CHAPTER 2 : QUARANTINE

Sekitar 20 menit kemudian kami mulai memasuki kawasan Parang village, perbatasan antar kota. Ada pemandangan yang ganjal, di depan ada ratusan orang berkumpul berdesakan, seperti suatu kamp penampungan. Ada juga puluhan pasukan militer lengkap dengan senjatanya.

Ada apa ini?

Kami di cegat oleh beberapa tentara, motor kami di arahkan ke sebelah kiri jalan. Kami di berhentikan di tenda militer, setelah turun dari motor, kami di suruh berbaris di depan tenda yang di isi beberapa petugas militer.

tampak seorang tentara duduk di kursi tengah mencatat sesuatu, di sebelahnya dua orang berseragam medis, dan satu orang berompi bertuliskan “National rescue team” sedang mencatat dan mengamati sesuatu di atas meja. kami semua mendadak kebingungan, apakah ada bencana atau apakah gerangan?

Perasaan kami campur aduk antara bingung dan ketakutan. “kalian ini dari mana?!”, bilang tentara yang duduk di depan kami, posturnya agak pendek, gempal, berambut cepak, tagname di dadanya bertuliskan “letkol Bambang Murdianto”.

Kami semua masih bingung tidak dapat menjawab. Tentara itu bertanya lagi kali ini dengan nada keras,” hei!!!, jawab!! kalian dari mana??!!”.

Bager memberanikan diri bicara,” emm.. anu pak kami dari pondoan village”, letkol itu kemudian berdiri sambil mendekat ke arah kami yang berbaris.

“keadaan seperti ini kalian malah ke sini, mau kemana kalian?!”, tanyanya. “mau.. mau pulang pak ke Boyo city”, jawab kami serentak. Letkol terdiam mendengar jawaban kami, dia menoleh ke arah bawahan di sebelahnya seperti keheranan.

“maaf pak, tadi kami sempet nyolong bensin di SPBU pak, maaf pak, kami kira sudah ga ada orang di SPBU itu pak kami gak tau apa-apa, kami mengaku salah kok pak, jangan di hukum tolong pak”, Ragol merengek.

“sudah diam! mana surat jalan dan surat vaksin kalian??!”, tanyanya. aku memberanikan diri berbicara, “ maaf pak, kami baru saja pulang liburan kalau boleh tahu ada kejadian apa pak?”.

Si letkol mendatangiku beridiri berhadapan sangat dekat denganku. Nafasnya yang bau menusuk hidung. Dia melotot dan berkata,” kamu jangan main-main!, kamu mestinya tetep di pondoan village saja, kamu di sini mau jadi jagoan?!”

bentaknya.

“tapi pak kami enggak mengerti apa apa, kami cuma mau pulang ke rumah kami” bilang ku lagi. “di Boyo city sudah tidak ada orang!, Boyo city sudah mati!!, sekarang mana surat jalan dan surat tes kesehatan kalian”, bilangnya.

Kami bertujuh masih diliputi kebingungan, kami tidak menghiraukan perintah bapak letkol itu. Apa maksutnya boyo city sudah tidak ada orang?.

“surat!, saya bilang surat!” perintah nya. dia menyuruh bawahannya memeriksa kami dan mengumpulkan ktp kami. “ bawa mereka ke ruang cek medis!”, perintah si letkol ke 4 orang bawahannya. kami bertujuh di giring sampai ke depan sebuah bunker besar. Di atasnya ada tulisan “POSKO KARANTINA COIT 20”.

antriannya cukup panjang. Beberapa orang terlihat histeris dan menangis ketakutan. Aku berada di barisan depan di belakangku Ragol, Nizar, Alwi, Bager, Fadil, dan Mo.

aku bertanya pada bapak bapak di depanku,”maaf pak, ini ada apa ya?”, dia menjawab, “ pemeriksaan virus COIT , ikuti prosedur ya”.

Firasatku benar tentang kaitan semua ini tentang virus COIT 20 yang semakin memburuk . SPBU yang Kami datangi itu juga sepi karena semua petugasnya di amankan di posko ini pastinya.

terdengar suara petugas teriak, “isolasi!”, “negatif”, “isolasi!, “negatif!”. ada seorang ibu-ibu yang menangis karena terpisah oleh anaknya.

Anaknya positif terinfeksi dan terpaksa harus di pisah. “aku mau anakkuu!!..” teriak ibu itu sambil meronta-ronta dan berusaha melepaskan diri dari tentara yang memegangnya. Ibu itu terdiam dan pingsan setelah di bius oleh petugas. pemandangan yang memilukan.

Mo mendatangi tentara yang berdiri berjaga di samping barisan kami. “pak..pak kami ini bersih pak, enggak sakit..tolong lepaskan kami pak..”, “diam!!”, bentak tentara itu sambil menodongkan senapan ke arah Mo. “sudah mo kita ikuti saja prosedur nya”, bilangku kepada Mo. Antrian sudah berkurang sekarang aku berada di belakang dua orang.

Di depanku seorang bapak-bapak berkumis, di depannya lagi seorang wanita memakai masker penutup wajah. Ku lihat di bagian pemeriksaan petugas medis dengan seperangkat alat infus dan puluhan jarum suntik, di bantu oleh dua orang tentara berbadan besar.

Di sebelah kiri terdapat pintu besi, di sebelah kanan juga ada pintu yang sama. “isolasi!”, teriak petugas medis. Wanita bermasker antrian depan di giring oleh tentara masuk ke ruangan di sebelah kiri. Ketika pintu di buka aku nekat maju ingin mengintip isi dalam ruangan itu. di dalam ada kira kira puluhan orang terbaring di lantai, terdengar raungan “aaaaargh.. aaaargh” , “keluarkan kami!”.

Aku sempat melihat seorang ibu-ibu berwajah pucat, mata merah, bibir basah penuh dengan air liur sedang merangkak ke arah luar ruangan, merangkak pelan ke arahku. tentara di belakangku maju dan melumpuhkannya dengan senapan listrik. mengerikan sekali!.

“hei kamu! Kembali ke barisan!”, seorang tentara menarikku. aku masih kaget dengan apa yang kulihat tadi barusan. “oi rif, ada apa di dalam sana? ” tanya Bager kepadaku.

“tidak tahu, hanya sekumpulan orang orang yang sakit, tapi aneh...” bilangku. “ya tuhan kalau ini memang kiamat, aku tobat, aku janji tidak akan minum minum dan main perempuan lagi..” Ragol berdoa dan menangis dia menyandarkan kepalanya di punggungku.

tak lama kemudian bapak-bapak berkumis di depanku masuk ke pintu besi sebelah kanan. dan tibalah giliranku.

“tangannya taruh di meja mas..” bilang petugas medis kepadaku. Aku menaruh tangan di meja, lengan kananku di olesi alkohol dan di suntikan jarum, darahku di ambil sedikit untuk di masukan ke tabung kecil.

tabung kecil itu di ambil oleh petugas medis di sebelahnya di beri sedikit cairan berwarna ungu. Petugas medis mengecheck nya lewat mikroskop. “negatif!”, bilangnya.

Tentara berbadan besar mengantarku ke pintu besi sebelah kanan. Pintu di buka di dalam juga terdapat puluhan orang namun kali ini tidak menyeramkan seperti isi ruangan yang ada di sebelah kiri. Kali ini di isi oleh orang-orang yang tampaknya bersih dari virus.

Aku pun masuk ke dalam, “sudah kamu di sini sekarang!”, ujar tentara yang mengantarku. pintu di tutup. Di sekeliling ruangan sedikit gelap hanya ada cahaya lampu yang remang, di sisi sisi ruangan ada jejeran kasur tingkat. orang orang di sini ada yang tidur di kasur dan ada juga yang berbaring di lantai karena jumlah kasur yang terbatas.

di dalam sini suhu nya panas karena penuh sesak dengan tumpukan manusia.Satu per satu warga masuk ke ruangan ini, tua, muda, pria, wanita, di tahan tanpa mengetahui kelanjutan nasib mereka. Ruangan bertambah sesak dan penuh, teriakan ibu-ibu dan tangisan anak kecil menghiasi ruangan ini.

“Hai mas, sini mas!”, aku di panggil oleh seseorang.

