Kilauan cahaya dari lampu besar tepat di atasku yang menyilaukan mata menghiasi ruangan putih yang berisikan peralatan medis dan sebagainya. Kursi panjang yang punggungnya dapat di gerakan menjadi alas tempat dudukku. Aku tidak memakai baju, kulihat di tangan dan tubuhku selang-selang infus, dan semacamnya menempel. Penuh pertanyaan menumpuk di kepalaku, mengapa aku bisa berada di sini?.
Aku melihat sekeliling mencoba mencari tahu, pemandangan serba putih dan ada sebuah kaca yang memisahkan tempatku berada dengan ruangan di luar. Semua ini tampak seolah-olah pandangan semu, ku gerakkan tubuhku dan berusaha turun dari kursi besar panjang, namun tubuhku tidak berkompromi dengan pikiranku, aku tidak bisa bergerak.
Kepalaku terasa sakit, pandanganku seakan memudar, pendengaranku terasa tidak jelas, kulihat dari kaca besar yang memperlihatkan dua orang seperti sedang berdebat. Seorang wanita dan satu lagi pria memakai jubah putih. Aku tidak bisa melihat jelas wajah mereka, kubuka mulutku kupaksa untuk teriak dan bertanya kepada mereka namun tenggorokanku seakan tersedak.
Pria berjubah putih membuka pintu dan masuk ke ruanganku, wanita yang berdebat dengannya hendak menyusul namun di tahan oleh seorang pria berbadan besar. pria berjubah putih ini berjalan pelan menuju tempatku yang duduk terbaring. Suara langkah kakinya terdengar samar namun pasti. ia mengambil sebuah kertas yang ada di meja di seberang tempatku.
Setelah mengamati kertas itu, ia perlahan menghampiriku, pandanganku masih samar, aku tidak bisa melihat dengan jelas wajahnya, yang bisa kupastikan dia memakai masker putih. bibirku kubuka dan kugerakkan namun suaraku tak kunjung keluar. Pria ini mengarahkan tangan kanannya dengan perlahan ke arahku, aku ingin menghindarinya, mungkin saja dia orang jahat namun tubuhku tidak bisa kugerakkan.
Tangan kanannya menyentuh pundakku, tangannya memakai sarung tangan dan terasa dingin, dia menepuk-nepuk pundakku. Ku tatap matanya yang mengarah dekat denganku, tapi aku tidak bisa menangkap sorotan matanya, aku tidak bisa mengenalinya, pandanganku masih kabur. Kemudian pintu terbuka secara paksa, wanita yang tadi berada di luar dan di tahan, memaksa masuk.
Rambutnya panjang dan di ikat ala ponytail, tapi aku tidak bisa melihat wajahnya. Wajahnya terlihat datar karena pandanganku yang kabur. Ia berusaha mendekatiku, tangannya berusaha menggapaiku, pria bermasker pun menghalanginya..
wanita ini terus melawan, dan dia memanggil namaku, sontak aku kaget, kenapa dia bisa tahu namaku, aku tidak mengenalinya, wajahnya tidak bisa kulihat dengan jelas, suaranya pun terdengar samar. Namun aku tahu ia memanggil namaku, dia berusaha mendekatiku dan melawan pria bermasker putih yang menghalanginya, dua orang pria berbadan besar masuk dan menarik wanita ini untuk di bawa keluar, wanita ini terus melawan.
Ia terus melawan dan terus memanggil namaku, “rif.. rif.. rif.. rif.. rif.. rif.. rif..”, suaranya semakin terdengar menjauh, penglihatanku makin kabur dan ruangan in terasa berputar terbalik, “ rif..rif..rif..rif!”, perlahan suaranya berubah dan menjadi sebuah suara pemuda yang ku kenal, pandanganku semakin memudar dan gelap. “rif!, bangun rif!”, suaranya membangunkanku dari tidur, aku pun terbangun dengan kaget dan teriak. “hei, kenapa rif?”, tanya Mo yang membangunkanku.
“mimpi buruk ya?”, tanya Mo. aku tidak menjawabnya karena aku masih tidak bisa fokus, mimpi tadi masih membayangiku, jantungku berdegup kencang, tubuhku basah dengan keringat. Setelah beberapa detik ku tenangkan diriku. Baru aku mulai bisa fokus, aku mulai sadar aku berada di dalam mobil sedan tua, aku sedang dalam perjalanan untuk mencari pertolongan untuk temanku yang terluka.
“Ragol!, gimana keadaanya?”, aku bertanya sembari memeriksa Ragol yang terbaring di sebelahku. “tidak apa-apa, dia tertidur”, ujar Mo. kulihat Ragol memejamkan mata dan ya, dia terlihat tertidur, balutan luka di pundak kirinya masih menempel, darah yang sebelumnya mengalir, pelan-pelan tersumbat.
