Kasih Ibu, kepada Beta.
Tak terhingga sepanjang masa.
Hanya memberi, tak harap kembali.
Bagai sang Surya menyinari dunia.
Sudah menjadi kebiasaan bagi siswa sekolah dasar kampung baru, ketika akan mengakhiri mata pelajaran dan menutup pembelajaran hari ini. Ketika para murid akan meninggalkan kelas untuk kembali ke rumah masing-masing, mereka akan menutupnya dengan menyanyikan lagu. Mau itu lagu kebangsaan, atau lagu yang biasa dinyanyikan di sekolah-sekolah dasar. Barulah setelah itu mereka akan menyalami sang wali kelas, sebelum berebut keluar meninggalkan ruang kelas tempat mereka belajar.
"Horeeeeee.... Pulang...!" Kata para murid bersorak dengan riang sembari berdesakan untuk menyalami tangan guru, sebelum menghambur keluar meninggalkan kelas.
Hal itu juga tidak terkecuali bagi seorang anak lelaki berhidung mancung, berambut sedikit pirang dan belah tengah. Dari bibirnya yang mungil terulas senyum mengembang walaupun ada sorot tekanan pada tatapan matanya.
"Minggir kau anak narapidana!" Kata salah seorang siswa lelaki sembari menarik kerah baju anak tadi yang membuat senyuman di bibir mungilnya itu serta-merta pudar.
Anak itu meringis dan mencoba untuk berusaha bangun. Namun, sebelum dia bangun dari jatuhnya tadi, satu kaki telah menginjak tangannya yang membuat anak itu mengaduh kesakitan.
Siapa sebenarnya anak yang malang ini?
Namanya adalah Namora Habonaran. Pindahan dari kota Kemuning.
Ibunya bernama Mirna. Sedangkan ayahnya bernama Tigor yang saat ini menjadi tahanan di pusat tahanan kota Batu.
Semenjak nenek dan kakek dari sang ibu meninggal dunia, mereka akhirnya pindah ke kampung baru yang masih berada dalam kawasan kabupaten Kota Batu. Mereka pindah bukan karena tidak memiliki rumah di kota Kemuning. Rumah mereka besar di sana. Bahkan, tidak ada satupun dari masyarakat di kampung baru ini yang memiliki rumah sebesar punya mereka yang berada di kota Kemuning. Akan tetapi, semuanya mereka tinggalkan karena di sana Namora juga selalu mendapat hinaan dari teman-teman yang sebaya dengannya dengan sebutan, Anak narapidana. Oleh karena itulah mereka meninggalkan kota Kemuning dan pindah ke kampung baru dengan harapan agar tidak ada lagi yang menghina putra satu-satunya itu.
Awalnya semuanya berjalan dengan baik-baik saja. Sampai pada suatu ketika ada murid pindahan dari kota Kemuning yang membocorkan kepada murid-muridnya lainnya bahwa ayah dari Namora ini adalah seorang penjahat yang ditangkap oleh polisi, kemudian dipenjarakan. Dari sinilah Namora mulai dijauhi, di-bully, bahkan dimusuhi oleh anak-anak sebaya dengannya di sekolah.
Namora terlihat meringis menahan sakit sambil mendongakkan kepalanya melihat ke arah orang yang menginjak tangannya tadi.
"Apa tengok-tengok? Ada hutang?" Tanya anak itu kepada Namora.
"Diaz. Kau menginjak tangan ku! Angkat kakimu ini!" Kata Namora yang masih meringis menahan rasa sakit.
Bukannya mengangkat kaki, anak bernama Diaz tadi malah mengangkat sebelah kakinya, sehingga seluruh bobot badannya tertumpu kepada sebelah kaki yang terinjak di tangan Namora.
"Sakit?" Tanya nya sembari mengejek.
Mata Namora mulai berair menahan antara rasa sakit, dan luapan kemarahan. Tapi dia tidak berani berbuat banyak. Karena, jika dia melawan, dirinya pasti akan menjadi bulan-bulanan yang lainnya.
Pernah sekali dia melakukan perlawanan, apa yang terjadi? Dia malah dikeroyok lebih dari sepuluh orang. Akibatnya, dia pulang dengan keadaan babak belur.
Berfikir sampai di situ, Namora hanya menahan rasa sakit yang dia rasakan sambil berharap agar Ibu guru melihat kejadian itu, lalu menegur Diaz.
