Tentara tinggi itu memutari pohon tempat kami bersembunyi, dia kembali dan membawa sesuatu, sebuah tas pinggang. “hei, bocah kurus, kau bohong, tidak ada tubuh temanmu, hanya ada ini”, sambil mengikatkan tas pinggang itu ke badannya. " kita di kibuli bocah, kita tembak aja deh”, sahut tentara pendek.
“ja.. jangaaan!!, za.. zar.. lakukan sesuatuuu”, Alwi merengek ketakutan. “tenang wi, mereka gak bakal nembak”, ujarku menenangkan Alwi. “gak bakal?, ku tembak sekarang!, sialan kau beraninya membohongiku!”, bentak tentara tinggi itu. “tunggu dulu, aku memang bohong soal mayat temanku, tapi aku tidak bohong soal ular”, jawabku.
“banyak bicara nih bocah kurus!”, kata tentara pendek sambil memukulku dengan gagang senapan. “tembak kakinya!”, teriak tentara tinggi itu. “hei, tas pinggang yang kau temukan tadi kenapa malah kau pakai?, sudah ku bilang aku tidak bohong soal ular”, bilangku ke tentara tinggi.
Tentara tinggi itu melihat tas pinggang yang di kenakannya. “aaaah, sialaaan!”, ia panik tas pinggang itu tiba-tiba bergerak. “hei, kenapa kau?”, sahut tentara pendek.
Tentara tinggi itu terjungkal sembari berusaha melepas tas pinggang. Ular menyambul keluar dari tas pinggang itu, si tentara mencari senapannya yang terlempar ketika dia terjatuh. “sekarang ger!”, teriakku.
Bager pun loncat dari atas pohon dan jatuh tepat mengenai tentara tinggi itu. tentara pendek langsung mengokang senjatanya, sebelum sempat membidik Bager yang bergelut dengan tentara tinggi, seseorang bertubuh kecil meloncat secara akrobatik dari pohon di belakang kami, dan menendangnya hingga terjatuh.
Dia Mail, pergerakan nya gesit sekali dalam sekejap dia merebut senapan tentara bertubuh pendek. ya, aku merencanakan semua ini ketika aku bersembunyi dan aku melihat Mail diam di atas pohon di seberang kami dan aku melihat ular yang merambat di pohon aku pun mengambilnya dan memasukannya ke tas pinggang ku.
“minggir!!”, teriak Mail sambil menyuruhku dan Alwi untuk menghindar. “sialan! " tentara pendek itu langsung menyambar Mail, berusaha merebut senapan. Di tengah pergelutan Mail dan tentara pendek itu, pelatuk senapan tertekan, dan ,“dor!!”.
Mail terhempas ke tanah dan senapannya terpental. ku lihat tentara pendek itu masih berdiri, tapi ia memegang dadanya, darah mengucur, “ka..kalian...”, kata kata itu menjadi kata terakhirnya sebelum ia kolaps.
“bruaaag!!”, sementara itu tubuh Bager yang kurus terbanting ke tanah di lempar tentara tinggi.
“mati kau bangsat!!”,teriak tentara tinggi sambil mengambil senapannya dan mengokangnya. “ckrek!”, “tunggu!”, teriakku menyuruh Mail yang menodong ke kepala tentara tinggi agar tidak langsung menembak.
“sialan kalian pemberontak!, kenapa kalian tidak menyerah!”, ujar tentara tinggi itu. “kami bukan pemberontak, kami hanya para pemuda yang ingin pulang menemui keluarga kami, kalian para militer yang di tugaskan menjaga warga sipil seperti kami, malah menahan dan menjauhkan kami dari keluarga”, bilangku.
“bocah tolol! , kalian ini di amankan, buat keselamatan kalian sendiri, kami menjaga agar terhindar dari virus mematikan”, sahut tentara tinggi itu. “di amankan?, situasi mana yang menunjukan rasa aman ketika orang di kurung di bunker tanpa tau sampai kapan keberadaan nasib mereka di sana, dan sikap kalian yang mengancam akan membunuh kami, aman dari mana? Menurutku virus yang mematikan ya kalian ini, para militer kejam!”, sahutku.
“kurang ajar!, beraninya kau!”, tentara tinggi itu mengarahkan senjatanya ke arahku. “tembak saja, kawanku yang kecil ini punya nyali besar untuk menembakmu seperti yang terjadi pada temanmu”, aku menggertak sembari memberi tahu Mail untuk siap-siap menembak.
