Namora
Kasih Ibu, kepada Beta.
Tak terhingga sepanjang masa.
Hanya memberi, tak harap kembali.
Bagai sang Surya menyinari dunia.
Sudah menjadi kebiasaan bagi siswa sekolah dasar kampung baru, ketika akan mengakhiri mata pelajaran dan menutup pembelajaran hari ini. Ketika para murid akan meninggalkan kelas untuk kembali ke rumah masing-masing, mereka akan menutupnya dengan menyanyikan lagu. Mau itu lagu kebangsaan, atau lagu yang biasa dinyanyikan di sekolah-sekolah dasar. Barulah setelah itu mereka akan menyalami sang wali kelas, sebelum berebut keluar meninggalkan ruang kelas tempat mereka belajar.
"Horeeeeee.... Pulang...!" Kata para murid bersorak dengan riang sembari berdesakan untuk menyalami tangan guru, sebelum menghambur keluar meninggalkan kelas.
Hal itu juga tidak terkecuali bagi seorang anak lelaki berhidung mancung, berambut sedikit pirang dan belah tengah. Dari bibirnya yang mungil terulas senyum mengembang walaupun ada sorot tekanan pada tatapan matanya.
"Minggir kau anak narapidana!" Kata salah seorang siswa lelaki sembari menarik kerah baju anak tadi yang membuat senyuman di bibir mungilnya itu serta-merta pudar.
Anak itu meringis dan mencoba untuk berusaha bangun. Namun, sebelum dia bangun dari jatuhnya tadi, satu kaki telah menginjak tangannya yang membuat anak itu mengaduh kesakitan.
Siapa sebenarnya anak yang malang ini?
Namanya adalah Namora Habonaran. Pindahan dari kota Kemuning.
Ibunya bernama Mirna. Sedangkan ayahnya bernama Tigor yang saat ini menjadi tahanan di pusat tahanan kota Batu.
Semenjak nenek dan kakek dari sang ibu meninggal dunia, mereka akhirnya pindah ke kampung baru yang masih berada dalam kawasan kabupaten Kota Batu. Mereka pindah bukan karena tidak memiliki rumah di kota Kemuning. Rumah mereka besar di sana. Bahkan, tidak ada satupun dari masyarakat di kampung baru ini yang memiliki rumah sebesar punya mereka yang berada di kota Kemuning. Akan tetapi, semuanya mereka tinggalkan karena di sana Namora juga selalu mendapat hinaan dari teman-teman yang sebaya dengannya dengan sebutan, Anak narapidana. Oleh karena itulah mereka meninggalkan kota Kemuning dan pindah ke kampung baru dengan harapan agar tidak ada lagi yang menghina putra satu-satunya itu.
Awalnya semuanya berjalan dengan baik-baik saja. Sampai pada suatu ketika ada murid pindahan dari kota Kemuning yang membocorkan kepada murid-muridnya lainnya bahwa ayah dari Namora ini adalah seorang penjahat yang ditangkap oleh polisi, kemudian dipenjarakan. Dari sinilah Namora mulai dijauhi, di-bully, bahkan dimusuhi oleh anak-anak sebaya dengannya di sekolah.
Namora terlihat meringis menahan sakit sambil mendongakkan kepalanya melihat ke arah orang yang menginjak tangannya tadi.
"Apa tengok-tengok? Ada hutang?" Tanya anak itu kepada Namora.
"Diaz. Kau menginjak tangan ku! Angkat kakimu ini!" Kata Namora yang masih meringis menahan rasa sakit.
Bukannya mengangkat kaki, anak bernama Diaz tadi malah mengangkat sebelah kakinya, sehingga seluruh bobot badannya tertumpu kepada sebelah kaki yang terinjak di tangan Namora.
"Sakit?" Tanya nya sembari mengejek.
Mata Namora mulai berair menahan antara rasa sakit, dan luapan kemarahan. Tapi dia tidak berani berbuat banyak. Karena, jika dia melawan, dirinya pasti akan menjadi bulan-bulanan yang lainnya.
Pernah sekali dia melakukan perlawanan, apa yang terjadi? Dia malah dikeroyok lebih dari sepuluh orang. Akibatnya, dia pulang dengan keadaan babak belur.
Berfikir sampai di situ, Namora hanya menahan rasa sakit yang dia rasakan sambil berharap agar Ibu guru melihat kejadian itu, lalu menegur Diaz.
Doa Namora akhirnya diijabah juga. Karena, kini satu suara bergema di ruangan kelas itu sambil meneriaki nama seseorang.
"Diaz! Apa yang kau lakukan?"
Diaz terkejut bukan main ketika sebutir kapur tulis melesat dan tepat mengenai keningnya.
"Maaf Bu. Diaz tidak sengaja!" Kata Diaz yang langsung mengangkat kakinya dari tangan Namora sambil mengusap keningnya yang terasa sakit akibat lemparan kapur tulis dari sang guru tadi.
"Jangan dikira ibu tidak memperhatikan kelakuan mu, Diaz! Dari tadi ibu perhatikan kalian membully Namora. Dia adalah sahabat kalian juga. Tidak ada beda antara kau dan Namora. Kalian berdiri sama tinggi, duduk pun sama rendah!" Tegas sang guru berusaha menasehati murid didiknya.
"Maafkan Diaz Bu!" Kata Diaz meminta maaf. Namun, sorot matanya seperti memberi peringatan kepada Namora bahwa dia harus berhati-hati di jalan. Karena, tidak mungkin Namora akan dilepaskan begitu saja. Apa lagi setelah dia mendapat lemparan kapur tulis dan teguran dari guru.
"Maafkan aku Namora!" Kata Diaz sambil membantu Namora untuk bangkit. Tapi itu bukanlah permintaan maaf yang tulus. Karena, ketika dia menunduk, dia pun membisikkan kata-kata ancaman ke telinga anak itu.
"Aku belum selesai dengan mu, Namora! Gara-gara kau, aku mendapat lemparan kapur tulis dari guru. Aku akan membuat perhitungan dengan mu nanti!" Ancam Diaz.
Setelah memberikan ancaman, Diaz berpura-pura tersenyum dan membantu membersihkan bagian belakang celana Namora.
"Jangan berdesak-desakkan keluar dari pintu!" Kata ibu guru memperingatkan. Namun, yang namanya anak-anak, hanya iya katanya. Tapi, tetap saja mereka saling berebut untuk mendahului keluar.
Ketika itu, Namora yang sudah merasa lapar, juga ingin buru-buru keluar. Tapi, sekali lagi dia mendapatkan perlakuan yang tidak baik. Karena, ketika Namora menuju ke arah pintu, satu kaki telah menjegal langkahnya sehingga membuat Namora kembali terjatuh.
"Kau anak narapidana! Tempat mu di belakang. Jangan mencoba untuk setara dengan kami!"
"Iya benar. Kau tidak setara dengan kami!" Kata yang lain pula.
Namora segera beringsut dan kembali berdiri.
Dia terus berdiri sampai semua murid di kelas itu selesai keluar, barulah dia keluar meninggalkan ruangan kelas itu.
Sesampainya di luar, Namora pun mengangkat tas nya untuk melindungi diri dari sinar matahari, dan terus berjalan untuk kembali ke rumah yang hanya di huni oleh dirinya dan sang ibu.
Namora terus berjalan meninggalkan area sekolah dasar yang hanya dipagari oleh tanaman bambu China. Tapi, begitu dia tiba di luar, terlihat empat orang anak lelaki yang sebaya dengannya telah menunggu.
"Lama sekali kau keluar dari kelas. Apa kau takut?" Tanya salah satu dari keempat anak lelaki itu.
"Sudahlah, Diaz! Mengapa kalian terus-menerus mengganggu ku? Apa salah ku kepada kalian?" Tanya Namora. Dia ingin menikmati masa kanak-kanaknya tanpa hinaan, gangguan, apa lagi berkelahi. Itulah mengapa dia meminta untuk pindah ke kampung baru ini.
Sebagai seorang anak, dia ingin bermain bersama-sama, bercengkrama dengan teman-teman yang lainnya, belajar kelompok bersama, lalu sama-sama mendapatkan nilai bagus. Tapi itu tidak dia dapatkan. Malahan, dia terus-menerus di-bully, diasingkan, di hina, bahkan tidak jarang mendapatkan perlakukan kasar dari anak-anak yang sebaya dengan dirinya.
Dia ingin meminta kepada ibunya untuk pindah sekolah lagi, tapi itu tidak mungkin. Karena, dia baru saja pindah dan belum genap setahun di kampung baru ini.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 273 Episodes
Comments
Azis swandi
Isizumaki
2023-12-01
1
♡SangPecinta♡
Hai Thoooor....ahirnya ketemu juga si Dingin teman Joe wiliam....👍🙏🙏🙏
2023-04-05
4
HaleJhope94
Awal Mula Si Kulkas 10 Pintu
2022-12-13
3