Doa Namora akhirnya diijabah juga. Karena, kini satu suara bergema di ruangan kelas itu sambil meneriaki nama seseorang.
"Diaz! Apa yang kau lakukan?"
Diaz terkejut bukan main ketika sebutir kapur tulis melesat dan tepat mengenai keningnya.
"Maaf Bu. Diaz tidak sengaja!" Kata Diaz yang langsung mengangkat kakinya dari tangan Namora sambil mengusap keningnya yang terasa sakit akibat lemparan kapur tulis dari sang guru tadi.
"Jangan dikira ibu tidak memperhatikan kelakuan mu, Diaz! Dari tadi ibu perhatikan kalian membully Namora. Dia adalah sahabat kalian juga. Tidak ada beda antara kau dan Namora. Kalian berdiri sama tinggi, duduk pun sama rendah!" Tegas sang guru berusaha menasehati murid didiknya.
"Maafkan Diaz Bu!" Kata Diaz meminta maaf. Namun, sorot matanya seperti memberi peringatan kepada Namora bahwa dia harus berhati-hati di jalan. Karena, tidak mungkin Namora akan dilepaskan begitu saja. Apa lagi setelah dia mendapat lemparan kapur tulis dan teguran dari guru.
"Maafkan aku Namora!" Kata Diaz sambil membantu Namora untuk bangkit. Tapi itu bukanlah permintaan maaf yang tulus. Karena, ketika dia menunduk, dia pun membisikkan kata-kata ancaman ke telinga anak itu.
"Aku belum selesai dengan mu, Namora! Gara-gara kau, aku mendapat lemparan kapur tulis dari guru. Aku akan membuat perhitungan dengan mu nanti!" Ancam Diaz.
Setelah memberikan ancaman, Diaz berpura-pura tersenyum dan membantu membersihkan bagian belakang celana Namora.
"Jangan berdesak-desakkan keluar dari pintu!" Kata ibu guru memperingatkan. Namun, yang namanya anak-anak, hanya iya katanya. Tapi, tetap saja mereka saling berebut untuk mendahului keluar.
Ketika itu, Namora yang sudah merasa lapar, juga ingin buru-buru keluar. Tapi, sekali lagi dia mendapatkan perlakuan yang tidak baik. Karena, ketika Namora menuju ke arah pintu, satu kaki telah menjegal langkahnya sehingga membuat Namora kembali terjatuh.
"Kau anak narapidana! Tempat mu di belakang. Jangan mencoba untuk setara dengan kami!"
"Iya benar. Kau tidak setara dengan kami!" Kata yang lain pula.
Namora segera beringsut dan kembali berdiri.
Dia terus berdiri sampai semua murid di kelas itu selesai keluar, barulah dia keluar meninggalkan ruangan kelas itu.
Sesampainya di luar, Namora pun mengangkat tas nya untuk melindungi diri dari sinar matahari, dan terus berjalan untuk kembali ke rumah yang hanya di huni oleh dirinya dan sang ibu.
Namora terus berjalan meninggalkan area sekolah dasar yang hanya dipagari oleh tanaman bambu China. Tapi, begitu dia tiba di luar, terlihat empat orang anak lelaki yang sebaya dengannya telah menunggu.
"Lama sekali kau keluar dari kelas. Apa kau takut?" Tanya salah satu dari keempat anak lelaki itu.
"Sudahlah, Diaz! Mengapa kalian terus-menerus mengganggu ku? Apa salah ku kepada kalian?" Tanya Namora. Dia ingin menikmati masa kanak-kanaknya tanpa hinaan, gangguan, apa lagi berkelahi. Itulah mengapa dia meminta untuk pindah ke kampung baru ini.
Sebagai seorang anak, dia ingin bermain bersama-sama, bercengkrama dengan teman-teman yang lainnya, belajar kelompok bersama, lalu sama-sama mendapatkan nilai bagus. Tapi itu tidak dia dapatkan. Malahan, dia terus-menerus di-bully, diasingkan, di hina, bahkan tidak jarang mendapatkan perlakukan kasar dari anak-anak yang sebaya dengan dirinya.
Dia ingin meminta kepada ibunya untuk pindah sekolah lagi, tapi itu tidak mungkin. Karena, dia baru saja pindah dan belum genap setahun di kampung baru ini.
Bersambung...
Keempat orang anak lelaki itu saling pandang, lalu tertawa melihat ke arah Namora yang saat ini berdiri mematung karena langkahnya dihalangi oleh keempat anak tadi.
"Kalian dengar apa katanya? Dia bertanya apa salahnya, hahaha.. tidak lucu!" Kata salah satu dari keempat anak tadi.
Kemudian, seorang lagi yang dikenal bernama Diaz kini maju ke depan beberapa langkah. Dia melirik ke arah teman-temannya yang lain.
Mengerti apa maksud dari lirikannya, ketiga anak yang lainnya mulai mengelilingi Namora dan mulai melakukan serangan.
"Gara-gara kau, aku tadi sampai dilempar oleh Bu guru dengan kapur tulis. Sekarang, kau rasakan ini!"
Bugh..!
"Aduh!" Pekik Namora ketika Diaz menendang punggungnya.
Yang lain, begitu melihat Namora sudah meringis kesakitan bukannya merasa kasihan. Mereka malah mendorong tubuh Namora hingga jatuh terduduk, lalu segera menghujani anak itu dengan pukulan.
Perkelahian tak seimbang dan tanpa perlawanan itu akhirnya berhenti ketika hidung mancung milik Namora sudah mengucurkan darah.
Keempat anak-anak itu terlihat ketakutan dan segera lari pontang-panting.
Sebagai anak-anak, jelas mereka ketakutan melihat darah. Selain itu, mereka juga takut andai nanti masalah ini diketahui oleh guru, terlebih lagi kepala sekolah. Oleh karena itulah mereka memilih untuk kabur dan meninggalkan Namora yang saat ini sedang menangis.
Tidak ada yang memperdulikannya. Semua orang hanya lalu lalang, tapi tidak ada yang bertanya mengapa dia menangis.
Lelah seperti itu, Namora akhirnya bangun lalu memperhatikan keadaan dirinya. Kini dia melihat beberapa bagian pada baju seragamnya ada yang sobek, juga beberapa kancing pada bajunya telah putus.
Namora segera memukul-mukul debu yang menempel pada tas miliknya, kemudian kembali melangkah menuju ke rumahnya.
Dari kejauhan, terlihat empat orang lelaki dewasa hanya memperhatikan saja dengan wajah geram ke arah Namora yang terus melangkah semakin menjauh.
"Mengapa kau melarang aku, Meng?" Tanya lelaki itu kepada lelaki yang berada di sampingnya.
"Kau ingin menjadi anak-anak? Itu urusan mereka. Mengapa kau ikut campur?" Jawab lelaki yang disebut Meng tadi membela diri.
"Terus terang. Hatiku sakit mengetahui keponakan ku itu diperlakukan seperti itu!"
"Sabar Cong! Ingat pesan bang Tigor! Dia tidak ingin nantinya Namora menjadi manja. Apa-apa serba mengandalkan orang lain!"
"Ini keterlaluan. Akan ku hajar bapak anak itu. Anaknya seperti itu, karena bapaknya tidak mendidik anaknya dengan benar!"
"Sugeng! Kau jangan gila. Ini masalah anak-anak. Biarkan saja. Namora harus mampu melewati masa-masa sulitnya. Jika tidak, mana bisa kelak dia menjadi andalan kita!"
"Ya sudah lah. Ayo Cong kita pergi. Tinggalkan saja Ameng dan Timbul itu. Di sini juga kita ngapain? Hanya membuat aku sakit hati saja!"
"Ayo lah!"
Kedua pemuda itu meninggalkan kedua sahabatnya yang hanya bisa geleng-geleng kepala saja memperhatikan kepergian kedua sahabatnya.
"Acong.., Sugeng! Mau kemana kalian?" Tanya Ameng.
"Lebih baik aku kembali ke kota Kemuning saja. Cukup kau dan Timbul saja yang berada di sini!" Jawab Sugeng kesal.
Kedua orang itu terus berlalu dan menyebrangi jalan menuju ke arah dua unit mobil yang terparkir di bawah sebatang pohon yang rindang.
*********
Kepulangan Namora dari sekolah dalam keadaan morat-marit itu membuat sang ibu merasa kaget.
Walaupun ini bukan kali pertama dia kembali dengan keadaan seperti itu, tapi yang namanya ibu pasti akan merasa khawatir.
"Namora. Kau berkelahi lagi?" Tanya sang ibu.
Anak itu menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan dari sang Ibu.
"Lalu, mengapa baju mu robek di sana sini?" Tanya sang ibu lagi.
"Mereka mengeroyok ku, Bu," jawab Namora apa adanya.
