"Kita cuma temenan."
Aku mengembuskan napas, berusaha memahami perasaan anakku yang baru sampai di gerbang masa pubertas. Mungkin ini berat untuknya, tetapi aku perlu mengingatkannya juga. Aku tidak mau dia tersakiti karena harapannya sendiri.
"Ya, Mama tau. Mama cuma mau ngingetin, jangan terlalu deket sama Biyan. Kalian juga perjalanannya masih panjang, masih banyak yang bisa ...."
"Duh, Mama. Gue juga taulah! Nggak bakal sampe hamil kali."
"Lo kalau diomongin orang tua itu nggak usah teriak, nggak usah ngejawab!" sahut pria yang jaraknya cukup jauh, mungkin dia mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh kami lewat respons anaknya tadi. "Sekali lagi lo ngomong begitu, gue ambil HP lo. Kalau perlu gue banting, gue buang sekalian!"
Mendengar perkataan yang tidak enak, Fathan terarah menenangkan Adiknya yang ikut terbawa emosi. Huft, ini salahku juga, seharusnya aku tidak membahas hal ini di ruangan terbuka. Aku harus membawanya masuk ke kamar sebelum Cahyo semakin marah.
Jadi aku mengantarnya ke kamar, memintanya duduk di kasur dengan pintu yang sepenuhnya ditutup rapat. Sebetulnya aku tahu tentang seberapa buruknya perasaan anakku mendengar komentar dan nasihat yang kuberikan tadi, tetapi ini juga penting, aku tidak mau dia jatuh begitu saja nantinya.
Baik aku maupun anakku, kami sama-sama membungkam. Aku berusaha memperhalus kata-kataku mulai sekarang, begitu juga Kalista yang tampak berpikir dengan apa yang kukatakan tadi di meja makan. Dia baru saja belajar.
"Tadi Mama lihat dia sama perempuan lain di minimarket, Mama nggak tau siapa orangnya," ucapku menyicil penjelasan. "Jadi Mama nggak mau kamu nanti kenapa-napa, Mama cuma mau ngasih tau itu."
Seolah tidak sesuai dugaan, tidak sama dengan ekspetasinya yang mungkin membayangkan seberapa panjang omelanku nanti, anakku terdiam selama beberapa menit. Dia tidak mampu menjawab, tak lagi mengambil kalimat pertentangan yang membuat kami terjebak di suatu perdebatan.
Dari bibirnya yang dilipat, sudah pasti Kalista berusaha mencerna baik-baik maksud dari perkataanku tadi. Dia tampak bingung, diam dengan ekspresi bertanya-tanya tentang penyebab Biyan yang bisa melakukan hal itu. Aku tidak tahu bagaimana keseharian mereka di sekolah, aku berharap mereka baik-baik saja.
"Mama nggak usah khawatir, aku bisa sendiri."
Kepalaku lantas menggeleng. "Kali ini Mama bener-bener mau ngertiin kamu," ucapku menatapnya tulus. "Maaf kemarin Mama nampar kamu, Kalista. Seharusnya Mama nggak kasar."
Kalista tertegun, tidak tahu apa dia akan menangis atau tidak. Tetapi yang pasti, anakku langsung memeluk, terdiam dengan kepala yang bersandar pada bahuku. Energi negatifnya berusaha aku serap sebanyak mungkin, menetralisir perasaannya juga yang tadinya memburuk tidak karuan menjadi tenang nan damai.
Tanganku terarah mengusap rambut halusnya, menyalurkan bantuan lewat sentuhan yang lembut sebagai penenang hati anakku. Entah sudah berapa lama kami tidak begini, rasanya seperti baru saja bertemu Kalista kecil yang kurawat sejak dini.
Walaupun kebenciannya mungkin melebihi rasa maafnya padaku, aku bisa memastikan bahwa kasih sayangku akan selalu mengelilingi anak-anakku sebagi pelindung tidak berwujud.
Setiap orang tua pasti menyayangi anak-anaknya, tetapi tidak setiap orang tua bisa menunjukkan rasa kasih sayang mereka sesuai dengan kemauan sang anak.
Ada yang menunjukkannya lewat omelan berkepanjangan, ada yang memperlihatkannya dengan ketidakpedulian karena ingin anaknya mandiri. Sering kali orang tua salah mengerti tentang pikiran dan pola asuh mereka kepada anak-anaknya, keturunan mereka lahir di zaman yang berbeda dengan orang tuanya, jadi sudah pasti cara mengasuhnya pun berbeda.
Aku mengembuskan napas, ini pasti berat bagi anakku. Tumbuh di lingkungan yang keras dan banyak cibirannya, berat juga bagiku karena selalu mengusahakan agar Kalista terlihat sempurna di mata banyak orang sebagai harapan terakhir kami.
Apalagi mengingat anakku yang selalu terjebak kontroversi bersama ayahnya, bukan hal mudah kalau berhadapan dengan suamiku. Meskipun aku lebih lama mengenal Cahyo, adakalanya aku ditunjuk sebagai istri yang tidak paham kondisi suami, sebagai perempuan yang masih egois, dan belum berani mengambil keputusan yang matang.
"Kenapa Mama harus sama ayah?"
Aku terkejut mendengarnya bertanya. "Emangnya kenapa, Kalista?" tanyaku balik, berusaha membuatnya memperjelas kenapa bisa berkata begitu.
"Nggak kenapa-napa sih, Ma." Lalu dekapan kami dilepas, Kalista tampak lebih lembut saat berbicara denganku sekarang. "Aku capek, Mama juga capek, 'kan?"
Senyumku terbentuk. "Capek bukan berarti kita harus berhenti."
Kalista mengangguk ringan. "Kalau Fathan capek juga nggak, Ma?"
Aku bereaksi bingung meski memang benar-benar berpikir. Selama ini aku selalu mengkhawatirkan Kalista, menganggap kakaknya lebih kuat dari yang kuduga. Dia selalu berpenampilan netral, tidak banyak bicara kecuali jika berhubungan dengan adiknya, juga tampaknya baik-baik saja.
Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan anak sulungku, tidak tahu keluhan paling berat macam apa yang disembunyikannya sampai saat ini. Tetapi aku berharap anak-anakku akan lebih kuat dari orang tuanya.
"Fathan juga capek, Kalista. Dia sering banget debat sama kamu karena buat kebaikan kamu juga." Aku duduk berdampingan dengannya di kasur. "Makanya, selama ini Fathan banyak banget ngomongnya sama Mama soal kamu, dia pengen kamu nggak kenapa-napa."
Anak perempuanku mengerucutkan bibirnya. "Tapi, Ma. Boleh tanya sesuatu nggak?"
"Boleh."
"Aku nggak bisa deket lagi sama Biyan, ya?"
"Bukan begitu, Sayangku." Aku lantas melanjutkan, "Kamu boleh deket sama banyak orang, boleh bertemen sama siapa aja. Tapi jangan sampe berlebihan ke lawan jenis, pastiin mereka jadi temen belajar kamu aja, ya."
Kalista mengangguk, tingkahnya persis masih di umur anak TK saat aku menegurnya selepas dia terjatuh. "Aku juga pengen main, aku pengen kayak orang-orang."
Entah kenapa, mendengar pernyataan terakhir membuat dadaku sesak. Apa yang dikatakannya seolah menjadi kesenjangan di antara keluargaku dengan keluarga banyak orang di luar sana, aku juga ikut merasa kehidupan kami tidak seindah ekspetasi yang telah aku dan Cahyo impikan saat kami belum saling terikat.
Lagi-lagi perasaan bersalah menyelimuti, aku belum bisa memberikan yang terbaik untuk anak-anakku seperti apa yang mereka harapkan. Kami jadi harus saling memaklumi, kami jadi sering berseteru meski Fathan maupun Kalista sekadar meminta hak mereka.
Aku mengembuskan napas, menjadi ibu memang tidak semudah yang kukira. Yang dahulu biasa memilih menu makan siang, sekarang jadi berpikir apa yang bisa kusajikan untuk mereka. Tetapi aku bersyukur bila Kalista mulai memahamiku, bila dia juga ikut mencoba mengerti tentang peranku sekarang.
"Mama, mau tanya satu hal lagi."
Aku mengerjap cepat, mengganti perhatianku sepenuhnya pada anakku sekarang. "Ya, kenapa?"
"Bukannya semua ini terlalu lama buat selamanya?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments