya di sana, kupikir perhatian publik tidak akan menitikberatkannya padaku. Namun, mereka sangat melirik kehadiranku seakan kehadiranku adalah orang yang ditunggu-tunggu, bisa jadi orang yang dianggap sebagai penanggung jawab atas apa yang terjadi di sekolah ini.

Karena dihubungi langsung ke ruangan konseling, maka aku beranjak menuju tempat itu yang tidak cukup jauh. Sepanjang lorong sekolah, beberapa murid semakin terlihat menumpuk hingga sampai di depan ruangan yang kutuju dengan para remaja yang berusaha mengintip.

Seingatku hari ini libur, tetapi ada banyak pelajar hari ini. Tidak ingin membuang banyak waktu dan tidak mau menimbulkan banyak pertanyaan, akhirnya aku memasuki ruangan dan lekas menutup pintu saat seseorang berusaha mendengar percakapan di dalam.

"Bu Laras, silakan duduk."

Pertama, aku melihat anakku yang duduk berseberangan dengan seorang remaja lain. Kalista sepenuhnya cemberut, tangannya masih terkepal kuat dengan kondisi penampilan yang berantakan. Rambut panjangnya tak lagi rapi, matanya juga tampak sembab dengan wajah yang dihiasi noda lebam di bagian pipi.

Aku tidak sempat mengamati pihak lainnya dan langsung menempati kursi, di hadapanku terlihat seorang wanita berkacamata dengan name tag 'Irma' di pakaiannya. Sedangkan, di samping tempatku diduduki oleh wanita lainnya yang berpenampilan mewah dan kemungkinan besar merupakan seorang wali dari anak yang berseberangan dengan Kalista.

"Sebelumnya, saya jelaskan dulu, ya. Hari ini sekolah dinyatakan libur untuk umum dan masuk bagi pelajar yang mengikuti ekstrakurikuler tambahan ataupun pelajar yang punya jadwal kerja kelompok, pagi tadi sekolah ricuh karena adanya pertengkaran dari kedua pihak yang sudah saya kumpulkan di sini.

"Kalista dan Natasya. Berdasarkan siswa yang berada di sekitar mereka, Kalista dianggap lebih dulu main tangan kepada Natasya. Apa itu benar, Kalista?"

Baik aku maupun sang penanya, kami sama-sama menoleh ke belakang dengan cemas yang memenuhi pikiran. Dia tampak gugup, takut, bahkan aku ragu bahwa anakku bisa bertahan dengan kondisinya untuk berbicara jujur.

"Apa itu benar, Kalista?"

"Bener," jawab anakku dengan sorot nyalang yang sama sekali belum menyingkir dari mata tajamnya kepada anak bernama Natasya. "Sebelum dia ngejek soal orang tua gue."

"Mengejek?" Bu Irma mengulang, "Natasya, kenapa kamu ngejek orang tua Kalista?"

"Ya, bukan ngejek kali namanya. Aku cuma bercanda, dia aja yang apa-apa dibawa serius!" balas anak itu dengan tampang meremehkannya. "Pasti di rumahnya tegang mulu."

"Ngomong apa lo tadi?"

"Kalista," panggilku membuatnya lantas menduduki tempatnya lagi, tidak semestinya dia langsung menyergap seakan Natasya adalah mangsa terbaik yang pernah hilang. "Nggak sopan kamu ngomong kayak begitu sama orang lain."

"Nah, makanya punya anak itu dijaga dong, Bu. Jangan apa-apa dibawa serius, kasian ini anak saya sampe babak belur, lho. Bibirnya robek, aduh ... anakkuuu," sahut wanita di sebelahku. "Ketauan ini di rumahnya pasti berantem mulu sama suaminya, ya. Jadi imbasnya ke anak, nihh."

Wah, kali ini kesabaranku juga diuji. Baik Ibu maupun anaknya ternyata sama, sama-sama hobi berkata pedas dengan maksud memutarbalikkan posisi kesalahannya. Aku sebal dengan orang yang berdampingan denganku sekarang, tetapi kupastikan ini bukan tentang mereka yang akan tunduk, melainkan kondisi anakku yang harus segera diobati.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!