CHAPTER 3 : RUNAWAY

“tiga pemuda itu di tahan di pos militer 200 meter dari pusat karantina”, kata anak buah pak Boy.

“kamu kesana, panggil coy dan Roy!”, perintah pak Boy. “siap!”, anak buah pak Boy langsung sergap lari untuk melaksanakan perintah. aku mengambil tindakan yang bodoh, ku ambil handgun dari balik sabuk pak Boy dan lari.

"heii!!” pak Boy berteriak dan mengejarku. Aku berlari sekencang mungkin, ku lari ke arah pos militer tempat Fadil, Mo, dan Ragol di tahan. aku ingin menyelamatkan tiga orang temanku.

Aku lari dan lari, kulihat ke belakang pak Boy tidak ada, mungkin dia berhenti mengejarku karena kecapekan. aku sampai ke pos militer tempat Mo, Fadil, dan Ragol di tahan. Ku lihat ada sekitar 10 orang tentara.

Aku menjaga jarak dan bersembunyi agar tidak terlihat kumpulan tentara itu. Aku sembunyi dari balik semak-semak yang berjarak sekitar 8 meteran dari pos.

Tentara berkumpul dan bersiaga. Jantungku berdegup kencang napasku tersengal-sengal tangan kananku yang memegang handgun gemetaran. Bodohnya aku, mengapa aku lakukan ini? aku tidak bisa menghadapi situasi seperti ini, mestinya aku turuti pak Boy, biarkan anak buahnya yang menyelamatkan ketiga temanku.

sekarang aku dalam bahaya besar. Aku diam, tegang dan berkeringat, tidak tahu ingin melakukan apa. Aku hanya bisa berdoa anak buah pak Boy membantuku jika aku tertangkap.

“cklek!”, suara senapan yang di kokang, tepat di belakangku. Ku toleh pelan-pelan. Sesosok tentara dengan senapan membidik ke arah kepalaku. “buang senjatamu!, berdiri pelan-pelan!” bentak tentara itu. Aku gugup dan tegang, ku buang handgun

dan berdiri dengan gemetaran. “tangan di atas kepala!”, teriak tentara itu. kemudian aku di giring ke dalam posko itu. setelah di dalam aku melihat Mo, Fadil, dan Ragol di borgol ke sebuah pilar di pojokan ruangan.

“rif!”, teriak mereka bertiga, dengan ekspresi kaget. aku juga di borgol ke pilar, pilar yang berada di samping pilar mereka di borgol.aku menoleh ke arah Mo, Fadil, dan Ragol, mereka babak belur. Mata Mo bengkak.”kenapa kalian?’”, tanyaku. Mereka bertiga tidak menjawab, hanya memberiku pandangan yang lesu.

“ hei!,kalian berteman kan, mana teman kalian yang lainnya?”, tanya seorang tentara kepadaku. “kalian juga bersenkongkol dengan geng pemberontak itu kan?!!”, dia bertanya lagi.

geng pemberontak? Mungkin maksutnya pak Boy dan kawan-kawan.

Aku hanya diam.

“jawab!!”, bentak tentara itu, ku masih diam aku tidak ingin membocorkan info apa-apa. Karena aku yakin anak buah pak Boy menyusul kemari dan menyelamatkan kami bertiga. “bug!”, tentara itu memukulku, mulutku berdarah.

“kamu mau babak belur juga?, hah?”, bentaknya lagi. Sambil mengangkat tangan bersiap hendak memukul. “dor-dor!”, terdengar suara tembakan dari luar.

“pak, di luar ada para pemberontak itu!”, lapor seorang tentara. “ada berapa jumlah mereka?!”, jawab seorang tentara yang mengintrogasiku, tampaknya dia berpangkat sersan. “sekitar 3 orang pak!”, jawab bawahannya.

“baik, tangkap mereka hidup atau mati!”, teriak sersan. ternyata Anak buah pak Boy . Aku lega mendengarnya. Suara tembakan terdengar silih berganti dari luar.

Sersan tadi kembali menoleh ke arahku. Kali ini dia mengeluarkan pisau belati dari dalam laci di mejanya. dia berjalan ke arahku.

“kami sebenarnya tidak ingin main hakim sendiri, tapi keadaan sekarang sudah lain, kami tidak mentolerir adanya pemberontakan!”, ancam sersan itu sambil menempelkan ujung pisau ke leherku. sepertinya dia tidak segan-segan untuk melukai.

“ bangsat!, Bunuh saja aku!!’, tiba-tiba Fadil berteriak. Dia ingin mengalihkan perhatian sersan itu terhadapku. Sersan itu menoleh ke Fadil. “bangsat!, kalian tidak pantas memakai seragam tentara!!”, fadil berteriak lagi.

“hahahaha, dasar bocah kamu mencoba memainkan emosiku? ”, jawab sersan itu sambil tertawa sinis. “dil, jangan bertindak bodoh!”, bilangku.

“aku menantang tentara busuk ini!, Kalau memang dia punya nyali! Dia cuman berani memukul saja tidak mungkin membunuh kita!’, teriak Fadil.

sersan itu mendatangi Fadil yang terborgol dan tak berdaya. Dia menekan pisau ke leher Fadil dengan tekanan yang lumayan keras. Aku bisa melihat darah sedikit mengucur dari lehernya akibat tergores.

“siapa kamu berani mempermainkan dan mempertanyakanku? soal membunuh itu perkara gampang buatku, apalagi membunuh kerucuk seperti kalian, tinggal ku potong potong hilanglah jejak kalian”, bilang sersan itu dengan suara pelan. Pisaunya masih menekan leher Fadil.

“ayo bunuh saja!”, Fadil memprovokasi sersan itu. dengan omongan yang begitu jelas sersan itu tambah emosi. “dil, apa yang kau lakukan, kau mau mati?!”, bilangku. Sersan itu kemudian mengangkat pisaunya ke atas kepala Fadil.

“aku pernah membunuh seseorang di luar jam tugasku”, ucapan yang mengerikan dari sersan itu menambah suasana mencekam, aku tidak bisa berbuat apa-apa.

Ku goyangkan borgol yang terikat di pilar. Aku ingin menghentikan sersan itu tapi tak bisa. “hehehehe, bocah menyedihkan”, bilang sersan itu sambil melotot dan mengangkat pisaunya lebih tinggi lagi ke atas kepala Fadil.

“Dhuuiiih!!”, tiba-tiba Ragol meludah, ludah Ragol menempel ke wajah sersan itu. tepat saat dia hendak menghunuskan pisau ke Fadil. Sersan itu menoleh ke arah Ragol dengan melotot seram. “Dhuiih!!”, dari sebelahnya Mo juga meludah, sekali lagi tepat kena wajah sersan itu.

“Haarrgh!”, sersan itu tambah berang. Kemudian Fadil menendang ke arah ******** sersan itu yang berdiri tepat di depannya. Tendangan yang cukup keras.

Sersan itu terjerembab ke lantai dan meraung kesakitan. pisaunya terlepas dari tangannya, jatuh ke arah kaki Ragol, Ragol pun menendang pisau itu jauh-jauh. “Ambil kunci borgol, raih pakai kaki!”, bilang Fadil. Ragol menjulurkan kaki ke arah badan sersan yang meraung kesakitan.

Sersan itu kemudian mencengkram kaki Ragol yang menendang-nendang kunci yang di gantungkan di kantong seragamnya. “dasar bocah tengik!”, bilang sersan itu sambil mengeluarkan pistol kecil dari balik sepatu bootnya.

Sialan, dia menyimpan pistol. “cklek” dia mengokang pistol kecil itu sambil mengarahkan pistol ke arah Fadil. Aku, Fadil, Mo, Ragol tidak berdaya. Ku pejamkan mataku sambil berdoa.

“dor!!!”, aku masih belum membuka mataku, tapi aku bisa membayangkan kalau Fadil terkena tembak. Aku tidak berani melihat kawanku sendiri di bunuh di depanku. “oo..oh terimakasih pak!”, suara Ragol dan Mo yang membingungkanku.

Apa mereka baik-baik saja? Kemudian aku membuka mataku. Sebuah tubuh tergeletak di lantai, dahinya bersimbah darah akibat terkena peluru. itu bukan tubuh Fadil, tapi tubuh sersan jahat yang berniat hendak membunuh kami.

aku lega kami selamat. Di depan kami berdiri sosok seorang berkumis tebal, sosok yang tidak terlalu asing bagiku, ya, dia pak Boy. Datang di saat tepat. Menyelamatkan nyawa kami berempat yang tengah terancam.

“sudah kubilang kalian langsung lari ke hutan ikuti arahan anak buahku!”, ujar pak Boy, sambil menyalakan rokok. 13 anak buah pak Boy memasuki ruangan.

Mereka membuka borgol kami. pergelangan tanganku sedikit terkilir, akibat cengkraman borgol yang cukup keras. “sekarang kalian pergi dari sini, sudah aman kok”, bilang pak Boy.

“bukannya waktu semalam masih banyak polisi dan militer? Dan juga regu penyelamat dan tim medis?”, Tanyaku. “Yang tinggal di sini cuman beberapa tentara saja, tidak terlalu ketat, setelah proses tes medis dan karantina, pasukan militer, kepolisian, regu penyelamat, dan tim medis sudah bubar”.

“ sekarang sektor ini sudah aku ambil alih, tapi tidak bisa lama lama karena nanti pagi ada regu tentara membawa pakaian dan makanan”, lanjut pak Boy.

“ terus bagaimana dengan orang orang ini? tanyaku, pak Boy mematikan rokoknya dan berkata , " Tenang saja ,tidak usah kalian pikirkan, serahkan kepada kami". Jawaban pak Boy menandakan kalau dia bukan orang biasa, mungkin dia agen khusus dari pemerintah atau sesuatu.

Matahari sudah mulai terbit, waktu menunjukan pukul 05.29, sungguh dini hari tadi adalah momen yang terlama dalam hidupku.

Momen yang sangat menegangkan dan mencekam. aku,Fadil, Mo, dan Ragol di antar oleh Pak Boy dan anak buahnya menuju hutan. Kami di antar menggunakan mobil jeep humvee milik militer, yang di ambil oleh anak buah pak Boy. sampai di depan hutan mobil kami berhenti.

“apakah kalian yakin ingin balik ke boyo city? ”, tanya pak Boy kepadaku. “iya Pak,kami ingin pulang dan mencari keberadaan keluarga kami”, jawabku.

“ya sudah aku tak bisa melarang kalian, tapi hati hati di perjalanan jangan percaya dengan orang asing apalagi dengan pihak militer atau utusan pemerintahan”, kata pak Boy. Kemudian dia turun dari mobil.

“ kalian bawa jeep ini, ada yang bisa menyetir? ”, tanya pak Boy. “aku pak”, sahut Fadil sembari pindah ke jok depan bersiap untuk mengemudi.

“teman mu tidak terlalu jauh, mereka mungkin sudah memasuki tengah hutan lagian mereka aman kok, ada ismail”, jawab pak Boy.

Kami berempat hendak berangkat memasuki hutan, mencari ketiga teman kami yang terpisah. “ kalian lurus saja telusuri hutan ini, nanti kalian akan tembus jalan pinggiran perbatasan boyo city.

“siap pak”, jawab kami berempat. “pak Terima kasih banyak bapak dan yang lainnya sudah membantu kami, bilangku kepada pak Boy. Pak Boy Cuma tersenyum dan berkata, “Tuhan yang menyelamatkan kalian, kita kebetulan bertemu di tempat yang sama,saya doakan kalian selamat dalam perjalanan dan dapat bertemu dengan keluarga kalian”, jawab pak Boy dengan bijak dan mendoakan kami.

kami berempat berangkat. mencari Alwi, Nizar, dan Bager.

Mobil jeep yang kami tumpangi Memasuki area hutan, aku tidak bisa melupakan kejadian semalam di Parang.

Kamp karantina, warga yang terinfeksi, militer yang kejam, dan pak Boy dengan gengnya yang militan. Sungguh aku seperti berada dalam dunia mimpi, pulang liburan di hadapkan dengan kejadian yang mencekam begini..

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!