Aku turun keluar dari mobil, “ya Allah kenapa ini...?”, ujar Alwi dan Bager menyusulku keluar dari mobil. Distrik 20 yang cukup padat dengan gedung dan pertokoan terlihat berantakan seakan habis kerusuhan, banyak mobil-mobil dan motor yang terparkir sembarangan dan tergeletak di tinggal begitu saja, toko toko rusak kacanya pecah, pepohonan tumbang, gedung-gedung di kanan kiri hancur dan hangus seperti habis di bombardir bom.
“apa.. apa ini? apa yang terjadi?”, ujar Bager. Aku tidak bisa menjawabnya, aku juga sama bingungnya, beberapa pertanyaan berkecamuk di pikranku, di tambah rasa takut dan cemas. Yang ku harap adalah keluargaku baik-baik saja di distrik 3.
Tanpa berkata-kata aku kembali ke van dan mulai menyalakan mesin, Bager dan Alwi menyusul, mereka berdua menjejaliku dengan pertanyaan-pertanyaan yang sejatinya tidak bisa kujawab. Sebuah misteri bagiku setelah melihat pemandangan mengerikan ketika memasuki kota kami.
harap-harap cemas, itulah yang kurasakan. Selama aku menyetir van ini aku terus berdoa, putaran ban yang menyentuh tanah berirama dengan degup jantungku. Di dalam hatiku tak henti-hentinya ku berkata ‘semoga, semoga, dan semoga’. Semoga tidak terjadi apa-apa dengan keluargaku.
Perasaanku malah bertambah cemas ketika dalam perjalanan kami menuju distrik 3, tetap saja yang ku dapatkan tidak lain hanyalah pemandangan mengerikan. Kesunyian yang seakan menusuk jantungku, saking sunyinya hembusan angin di hari menjelang petang ini terdengar jelas di telinga.
Bangunan-bangunan banyak yang hancur, seolah kami terjebak di masa-masa perang sebelum kemerdekaan. “boyo city sudah hancur, di sana sudah di netralkan, tidak ada lagi manusia yang berada di sana, kusarankan kalian jangan kembali ke boyo city”, kata-kata pak Boy ketika kami berada di dalam bunker di kamp karantina di parang village terngiang-ngiang di pikiranku.
“ya Allaah..!”, suara Alwi yang kaget seakan menembus hatiku dan menghancurkan asaku terhadap harapan yang baik. Mendadak ku rem mobil van. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat, kawasan distrik 3 di blokade dengan pagar kawat di sepanjang sisi jalannya. Aku turun dari mobil dan melihat dari dekat.
Kawah meteor. Seperti itulah yang kulihat, jalanan hancur dan membentuk bolongan raksasa, persis seperti di hantam meteor, entah bom atau meteor. “apa yang terjadi?”, pertanyaan Bager mewakili pertanyaan kami semua, entah siapa yang bisa menjawabnya.
“gak mungkin!, kenapa bisa gini?”, Alwi berusaha melewati pagar kawat yang membentang membatasi jalanan wilayah distrik 3. Aku dan Bager mencegahnya.
“jangan bertindak ceroboh dulu wi, bahaya di sana”, ujar Bager. “rumah kita di sana!”, ujar Alwi ngotot.
“jangan dulu wi, lihat sekitar, lihat! jalannya yang hancur dan bolong, kita tidak tahu apa di sana, mungkin saja telah terjadi peperangan dan kita tidak tahu selama ini, karena kita sibuk membuang-buang waktu di villa ”, kataku. “sekarang gimana? gimana caranya kita tahu di mana keluarga kita?”, tanya Bager. “itu yang harus kita cari, mungkin di sekitar sini ada orang yang tersisa dan bisa memberi kita info”, ujarku.
Aku masih berpikir harus kemana, aku tidak tahu, pikiranku bercampur dengan rasa takut, Bager menatapku dengan tatapan bingung, begitu juga Alwi, mereka berharap aku bisa memberi solusi, tapi aku juga bingung. Setelah beberapa saat kami bertiga diam dan berpikir, raut muka Alwi berubah, sepertinya dia mendapatkan ide atau sesuatu.
“zar, ayo kita ke distrik 11 ke tempat kakakku, Bobbi”, kata Alwi. “kau yakin wi? , tanyaku, “ya zar, lagian tepat sebelum sinyal mendadak mati, pas kita lagi di villa, kakakku menelefonku kalau udah pulang di suruh mampir dulu ke rumahnya”, ujar Alwi.
“waktu itu kakakmu tidak bilang apa-apa?”,tanyaku. “gak bilang apa-apa cuman bilang gitu aja”, ujar Alwi. “baiklah, ayo kita ke tempat kakakmu”, ujarku sembari menaiki van dan menyalakan mesin mobil. Sekali lagi, aku masih tidak percaya dengan apa yang kulihat, jalanannya yang luas hancur dan bolong entah apa yang membuatnya jadi begitu.
Yang membuatku semakin takut, ialah kesunyian yang dari tadi mencekam. Tidak ada sama sekali tanda-tanda aktivitas manusia. yang ada hanyalah hembusan angin dan benda-benda mati yang menghiasi hampir seluruh ruas jalan, seakan melengkapi kesan kotaku tercinta, kota kelahiranku, boyo city menjadi kota mati.
Tak lama kami sampai di distrik 11, di sini masih sama tidak ada tanda-tanda aktivitas manusia, kami seakan berada di kota hantu layaknya di film-film koboi jaman dulu . Van kami memasuki komplek perumahan, mencari rumah Bobbi, kakak Alwi. Ku lihat kiri kanan rumah-rumah di komplek ini seakan di tinggal lari oleh penghuninya.
“hei, nih pasti bercanda kan, ku kira semua orang sedang sembunyi di rumah mereka masing-masing”, ujar Bager. “enggak ger, warga kampung ini benar-benar meninggalkan rumah mereka, lihat itu”, kataku sambil menunjuk rumah dengan pintu terbuka, kelihatan di dalamnya kosong dan berantakan.
“wi di mana rumah kakakmu?”, tanyaku. “lurus dikit, sebentar lagi kelihatan di sisi kiri, pagar hitam nomer 52”, ujar Alwi. Rumah minimalis berpagar hitam nomer 52 tampak sama seperti rumah-rumah lain di kampung ini, pintunya terbuka.
“kak Bobbi!”, Alwi langsung turun dari van dan langsung masuk karena pintu sudah terbuka, dia terlihat takut. Aku dan Bager masuk rumah menyusul Alwi. “kak Bobbi!, kak Bobbi!, ini Alwi kak, kakak di mana?”, Alwi memutari isi rumah sembari cemas.
Ruang tengah terlihat berantakan, tumpukan baju berserakan, meja dan keramik rumah terjatuh di lantai. wi, kakakmu gak ada di sini, kayaknya dia udah pergi”, bilangku.
“gak mungkin!, kak Bobbi!”, Alwi semakin cemas, dia keluar dari kamar di tengah dan mencari ke belakang dapur, kemudian naik ke atas loteng.
Bager menyusul Alwi .
Aku beralih ke ruang tamu, sebuah meja bufet kecil menarik perhatianku, karena beberapa lembar kertas berserakan di atasnya. “udah-udah wi, pasti kakakmu pergi ke suatu tempat yang aman, keluarga kita semua pasti lagi aman”, Bager berusaha menenangkan Alwi yang cemas dan bingung, keduanya turun dari loteng.
“Bager betul wi, ayo naik ke van kita lanjut jalan”, ujarku. “ke mana zar?”, tanya Bager, “Aku gak ke mana-mana sampai aku ketemu kak Bobbi”, sahut Alwi. “tenang wi, ada kemungkinan kau ketemu kakakmu di sini, dan semoga saja keluarga kita juga”, ujarku sembari menunjukan ke Alwi dan Bager sebuah lembaran brosur yang ku temukan di atas meja bufet ruang tamu.
“SELURUH WARGA BOYO CITY HARAP KUMPUL DI HALAMAN KANTOR WALIKOTA UNTUK PROSES NETRALISIR DAN PENGAMANAN PADA HARI KAMIS PAGI, SEKALI LAGI HARAP SEMUANYA BERKUMPUL”
“apa ini? kamp karantina seperti di parang village?”, tanya Alwi. “mungkin saja, ini baru dua hari yang lalu, mungkin warga-warga masih di sana, dan yang pasti kita dapat info di kantor gubernur, ada orang pemerintahan kan di sana”, jawabku.
Kami bertiga menaiki van dan lanjut ke kantor walikota Aku berharap kami menemukan jawaban di sana, tak henti-hentinya ku berdoa untuk bertemu dengan keluarga kami. sepanjang jalan menuju kantor walikota pemandangan yang kurang lebih sama seperti yang ada di jalanan semenjak awal yaitu berantakan.
Melewati sebuah mall yang gosong dan kaca-kacanya pecah. di jalanan pun berhamburan barang-barang dagangan yang mungkin barang yang ada di mall itu. mobil-mobil berhamburan, ada yang menarik, sebuah mobil mewah mercedes benz s5 tergeletak begitu saja di pinggir jalan. Ratusan kertas berserakan di jalan, ada brosur yang sama seperti kudapat di rumah kakaknya Alwi.
Ketika kami sampai , pemandangannya tidak seperti yang kami bayangkan. Bayangan yang ada di benak kami jalanan di penuhi tenda-tenda, bunker, dan kerumunan manusia yang padat, entah itu warga biasa yang akan di proses ke bunker ataupun petugas medis dan militer yang bertugas menjaga, seperti di Parang village sebelumnya. kami belum melihat satu pun manusia semenjak masuk ke boyo city.
Ada beberapa tenda yang kosong, tidak ada orang. Aku pun lanjut menyetir mobil van masuk ke halaman kantor walikota yang pintu gerbangnya terbuka. Halaman kantor walikota yang luas tampak hampa, tidak ada siapa-siapa, cuman sampah dan kertas-kertas berserakan dan tiga buah mobil yang kosong. Kami pun turun dari van. Aku melihat sekeliling berharap ada satu saja sosok manusia, namun yang ada hanyalah pemandangan sunyi yang membuatku makin cemas.
“ Orang-orang mungkin sudah di bawa ke tempat lain”, ujar Bager. “ “ayo kita coba masuk ke dalam kantor, mungkin saja ada orang”, ujarku.
“cklek”, suara pintu utama kantor yang ku buka, terdengar menggema. “permisi!, halo!”, suara Alwi juga terdengar menggema. Ruang depan kantor walikota yang megah kosong melompong. Ada Ruangan kecil di kanan kiri yang juga kosong, meja dan kursi di dalamnya bergelatakan, kertas-kertas yang berhamburan menambah kesan kalau ruangan-ruangan ini tidak ada orang.
“waduh, enggak mungkin kantor gede gini kosong, pasti ada orang”, bilang Alwi. “oke ayo kita cari ke sekeliling kantor, kita mencar aja, aku di lantai satu, wi kau di lantai utama, bager di lantai dua”, ujarku. Aku pun menaiki tangga ke lantai satu.
Di sini ada beberapa ruangan, aku periksa satu per satu, hasilnya sama, cuman ruangan kosong yang berantakan. Sampai kamar mandi pun aku periksa juga. Semua ruangan sudah ku periksa, tinggal ruang kantor utama walikota. Gedung ini memang sepertinya kosong melompong sampai-sampai aku bisa mendengar suara Alwi di bawah dan Bager di lantai atas.
Saat kumasuki ruang utama kantor walikota, aku sungguh kaget, perasaanku campur aduk antara kaget dan gembira, ternyata semua orang bersembunyi di dalam sini!, ketika ku buka pintu kantor yang terbuat dari jati, kudapati banyak orang termasuk keluargaku menyapaku dengan senyuman lebar dan bahagia, seakan seabad lamanya tidak melihatku, akupun juga begitu, tapi aku masih kaget dan tidak percaya dengan apa yang kulihat. Ibu dan bapakku melihatku dengan mata berkaca-kaca, air mataku seakan hendak tumpah, sekan lama rasanya aku tidak merasakan bahagia dan rasa rindu yang terobati seperti ini...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments