My Disastrous Life

My Disastrous Life

CHAPTER 1 : GOING HOME

Mantab kopinya!” seruan kumpulan pemuda yang lagi asyik-asyiknya menikmati kopi di tengah-tengah liburan panjang. Aku, dan 6 pemuda lainnya berkumpul di sebuah rumah peristirahatan di kawasan desa pondoan. Suasana yang alami pegunungan yang memanjakan mata, hawa yang sejuk di tambah keramahan penduduk sekitar membuat villa ini menjadi pilihan kami di tiap liburan.

Kami sebenarnya cukup beruntung karena tidak harus mencari villa komersil, bisa di bilang ini villa “gratisan”. di bilang gratisan karena villa ini milik teman kami yang sudah pindah ke luar kota, jarang di pakai, kami pun memanfaatkannya di setiap liburan. Tinggal datang dan menempati tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam. Paling tidak kami hanya memberi “uang terima-kasih” secukupnya kepada penjaga villa.

Villa yang cukup sederhana tapi alami ini tidak begitu besar, bangunannya pun terbuat dari bambu, cuma berisikan satu kamar, satu dapur kecil yang bisa di buat eksperimen masak-memasak, satu kamar mandi dan satu ruang tengah. Di belakang villa ada kolam berukuran 5x5 namun sudah tidak terpakai.

Lokasinya yang berada di dekat pegunungan membuat sinyal handphone susah terjangkau, minimnya fasilitas, tidak ada tv, lampu juga tidak terlalu terang. Namun ini yang membuat kami nyaman berlibur di sini, membuat kami terisolisir dari dunia luar, dunia yang padat dengan aktifitas, padat dengan masalah.

Seringkali kami rasakan euforia, sampai-sampai melakukan hal yang gila. Bermain kartu remi tanpa busana di pinggir kolam belakang, sampai-sampai berburu tokek dengan senapan angin milik penjaga villa haha, wajarlah sekelompok pemuda yang berkumpul bersama melepaskan kepenatan dan stress.

“Rif mana korekku?!”, panggil seorang teman kepada saya. Rif, itu nama panggilanku, oh ya aku belum memperkenalkan diri, nama lengkapku Syarif, dan yang memanggilku tadi bernama Alwi. “nggak tau, aku nggak lihat ”. Seruku, karena memang aku tidak mengambilnya, sebagai catatan di sini kalau ada korek api tergeletak sembarangan siap-siap saja kehilangan. Kebiasaan buruk kami yang mayoritas perokok.

“ayo lah itu satu satunya korekku” rengek Alwi. Dari dalam kamar terdengar gelak tawa. “Hahahaha, makanya jangan lengah!”, . Suara Bager yang memang usil. “Hahahahaha dari tadi nggak sadar sadar dia hahahaha!” disertai celetukan Nizar. “bajingan, kembalikan!, Itu korek hadiah dari kakak ku”. Sahut Alwi tidak terima sembari bergegas masuk ke kamar memeriksa Bager, dan Nizar.

Beginilah kekonyolan kami sejak hari pertama, siang ini di hari ke enam tetap saja selalu ada hal yang membuat tertawa. Aku mengambil kopi susu secangkir dan sebatang rokok menuju ruang tengah persis di depan kamar yang ramai dengan keributan kekonyolan Alwi, Bager, dan Nizar.

Aku menuju ke teras belakang dekat kolam, terbaring sosok pemuda dengan suara ngorok yang mengganggu, dia Ragol kerjaannya memang tidur, dari hari pertama kebanyakan waktunya cuman di isi dengan tidur.

Ku duduk bersandar di lemari usang yang tidak terpakai, menikmati paduan kopi dan rokok, di depan terhampar pemandangan yang melegakan, di pinggir kolam terdapat hamparan dedauanan yang hijau, yeah sungguh nikmat.

“duh, sinyal hilang lagi!”. Suara Dari arah atas dekat dengan kolam belakang villa kami. suaranya terdengar sampai ke bawah tempat ku duduk santai. “kenapa mo? Sini ngopi dulu!”, teriakku.

Kemudian Mo turun ke teras duduk di sebelahku, dengan jaket tebal warna biru yang tidak pernah di lepas, dia mengambil rokok ktetek dari saku jaketnya . “Kenapa ya sinyalnya? Kemarin aku telfon masih enak enak aja”, ujar Mo sembari menyalakan rokok.

“emangnya kamu telfon siapa?” tanyaku, “biasa, aku telfon pacarku”, sahut Mo. “Emang pacar mu yang lain juga nggak bisa di telfon?” aku bertanya begitu karena memang Mo banyak teman wanitanya, ya, bisa di bilang di antara kami dialah Don Juan nya.

Wajahnya memang tidak terlalu tampan, penampilannya terkesan old fashioned, namun ada something yang membuat wanita tertarik kepadanya. “Sama aja, tetap nggak bisa, lama lama tambah parah sinyalnya”, sahut mo.

Dari arah dapur tercium bau ayam goreng yang lumayan menggoda, “ayo guys, kita makan!” teriak Fadil, dia memang yang paling rajin dalam hal masak. Aku dan Mo pun bergegas menuju dapur, di susul bagir, Alwi, dan Nizar.

Kebetulan kami semua belum makan. Kami mengambil seporsi ayam dengan sayuran. Makan bersama-sama di ruang tengah. Sambil bercanda tawa. “Ger makan yang banyak biar nggak kaya orang cacingan”. Canda Nizar ke Bager. “ngaca bro, berasa badannya seperti Ade Rai”, sahut Bager tak terima.

“ sesama binaragawan jangan berkelahi, makan dulu nih”. Canda Alwi di sertai gelak tawa kami. Bager dan Nizar memang berperawakan kurus. “Eh, Ragol nggak di bangunin?” tanya Fadil sambil membangunkan Ragol. Fadil dan Ragol adalah saudara. Wajar Fadil sangat peduli. Setelah makan kami semua sholat Maghrib berjamaah. “ayo guys siap siap setelah ini kita pulang”. Ujar Nizar.

Sebenarnya kami masih asyik, masih nyaman di villa ini. Tapi banyak yang dari kami tidak bisa berlama-lama, karena harus melanjutkan aktifitas rutin. Rata-rata dari kami sudah bekerja. Jadi seminggu cukup buat kami.

“Duh jaringannya dari tadi nggak bisa,” protes Alwi. “Telepon selular, WhatsApp, nggak bisa, internet juga”. Nizar mengiyakan. Semua tampak mengeluh dengan jaringan sinyal, kami sebentar lagi pulang, ingin mengabari keluarga dan kerabat di boyo city, kota tempat tinggal kami. Tetapi dari pagi sinyal jelek.

Tidak dapat mengakses internet, sosmed, dan yang lainnya. Memang villa ini terletak di kawasan pelosok pedesaan dan sinyal seringkali susah di dapat. Namun dalam 3 hari terakhir, terutama hari ini begitu berbeda .

”kan memang di daerah pegunungan, mungkin nanti kita turun ke bawah sinyal sudah ada” sahutku. “. Aku mengepak barangku, mengambil dan melipat kaos t-shirt di halaman depan villa yang aku jemur di gantungan dan celana jeans junkies.

Ku berjalan masuk ke kamar, ada Ragol yang segar sehabis mandi, jarang-jarang melihat Ragol begitu, biasanya dia sering tidur dan terlihat lesu. Di dapur Nizar dan Fadil sibuk bersih-bersih, mencuci piring-piring kotor bekas makan siang kami. Alwi dan Bager membersihkan ruang tengah bersama-sama menyapu lantai ruang tengah yang penuh dengan tumpahan abu rokok.

Di dalam kamar Mo mengatur kembali kasur lipat, yang kami pakai tidur, aku pun membantunya mengembalikan bantal-bantal, selimut kembali ke lemari kecil di pojok kamar.

Tak lama terdengar adzan magrib dari masjid yang tak jauh lokasinya dari villa.

Menandakan waktu sholat magrib dan waktu kami untuk segera berangkat pulang. Seusai sholat Nizar, Mo, Ragol, dan Alwi memanaskan mesin Motor. Aku duduk di ruang tengah dengan Bager, dan Fadil. Kira-kira 20 menit kemudian tibalah pak Rohim pria paruh baya, berkaos lusuh sambil memanggul cangkul menandakan pekerjaannya sebagai petani.

Kami semua pamit dan mengucapkan terima kasih pada Pak Rohim, tak lupa juga kami memberi uang ucapan terima kasih kami, setelah memakai villa yang sudah seperti milik kami.

Aku menggunakan jaket, tak lupa memakai masker mematuhi protokol kesehatan, aku di bonceng oleh Nizar, Bager dengan Mo, Fadil dengan Ragol, sedangkan Alwi berkendara sendiri. Untuk santai di jalan menikmati perjalanan pulang aku memakai earphone mendengarkan list lagu dari handphone.

Kami bertujuh berkendara beriringan dengan kecepatan sekitar 60 km/jam. Hawa malam itu lumayan menusuk, untung kami semua mengenakan jaket dan sweater tebal. Aku dan Nizar berada di tengah, di belakang Mo dan Bager, Fadil dan Ragol, dan di depan Alwi.

Di sekeling jalan tidak tampak satupun kendaraan, jalanan saat itu sangat sepi padahal masih sekitar pukul 7 malam. Mungkin masih suasana pasca PSBB. Sekitar hampir satu jam perjalanan, Fadil meng-klakson kami “guys, ke SPBU dulu ya”. Kami pun semua mengikutinya, mencari SPBU terdekat.

Kebetulan kami semua harus mengisi bahan bakar walaupun cuman masih tersisa separuh. Sekitar 18 menit kemudian kami menemui SPBU. “Loh, ini SPBU nya tutup?”, Fadil keheranan. Kami semua berhenti dan turun dari Motor. Memang sedikit aneh SPBU terlihat sepi, kami melihat dari luar tidak ada aktifitas di SPBU itu. Petugasnya pun tidak ada, aneh memang.

Sebelumnya pada saat perjalanan juga sepi pengendara, seingatku cuman kami bertujuh, tidak terlihat pengendara lainnya.

“Duh, bensinku harus di isi, nggak cukup kalau lanjut perjalanan” Fadil menjelaskan, memang Motornya yang paling boros di antara motor kami. “Ayo kita masuk dulu”, ujar Nizar. Kami pun masuk ke area pom bensin, aneh di sekeliling tidak ada orang, tidak terlihat satupun petugas, seolah-olah sengaja di tinggalkan. “Mana sih ini petugas nya? Haloo mas?!” teriak Fadil. Aku melihat ke mesin pengisi tangki masih menyala, tidak di kunci. Berarti SPBU ini masih di pakai.

Kami pun masih berdiri di dekat mesin pengisi tanki dalam keadaan bingung, bagaimanapun juga motor kami harus di isi bahan bakar. Untuk melanjutkan perjalanan mencari SPBU lainnya tidak mencukupi.

Teruslah Kami mencari petugas SPBU ke sekeliling area, Nizar dan Fadil berjalan keluar area SPBU mungkin para petugas berada di luar SPBU. Bager dan Mo mengikuti Nizar dan Fadil tapi di arah yang berlawanan. Ragol dan Alwi menunggu di halaman SPBU sekalian mengawasi Motor kami.

Aku masuk Ke ruangan kantor SPBU itu, pintu kacanya kebetulan terbuka, Ragol mengikutiku sedangkan Alwi mungkin dia masuk ke mini market di sebelah ruangan ini. Setelah masuk ternyata lampu di sana mati, aku mencari saklar lampu ke sekeliling ruangan tidak ada.

“nih pakai senter hape aja” ujar Ragol sambil menyalakan flashlight dari hapenya yang kemudian aku pinjam. Setelah lumayan terang terlihat ruangan lobby.

Di gantungan sebelah meja ada seragam sekuriti dengan tagname “Budi Andrianto” aku periksa seragam itu, awalnya mungkin ga ada yang spesial dan tidak terlalu penting namun instingku menyuruhku memeriksanya, bahkan memeriksa semua ruangan maybe aku menemukan informasi mengapa SPBU ini seperti terbengkalai.

Setelah aku merogoh seragam itu aku menemukan sebuah kunci. Mungkin ini kunci untuk ruangan di atas,tepat di depanku ada tangga kecil, Aku pun menaiki tangga, Ragol di bawah menggumam karena aku tetap ngotot naik ke atas. Aku memang penasaran.

Di atas terdapat pintu dengan papan nama ruang manajer. Kunci yang aku temukan dari seragam sekuriti di bawah mungkin kunci ruang manajer ini. “Woi Rif”, ternyata Ragol mengikutiku seperti nya dia takut berasa di bawah sendirian. Ku buka pintu, di dalamnya sempit dan gelap.

Beberapa kertas berserakan di atas meja, Di sekeliling lantai juga berserakan dokumen-dokumen, bekas selotip, dan beberapa kotak.

”Ayo deh mending kita turun aja” pinta Ragol. Aku tidak menghiraukannya aku masih penasaran mengapa SPBU ini seolah di tinggalkan begitu saja dan sepertinya ada yang aneh. aku tetap ingin mencari info, ku periksa lemari loker di samping meja, di dalamnya kosong, namun ada sesuatu di bagian pintu loker, ada tempelan kertas, dan foto.

“AAAaargh!!” Ragol berteriak sambil menarik jaketku, hingga aku hampir terjatuh.

“kenapa?!” tanyaku. “ada tikuuus...!!” rengek Ragol.”duh mending kamu turun duluan” perintahku. Tapi Ragol tetap berdiri di belakangku sambil melihat-lihat ke bawah lantai takut kalau-kalau tikus masih berkeliaran.

Aku kembali melihat di balik pintu loker ada foto anak gadis kecil berumur 5 tahun, di sampingnya ada beberapa tempelan clipping koran dengan headline, “Waspada virus COIT 20, penyebaran virus ini sangat cepat”, “Belum ada penyembuh atau pencegah COIT 20”, “Korban harus di isolasi, hindari kontak fisik, bekas makanan dengan penderita

”. Hmmm Ya COIT 20 sudah menyebar beberapa waktu yang lalu .Di bawah juga ada beberapa clipping “kenali gejalanya gejala awal : 1.penderita mulai batuk-batuk 2. Seminggu pertama penderita terkena demam yang sangat tinggi 3. Minggu kedua penderita mulai lemas dan muntah darah, tahap akhir dari pen...” kelanjutannya tidak dapat terbaca karena telah di robek. Mungkin foto gadis kecil ini adalah anak dari manajer SPBU ini yang bisa saja terjangkit virus, entahlah.

“duk-duk-duk”, terdengar suara seseorang menaiki tangga menuju ke arah ruangan kami. “Rif ada orang!,” bisik Ragol. suara kaki berhenti tepat di depan pintu ruangan kami. Seseorang itu mulai mengetuk pintu dengan ketukan yang agak keras. Pintu padahal tidak aku kunci , kenapa dia tidak langsung membukanya saja. Kuberanikan diri untuk membuka pintu “ckreek..” pintu terbuka, Aku mengarahkan flashlight ke arahnya. Sosok itu mulai menyeringai dan berdesis “hhhhhhh..”

“Aaaaarghhh..!!” Ragol menjerit ketakutan. Dia lari ke balakang dan tersungkur karena tersandung kumpulan kotak yang berserakan di lantai. “Hahahahahahah!!”, sosok itu tertawa terbahak-bahak melihat Ragol tersungkur. Sosok itu ternyata si fadil, dia menakut-nakuti kami, di susul gelak tawa Nizar di belakangnya. Ragol berusaha berdiri, aku pun membantunya.

Kemudian kami semua turun ke bawah, Ragol tampak masih pucat dan tidak terima karena ulah Fadil tadi." SPBU ini memang sengaja di tinggalkan, entah kenapa”, aku menjelaskan. Setelah keluar dari kantor itu, si Alwi, Bager, dan Mo menaiki dan menyalakan mesin Motor. “, eh terus bensin motor kita bagaimana?” tanyaku.

Bager dan Mo cuman diam dan tersenyum. Kemudian Fadil menepuk pundakku dan bilang, “santai bro, sekarang SPBU ini kosong kan kita sudah mencari petugas tapi tidak ada jadi kita ambil sedikit”. Ternyata mereka mengambil beberapa liter bensin yang setidaknya cukup untuk perjalanan pulang ya sudah lah aku juga tidak bisa melarang mereka.

“Ayo lanjut berangkat”, bilang Mo. Alwi memanggilku dan memberiku sebungkus snack dan susu kemasan. Aneh sekali dia dengan gampangnya memberi makanan, biasanya yah dia sedikit pelit. “Tumben baik?” tanyaku.

“hehehehe ambil di minimarket, lumayan kan, hehe”, bilang Alwi sambil menunjukan satu kantung plastik berisi beberapa camilan dan beberapa minuman soda. “enggak terima kasih, cukup deh kita mengambil bensin tanpa ijin, aku tidak mau mencuri makanan” aku menolak. “duh gayamu Rif Rif ” celetuk Alwi sambil memasukan snack dan susu kemasan yang aku tolak ke dalam plastik yang di gantung di gagang motornya.

Aku naik ke Motor berbonceng dengan Nizar. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan tampak sepi pengendara, jalanan begitu lancar. Agak sedikit aneh karena tak biasanya sepi seperti ini.

Aku masih bingung dengan SPBU itu ada masalah apa sampai-sampai di tinggal begitu saja, juga virus COIT 20 yang masih berkecamuk di pikiranku, Ku buka browser di hape ingin aku coba googling mencari tahu info terbaru tentang pembatasan sosial bersekala besar yang baru ini di galangkan pemerintah.

****, ternyata sinyal masih down padahal kami sudah berada jauh dari villa.. “tulalit-tulalit-tulalit”, suara yang menandakan bahwa tidak ada sinyal untuk melakukan panggilan telepon. “kenapa sih ini sinyalnya? Apa hari ini adalah hari tanpa sinyal handphone sedunia?”, protes Mo “kita jalan dulu saja, mungkin nanti sampai di perbatasan kota mungkin sinyal sudah pulih”, bilang Nizar. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan..

Terpopuler

Comments

BlackNeco

BlackNeco

Yang kena penyakit ini langsung ko-it wkwkwk

2023-07-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!