“hei, kita udah nyampe mana?”, tanyaku. Fadil dan Mo tidak menjawabku, saat kulihat pemandangan di luar, hari sudah gelap, sangat gelap. Gelapnya malam sangat memekat, hampir tidak kelihatan apa-apa, hanya sorotan lampu mobil yang kita tumpangi menerangi jalanan. Aku kira kami masih belum masuk ke kota, lampu jalanan mati, membuat kami dan mobil yang kami naiki sendirian di tengah jalanan yang gelap dan sunyi ini.
" dimana ini?”, bilangku. Mo memberiku sebuah senter dari dashboard mobil, “buka jendelamu”, ujarnya sembari menyuruhku untuk melihat keluar dengan menyalakan senter. Ketika kusorot keluar dengan senter, aku sungguh terkejut. Aku melihat sesuatu yang sangat mengagetkanku dan membuat bulu kudukku berdiri.
Sebuah bangunan yang rusak berat begitu juga trotoar dan lampu jalanan di pinggir jalan. Aku kenal bangunan ini, sebuah pusat perbelanjaan di boyo city aku pernah belanja di sini, salah satu pusat perbelanjaan yang cukup ramai . Ada apa ini? kenapa bisa hancur begini?. Aku lihat sekeliling sangat gelap dan sunyi, tidak ada orang sama sekali.
“apakah ternyata pak Boy benar tentang boyo city?”, aku mengeluarkan pertanyaan putus asa aku tidak bertanya kepada Mo dan Fadil, aku bertanya kepada diriku sendiri. Seolah harapanku sirna ketika melihat pemandangan suram dan mencekam ini.
“pasti ada orang, kita cari rumah sakit”, ujar Fadil menjawab pertanyaan putus asaku tadi. Ia terus mengemudikan mobil di bawah gelapnya jalanan, hanya lampu mobil yang menerangi perjalanan kami. malam hari ini benar-benar gelap, suram, dan menyeramkan. Harapanku akan keadaan di boyo city seoalah sirna, melihat sekelilingku sisi kota sunyi sepi dan hancur.
Harapanku tentang keluargaku terus kupertahankan, karena aku yakin keluargaku baik-baik saja, dan setelah mengantar Ragol ke rumah sakit aku akan pulang menemui keluargaku, dan aku akan beristirahat karena tubuhku sudah capek dengan semua pengalaman mengerikan ini.
Kami terus mengarungi jalanan kota yang suram ini dengan sedan tua. Fadil sedikit menaikan laju mobil. Kami pun memasuki distrik 9, Suasana di sini sama persis dengan apa yang kulihat tadi. Di seberang ruas jalan, kami melihat sesuatu yang cukup melegakan.
Tempat tujuan kami, rumah sakit central meds, lampu gedungnya masih menyala. Walaupun bangunan dan rumah-rumah lainnya gelap dan seakan kosong. Fadil pun memutar balik mobil menuju ke rumah sakit itu. ketika sampai di depan rumah sakit, kami melihat keanehan. Memang rumah sakit ini lampu-lampunya menyala, namun tidak ada aktivitas di sekitar rumah sakit.
Sepi dan sunyi seperti di perjalanan tadi. Tidak ada satpam di pos penjagaan, halaman parkirnya kosong cuma ada sebuah ambulan, tapi tidak ada tukang parkir yang menjaga. Tidak ada seorang pun di luar area rumah sakit ini. Pintu masuk rumah sakit terbuka, tembok bangunannya retak dan kotor setahuku rumah sakit central meds ini bangunannya terawat dengan baik.
“ayo cepat bopong Ragol”, ujar Fadil setelah memarkir mobil. “dil, apa gak aneh dengan rumah sakit ini? sepi banget lho”, ujar Mo. “lihat lampu-lampunya menyala, kita gak tahu kalau kita gak masuk, ayo bantu aku bopong Ragol”, ujar Fadil mengajak Mo membopong tubuh Ragol yang masih belum siuman. Aku pun membantu mereka menurunkan Ragol dari mobil.
“rif, duluan ke resepsionis, konfirmasi buat ruang UGD”, ujar fadil. aku masuk, dan melihat sekeliling. Ada yang janggal, ruangan ini kosong. Kutuju meja resepsionis, tidak ada petugasnya. Sampai aku melihat di balik meja, hanya ada kursi dan kertas-kertas yang berserakan di lantai.
“tidak ada petugasnya”, ujarku. Fadil dan Mo berjalan membopong Ragol dan tidak menghiraukanku. “ kemana?”, ujarku. “ayo, bantu aku, kau jalan di depan cari di mana ruang UGD!”, seru Fadil. “dil, apa ini tidak mencurigakan bagimu?, lihat sekeliling sepi sekali”, ujarku.
“sudah rif, gak usah banyak omong, Ragol nih kalau di biarin makin gawat, ayo, aku yakin pasti ada dokter di sini!”, sahut Fadil. aku pun berjalan di depan membuka pintu masuk ke ruang utama dan mencari ruang UGD. Fadil dan Mo di belakang menungguku.
Aku mencari papan penunjuk di ruangan ini, namun tampaknya papannya telah rusak. Ku lihat sekeliling ruangan yang sepi dan mencekam, ada beberapa spot yang masih di sinari lampu. Di depanku ada kertas kertas yang menempel di dinding yang ternyata adalah denah rumah sakit ini.
Ku cari di mana ruang UGD yang menurut denah ini Naik satu tingkat lagi. Ku panggil Fadil dan Mo yang membopong tubuh Ragol. “kita cari lift aja”, ujar Fadil. tak lama kemudian kami pun menemukan sebuah lift yang tampaknya masih bisa beroperasi. Ketika ku tekan tombol naik, lift itu tidak merespon.
“kayaknya yang ini rusak deh”, ujar Mo. kemudian kami pun kembali mencari lift di area yang lain. Kami melewati sebuah lorong yang sangat gelap, karena di sini tidak ada lampu yang menyala, beda dengan ruangan yang sebelumnya. aku pun menyalakan lampu flash dari hape ku yang batreinya tinggal sedikit, namun masih bisa di gunakan.
Ketika melewati lorong ini, entah tiba tiba mengapa bulu kudukku merinding, perasaan buruk tiba tiba menghampiriku. apa karena ruangan ini gelap dan juga karena ini rumah sakit, jadi kesannya angker, di tambah lagi rumah sakit ini terlihat kosong dan sunyi.
Aku memang bukan tipikal orang yang terlalu takut dengan hal hal mistis, dan aku juga bukan seorang indigo tapi perasaan ini beda, seakan ada sesuatu di ruangan ini. aku pun berjalan pelan di depan Fadil dan Mo yang menggendong Ragol. Lampu flash hape ku arahkan ke depan lorong yang sempit ini.
Lift yang kami cari tepat berada di pojok setelah lorong ini. ******* nafas Ragol yang tertidur naik turun karena menahan rasa sakitnya terdengar jelas, suara dentuman sepatu kami juga terdengar jelas. seakan menggambarkan begitu sunyinya lorong ini.
Ketika hampir sampai di ujung lorong gelap ini, aku menghentikan langkahku. Entah kenapa perasaanku yang dari tadi tidak enak semakin memburuk, jantungku pun semakin berdebar-debar, bulu kudukku kembali merinding. Mataku seoalah menuntun leherku untuk menoleh ke arah ruangan di sebelah kananku
Lampu Flash ku mengarah ke papan bertuliskan “kamar operasi II”. Dari luar ruangan itu tampak suram dan menyeramkan, pintunya terlihat sangat rapuh. “hei rif, ada apa kok berhenti?”, tanya Fadil. aku tidak menggubrisnya, aku masih diam melihat ruangan itu, entah kenapa. Seperti ada sesuatu di balik ruangan ini.
“hei, rif, kau mau diam saja di situ atau mau membantu Ragol?!”, tegur Fadil. suaranya cukup kencang hingga berhasil memalingkan pandanganku dari pintu ruangan yang aneh itu. kami pun kembali berjalan. Di langit langit terdapat sebuah kamera CCTV, namun tampaknya tidak terpakai. Di depan kami lift yang kami cari pun terlihat. Ku tekan tombol naik ke atas, namun lift yang ini tampaknya juga tidak jalan.
“waduh gimana nih? Apa ada lift lagi?”, ujar Mo. “tidak, di lantai ini hanya ada dua lift menurut denah tadi, ada sih tapi lift barang, di parkiran basement , cukup jauh kalau kita jalan ke sana dengan menggendong Ragol, itu pun juga kalau lift nya juga bisa”, ujarku.
“kita pakai tangga aja”, ujar Fadil. kami pun mencari tangga yang tidak jauh dari ruangan yang ada lift tadi. Ruangan di sini juga sunyi dan kosong, ada sebuah lampu yang kedap-kedip menjadi satu-satunya penerangan di sini. Tangga yang kami cari tertutup oleh papan bertuliskan “SEDANG DI RENOVASI”.
Ku lihat ke atas pun tampak gelap sekali. “percuma saja , tangganya kayaknya tidak bisa di naiki, mending kita cari rumah sakit lain aja, di sini gak ada harapan, kosong”, ujarku. “nggak, aku yakin di sini ada orang, setidaknya di ruangan UGD ada peralatan medis,kita bisa pakai obat di situ,gak ada waktu kalau kita buat jalan lagi cari rumah sakit lainnya, lihat wajah Ragol yang makin pucat!”, ujar Fadil yang bersikeras ada orang yang bisa membantu di sini.
“mungkin Syarif ada benarnya dil, kita cari rumah sakit lain aja”, bujuk Mo. “nggak, kita udah sampai di rumah sakit, aku gak mau ngambil resiko keluar lagi, aku mikirin pertolongan pertama buat Ragol, kita balik aja ke ruangan utama, di sana ada bilik obat-obatan, mungkin ada sesuatu yang bisa kita gunakan”, ujar Fadil.
Di saat kami melewati lorong yang tadi, kembali bulu kudukku merinding, firasatku kembali menjadi tidak enak. “grek-grek!”, gagang pintu ruangan tiba tiba bergerak, seakan ada seseorang di dalamnya. “grek-grek!”, “hei, ada orang di dalam!”, ujar Fadil..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments