Setelah sepenuhnya sadar, aku baru tahu kalau kami bersama orang asing, dua orang pria, yang menyetir memakai topi dan berwajah kusam, yang satu lagi pria berambut ikal gondrong.
“hei, di mana ini?”, aku bertanya kepada dua orang itu, mereka diam saja.
“zar, kita di angkut oleh orang-orang ini”, sahut Bager. Aku setengah kaget dan heran, “hei, kok bisa? Terus siapa orang-orang ini? mau kemana kita?”, aku bertanya dengan suara pelan cenderung berbisik.
“kita di bius zar, dan sekarang kita di bawa di mobil ini oleh dua orang ini, tadi pas kau masih belum sadar, mereka menjelaskan maksut mereka membius dan membawa kita, alasan mereka ingin menolong kita”, Bager menjelaskan. Aku diam dan berpikir aku masih belum paham apa dan siapa orang-orang ini. “terus, apa yang terjadi di hutan tadi? Dan kemana si Mail?”, tanyaku lagi.
“aku gak tahu, aku dan Bager di bius gak lama setelah kau di bius, aku gak tahu kemana Mail pergi, zar bagaimana kalau kita berontak saja? aku curiga sama orang-orang ini”, bilang Alwi.
“tenang wi, jangan terburu-buru, kita lihat dulu maksut mereka apa”, kataku. kemudian pria bertopi yang mengemudikan mobil menurunkan volume musik jazz dari audio set nya ,“wah, keliatannya kalian membicarakan sesuatu yang asik nih sampai bisik-bisik segala”, ujarnya.
“ah, tidak kami hanya bingung dan takut saja, wajar kan, karena kami gak tahu apa-apa dan di bius oleh kalian yang sebelumnya tidak kami kenal”, kataku. “hehe jangan takut bocah, seharusnya kalian berterima kasih, kalau kalian tidak kami bawa ke van ini kalian sudah di lahap sama zombie”, sahutnya. “zombie? Apa maksutnya? Dan siapa kalian?”, tanyaku.
“gimana sih, kamu lihat sendiri dan malah mau nembak zombie tadi di hutan itu”, sahut pria bertopi itu. “ya, tapi aku kira wanita itu kesurupan dan dia bertindak aneh, aku tidak percaya dengan adanya zombie”, bilangku.
“ha ha ha ha, kau ini sungguh lucu bocah kurus, kalian ke mana saja, kalian sekarang hidup di akhir zaman, manusia bukan seperti manusia lagi, kehidupan sekarang sudah tidak ada gunanya, yang ada hanyalah bagaimana kita bisa menghindar dari zombie seperti di hutan tadi”, sahutnya.
Kemudian pria gondrong di sebelahnya menanyai kami, “kalian ngapain ke hutan itu? bukankah seharusnya kalian menetap di kamp penampungan?”.
“kami tidak akan menjawab sebelum kalian menjelaskan siapa kalian dan mau di bawa kemana kita?”, ujarku.
Pria bertopi itu menyalakan rokok dan menjelaskan, “namaku Mat dan yang gondrong di sebelahku ini adalah Tom, kami berdua bekerja sebagai pengantar perlengkapan medis ke tempat-tempat yang belum terjangkau, kami berdua di tugaskan mengantar ke kamp penampungan di parang village, dan juga di hutan tadi, dan setelah itu terjadi chaos dan akhirnya kami melihat kalian dan menyelamatkan kalian bertiga, dan tenang saja kami membawa kalian ke klinik tempat kami bekerja di Mojo town di sana banyak orang-orang yang dapat membantu kalian”.
“bohong, kalau kalian bekerja di klinik mana seragam kalian, dan kenapa kalian membius kami, kalau ingin menolong kan bisa minta baik-baik dan sopan”, Alwi menyahuti.
“kalian kami bius untuk mempersingkat waktu, dalam keadaan kacau seperti tadi mana mungkin kami bisa menjelaskan maksut kami, apalagi kalian membawa senjata, yang ada malah kalian menembak kami”, ujar pria gondrong sambil melemparkan kartu nama sebuah klinik beralamatkan di Mojo town.
“kalian tadi menyebutkan ingin menyelamatkan kami bertiga, padahal tadi di sana ada seorang lagi yang bersama kami dan juga memegang senjata, kemana dia? Kenapa kalian tidak membawanya juga?”, ujarku. “tidak ada, kami hanya melihat kalian bertiga saja, dan omong-omong kenapa bocah seperti kalian tadi bisa memegang senjata api? Bahaya tahu”, jawab pria bertopi.
“kami tidak sengaja menemukannya, terus kemana senapan yang tadi ku bawa? Kalian simpan?”, tanyaku. “kami buang, memang benar sih di keadaan seperti ini kita harus membawa senjata, tapi kami berdua hanya petugas medis biasa dan kalian anak muda yang berada di tempat dan waktu yang salah, kami pikir tidak etis dan bahaya jika kita membawa senapan, jadi aku membuangnya”, jawab pria bertopi itu.
“hei, gini saja mas, terima kasih deh kalau kalian niat nolong kami, tapi tolong ngertiin kami, kami hanya ingin pulang ke Boyo city jadi tolong mas, turunin kami di arah dekat Boyo city aja”, pinta Bager.
“ha ha ha lihat Mat, nih bocah tengil lucu”, ujar Tom, pria gondrong sambil tertawa sinis.
“dengerin bocah, aku tidak peduli kalian berasal dari mana , ini waktu krisis, kalian tidak boleh sembarangan, aku tidak menjamin keselamatan kalian jika kalian ngotot ingin ke Boyo city, di sana sudah di blokade tidak ada yang keluar masuk, bukan cuman kalian yang merasa cemas, aku juga ada keluarga di sana, aku kehilangan kontak dengan mereka, namun aku ikhlaskan saja, tidak ada gunanya menyesali sesuatu di saat seperti ini, kalian harus kuat dan terus bertahan selama mungkin. dan kalian bersyukurlah bertemu dengan kami”, ujar Mat.
“hei itu kan keluargamu, bukan keluarga kami, kami hanya ingin pulang, kami ingin bertemu keluarga kami, tolong mengertilah”, bujuk Bager.
“sudah diamlah!, tentang keluarga kalian aku yakin mereka sudah di evakuasi oleh pemerintah kota, jangan khawatir”, sahut Tom.
“kenapa kau begitu yakin?, baiklah kalau memang seperti yang kalian bicarakan, aku ingin informasi yang valid dan bersumber dari pemerintah kota Boyo city bahwa warga di sana sudah di evakuasi sepenuhnya, jadi kami bisa tahu keberadaan keluarga kami, coba kalian cari siaran radio di audio set kalian mungkin ada info dari siaran radio”, ujarku.
“dasar bocah kurus keras kepala!, tidak bisa! Siaran radio sudah tidak terjangkau! sudah kalian diam saja, ikut kami, aku sudah bilang kan kalian akan kami bawa ke klinik tempat kami bekerja, disana mungkin kalian menemukan seseorang yang bisa membantu kalian”, ujar Mat sambil melempar Rokoknya keluar jendela.
“hei gimana nih zar?”, bisik Alwi, “sudah diam saja dulu, kita tunggu aja”, bilangku. “tunggu gimana zar, aku tidak percaya dengan orang-orang ini”, bisik Bager. “iya aku tahu, aku juga curiga dengan mereka, kita tunggu aja ger, nanti aku pikirkan kita harus bagaimana”, ujarku menenangkan Alwi dan Bager.
Aku 100 persen curiga terhadap dua orang ini, mereka mengaku petugas klinik medis, tapi pakaian mereka tidak seperti petugas medis pada umumnya, dan di bagian tempat kami duduk di van ini kosong, seharusnya tempat kami duduk ini adalah tempat penyimpanan obat-obat dan peralatan medis yang Kelihatannya mereka buang.
Sikap mereka juga mencurigakan, tidak seharusnya petugas medis merokok, dan mereka terkesan kaku dan aneh, di tambah lagi ketika mereka membius dan menyekap kami, kenapa mereka tidak membawa Mail juga yang bersama kami, dan juga senapan riffle yang aku pegang sesaat sebelum di bius malah mereka buang.
Hari semakin memasuki tengah hari. mobil van yang kami tumpangi pun berhenti di sebuah minimarket yang tampak kosong dan seperti habis di jarah, kaca pintu masuknya pecah, halamannya pun kotor dan berantakan.
“hei, kemana kita?”, tanyaku. “ kita ‘belanja’ dulu sebentar buat makan malam”, ujar Mat si pengemudi di sambut tawa yang menjengkelkan dari Tom. “hei, bukannya tujuan kita ke klinik tempat kalian bekerja? Tidak mungkin di sana tidak ada persediaan makanan”, jawabku.
“cerewet!, aku sudah mulai lapar sekarang, perjalanan masih lumayan jauh, sudah bocah kau diam saja”, sahut Tom. Kemudian mereka mengunci pintu mobil dan meninggalkan kami di dalam van. “kalian diam di sini”, ujar Mat. “hei tunggu!, aku ikut dengan kalian, aku juga ingin mengambil beberapa makanan, kami juga lapar”, ujarku.
“diam saja di sini, aku ambilkan beberapa makanan untuk kalian”, Sahut Mat. “tidak, aku ingin memilih makanan sendiri, kau tau kan kami masih muda dan mungkin selera kami berbeda dengan kalian, cuman aku yang ikut bersama kalian, dua orang temanku tetap di dalam van. tenang saja jangan takut, aku tidak akan bertindak macam-macam, tembak saja aku kalau aku bertindak mencurigakan”, kataku.
“hmm oke baiklah, jangan lama-lama bocah”, ujar Mat. Bager dan Alwi menatapku dengan tatapan bingung dan cemas. Aku mengangkat alis kepada mereka sebagai isyarat “tenang saja”. ketika di dalam minimarket, aku mengambil beberapa snack , roti, dan minuman bersoda. “enak kan bocah, di saat krisis seperti ini, kapan lagi kau bisa bebas mengambil makanan apa saja di minimarket secara gratis, ha ha ha!”, celetuk Tom.
“aku ke kamar mandi sebentar”, bilangku. “oke bocah, jangan lama-lama”, bilang Mat sambil memungut beberapa rokok di rak belakang meja kasir. Aku ke pintu belakang minimarket, sebuah ruangan cleaning service kecil berisikan peralatan kebersihan.
Aku tidak mencari toilet, aku mencari tahu apa maksut tujuan orang-orang ini, aku langsung tahu kalau mereka adalah orang yang berniat jahat tadi ketika aku bilang ‘tembak saja aku’. Mereka tidak bilang kalau tidak punya senjata. Secara spontan mereka bilang ‘baiklah’.
Dan dugaanku benar ketika ku dengar percakapan mereka dari balik ruang cleaning service. “sialan, biusnya kurang, bocah-bocah itu sadar lebih cepat dari perkiraan”, bilang Mat. “yah, wajar saja aku tidak tahu apa-apa soal dosis bius untung mereka cuman bocah polos”, sahut Tom. “yeah tetap waspada aja dengan mereka, terutama dengan bocah yang berambut ikal, dia terlalu banyak bertanya”, bilang Mat.
“terus apa yang kita lakukan, kalau mereka tahu kita tidak membawa mereka ke klinik”, ujar Tom. “kita cari aja alasan, kalau mereka melawan, kita ringkus saja mereka dan kita ikat dan sumpal mulut mereka”, ujar Mat. “ha ha, jangan terlalu kejam lah, ingat kita di minta membawa mereka dengan selamat dan tidak terluka”, ujar Tom.
“aku tidak peduli, asal mereka tidak mati aja, pokoknya setelah kita serahkan mereka, aku langsung ambil hadiah kita, persenjataan dan antidote yang langka itu” sahut Mat. “apa tidak terkesan berlebihan? Antidote itu sangat langka, tidak ada yang punya, dan malah kabarnya belum di temukan”, tanya Tom.
“hei tidak apa-apa, mereka kan ilmuwan dan semacamnya, pasti mereka memiliki sesuatu yang ampuh sejenis antidote, lagian kita di janjikan persenjataan yang cukup, dan juga wanita, berapa lama belum kau ‘celup’ senjatamu hah? Hehehe”, ujar Mat. “hehehe lebih lama dari kau Mat ha ha ha ha”, sahut Tom di sambut gelak tawa mereka berdua.
“hei, lama sekali bocah itu, dia bilang ke toilet”, ujar Mat. “sialan Mat, di minimarket ini toiletnya di luar”, ujar Tom. “ sialan!,di sana ruang cleaning service itu, dia masuk ke situ!”, ujar Mat. “hei, bocah, ngapain kau, toiletnya bukan di sini!”, ujar Tom sambil menggedor-gedor pintu. Aku pun membuka pintu dan keluar. “hei, aku udah selesai”, bilangku.
“sialan kau, kau menguping kami?”, tanya Mat sambil mencengkeram kerah bajuku. “hei, apaan sih, santai dulu”, sahutku. “kau salah ruangan!, kau bilang ke toilet, toiletnya di luar sana”, bilang Mat. “makanya, aku bingung, aku kira tidak ada toiletnya, kalian sih tidak bilang kalau toiletnya di luar”, bilangku.
“lalu ngapain kau di dalam sana? Mestinya kau langsung cari toilet”, ujar Mat. “ya tadinya gitu, tapi aku udah kebelet, hehe”, bilangku. “anjing!, bocah jorok dia kencing di dalam sini, sial! Bau!”, bilang Tom sesaat setelah melihat ke dalam ruangan.
“hehe, sudah kubilang kan, aku udah kebelet”, bilangku. “hmm, jangan bertindak macam-macam lagi, ayo cepat bawa makananmu dan kembali ke Van”, bilang Mat. Kemudian kami pun kembali ke Van. Aku tidak langsung memberi tahu niat jahat mereka ke Bager dan Alwi yang terus menatapku dengan resah sekembalinya aku dari minimarket tadi.
“hei bocah , kau tadi tidak mendengar percakapan kami selagi kau di ruang cleaning service?”, tanya Mat. “mendengar kalian? Aku cuman mendengar suara gemericik ‘air yang keluar dari ‘selang ajaib’’ yang mengalir indah seperti air terjun”, jawabku.
“hahahahaha hahahah!, harus di akui Mat nih bocah jorok lucu juga, hahaha santai deh Mat hahaha”, ujar Tom sambil memakan coklat batangan. “hmm, selama perjalanan ini kalian jangan macam-macam terutama kau bocah keriting, biarkan kami mengantar kalian, tidak usah banyak bertanya”, ujar Mat.
“nih rokok buat kalian”, bilang Tom sambil melemparkan dua bungkus rokok ke kami. “oke terima kasih”, bilangku. Alwi dan Bager memakan snack yang kubawakan. Mat dan Tom memutar lagu pop 70-an dari audio set. “serius? Kalian memutar lagu ini? bukannya menyindir tapi kalian terlalu sangar untuk musik ini”, bilangku sambil menyalakan rokok.
“diam kau bocah, tahu apa kau tentang musik”, ujar Tom. “lebih dari yang kau tahu, gini-gini aku pernah bergabung di band”, bilangku. “hmm , sudah kubilang kau diam saja!”, ujar Mat.
“maaf bukannya bersikap menyebalkan, tapi kami bertiga berada satu mobil dengan kalian, dalam perjalanan yang masih jauh, kau tahu sendiri kan sebelumnya kami mengalami keadaan yang tidak mengenakkan di hutan tadi, tidak ada salahnya kalau kami ingin sedikit santai selama perjalanan dengan kalian, masa kalian perlakukan kami seperti sandera? Aku kan cuman ingin memutar lagu favoritku agar suasana jadi nyaman dan tidak tegang, kalian bukan orang jahat yang melarang anak muda meminta memutar lagu favoritnya kan?”, bilangku.
Mat dan Tom berpandangan satu sama lain. “mungkin kau ada benarnya, aku dan Tom terlalu tegang, baiklah kau ingin memutar lagu apa bocah?”, ujar Tom. “kulihat di audio set kalian ada USB nya, kebetulan aku membawa flashdisk, isinya lagu-lagu metal klasik”, ujarku.
Kemudian Tom mematikan kaset CD dan memasang flashdiskku. “skip aja ke lagu urutan ke tiga, enter sandman dari metallica “, ujarku. “seleramu keren juga bocah”, ujar Tom. “tentu saja, kerasin dong volumenya biar asik”, bilangku. Bager dan Alwi menatapku dengan bingung, aku balas dengan senyuman..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments