15. Berisik!

Aku menumpahkannya ke mangkuk, membuang berbagai lauk dan sisa nasi semalam dengan perasaan yang masih kesal. Menciut, juga sedih bersuasana melankolis melihat mereka bercampur menjadi bau yang tidak sedap. Telur dadar yang dimakan setengah, beberapa tempe goreng yang dingin, juga ayam kecap yang sempat kumakan tadi, mereka menciptakan aroma yang membuatku menutup hidung.

Semalam, Cahyo tidak kembali ke meja makan. Jangankan ke meja makan, bahkan dia tidak membuka pintu kamar agar aku tidur bersamanya di dalam. Kemarin aku menangis dan berusaha tidur di sofa, penuh dipeluk nyamuk-nyamuk beterbangan sehingga tidurku tidak nyenyak lagi. Beginilah aku sekarang, dihias lipatan kantung mata yang bengkak seperti seekor panda.

Setelah keluar dari dunianya, anak sulungku lantas menuju ke meja makan. Permukaannya disajikan semangkuk besar nasi goreng yang porsinya bisa dibagi untuk kami berempat, minumnya kusediakan sebuah teko teh hangat yang sudah kutuang ke beberapa gelas mereka juga.

Mulanya Fathan berniat menikmati, tetapi menyadari kehadiranku yang datang ke meja makan. Sendoknya dilepas seiring aku menduduki tempat.

"Mama matanya kenapa?" tanya anakku berusaha mengamatinya baik-baik. "Kok bengkak?"

Tak lama, pintu kamar sebelah dibuka yang menampilkan anak keduaku dengan baju bela dirinya. Hari ini adalah jadwal anak-anakku mengikuti ekstrakurikuler mingguan, mereka juga berangkat lebih siang dari biasanya jadi dapat lebih santai dahulu di rumah.

Anak bungsuku duduk di tempat makan dengan ponselnya, sesekali merapikan helaian rambut yang beterbangan dengan posisi yang tidak sopan dilihat. Aku menatapnya sedu, seandainya Kalista berusaha memahami diriku.

"Kalista, taruh HP-nya."

Mendengar kalimat yang tidak enak didengar pagi-pagi, anakku berdecak sebal lalu menoleh pada Kakaknya. "Emang kenapa, sih?"

"Lo diajarin sopan santun nggak?"

Kemudian, anak itu langsung mengalihkan perhatiannya padaku, seakan menyinyir atas apa yang dikatakan Kakaknya tadi. Aku memang tidak pernah mengajarkannya sopan santun, tetapi aku tahu sudah semestinya Kalista sadar tentang sikapnya, tidak semuanya perlu diajari, bukan? Kita akan paham seiring waktu berjalan.

"Kenapa ngelihatnya ke Mama?" sahut aku tak ragu menyatukan tatapannya meski dengan kelopak mata yang buruk. "Emangnya kamu nggak disekolahin?"

Kalista membalas, "Kok jadi lempar tanggung jawab?" Yang membuat kami saling terdiam, tidak tahu harus berkata apa.

Fathan mengembuskan napas, berusaha berbicara setenang mungkin pada Adiknya yang dalam suasana hati terburuk. Kalista selalu ingin dimengerti, tetapi aku tidak tahu apa dia melihatku sebagai Ibunya atau tidak, apa dia berusaha memahamiku, atau setidaknya apa dia tidak berpikir tentang kemungkinan mengapa aku sesekali keras padanya?

"Kalista, gue minta lo taruh dulu HP-nya karena nggak sopan. Di depan kita ada makanan, ada Mama juga. Nanti lagi HP-nya, ya," jelas anakku berusaha memberi tahunya. "Habis ini, lo bebas mau main HP atau ngapain lagi."

Adiknya tersenyum kecil, akhirnya dia menurut perkataan Kakaknya dengan meletakkan ponsel di permukaan meja. Kesepuluh jarinya dijadikan tumpuan wajah, dia menatap aku dan Fathan secara bergantian seakan meyakinkan kami bahwa perhatian diletakkan sepenuhnya pada kami.

Hendak melanjutkan percakapan, mulutku ditahan atas kedatangan seorang pria paruh baya dari ruangannya. Dia tampak berantakan dengan kaus dalam dan mata yang dikucek-kucek, seolah dia baru sadar dengan apa yang berada di hadapannya, suamiku berhenti di meja makan.

"Lah, kopi gue mana?"

"Lupa," jawabku seadanya, sengaja bersikap marah karena kejadian semalam. "Mending mandi dulu, udah siang."

"Nggak, bikinin kopi gue dulu."

"Baru bangun aja udah berisik," sahut Kalista yang sukses membuat emosi suamiku meningkat.

"Ngomong apa lo tadi?"

"Iya, Ayah. Ini aku buat kopinya sekarang, sarapan dulu aja."

Setelah memotong pembicaraan, akhirnya aku menghampiri kompor dengan maksud menyeduh secangkir kopi. Kemasannya kusobek pelan, serbuk kopi susu itu dituang ke dalam cangkir kecil yang menunggu air panasnya di dalam.

Tidak ingin membuang waktu, aku menyalakan kompor dengan api yang lebih besar dari biasanya agar air yang direbus cepat matang. Sembari menunggu uap-uap melayang, aku membalikkan tubuh dan memantau mereka dari kejauhan sambil bungkam untuk mendengar kelanjutan suamiku dan anak-anak yang mungkin memperpanjang masalah.

"Kok jam segini baru berangkat?"

"Hari ini Fathan sama Kalista jadwalnya ekstrakurikuler, Yah. Fathan pakai seragam lagi karena ekskulnya English Club. Kalau Kalista ekskulnya karate," jawabnya mewakili sang Adik.

Merasa di luar pandangannya, suamiku lantas membalas, "Nah, bagus itu Kakaknya belajar lagi Bahasa Inggris. Kok Adiknya malah bela diri? Emangnya bisa?"

"Bisa," katanya yakin. "Aku juga udah ikut ekskulnya dari lama, Ayah aja yang baru tau." Kemudian, anakku meneguk segelas air yang berada di sampingnya.

Tidak ada yang bersuara setelahnya. Fathan juga memilih perhatiannya diganti ke semangkuk selada yang sempat aku hidangkan, lidahnya mencicipi berbagai rasa dari tumpukan buah yang dinodai lumuran mayones dan taburan keju parut. Sedangkan, Adiknya memilih memainkan sendoknya di bagian mangkuk selada miliknya juga.

Cahyo menggertak, "Mana ini kopinya! Ditungguin dari tadi juga."

"Iya, ini lagi dibuat, Ayah," kataku pelan sembari mengaduk kopi, buru-buru aku membawanya ke meja makan agar Fathan dan Kalista tidak terganggu lagi.

Mendapat apa yang diharapkannya, suamiku membungkam sembari melirik apa yang tersaji di meja. Melihat selada sebagai sarapan pagi ini, Cahyo mengambil bagiannya untuk menikmati hidangan tersebut dengan meminum segelas air lebih dahulu.

"Berangkat sama gue, 'kan?" Fathan menoleh pada perempuan di sebelahnya. "Kita pulang siang, ya."

"Oh, gue berangkat sama Biyan," balas anakku yang membuat kami saling bertukar pikiran. "Pulangnya juga dianterin dia, kok. Lo berangkat sendiri, ya."

"Udah bilang orangnya?"

"Udah, semalem."

Merasa ada yang tidak beres, suamiku terpancing mengikuti topik yang didengarnya tadi. "Siapa Biyan? Nggak pernah denger," sahutnya membuat aku dan Fathan sempat bertatapan.

"Temennya Kalista," jawab Fathan lebih dahulu.

"Laki-laki?"

Kalista yang berada di sampingnya mengangguk. Melihat anaknya mengiyakan, kepalanya lantas menggeleng, menolak apa yang akan dilakukan anaknya pagi ini.

"Nggak boleh, berangkat sama Fathan aja."

"Dih, nggak bisa. Lagian gue juga udah janjian sama dia," balas Kalista membantahnya mentah, tetap ingin bersama teman kelasnya. "Nggak ke mana-mana, langsung ke sekolah."

"Ya udah, kalau begitu sama Fathan aja. Fathan juga laki-laki, Kakak lo. Nggak ada bedanya kalau nebeng di Biyan Biyan itu."

"Nggak, pokoknya gue bareng Biyan."

"Pagi-pagi nggak usah bikin berisiklah, gue bilang nggak berarti nggak. Kalau dibilangin nggak pernah nurut, kebanyakan main HP!" teriak suamiku menghempas sarapannya.

Aku panik, tidak tahu harus membela siapa. Di sisi lain, tidak ada salahnya bila anakku berangkat bersama temannya. Begitu pun aku juga sempat diperlakukan tidak enak oleh suamiku, wajar jika aku mendukung anakku. Tetapi aku juga takut berhadapan dengan Cahyo.

"Apa-apa disalahinnya HP mulu. Udahlah, terserah lo pada aja. Gue berangkat!"

"Kalista, dengerin orang tua ngomong dulu!"

"BERISIK!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!