Ternyata dia bapak-bapak berkumis yang berada di antrian depanku tadi. Aku pun mendatanginya, sambil melangkahi dan menghindari barisan manusia yang berdesakan.

“aku Boy, ini temanku ismail”, bapak berkumis itu memperkenalkan diri dan juga mengenalkan temannya yang bertubuh kecil, kurus.

”oh, iya pak, namaku Syarif”, sahutku sambil berjabat tangan. Di belakangnya berjejer 13 orang berpenampilan seperti preman menyapaku, mereka juga kawan-kawan pak Boy.

Tak lama kemudian Ragol masuk ke ruangan ini, di susul Nizar, Alwi, Bager, Fadil dan Mo. aku tampak lega mereka tidak apa-apa, bersih dari virus.

Aku mengenalkan mereka ke pada Pak Boy dan Ismail. Kami bercerita kalau kami baru berlibur dari desa Pondoan tidak tahu-menahu soal perkembangan COIT 20 yang tampaknya semakin parah.

“kasihan juga kalian, pulang liburan di hadapkan dengan kejadian seperti ini”, ujar Pak Boy”. kemudian Pak Boy menjelaskan perkembangan COIT 20 dan mengapa tiba tiba ada kamp penampungan, kami semua menyimaknya.

“ di kota-kota besar, termasuk Boyo city sudah lumpuh total, listrik tidak ada, jaringan satelit mati, korban yang terjangkit virus hampir 85 persen dari penduduk kota”, bilang Pak Boy. Kami semua kaget, hampir tidak percaya kalau kota tempat tinggal kami lumpuh total.

Kami semua mendadak di liputi rasa khawatir yang luar biasa, Bagaimana nasib keluarga kami di sana?. “terus pak, bagaimana dengan warga warga di Boyo city?”, tanyaku.

“nah itu aku belum tau, belum ada kabar yang jelas. Setahuku pemerintah mengirim pasukan militer, tim dokter khusus, dan tim penyelamat tapi dalam jumlah besar.

Isunya tentara militer kewalahan, pemerintah sudah angkat tangan, lalu mereka mengisolasi total Boyo city, perbatasan masuk dan keluar di tutup, jadi putus dari dunia luar. Warga yang belum terinfeksi di evakuasi besar-besaran, tapi masih belum tahu di evakuasi kemana”, penjelasan Pak Boy yang mengerikan, membuat kami ternganga. rasa bingung, takut, marah bercampur menjadi satu.

“terus sampai kapan kita di tahan di sini pak?”, tanya Nizar ke Pak Boy. “tidak tahu, virus sudah menyebar ke kota perbatasan seluruh Boyo city. Dari dua hari terakhir sudah ada posko ini, semua orang yang masuk arah parang-boyo city di tahan di sini”, bilang Pak Boy.

kami semua terdiam dan kaget...

" apa?... tidak mungkin.... kan seminggu yang lalu sudah ada suntik imun dan.. " , nizar menyahuti tapi omongannya terpotong karena pintu ruangan di buka.

kali ini bukan warga, namun tiga orang tentara bersenjata. “harap tenang semuanya!!”.seseorang masuk ruangan, ternyata dia letkol yang tadi menginterogasi kami.

“baiklah semua sudah di kumpulkan, kalian semua yang berada di sini kalian semua bersih, kalian akan menjadi tanggung jawab kami, makanan akan kami sediakan, untuk kebersihan kami akan sediakan tempat mandi dan pakaian bersih, jaga diri kalian agar tetap steril. Tidak ada yang boleh keluar dari ruangan ini kecuali dapat arahan dari kami.

Nanti kami atur jadwal makan, mandi, dan jadwal keluar masuk ruangan ini, Kalian akan tetap di sini di bunker karantina ini sampai waktu yang tidak di tentukan”, bilang letkol itu

Mendadak semua orang menjadi panik. “diaaaam!!, tenaaaaang semuanyaa!!, kalian di sini lebih aman daripada di luar sana, kalian dalam pengawasan kami, kalian tetap di sini sampai ada pemberitahuan lebih lanjut dari pemerintah!”, letkol itu melanjutkan.

“sekian informasi dari saya, selamat malam!”, kemudian dia pergi meninggalkan ruangan di iringi oleh ketiga tentara bersenjata.

“grek, cklek”, pintu ruangan ini di kunci, pintu yang terbuat dari besi yang mengurung aku dan teman-temanku dan puluhan warga lainnya. “sialaaan kenapa begini?!!”, teriak warga yang marah, marah karena harus di kurung tanpa kejelasan.

Aku melihat sekitar orang-orang tampak diam, mengeluh, marah, menangis, berbagai macam ekspresi emosi . ada yang sempat bertengkar karena berebut kasur, maklum jumlah orang di sini melebihi kapasitas ruangan.

Aku melihat Ragol yang menangis bersandar di pelukan Fadil, Bager dan Mo berusaha menghiburnya. Kami bertujuh duduk bersampingan. Di sebelah kami Pak Boy dan Ismail

Alwi terlihat gusar. Dia kemudian memukul lantai dan berkata,” ah tidak mungkin, aku gak percaya!”. “udah wi sabar dulu kita ikutin prosedur”, bilangku. “kita harus keluar dari sini,!” bilang Alwi.

Pak Boy ternyata mendengarkan pembicaraan kami. “kalian mau keluar dari sini?”, tanyanya. Kami semua pun mejawab iya. “Memangnya bisa?”, tanyaku. Pak Boy tersenyum dan bilang, “tunggu saja setelah dini hari”, Ismail di sebelahnya tertawa dengan suara yang melengking dan tidak jelas.

Aku melihat jam tanganku waktu sudah menunjukan pukul 01.15 tak terasa kami sudah 3 jam berada di bunker ini. Ragol, Fadil, dan Mo tertidur. aku sama sekali tidak bisa tidur, aku belum bisa tenang.

Sinyal handphone sudah tidak bisa di pakai. Aku tidak bisa menghubungi keluargaku, atau mencari tahu info lebih lanjut tentang Boyo city. Di sebelahku Nizar, Bager, dan Alwi pasti juga berpikiran sama denganku.

“Duh nasib apes apalagi nih” , Bager mengeluh. “aku sudah merasakan firasat yang tidak enak ketika di jalanan tadi begitu sepi dan di SPBU yang kosong”, aku menjelaskan kepada Bager, Nizar, dan Alwi bahwa aku telah melihat sesuatu yang janggal sejak aku masuk ke ruang manajerial SPBU. Aku ceritakan kepada mereka potongan clipping koran di sisi loker manajer.

Clipping koran yang memberitakan tentang wabah virus COIT 20. Aku tidak sempat melihat tanggal pada potongan koran tersebut. Tapi aku dapat menyimpulkan dari urutan potongan clipping koran dan beritanya, yang memuat pada awal-awal munculnya virus.

Kira-kira 3 bulan yang lalu pada saat itu memang awal kemunculan virus COIT 20 sampai peraturan tentang pembatasan sosial bersekala besar yang di canangkan pemerintah.

Aku tak menyangka virus ini menyebar begitu cepatnya. Pemerintah sudah memblokade kota dan mengisolisir dari dunia luar. aku tak terima berita seperti ini. Aku harus melihat sendiri seperti apa keadaan di sana.

“aku masih belum yakin dengan omongan pak Boy tadi”, aku berkata kepada teman-teman. “kita baru seminggu keluar kota, terakhir di sana masih terbilang aman cuman berlaku PSBB saja, apa mungkin dalam jangka 5 hari Boyo city bisa mati total" bilangku.

“iya Rif, aku juga merasa keluarga kita di sana masih baik baik saja” bilang Bager. Tiba-tiba Alwi berteriak marah marah. “ini semua cuman akal bulus pemerintah korup. kita semua tidak seharusnya di kurung di sini l, kita negatif kok, kita bersih, kita sehat!” Alwi berapi-api menjelaskan opininya sambil berdiri di atas kursi.

Tak pelak seruangan menyoroti Alwi. Kemudian bapak-bapak bertubuh gempal menegur Alwi. “hei anak muda! Jangan sembarangan ngomong!, kita bukan di kurung tapi ini proses karantina untuk keselamatan kita sendiri”.

“Eh pak aku ini justru kasihan sama orang orang di ruangan ini, di kurung sampai tidak bisa apa apa, kita semua cuma di akal akali oleh militer dan pemerintah korup!”, Alwi menyahuti dengan emosi.

Aku, Bager, dan Nizar mencoba meredam emosi Alwi. Yah beginilah Alwi gampang panik, ceroboh, selalu bertindak atau berkata tanpa berpikir panjang.

“Udah wi, jangan berkata seperti itu!”, kata Bager. “ wi jaga bicaramu, kita ini masih mengikuti prosedur bukan di tahan Cuma di karantina sementara, tolong jangan bicara seperti itu lagi kalau terdengar penjaga kita bisa kena hukuman”, ujar Nizar sambil memegang bahu Alwi.

“ah biarin!, Aku tidak takut, kalian mau diam aja di sini? Dasar bodoh!”, Alwi kemudian menuju pintu bunker dan mulai menggedor pintu. Tindakan Alwi tambah menyulut reaksi sebagian orang. “hei sini kau anak sialan!”, Bapak-bapak bertubuh gempal tadi mulai mendatangi Alwi.

Alwi tidak menghiraukan dia tetap menggedor pintu sambil teriak. Aku, Nizar, dan Bager berusaha menarik Alwi. Sebagian orang juga kesal dengan Alwi dan mulai menghampiri nya.

Kemudian bapak bertubuh gempal menarik baju Alwi dengan kasar, Alwi melawan dengan menyikut bapak itu, sontak saja yang lain ikut mengeroyok Alwi, aku dan teman teman pun berusaha menenangkan situasi.

tapi banyak orang yang sudah terlanjur marah mengeroyok kami. Tiba tiba Pak Boy, ismail dan beberapa temannya membantu kami. Mereka berusaha melerai pertengkaran. Tiba-tiba muncul lagi beberapa orang menambah keributan.

Kami terpojok, aku melihat Alwi di keroyok beberapa orang. Beruntung dia di bantu oleh Pak Boy dan beberapa kawannya. Akibat terjadi keributan dan kegaduhan yang tak terkontrol. Dua penjaga militer masuk dan menembakan tembakan peringatan. “dor!, dor!”. Seketika kericuhan terhenti. “siapa biang keroknya??!!”, teriak penjaga.

Bapak bertubuh gempal yang beselisih dengan Alwi membuka suara. “maaf pak.. kami enggak bermaksut begini, semua gara-gara kelompok anak muda goblok ini!”,

sambil menunjuk ke arah Alwi, Nizar, Bager, Mo, Ragol, Fadil, dan aku. “iya pak mereka pengacau!”, “dasar pemberontak!”, “usir mereka!”, suara hiruk pikuk orang-orang yang menyudutkan kami. “diaaaam!” teriak penjaga.

Salah satu penjaga mendatangi kami .dia memperhatikan kami satu-satu dengan tatapan sinis. “apa benar kalian yang bikin ribut?!”, tanya penjaga itu dengan ketus.

Di antara kami tidak ada yang berani menjawab. Kemudian aku memberanikan untuk bicara. “maaf pak kami cuma anak muda yang kebingungan dan kami sedang panik, kami cuma butuh kejelasan akan nasib kami”, aku menjelaskan situasi dengan merendah.

“bohong!, mereka pemberontak, mereka cuma mau kabur dari bunker ini!, saya sudah curiga dari awal!”, bilang bapak-bapak bertubuh gempal. Lantas kami tidak terima Nizar pun membela diri, “ kami ga ada maksut apa-apa, apalagi mau kabur!”.

“bohong!”, usir pak, hukum saja para berandalan ini”, teriak orang-orang menyudutkan kami lagi. “sudah diam semuanya!, biar kami, petugas yang bertindak!”, bilang penjaga. Kemudian dia menoleh ke arah kami, “kalian semua ikut saya!”, petugas itu memaksa kami.

“jangan pak!”, Pak Boy tiba-tiba angkat suara.

“memang mereka yang memicu keributan tapi tidak mutlak salah mereka kok, mereka cuman berselisih dengan salah satu warga yang ujung-ujungnya memancing emosi masing-masing, tapi sebetulnya yang salah itu saya, saya yang bikin mereka panik.

Mereka kan enggak tau apa-apa, enggak tau keadaan kota tempat tinggal nya, saya ceritakan kejadian di Boyo city dan mereka panik, jadi yang salah saya kok pak”, pak Boy bermaksut membela kami.

“hmmm, apa benar kata bapak ini?”, tanya penjaga itu. “iya pak.. saya saksi pak”, Ismail membela dengan suara cadel dan tidak jelas.

penjaga itu pun bingung dengan suara Ismail . “ini teman saya pak, maaf bicaranya emang ga jelas, tapi dia dan saya saksinya”, kata salah satu teman Pak Boy. Di susul 13 orang kawan Pak Boy yang setuju menjadi saksi bahwa kami bertujuh tidak bersalah. “bawa kami saja pak, biar para anak muda ini di sini”, bilang salah satu kawan Pak Boy.

Setelah beberapa menit berpikir akhirnya penjaga itu melepaskan kami. Tapi menahan Pak Boy dan 13 orang temannya. Ismail tidak ikut di tahan, mungkin karena penjaga itu iba di karenakan fisik Ismail yang memang pendek kecil, kurus, dan bersuara “aneh”. Kami pun merasa tidak enak dengan Pak Boy yang “mengorbankan diri” agar kami tidak di tahan.

“pak kenapa kamu membela kami?”, bilangku. “ssst, diam saja ”. Bisik Pak Boy. “hei, pak kenapa anak-anak muda pengacau itu tidak di bawa juga?”, protes bapak bertubuh gempal yang tidak terima kalau kami tidak jadi di tahan penjaga. “mereka diam di sini”, bilang penjaga.

“pak, dia juga salah satu yang bikin keributan”, ujar Pak Boy sambil menunjuk ke arah bapak bertubuh gempal. “hei, kamu jangan nuduh saya ya!, jelas anak -anak ini yang mengacau!”, bapak itu tidak terima, dia mencengkram leher Pak Boy. “hei, sudah!, bapak juga ikut saya!”, penjaga pun juga menahan bapak bertubuh gempal itu.

Pak Boy beserta kawan kawannya, dan juga bapak bertubuh gempal di gelandang keluar ruangan oleh para penjaga. Kami agak lega bapak gempal itu juga di tahan karena memang dia provokator. Entah bagaimana kalau dia masih di sini seruangan dengan kami. Mungkin kami bisa-bisa di keroyok lagi oleh warga akibat hasutan bapak itu.

Memang Alwi salah, dia bertindak ceroboh namun sekarang dia sudah tenang dan diam. Suasana ruangan menjadi kelam bagi kami. Orang-orang menatap kami dengan sinis. Akibat pertikaian tadi, tampaknya orang-orang di sini seperti termakan hasutan bapak gempal, atau memang mereka marah karena komentar pedas Alwi tadi. Dan aku penasaran pak Boy di apakan oleh tentara itu?.

Mungkin Ismail tahu sesuatu. “hei Ismail, bagaimana dengan pak Boy dan yang lainnya? Apa mereka di hukum?”. tanyaku. “ tidak apa apa, santai ”, jawab Ismail sambil tertawa cengir. aneh.

Waktu sudah menunjukan pukul tiga dini hari. Bager, Nizar, Alwi, Ragol, dan Mo mereka semua tidur.

Aku masih belum bisa tidur, masih belum bisa tenang dengan apa yang terjadi sekarang. Tiba tiba Ismail menggugah ku “ tunggu sebentar lagi”, ujarnya. Aku bingung apa maksutnya?.

Kemudian Ismail menggedor pintu

Penjaga di luar membukakan, Ismail bilang ingin ijin ke toilet, penjaga mengantarnya ke toilet. Sudah 15 menit berlalu Ismail belum datang juga. Ruangan tampak sunyi karena hampir semua orang tidur. Tiba-tiba aku mendengar seperti suara tembakan dan ledakan dari luar.

Apa itu? Apa yang terjadi?. Tak lama kemudian pintu terbuka. Ismail dan salah satu kawan Pak Boy memanggilku mengisyaratkan untuk mengikutinya keluar. Aku membangunkan teman teman.

“hei, mau kemana? Mana penjaga nya?”, tanyaku. “Ikut saya”, bilang kawan Pak Boy. Ketika kami keluar, beberapa orang mencoba menghentikan kami. Tapi kami lebih dulu keluar dan mengunci pintu.

Di luar tampak sepi, petugas medis yang sebelumnya bertugas mengecheck warga tidak ada, begitu juga penjaga militer. “hei kemana semua tentara itu?”, tanya Nizar. Ismail dan kawannya tidak menjawab dan mengisyaratkan kami untuk mengikutinya.

Setelah keluar dari bunker, kawan Pak Boy mengisyaratkan kami untuk kabur lewat hutan di seberang posko karantina ini. “ mau kemana kita? ”, tanyaku “ kalian lari duluan, ikuti jalan ini Sampai ke hutan di seberang, Ismail akan mengantarkan kalian”. bilang kawan Pak Boy.

Ismail menuntun kami berjalan pelan ke belakang posko. Setelah melewati posko, kami melihat puluhan tentara terlibat situasi tembak-menembak. Apa yang terjadi?.

“ayo lewat sini”, Ismail menuntun kami mengitari jalan, kami berlari pelan sambil merunduk di belakang mobil-mobil yang terparkir di sisi jalan.

Kami berlari menghindari sorotan dari para tentara. Saat kami sudah hampir melewati wilayah belakang posko tiba-tiba,

“hei, kalian mau kemana?!!, “ teriak penjaga. kami ketahuan. “LARI GUYS!!”, teriak Nizar.

Kami semua berlari. “berhenti!, atau kami tembak!”, teriak penjaga sambil menodongkan senapan ke arah kami. Kami semua terus berlari sekencang mungkin tanpa melihat ke belakang.

“dor-dor!”, para tentara itu menembaki kami aku tetap berlari sekencang mungkin, di depanku Ismail lari dengan cukup gesit. Aku melihat ke belakang Nizar, Bager, dan Alwi juga sekuat tenaga berlari. tapi aku tidak melihat Mo, Fadil, dan Ragol. “Mana yang lain?”, tanyaku sambil berlari.

“jangan berhenti Rif!, Tetap lari, yang lain menyusul di belakang!”, sahut Bager. Bager,Nizar,Alwi terus berlari ke depan mengikuti Ismail. Aku berbalik arah, aku ingin memastikan bahwa Fadil,Mo, dan Ragol juga mengikuti.

aku mencari mereka ke arah dekat lapangan luas di mana para tentara sedang adu tembak. Aku mengendap dengan berhati-berhati di belakang mobil-mobil yang terparkir. Terlintas dua orang tentara berlari melewatiku, mereka tidak melihatku. Tentara itu mengejar , Bager, Alwi, Nizar. Semoga mereka baik-baik saja.

“dor-dor!”, tembakan demi tembakan terus berdatangan. Sungguh suasana yang menegangkan, dengan jantung yang berdebar debar aku pelan-pelan menyelinap.

Ketika aku menoleh ke arah lapangan tempat adu tembak terjadi, aku melihat beberapa kawan pak Boy.

Sulit di percaya ternyata pak Boy dan kawanannya yang memicu kericuhan ini. Mereka bersenjata. Saling tembak-menembak dengan tentara. Suatu pemandangan yang mencengangkanku, biasanya aku melihat adegan ini cuman di film dan televisi. peluru berterbangan di mana-mana. Tiba-tiba tangan seseorang mencengkram pundakku.

“hei!, kok masih di sini? Cepat lari ke hutan!”. Ternyata pak Boy. Aku belum sempat menghela nafas karena tegang, pak Boy menarikku untuk bersembunyi ke balik tumpukan kayu-kayu dan rerongsokan besi.

“kamu sudah di beri instruksi oleh anak buahku kan untuk lari ke hutan, kenapa masih di sini?”, bilangnya. “i..iya pak, sebagian temanku sudah menuju hutan tapi tiga orang yang lain terpisah”.

“oh ya? Di mana ?”, tanya pak Boy, aku menjelaskan keadaan ketika kami berlari sembunyi-sembunyi mengikuti Ismail sampai di wilayah belakang posko ini dan akhirnya kami ketahuan para penjaga dan kami berlari sekencang mungkin dan di situlah aku kehilangan Fadil, Mo, dan Ragol.

“Tunggu di sini jangan kemana – mana!”, pak boy menyuruhku untuk tetap bersembunyi. Tapi aku tidak mau tinggal diam. Aku pelan-pelan mengikuti Pak Boy,

Pak Boy berlari ke arah sisi lapangan ,aku mengikutinya sambil menjaga jarak.

Pak Boy mendatangi seorang anak buahnya yang menembaki tentara, dari sudut yang tidak terlihat . pak Boy sedang menginstruksikan sesuatu kemudian anak buahnya berhenti menembak dan pergi. Mungkin pak Boy menyuruh anak buahnya untuk mencari 3 orang temanku.

pak Boy mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang tergeletak di tanah, tas itu milik anak buahnya yang tadi.

ia mengeluarkan beberapa benda sebesar buah mangga, aku tidak terlalu jelas melihatnya karena aku berada agak jauh di belakang pak Boy, dan juga suasana saat itu gelap sekali. Pak Boy menarik semacam pelatuk dari benda itu, Granat!, dia melemparkan 3 granat langsung ke arah tengah lapangan yang ada puluhan tentara.

“DUAAAAR!!!” ledakan yang cukup dahsyat. Aku menjatuhkan tubuh ke tanah. aku tidak dapat melihat sekitar karena debu dan pasir terhempas kemana-mana akibat ledakan granat tersebut. Aku berusaha membuka mata, walaupun sedikit perih tampak samar-samar seseorang lari ke arahku dan membantuku berdiri, membopongku dan menuntunku berjalan.

saat mataku mulai bisa melihat sekitar, ku lihat pak Boy. dia yang membantuku berdiri.

“jangan di sini ayo aku antar ke hutan”, bilangnya. Kulepaskan tangan pak Boy yang membopongku, dan berhenti. “tunggu dulu, aku tidak akan kemana mana sebelum aku bertemu tiga orang temanku”, aku memaksa. “jangan bodoh, ini waktu kamu untuk lari, temanmu sudah di cari anak buahku ”, ujar pak Boy.

Terdengar suara teriakan beberapa tentara dari arah tempat pak Boy melempar granat tadi. Kelihatannya para tentara itu mengejar kami. Aku dan pak Boy berlari, pak Boy menarikku bersembunyi di balik mobil SUV.

“Diam di sini dan jangan bersuara!”, kata pak Boy. Dia menarik sebuah handgun dari sabuk belakang celana jeansnya yang tertutup jaket. Dari mana dia dapat senjata-senjata ini? Siapa pak Boy ini sebenarnya?

Para tentara yang mengejar kami mulai dekat ke arah mobil SUV tempat kami bersembunyi, ada tiga tentara. Pak Boy mulai membidik. “dor!,dor!,dor!”, tiga tembakan tepat ke arah dada, tiga tentara itu langsung tewas.

Aku tercengang dengan mulut menganga, aku belum pernah melihat adegan penembakan atau pembunuhan seperti ini seumur hidupku.

“ayo!”, bilang pak Boy sambil mereload peluru handgunnya. Aku masih belum bisa bergerak, masih kaget. tapi rasa penasaranku membuatku bertanya kepada pak Boy, “pak, si.. siapa kamu sebenarnya?”. Pak Boy Cuma menatapku sambil diam. “ tidak ada waktu untuk menjelaskan, sekarang waktunya lari ayo!”, bilangnya.

Kami berdua lari, pak Boy mencoba mengantar ke arah hutan untuk kabur. Tapi aku tidak ingin kabur, aku ingin pastikan keselamatan Mo, Fadil, dan Ragol.

“Pak!!”, terdengar panggilan seseorang dari belakang, dia lari menyusul kami. “Lapor!”, ujar anak buah pak Boy. “tiga pemuda itu telah tertangkap pak!”, kata anak buah pak boy.

“apa?! Di mana mereka?!”, tiba tiba aku membentak, aku secara tidak sengaja memebentak karena kaget, bagaimana tidak , ketiga orang temanku di tangkap.

“kamu diam saja, biar saya yang urus”, ujar pak Boy. Aku tidak tenang, bukannya tidak yakin dengan bantuan pak Boy tapi aku ingin memastikan sendiri keadaan mereka bertiga...

Terpopuler

Comments

anggita

anggita

Boyo🐊 City

2023-08-08

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!