CHAPTER 15 : SAVED BY SOMEONE

ibuku memanggilku dan mendatangiku sembari membawa kue ulang tahun, di iringi teriakan semua orang, ‘surprise!’, menandakan bahwa ini semua cuman main-main, ini semua cuman lelucon, ini semua cuman permainan dan ini bagian dari kejutan ulang tahunku!.

Tentu, itu cuma hayalanku saja, maklum saat ini aku sungguh di landa dengan perasaan cemas dan takut, tiba-tiba saja terlintas hayalan konyol seperti itu karena aku berharap semua baik-baik saja dan bisa bertemu dan berkumpul dengan orang tuaku, apalagi minggu depan hari ulang tahunku, rasa harapanku merasuki pikiranku dan membuat hayalan konyol.

Di dalam kantor ini ternyata lumayan luas. perabotan mewah menghiasi sudut ruangan kantor ini, lemari rak buku berukuran besar terpajang di belakang meja milik walikota. ini pertama kalinya aku tahu isi di dalamnya dan juga masuk tanpa ijin ke kantor nya bapak walikota.

Tidak seperti ruangan-ruangan lain, kantor utama ini masih lumayan tidak terlalu berantakan. Tumpukan dokumen-dokumen di atas meja menandakan banyaknya pekerjaan seorang walikota Rasa penasaran membuatku memeriksa semua benda yang ada di meja.

brosur yang mengajak warga boyo city untuk berkumpul juga ada. Mungkin ada info lagi mengenai pengumpulan warga, kucari-cari kertas-kertas di sekitaran meja. Ku buka laci yang memang tidak di kunci.

Sebuah foto seorang gadis cantik berpose ceria sambil menunggang kuda. Di baliknya ada tulisan “Linda, putriku tercinta, papa berdoa semoga kau aman dan senantiasa dalam kebahagiaan, kau merupakan duniaku..”. rupanya ini putri walikota entah putrinya mungkin tidak bersamanya.

Selain foto ada juga surat resmi yang di tujukan kepada walikota dari gubernur yang isinya rencana pengumpulan dan evakuasi seluruh warga Boyo city yang terbukti steril dari virus tanpa terkecuali. Namun tujuan tempat evakuasi masih belum di tentukan, surat ini tertanggal 5 hari sebelum hari pengumpulan warga.

Masih tidak ada info yang jelas tentang kemana warga setelah di kumpulkan. Aku berpikiran orang tuaku mungkin waktu itu juga berkumpul di sini, semoga saja mereka sekarang berada di tempat yang aman dan dapat perlindungan.

“zar, di mana kau?”, suara Alwi dan Bager terdengar dari luar. Aku pun memanggil mereka dan menyuruhku masuk kedalam kantor walikota. “wuih, kantornya pak walikota gede banget enggak kayak kantor wakilnya di atas enggak seberapa gede”, ujar Bager. “gimana, kalian menemukan seseorang?”, tanyaku ke Bager dan Alwi.

“nihil zar, kosong melompong, ga da apa-apa”, ujar Alwi, “ya zar, kayaknya orang-orang pada piknik”, canda Bager. “kau ngapain zar?”, tanya Alwi. “aku cari-cari info mengenai proses evakuasi warga nih, mungkin aja ada dokumen yang berkaitan dengannya, tolong bantuin dong”, ujarku.

“wah, kita ga nanggung-nanggung ya ngepoin pak walikota hehe”, celetuk Bager. “udah ger jangan bercanda, kau gak kepikiran keluargamu sekarang di mana?”, sahut Alwi, “santai wi, aku ya juga cemas lah, emang aku psikopat apa gak takut, aku cuma mencairkan suasana biar kita ga panik”, jawab Bager.

“udah-udah, wi kau coba periksa rak kecil di samping, itu belum kuperiksa”, ujarku. Alwi membongkar-bongkar laci rak kecil di samping meja. “wuih gilaa, cakep bener nih cewe”, Bager melihat foto putri gubernur yang ku letakkan di atas meja. “ya, itu mungkin putrinya walikota, mungkin mereka sekarang terpisah”, ujarku. “masa dia mati? Atau jangan-jangan kena virus?”, kata Bager. “mungkin aja, bisa jadi begitu”, sahutku.

“ga ada zar, di sini isinya arsip-arsip lama”, kata Alwi. “duh, sekarang gimana nih? Masa sih yang di bilang pak Boy dan penculik itu bener? Boyo city udah ga ada penduduk yang tinggal?”, ujar Bager. “ger, jangan ngomong yang engga-engga, pasti di sini masih ada orang, aku yakin juga mungkin keluarga kita ga jauh-jauh dari sini”, sahut Alwi.

“wi kau gak lihat tadi di sepanjang jalan ga ada orang sama sekali, dan keadannya parah, ancur, persis seperti yang di bilang pak Boy, di rumah kakakmu juga kosong kan”, ujar Bager.

"udah-udah jangan debat yang ga ada gunanya, betul kata Bager wi, kemungkinan seluruh warga udah di evakuasi ke tempat lain, dan kita berdoa aja keluarga kita juga ikut dan dalam keadaan aman, makanya sekarang kita cari info di evakuasi kemana para warga”, ujarku.

“cari info di mana zar? Nih di dalem kantor walikota aja ga nemu apa-apa, terus kita mau kemana lagi?”, kata Bager. “itu masih kupikirkan”, kataku. “kita putari aja se kota pasti ada orang, pasti ada yang tersisa”, ujar Alwi. “ga mungkin wi, kota ini udah kosong”, sahut Bager.

“ lngat waktu di kamp karantina? pemerintah mutusin buat nahan warga-warga di bunker, soalnya kan di daerah-daerah lain juga udah gak aman, pasti warga masih di tahan di suatu tempat di sekitar sini”, ujar Alwi. “udah lah kita realistis aja, tahu gini kita gak usah ke sini, kita balik ke kamp parang village gabung dengan pak Boy, dan juga mungkin ketemu Syarif dan yang lainnya”, ujar Bager.

“apa salahnya ger aku berharap? Jangan putus asa, kok pak Boy lagi sih, kau gak inget pak Boy juga bilang dia gak yakin juga kalau boyo city udah ga ada orang, karena dia enggak di sini kan? sahut Alwi lagi. Di tengah-tengah perdebatan Alwi dan Bager, Aku mendengar sesuatu.

“ssst, diem”, bilangku. “apaan sih zar?”, tanya Bager. “ngomong-ngomong soal orang, kayaknya aku denger suara sesuatu”, ujarku.

“hah? Suara apa zar?”, tanya Alwi. “makanya aku juga gak yakin, tapi tadi aku seperti mendengar suara, mungkin ada orang di lantai bawah”, ujarku.

“masa sih? Tadi udah kita periksa seisi gedung ga ada orang”, ujar Bager. “sebaiknya kita periksa ke bawah”, kataku, kemudian kami bertiga pelan-pelan turun . “ga ada kok zar, perasaanmu aja”, ujar Bager.

Memang ketika kami turun ke bawah, sama, tidak ada orang. “tapi tadi aku denger sesuatu kok”, kataku. “oh, mungkin tuh di ruang pojok, sebelah tangga, tadi belum kita periksa kayaknya”, ujar Alwi. Bager kemudian menghampiri ruangan itu.

“gelap amat nih ruangan, ga ada apa-apa zar, ga usah masuk juga udah keliatan, paling tadi cuman suara kucing atau tikus”, ujar Bager setelah membuka pintu, tampak di dalam cukup gelap dan banyak tumpukan bangku-bangku dan meja-meja.

“bener kan, udah ga ada orang di Sini, udah deh mending kita kembali naik van, kita isi bensin yang cukup kita keliling lagi , kalau masih ga ada kita balik aja ke kamp di parang village”, ujar Bager berdiri di depan pintu ruangan kosong yang kami periksa.

Mungkin kata-katanya ada benarnya, suara yang ku dengar tadi cuman perasaanku, atau juga suara binatang. Tapi, tunggu sebentar, suara itu terdengar lagi!. Kali ini makin jelas, suara erangan serak seperti seseorang yang tertindih benda berat, membuat kami bertiga diam terpaku dan takut.

sesosok pria berwajah pucat aneh, bermata merah, bibir basah dan berlendir, menyeruak muncul dari balik tumpukan meja. “aaaaargh!!”, teriakan Alwi langsung membuatku bergerak, Bager yang berdiri tepat di depan ruangan hampir di terkam oleh sosok seram itu, dengan cepat kutarik tangannya.

“ apaa itu..”, teriak Alwi ketakutan. “grrrawwlll”... sosok seram itu berjalan dengan kaki di seret dan mengejar kami. “la..larii”, teriakku. Ketika kami hendak ke pintu keluar, tiba-tiba kaca jendela ruangan kecil di sisi gedung dekat pintu keluar pecah. Sosok manusia menyeramkan muncul lagi menyeruak dari jendela ruangan itu, kali ini jumlahnya dua.

Zombie, bisa ku katakan begitu, efek dari manusia yang terjangkit virus misterius sepertinya sama seperti wanita yang aku lihat di hutan parang village. “pyaaar..!”, kaca ruangan di seberangnya juga pecah dan muncul lagi zombie. Dari samping tangga menuju lantai 1, beberapa zombie juga muncul, berjalan dengan kaki di seret. Beberapa muncul lagi dari seluruh sisi gedung. Kami terjebak!.

“grrrawwl!.. grrawwl..!”, suara aneh zombie-zombie itu semakin membuatku tegang. Alwi memegang tanganku dengan sangat erat. Kulihat raut wajahnya yang pucat, nafasnya tersengal-sengal. “za..zar, gimana nih?”, tanya Bager.

Aku tidak bisa menjawabnya karena pikiranku tidak berjalan normal, jantungku berdebar kencang, aku sangat-sangat ketakutan saat ini. “grrawwwl..!”, beberapa zombie di depan kami semakin mendekat, tangannya yang berkulit kering dan kasar ku lihat jelas hendak menerkamku, dengan cepat ku tendang zombie di depanku. “lawan sebisa kita..”, teriakku. Sebuah seruan konyol, melawan zombie namun daripada mati tak berdaya lebih baik berusaha melawan.

Aku dan Bager melawan dengan menendang dan memukul sebisanya zombie yang berada di depan kami. Alwi yang dari tadi diam ketakutan bersembunyi di belakang tubuhku tiba tiba berteriak sangat kencang. Saat kulihat, tangannya di sergap oleh zombie di samping kami.

Akupun langsung meninju muka zombie yang menjijikan itu. “lawan wi, gunakan tinjumu!”, seruku. Aku dan Bager menendangi dan meninju zombie-zombie yang mendekati kami. Tetap saja perlawanan kami tidak ada artinya, puluhan zombie itu terus berusaha menerkam kami. di lawan bagaimanapun dengan tangan kosong hasilnya sia-sia. Kami hendak lari ke pintu keluar yang berjarak sedikit lagi. Apa daya, tidak ada celah bagi kami.

Zombie-zombie itu mengelilingi kami dan terlihat semakin banyak. Aku dan Bager masih terus melawan sampai-sampai tangan dan kakiku terasa sakit dan lemas. Aku tidak ingin mati seperti ini. terbesit kematian di pikiranku, namun aku berusaha melawan bayangan kematian, seperti aku berusaha melawan zombie-zombie ini.

Aku tidak ingin menyerah dan mati di ‘lahap’ zombie. Andai saja aku memiliki kekuatan super seperti superman, ku hanguskan zombie-zombie ini dengan sinar mata laser. Ketika semangatku untuk berjuang mulai pudar, aku mendengar suara...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!