"Bu. Sebenarnya apa kesalahan ayah sampai dipenjara? Namora malu Bu. Ayah yang dipenjara, tapi Namora yang menanggung malu. Kalau hanya sebatas ayah saja dipenjara, kita tidak apa-apa. Tapi mengapa Namora yang jadi sasaran cacian, hinaan dan diasingkan oleh mereka Bu?" Tanya anak itu sambil nangis.
"Anak ku. Bersabar lah. Ini hanya sementara. Tidak akan lama. Kelak, jika kau bersabar, semuanya akan indah pada waktunya!" Kata sang ibu berusaha untuk membesarkan hati putra semata wayangnya itu.
"Sebenarnya apa kesalahan ayah sehingga dipenjara? Apa benar ayah dipenjara karena mencuri telur ayam?" Tanya anak lugu itu.
"Siapa yang mengatakan itu kepada mu hah?" Tanya sang ibu yang mulai naik pitam.
"Mereka Bu. Mereka mengatakan bahwa ayah Namora seorang mafia. Ada yang bilang bahwa ayah Namora adalah maling. Mereka selalu mengatakan Tigor panangko tolor manuk!" Kata anak itu lagi sambil terus menangis.
(Panangko dalam bahasa Batak artinya pencuri. Sedangkan panangko tolor manuk, artinya pencuri telur ayam)
"Itu semua tidak benar. Kau jangan mempercayai semua itu. Mana mungkin Ayah mu seorang pencuri telur ayam,, sedangkan adiknya adalah seorang polisi. Kita juga punya rumah yang besar. Tidak pernah kekurangan uang. Tidak pernah kelaparan. apakan masuk akal jika ayah mu seorang pencuri telur ayam?"
"Tapi mengapa ayah sampai dipenjara, Bu?" Tanya anak itu lagi merasa tidak puas.
"Namora. Kau tidak akan mengerti andai ibu jelaskan. Tunggu lah sampai kau besar nanti. Ibu dan paman Rio mu akan menceritakan semuanya kepada mu!" Jawab sang ibu membujuk.
"Selalu itu saja yang ibu katakan. Sedikit-sedikit tunggu besar. Sedikit-sedikit tunggu Namora besar. Namora benci dengan Ayah. Gara-gara dia dipenjara, Namora menjadi malu!"
"Namora!!!" Bentak sang ibu yang mulai naik darah.
"Jika kau berkata seperti itu lagi, ibu akan menampar wajah mu!"
"Namora ingin seperti orang-orang. Pergi sekolah diantar oleh Ayah. Pergi kemana-mana bersama ayah dan ibu. Mana Ayah nya? Selama ini hanya ibu saja. Ayah tidak bisa pulang. Dia hanya berada di kamar besi saja. Setiap kita datang, ayah selalu di kamar besi. Benci kalau begini!" Kata Namora yang langsung membanting tas nya, lalu lari keluar rumah.
"Namora! Wah kurang ajar anak ini. Siapa yang mengajarkan kau begitu hah?" Sang ibu mulai berlari mengejar Namora. Namun, anak itu sudah melarikan diri menjauh.
"Kasihan sekali kau nak. Andai kau sudah bisa mengerti dan berfikiran sedikit dewasa, kau pasti akan bangga karena memiliki seorang ayah yang sangat hebat. Dia dipenjara karena menuntut haknya sebagai seorang anak yang dirampas kebahagiaannya oleh orang-orang yang mengatasnamakan diri mereka sebagai Geng Tengkorak. Kelak kau pasti akan bangga," kata sang ibu dalam hati.
Wanita cantik itu segera kembali memasuki rumah dengan perasaan yang bercampur aduk. Ada sendu dihatinya.
Sebenarnya, jika dipikir kembali, anak yang mana yang tidak menginginkan keluarganya lengkap. Ada ibu, dan ayah.
Anak yang mana yang tidak ingin diantar oleh Ayahnya ke sekolah. Semua anak pasti menginginkannya. Tidak terkecuali Namora. Mengingat ini, Mirna hanya bisa meneteskan air mata.
Bersambung...
"Namora... Bangun nak! Sekolah!" Terdengar suara Mirna membangunkan sang putra agar bangun dan bersiap-siap untuk berangkat ke sekolah.
"Ummm..." Kata Namora menggeliat. "Namora tidak mau sekolah Bu. Namora malu dihina terus-terusan!" Jawab anak itu.
"Mau jadi apa kau kalau tidak sekolah? Mau jadi hantu?" Sergah sang Ibu.
"Bu. Namora bukannya tidak mau sekolah. Tapi, kalau terus-terusan dihina, Namora jadi malas. Di sekolah, Namora tidak ada teman bermain. Siapa yang mau berteman dengan Namora. Mereka semua mengatakan kalau Namora ini adalah anak Narapidana. Entah mengapa lah ayah bisa masuk penjara," keluh Namora sambil mengucak matanya.
"Jangan begitu nak. Ayah mu bukan orang jahat. Dia hanya korban dari keserakahan orang jahat," kata sang Ibu membela suaminya.
Mungkin sudah saatnya dirinya harus menceritakan kepada Namora siapa sebenarnya Tigor. Namun, dia pasti tidak akan sanggup menceritakannya. Hatinya pasti akan sangat sedih. Apa lagi saat ini sang suami berada di dalam penjara. Entah seperti apa keadaannya saat ini.
"Bu. Beberapa hari lagi Namora akan ulang tahun. Apakah kita akan merayakan ulang tahun Namora di penjara lagi?"
"Iya. Kita akan merayakan hari ulang tahun mu di penjara. Ayah mu pasti akan sangat bahagia. Sekarang kau sudah berusia sebelas tahun. Tidak terasa kan? Enam tahun lagi ayah mu akan terbebas dari penjara. Apa kau tidak suka?" Tanya sang ibu.
"Suka. Tapi, selama enam tahun lagi itu, selama itu pula lah Namora akan mendapat penghinaan dari teman-teman!" Jawab anak itu. Dalam hatinya, dia masih menyalahkan sang Ayah. Karena Ayah dipenjara, hal itu membuat dirinya mengalami penghinaan selama beberapa tahun ini.
"Bersabarlah nak! Sebentar lagi kau akan tamat sekolah dasar. Ibu akan mencarikan sekolah menengah pertama untuk mu, dimana tidak ada yang akan menghina mu!" Bujuk sang ibu.
"Sekarang pergi mandi, sarapan dan berangkat ke sekolah!"
"Baik Bu!" Jawab Namora patuh. Dia segera berguling ke arah pinggiran tempat tidur, lalu segera bangkit.
"Bu. Jangan berikan uang jajan kepada ku!" Tolak Namora ketika sang Ibu memberikan uang saku kepada Namora.
Sudah menjadi kebiasaan setiap orang tua, yang akan memberikan uang saku kepada anaknya ketika berangkat sekolah. Ini setidaknya bisa untuk membeli makanan atau air minum ketika sang anak kehausan selama di sekolah. Tidak terkecuali Mirna. Dia tidak ingin sang anak tidak fokus belajar karena menahan lapar.
Ketika uang pemberiannya di tolak oleh sang anak, Mirna pun mengernyitkan dahinya tanda tidak mengerti mengapa sang Putra menolak uang saku tersebut.
Mirna segera menanyakan mengapa anaknya itu tidak mau diberi uang.
"Percuma membawa uang jajan. Karena, ketika sampai di sekolah nanti, uang Namora akan dipalak oleh mereka. Namora tidak pernah bisa membeli makanan karena uangnya dirampas secara paksa oleh mereka, Bu," jawab anak itu apa adanya.
"Ya sudah. Namora sarapan pagi yang banyak! Supaya nanti tidak kelaparan di sekolah," kata sang ibu. Dia segera meninggalkan kamar putranya itu untuk menyiapkan keperluan sang anak untuk berangkat ke sekolah.
*********
"Bu. Namora berangkat dulu ke sekolah!" Namora segera menyalami lalu mencium tangan sang ibu sebelum berangkat ke sekolah.
Antara rumahnya dan sekolah tidak lah terlalu jauh. Jika berjalan kaki, sepuluh menit akan sampai dengan melalui jalan pintas. Tapi dasar Namora. Dia malah melalui jalan umum sehingga perjalanan itu bertambah jauh. Baginya, apa yang dia khawatirkan? Uang dia tidak punya. Tidak akan ada yang memalak dirinya. Karena memang dia tidak membawa uang jajan.
Sepertinya apa yang dipikirkan oleh Namora tadi sungguh meleset sangat jauh. Karena, begitu dipertengahan jalan, dia sudah dicegat oleh Diaz, Ruben, Dudul dan Rudi.
Namora tau ini tidak akan aman. Karena, hal seperti itu sudah sering kali terjadi terhadap dirinya.
"Heh anak Narapidana. Kesini kau!" Kata Dudul sambil menggamitkan tangannya.
Namora yang memang tidak membawa uang jajan, segera menghampiri keempat anak itu lalu berkata. "Aku tidak diberikan uang jajan oleh Ibu ku. Tidak ada yang bisa aku berikan kepada kalian!" Kata Namora pula setelah tiba dihadapan empat anak tadi.
"Kau pasti berbohong!" Kata Ruben. "Ayo kita geledah dia!" Ajak nya kepada ketiga teman-temannya.
Mereka berempat segera menggeledah mulai dari tas milik Namora, saku baju, saku celana, bahkan mereka sanggup membuka celana merah anak itu.
Setelah tidak mendapatkan apa-apa, kejengkelan pun mulai dirasakan oleh mereka.
Bugh!
"Bodoh kau ini. Besok bawa uang jajan! Jika tidak, kau akan aku telanjangi supaya tidak bisa sekolah."
"Awas kau!" Ancam Diaz sembari mendorong kepala Namora.
Namora hanya terjongkok sambil menangis di pinggir jalan. Dia baru berhenti menangis dan mendongak, ketika satu suara menegurnya.
"Masa sih jagoan menangis?!" Kata satu suara menegur.
Namora kini melihat dua orang pemuda berdiri menaungi dirinya dari sengatan matahari pagi.
"Mengapa kau menangis anak ganteng?" Tanya seorang lagi dari dua pemuda tadi.
"Siapa paman ini?" Tanya Namora heran.
"Kami? Kami ini adalah sahabat ayah mu. Sini bangun!" Jawab salah satu dari kedua pemuda itu sambil menarik tangan Namora.
"Sahabat ayah ku? Mengapa Paman di sini? Sahabat ayah ku dipenjara. Tidak mungkin paman ini sahabat ayahku!" Kata Namora mulai beringsut mundur. Dia ingat pesan ibunya bahwa, jika bertemu dengan orang-orang yang tidak dikenal, maka dia harus menjauh. Bisa saja orang itu mengaku sebagai kerabat. Padahal, nanti dia akan di culik lalu dijadikan tumbal.
Mengingat sampai di situ, Namora semakin ketakutan dan terus mundur sampailah punggungnya mentok di pagar rumah orang.
"Nama mu Namora kan?" Tanya pemuda itu tersenyum lembut. Ini dia lakukan agar anak itu tidak semakin ketakutan.
"Darimana paman tau namaku?"
"Nama mu Namora. Nama ayah mu Tigor. Nama ibumu Mirna. Nama paman mu Rio. Dia adalah seorang petugas kepolisian. Benar kan?" Tanya pemuda itu seakan-akan mengetahui semuanya tentang keluarga Namora.
"Benar. Tapi..,"
"Tidak perlu takut Nak. Kami ini benar-benar sahabat ayah mu. Hanya saja, kami tidak masuk penjara seperti apa yang dialami oleh ayah mu,"
"Oh ya. Nama Paman adalah Ameng. Sedangkan teman paman ini bernama Acong. Kau boleh memanggil kami dengan panggilan itu,"
"Wah. Ternyata benaran kalau paman ini sahabat ayah ku. Tapi, darimana paman tau aku sekolah di sini?" Tanya Namora mulai hilang rasa takutnya. Setidaknya, dia pernah mendengar dari ibunya bahwa ayahnya mempunyai lebih dari dua belas orang sahabat. Dan salah duanya adalah Ameng dan Acong.
"Kami tau. Bahkan sudah lama. Tapi Paman ingin Namora berjanji," kata Acong pula.
"Janji?" Namora menggaru kepalanya.
"Namora harus berjanji bahwa jangan katakan kepada siapapun kalau Namora bertemu dengan Paman Acong dan Paman Ameng. Janji?!" Kata Acong lagi sambil mengulurkan jari kelingkingnya.
"Janji!" Jawab Namora pula sembari menyambut uluran jari kelingking Acong dengan jari kelingkingnya.
"Sekarang Namora harus berangkat sekolah. Setelah itu, nanti kita bisa jalan-jalan!"
"Ok paman. Namora berangkat sekolah dulu!" Kata anak itu tersenyum. Baru kali ini dia tersenyum sangat bahagia sekali. Setelah sekian lama senyuman itu seperti direnggut dengan paksa dari dirinya.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!