“aku tidak main-main bocah!, kau berani melawanku?!”, bentak tentara tinggi. Bager perlahan mengendap-ngendap dari belakang hendak merebut senapan dari tentara tinggi, namun tentara itu mengetahuinya dan dengan mudahnya tentara itu memukul Bager hingga terjatuh. “sialan kau!”, tentara itu membidik dan mengokang senapannya ke arah Bager yang tehempas ke tanah, dan “dor!, dor!”.
dua kali suara tembakan menggelegar memecah kesunyian di tengah gelap yang pekat di dalam hutan ini. “aaaah-aaah”, teriakan pemuda yang sekian detik yang lalu berusaha merebut senapan dari tentara yang menyerang kami. Bager berteriak sambil menunduk dan memegang kepalanya.
“ger!, kau tidak apa-apa?!”, teriak Alwi. “tenang wi!, tembakan tadi berasal dari senapan Mail”, sahutku. Tembakan Mail mengenai dada tentara yang bertubuh tinggi itu, ia terjatuh namun masih hidup dan tampak lemas. Aku segera bergegas mengambil senapannya. “errg..errgh!, si..sialan kau!”, teriak tentara itu sebelum akhirnya tewas.
“wuihh, hampir saja!, ku kira aku udah is dead !”, kata Bager yang tampak ketakutan. “berterima kasihlah pada Mail”, sahutku. “sekarang bagaimana?”, tanya Alwi.
“kita lanjutkan berjalan, mungkin kita bisa keluar dari hutan ketika pagi”, sahutku sambil meminjam hape Alwi dan menyalakan lampu flash. “apa kita balik aja ke posko? Mungkin di sana kita bisa nyusul Syarif dan lainnya?”, tanya Bager ke mail. “jangan!, santai, temanmu aman ada pak Boy!”, sahut Mail dengan suara cadel dan melengking. “oke, Mail kami percaya padamu antarkan kami keluar dari hutan ini”, ujarku.
Kami berempat kembali berjalan, Mail memimpin di depan dengan membawa senter flash dari hape dan senapan riffle yang di dapat dari tentara yang mengejar kami. aku berjalan di belakang Mail juga memegang senapan. Di belakangku Bager, di susul Alwi.
Setelah kurang lebih setengah jam kami berjalan, kami melihat dari kejauhan ada cahaya yang cukup terang. “Mail, matikan lampu Flashnya mungkin di sana ada orang”, seruku. Kami berempat berjalan pelan. Mail tampak siaga dengan senapan riffle, aku juga menyiapkan senapanku.
Cahaya itu ternyata adalah obor yang di bawa oleh kerumunan orang. “ada apa ini? kau tidak bilang kalau hutan ini ada penghuninya”, tanyaku ke Mail. “aku gak tau, aku taunya jalan keluar”, jawab Mail. Kami berempat bersembunyi di semak-semak sembari mengintip. Aku melihat sekeliling banyak rumah sederhana yang terbuat dari kayu dan bambu.
Orang-orang berkumpul melingkar di tengahnya ada seorang pemuda yang tampak melindungi seorang wanita yang tangan dikat ke kaki dengan posisi berlutut. Entah apa yang di lakukan orang-orang ini. “hei tampaknya mereka sedang melakukan suatu ritual”, bisik Alwi. “bukan, aku kira ada seseorang akan di hukum oleh mereka, kau lihat kan di tengah itu ada seorang wanita dengan tangan dan kaki di ikat”, jawabku.
“kau mau apa lagi sekarang?!!, sudah jelas keluargamu membawa kutukan di hutan ini!”, teriak salah seorang pria yang tampak menghakimi pemuda dan wanita yang di ikat dengan posisi berlutut. “ja..jangan, ku mohon tolong, ibuku cuman sakit demam, bukan kutukan, jangan hukum dia, aku mohon..” rintihan seorang pemuda melindungi wanita yang tangan dan kakinya di ikat, yang ternyata wanita itu adalah ibunya.
“diam!, lihat dia, penyakit apa yang di derita ibumu?, dia aneh!, sudah jelas ini kutukan yang di bawa oleh ayahmu, apa kau tidak sadar apa yang di lakukan oleh ayahmu? Dia membunuh dan melukai orang sini!”, bentak seorang berperawakan setengah baya dan kelihatannya dia yang mewakili penduduk lainnya. “bohong!, ayahku tidak terkutuk, dia cuma sakit, tapi kalian terlalu keras padanya, dan kalian membunuhnya, kalianlah yang sebenarnya pembunuh!”, teriak pemuda itu.
Kemudian pria paruh baya itu memanggil seseorang, tak lama datanglah dua orang menggotong tubuh terbungkus kain yang di ikat di kayu dan di baringkan di depan pemuda itu. aku dan teman-temanku menahan nafas dan hampir menjerit kaget ketika kain yang menutup tubuh orang itu di buka. Mayat seseorang dengan rupa menyeramkan, dan kulit membusuk!. “lihatlah, dia berubah menjadi seperti ini sebelum kami terpaksa membunuhnya, ini ulah ayahmu!”, teriak pria paruh baya itu.
“sekarang lihat ibumu, penyakitnya sudah tidak wajar, sama seperti mayat ini sebelum terbunuh, apa kamu juga tidak ingat dengan mendiang adikmu? Sakit mereka tidak wajar! sama seperti ayahmu!”, bentakan pria paruh baya itu membuat kerumunan orang di sekitarnya semakin marah terhadap pemuda itu, mereka meneriaki dengan kata-kata “bunuh saja”. “tidaaaaaak!, aku tidak akan membiarkan kalian menyentuh ibu”, teriak pemuda itu, sambil mengeluarkan sebilah pisau dari balik bajunya.
“nak.. nak kemarilah”, wanita yang di ikat dan merupakan ibu dari pemuda itu memanggilnya. Pemuda itu menghampiri ibunya, ibunya dengan tubuh melemah membisikan sesuatu kepadanya. Kemudian wanita itu jatuh tergeletak dan meriang kesakitan, orang-orang di sekitarnya terlihat takut dan mereka mundur menjauh.
Pemuda itu memeluk ibunya, berusaha menenangkannya.
“ibuu.. ibuu.. bertahanlah”, rintih pemuda itu dengan nada pilu. Yang terjadi selanjutnya mengejutkanku, wanita itu semakin beringas, wanita itu membuat ikatan tali di tangan dan kakinya terlepas, kemudian wanita itu menyerang pemuda yang nyatanya adalah anaknya sendiri, ia mencabik dan menggigit bahu kanan pemuda itu. pemuda itu meriang kesakitan, seseorang menolong pemuda itu dengan menariknya.
Pria paruh baya yang berada di depan kerumunan, melawan wanita itu dengan obornya, tapi wanita itu menyerangnya tanpa ampun dan menggigit wajah dan leher pria paruh baya itu. mendadak orang-orang lainnya panik dan lari ketakutan.
“ aduh ...seram banget... zar... ba..bagaimana ini?, apa kita lari saja?”, bisik Alwi ketakutan. Aku tidak bisa berpikir jernih karena aku juga merasa takut. Bager kemudian menyuruh Mail untuk menembak wanita itu, oh iya aku hampir lupa kalau aku juga memegang senapan riffle. “ayo zar, cepat tembak wanita itu sebelum dia ke arah kita!”, teriak Alwi panik.
“zar ayo zar, ayo zar!, Mail ayo tembak!, ayoo”, rintihan Alwi semakin membuatku bingung, Alwi memang begitu, dia ceroboh dan mudah panik. Bager menampar mulut Alwi untuk menyuruhnya diam.
Kemudian aku bersama Mail membidik wanita yang berubah menjadi “monster” itu. wanita itu bergerak dengan gerakan tubuh yang aneh dan menyerang dua orang yang tidak sempat kabur.
Ku atur nafas dan menyeimbangkan tanganku agar bidikanku tidak meleset. Aku pernah mengikuti pelatihan tembak karena dulu aku sempat ikut seleksi sekolah kepolisian, namun aku belum pernah menembak seseorang sebelumnya. ketika akan menarik pelatuk, suara seseorang muncul dari belakang.
Aku menoleh ke belakang kemudian sesuatu menancap di lenganku. Mendadak pandanganku memudar. Aku sempat mendengar suara Alwi dan Bager memanggilku namun Setelah itu aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Aku pikir aku tertidur dan yang ku alami selama ini adalah mimpi buruk, itu jauh melegakanku.
Perlahan aku mendengar suara musik jazz klasik yang di putar dengan volume yang tidak terlalu nyaring. Ku buka mataku dan aku sadar aku berada di sebuah mobil van, ku lihat sekeliling, di sebelah kanan kiriku ada Bager dan Alwi yang menatapku..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
Max Zareef
sama sama salam kenal juga
2023-04-02
0