"Pulang telat?"
"Iya, aku pulang larut malem ini. Aku bawa kunci rumah cadangan, nanti tidur duluan aja, jangan ditunggu."
"Masih banyak kerjaannya, ya?"
"Ada rapat mendadak sama pihak eksternal, udah dulu."
Panggilan yang pernah masuk dimatikan, merubuhkan jembatan telepati antara aku dan suamiku di tempat yang berbeda. Aku mengembuskan napas, dia benar-benar offline, mungkin jadwalnya memang sepadat itu.
Tiba-tiba aku overthinking, teringat dengan kondisi Cahyo yang tergeletak mabuk di sofa rumah. Waktu itu dia berantakan, bahkan Cahyo saja lupa bagaimana dia bisa sampai di rumah dengan selamat karena pulang dalam kondisi mabuk.
Apa dia akan mabuk-mabukkan lagi? Aku tidak tenang, yang pasti aku akan menunggunya pulang meski harus ketiduran di ruang tamu. Setidaknya aku ingin suamiku pulang dengan aman dan aku harus berada di sampingnya.
Sudah jam lima sore dan Kalista belum pulang dari sekolahnya. Kalau dia bersama Fathan, aku bisa lebih tenang. Tetapi Fathan sudah pulang dua puluh menit yang lalu, katanya ada yang harus Kalista urus dan tidak mau ditunggu.
Khawatir, aku menuju kamar Kakaknya. Ruangan itu terbuka, menampilkan seorang laki-laki yang duduk tegak di meja belajar dengan beberapa buku miliknya. Sepertinya dia belajar lagi, mengulangi materi yang dipelajari saat di kelas hari ini.
"Fathan, adik kamu di mana?"
Walaupun kami sempat terlibat beberapa debat, perilakunya padaku tidak berubah menjadi yang lebih buruk. Seakan anakku tidak menganggap pertengkaran yang kemarin, dia meluangkan waktunya untuk bertatap muka dan menutup buku saat aku bertanya tadi.
"Kalista hari ini piket, Ma. Terus katanya langsung pulang."
"Lama banget."
Anakku mengembuskan napas. Tak lama, terdengar bunyi derum sepeda motor dari bagian depan rumahku. Aku bingung, Cahyo selalu pulang dengan sopir pribadinya dan tidak juga menggunakan motor untuk kerja hari ini.
Memastikan, akhirnya aku beranjak ke pekarangan rumah, meyakinkan asumsi dari pikiranku sebelum berpikir yang tidak-tidak. Mungkin anakku dengan ojek yang biasa membawanya pulang, lalu terjebak macet sehingga telat sampai di rumah.
Namun, melihat kehadiran seseorang yang tidak diharapkan untuk sekarang. Spontan tanganku membentuk segitiga sama sisi, mengaitkannya di bagian pinggang sembari melihat anakku yang sedang berinteraksi dari bagian pintu rumah.
Mereka kelihatan akrab, sih. Tetapi tetap saja tidak mengurangi kekhawatiranku sebagai seorang ibu, dia pulang terlambat bersama laki-laki yang pernah mengantarnya ke rumah. Kalau tidak salah, namanya ....
"Dadah, Biyan!"
Biyan. Setelah menerima kepergian pemilik kendaraan, anakku diam-diam tersenyum lega seraya menenteng tasnya lebih kuat lagi. Melihatnya dengan ekspresi yang senang begitu, aku berpikir anak bungsuku berada di fase jatuh cinta seperti kebanyakan remaja di luar sana, aku bisa menyebutnya sebagai cinta monyet.
Setelah beberapa detik melihat kepergian Biyan yang semakin menjauh, Calista membalikkan tubuhnya sehingga mempertemukan lewat beradu pandang. Dia terkejut melihatku berdiri di depan rumah dengan gestikulasi yang mendongkol ketika kepergok pulang bersama teman lawan jenis.
Seperti yang aku duga, langkahnya mengentak-ngentak seakan berniat untuk kuatkan kehadiranku yang rela menunggunya sedari tadi. Namun, aku lebih dahulu sadar tentang Apa maksud dari jadi aku buru-buru menghambatnya yang akan masuk ke dalam rumah.
"Dari mana kamu?"
"Sekolah," jawabnya sebal. "Nggak ke mana-mana lagi, hari ini ada tugas kelompok bareng Biyan, jadi sekalian pulang bareng aja."
"Kamu nggak lihat ini jam berapa?" Alih-alih membiarkannya dengan jawaban yang mungkin jujur, aku tetap menghalanginya masuk sebelum dia meminta maaf. "Tadi Mama nanya ke Fathan, katanya kamu ada piket. Tapi kamu bilang ada tugas kelompok, jadi mana yang bener?"
"Ya, emang dua-duanya bener. Habis piket, aku langsung diskusi bareng Biyan sama yang lain."
"Alesan."
Kalista berdecak, "Aku jujur, Ma." Kemudian, dia menggeleng seakan tidak menyangka dengan reaksiku tadi. "Liat, 'kan? Gimana aku mau cerita kalau kayak begini aja Mama nggak percaya."
"Apa kata kamu?"
"Aku capek."
Usai mengalihkan pembicaraan, perempuan yang masih berseragam sekolah menerobos masuk ke dalam rumah seolah tidak ingin memperpanjang masalah. Mungkin dia capek, mungkin dia letih karena diberi pertanyaan menumpuk padahal baru sampai di rumah. Tetapi aku juga khawatir, seharusnya dia mengerti.
"Kenapa harus sama Biyan?"
"Kita searah," balasnya enteng, melempar ranselnya ke kasur dengan ekspresi yang paling kubenci, cemberut. "Emang nggak boleh aku nebeng sama dia? Lagian Biyan yang nawarin duluan."
"Kamu nggak malu?"
Kalista lantas berdiri. "Malu kenapa, sih?"
"Jangan kasar ngomong sama Mama!"
Kalista berdecak, menoleh ke sumber suara yang berasal dari kamar Kakaknya. "Berisik lo!"
"Mama khawatir, Kalista."
"Ya, ini buktinya aku nggak kenapa-napa." Dia memperlihatkan setiap sudut dari bagian tubuhnya, berusaha menghilangkan perasaanku yang tidak tenang. "Aku bukan anak kecil lagi."
Mendengarnya berkata begitu, aku cuma terdiam tanpa menunjukkan kepedulianku lagi. Aku telanjur murung, sedih dalam artian dia tidak mampu meminta maaf. Tetapi bisa saja aku yang terlalu mengkhawatirkan anakku sehingga dia merasa terganggu, 'kan?
"Aku mau mandi."
Kemudian, dia mengambil pakaiannya asal yang digantung di belakang lemari. Menggulung rambut hitam lebatnya untuk dijepit agar tidak mengganggu saat membilas tubuh, tetapi inti dari kelakuannya bukan seberapa besar dampak mandi di malam hari. Ini tentang dia yang menyepelekan aku.
Aku mengembuskan napas, mungkin aku yang keterlaluan. Dia sudah besar, seharusnya aku mengerti. Remaja seusianya juga sudah banyak dan terbiasa berinteraksi dengan teman lawan jenis, cuma aku yang belum bisa mengontrol emosi di setiap fase pertumbuhan anakku.
Kasur yang empuk itu diduduki, aku meletakkan tubuhku di sana dengan tatapan yang lama kelamaan terasa kosong tanpa titik pusat objek perhatiannya. Dipikir-pikir, aku juga capek seperti anak-anakku. Capek dalam hal banyak pikirannya, meski arah pikirannya tidak jelas, tetapi aku selalu memikirkan mereka.
Diam-diam aku bertanya dalam sepi, apa Fathan dan Kalista sudah makan di sekolahnya? Apa mereka berteman dengan lingkungan yang baik? Bagaimana cara mereka berdaptasi? Berapa uang saku yang bisa membuat mereka mengelola keuangan mingguan dan bulan nantinya?
Aku memijat bagian kening, pusing sekali. Belum lagi rasa kantuk akhir-akhir ini sering menggangguku, padahal malam baru saja akan dimulai. Padahal aku juga ingin menunggu kepulangan suamiku malam ini.
Hendak meninggalkan tempat, pandanganku dihambat oleh sesuatu yang bercahaya dari arah meja belajar. Aku menghampirinya, melihat sebuah ponsel dengan layar menyala karena notifikasi yang baru masuk.
Jumlahnya hanya satu, tetapi tidak mampu membuatku pergi mengabaikan isi. Dari pemberitahuan yang terpapar di sana, aku masih bisa membacanya tanpa perlu membuka aplikasi tersebut.
Dari Biyan
Malem ini mau ke luar nggak?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments