“
Mantab kopinya!” seruan kumpulan pemuda yang lagi asyik-asyiknya menikmati kopi di tengah-tengah liburan panjang. Aku, dan 6 pemuda lainnya berkumpul di sebuah rumah peristirahatan di kawasan desa pondoan. Suasana yang alami pegunungan yang memanjakan mata, hawa yang sejuk di tambah keramahan penduduk sekitar membuat villa ini menjadi pilihan kami di tiap liburan.
Kami sebenarnya cukup beruntung karena tidak harus mencari villa komersil, bisa di bilang ini villa “gratisan”. di bilang gratisan karena villa ini milik teman kami yang sudah pindah ke luar kota, jarang di pakai, kami pun memanfaatkannya di setiap liburan. Tinggal datang dan menempati tanpa harus merogoh kocek dalam-dalam. Paling tidak kami hanya memberi “uang terima-kasih” secukupnya kepada penjaga villa.
Villa yang cukup sederhana tapi alami ini tidak begitu besar, bangunannya pun terbuat dari bambu, cuma berisikan satu kamar, satu dapur kecil yang bisa di buat eksperimen masak-memasak, satu kamar mandi dan satu ruang tengah. Di belakang villa ada kolam berukuran 5x5 namun sudah tidak terpakai.
Lokasinya yang berada di dekat pegunungan membuat sinyal handphone susah terjangkau, minimnya fasilitas, tidak ada tv, lampu juga tidak terlalu terang. Namun ini yang membuat kami nyaman berlibur di sini, membuat kami terisolisir dari dunia luar, dunia yang padat dengan aktifitas, padat dengan masalah.
Seringkali kami rasakan euforia, sampai-sampai melakukan hal yang gila. Bermain kartu remi tanpa busana di pinggir kolam belakang, sampai-sampai berburu tokek dengan senapan angin milik penjaga villa haha, wajarlah sekelompok pemuda yang berkumpul bersama melepaskan kepenatan dan stress.
“Rif mana korekku?!”, panggil seorang teman kepada saya. Rif, itu nama panggilanku, oh ya aku belum memperkenalkan diri, nama lengkapku Syarif, dan yang memanggilku tadi bernama Alwi. “nggak tau, aku nggak lihat ”. Seruku, karena memang aku tidak mengambilnya, sebagai catatan di sini kalau ada korek api tergeletak sembarangan siap-siap saja kehilangan. Kebiasaan buruk kami yang mayoritas perokok.
“ayo lah itu satu satunya korekku” rengek Alwi. Dari dalam kamar terdengar gelak tawa. “Hahahaha, makanya jangan lengah!”, . Suara Bager yang memang usil. “Hahahahaha dari tadi nggak sadar sadar dia hahahaha!” disertai celetukan Nizar. “bajingan, kembalikan!, Itu korek hadiah dari kakak ku”. Sahut Alwi tidak terima sembari bergegas masuk ke kamar memeriksa Bager, dan Nizar.
Beginilah kekonyolan kami sejak hari pertama, siang ini di hari ke enam tetap saja selalu ada hal yang membuat tertawa. Aku mengambil kopi susu secangkir dan sebatang rokok menuju ruang tengah persis di depan kamar yang ramai dengan keributan kekonyolan Alwi, Bager, dan Nizar.
Aku menuju ke teras belakang dekat kolam, terbaring sosok pemuda dengan suara ngorok yang mengganggu, dia Ragol kerjaannya memang tidur, dari hari pertama kebanyakan waktunya cuman di isi dengan tidur.
Ku duduk bersandar di lemari usang yang tidak terpakai, menikmati paduan kopi dan rokok, di depan terhampar pemandangan yang melegakan, di pinggir kolam terdapat hamparan dedauanan yang hijau, yeah sungguh nikmat.
“duh, sinyal hilang lagi!”. Suara Dari arah atas dekat dengan kolam belakang villa kami. suaranya terdengar sampai ke bawah tempat ku duduk santai. “kenapa mo? Sini ngopi dulu!”, teriakku.
Kemudian Mo turun ke teras duduk di sebelahku, dengan jaket tebal warna biru yang tidak pernah di lepas, dia mengambil rokok ktetek dari saku jaketnya . “Kenapa ya sinyalnya? Kemarin aku telfon masih enak enak aja”, ujar Mo sembari menyalakan rokok.
“emangnya kamu telfon siapa?” tanyaku, “biasa, aku telfon pacarku”, sahut Mo. “Emang pacar mu yang lain juga nggak bisa di telfon?” aku bertanya begitu karena memang Mo banyak teman wanitanya, ya, bisa di bilang di antara kami dialah Don Juan nya.
Wajahnya memang tidak terlalu tampan, penampilannya terkesan old fashioned, namun ada something yang membuat wanita tertarik kepadanya. “Sama aja, tetap nggak bisa, lama lama tambah parah sinyalnya”, sahut mo.
Dari arah dapur tercium bau ayam goreng yang lumayan menggoda, “ayo guys, kita makan!” teriak Fadil, dia memang yang paling rajin dalam hal masak. Aku dan Mo pun bergegas menuju dapur, di susul bagir, Alwi, dan Nizar.
Kebetulan kami semua belum makan. Kami mengambil seporsi ayam dengan sayuran. Makan bersama-sama di ruang tengah. Sambil bercanda tawa. “Ger makan yang banyak biar nggak kaya orang cacingan”. Canda Nizar ke Bager. “ngaca bro, berasa badannya seperti Ade Rai”, sahut Bager tak terima.
“ sesama binaragawan jangan berkelahi, makan dulu nih”. Canda Alwi di sertai gelak tawa kami. Bager dan Nizar memang berperawakan kurus. “Eh, Ragol nggak di bangunin?” tanya Fadil sambil membangunkan Ragol. Fadil dan Ragol adalah saudara. Wajar Fadil sangat peduli. Setelah makan kami semua sholat Maghrib berjamaah. “ayo guys siap siap setelah ini kita pulang”. Ujar Nizar.
Sebenarnya kami masih asyik, masih nyaman di villa ini. Tapi banyak yang dari kami tidak bisa berlama-lama, karena harus melanjutkan aktifitas rutin. Rata-rata dari kami sudah bekerja. Jadi seminggu cukup buat kami.
“Duh jaringannya dari tadi nggak bisa,” protes Alwi. “Telepon selular, WhatsApp, nggak bisa, internet juga”. Nizar mengiyakan. Semua tampak mengeluh dengan jaringan sinyal, kami sebentar lagi pulang, ingin mengabari keluarga dan kerabat di boyo city, kota tempat tinggal kami. Tetapi dari pagi sinyal jelek.
Tidak dapat mengakses internet, sosmed, dan yang lainnya. Memang villa ini terletak di kawasan pelosok pedesaan dan sinyal seringkali susah di dapat. Namun dalam 3 hari terakhir, terutama hari ini begitu berbeda .
”kan memang di daerah pegunungan, mungkin nanti kita turun ke bawah sinyal sudah ada” sahutku. “. Aku mengepak barangku, mengambil dan melipat kaos t-shirt di halaman depan villa yang aku jemur di gantungan dan celana jeans junkies.
Ku berjalan masuk ke kamar, ada Ragol yang segar sehabis mandi, jarang-jarang melihat Ragol begitu, biasanya dia sering tidur dan terlihat lesu. Di dapur Nizar dan Fadil sibuk bersih-bersih, mencuci piring-piring kotor bekas makan siang kami. Alwi dan Bager membersihkan ruang tengah bersama-sama menyapu lantai ruang tengah yang penuh dengan tumpahan abu rokok.
Di dalam kamar Mo mengatur kembali kasur lipat, yang kami pakai tidur, aku pun membantunya mengembalikan bantal-bantal, selimut kembali ke lemari kecil di pojok kamar.
Tak lama terdengar adzan magrib dari masjid yang tak jauh lokasinya dari villa.
Menandakan waktu sholat magrib dan waktu kami untuk segera berangkat pulang. Seusai sholat Nizar, Mo, Ragol, dan Alwi memanaskan mesin Motor. Aku duduk di ruang tengah dengan Bager, dan Fadil. Kira-kira 20 menit kemudian tibalah pak Rohim pria paruh baya, berkaos lusuh sambil memanggul cangkul menandakan pekerjaannya sebagai petani.
Kami semua pamit dan mengucapkan terima kasih pada Pak Rohim, tak lupa juga kami memberi uang ucapan terima kasih kami, setelah memakai villa yang sudah seperti milik kami.
Aku menggunakan jaket, tak lupa memakai masker mematuhi protokol kesehatan, aku di bonceng oleh Nizar, Bager dengan Mo, Fadil dengan Ragol, sedangkan Alwi berkendara sendiri. Untuk santai di jalan menikmati perjalanan pulang aku memakai earphone mendengarkan list lagu dari handphone.
Kami bertujuh berkendara beriringan dengan kecepatan sekitar 60 km/jam. Hawa malam itu lumayan menusuk, untung kami semua mengenakan jaket dan sweater tebal. Aku dan Nizar berada di tengah, di belakang Mo dan Bager, Fadil dan Ragol, dan di depan Alwi.
Di sekeling jalan tidak tampak satupun kendaraan, jalanan saat itu sangat sepi padahal masih sekitar pukul 7 malam. Mungkin masih suasana pasca PSBB. Sekitar hampir satu jam perjalanan, Fadil meng-klakson kami “guys, ke SPBU dulu ya”. Kami pun semua mengikutinya, mencari SPBU terdekat.
Kebetulan kami semua harus mengisi bahan bakar walaupun cuman masih tersisa separuh. Sekitar 18 menit kemudian kami menemui SPBU. “Loh, ini SPBU nya tutup?”, Fadil keheranan. Kami semua berhenti dan turun dari Motor. Memang sedikit aneh SPBU terlihat sepi, kami melihat dari luar tidak ada aktifitas di SPBU itu. Petugasnya pun tidak ada, aneh memang.
Sebelumnya pada saat perjalanan juga sepi pengendara, seingatku cuman kami bertujuh, tidak terlihat pengendara lainnya.
“Duh, bensinku harus di isi, nggak cukup kalau lanjut perjalanan” Fadil menjelaskan, memang Motornya yang paling boros di antara motor kami. “Ayo kita masuk dulu”, ujar Nizar. Kami pun masuk ke area pom bensin, aneh di sekeliling tidak ada orang, tidak terlihat satupun petugas, seolah-olah sengaja di tinggalkan. “Mana sih ini petugas nya? Haloo mas?!” teriak Fadil. Aku melihat ke mesin pengisi tangki masih menyala, tidak di kunci. Berarti SPBU ini masih di pakai.
Kami pun masih berdiri di dekat mesin pengisi tanki dalam keadaan bingung, bagaimanapun juga motor kami harus di isi bahan bakar. Untuk melanjutkan perjalanan mencari SPBU lainnya tidak mencukupi.
Teruslah Kami mencari petugas SPBU ke sekeliling area, Nizar dan Fadil berjalan keluar area SPBU mungkin para petugas berada di luar SPBU. Bager dan Mo mengikuti Nizar dan Fadil tapi di arah yang berlawanan. Ragol dan Alwi menunggu di halaman SPBU sekalian mengawasi Motor kami.
Aku masuk Ke ruangan kantor SPBU itu, pintu kacanya kebetulan terbuka, Ragol mengikutiku sedangkan Alwi mungkin dia masuk ke mini market di sebelah ruangan ini. Setelah masuk ternyata lampu di sana mati, aku mencari saklar lampu ke sekeliling ruangan tidak ada.
“nih pakai senter hape aja” ujar Ragol sambil menyalakan flashlight dari hapenya yang kemudian aku pinjam. Setelah lumayan terang terlihat ruangan lobby.
Di gantungan sebelah meja ada seragam sekuriti dengan tagname “Budi Andrianto” aku periksa seragam itu, awalnya mungkin ga ada yang spesial dan tidak terlalu penting namun instingku menyuruhku memeriksanya, bahkan memeriksa semua ruangan maybe aku menemukan informasi mengapa SPBU ini seperti terbengkalai.
Setelah aku merogoh seragam itu aku menemukan sebuah kunci. Mungkin ini kunci untuk ruangan di atas,tepat di depanku ada tangga kecil, Aku pun menaiki tangga, Ragol di bawah menggumam karena aku tetap ngotot naik ke atas. Aku memang penasaran.
Di atas terdapat pintu dengan papan nama ruang manajer. Kunci yang aku temukan dari seragam sekuriti di bawah mungkin kunci ruang manajer ini. “Woi Rif”, ternyata Ragol mengikutiku seperti nya dia takut berasa di bawah sendirian. Ku buka pintu, di dalamnya sempit dan gelap.
Beberapa kertas berserakan di atas meja, Di sekeliling lantai juga berserakan dokumen-dokumen, bekas selotip, dan beberapa kotak.
”Ayo deh mending kita turun aja” pinta Ragol. Aku tidak menghiraukannya aku masih penasaran mengapa SPBU ini seolah di tinggalkan begitu saja dan sepertinya ada yang aneh. aku tetap ingin mencari info, ku periksa lemari loker di samping meja, di dalamnya kosong, namun ada sesuatu di bagian pintu loker, ada tempelan kertas, dan foto.
“AAAaargh!!” Ragol berteriak sambil menarik jaketku, hingga aku hampir terjatuh.
“kenapa?!” tanyaku. “ada tikuuus...!!” rengek Ragol.”duh mending kamu turun duluan” perintahku. Tapi Ragol tetap berdiri di belakangku sambil melihat-lihat ke bawah lantai takut kalau-kalau tikus masih berkeliaran.
Aku kembali melihat di balik pintu loker ada foto anak gadis kecil berumur 5 tahun, di sampingnya ada beberapa tempelan clipping koran dengan headline, “Waspada virus COIT 20, penyebaran virus ini sangat cepat”, “Belum ada penyembuh atau pencegah COIT 20”, “Korban harus di isolasi, hindari kontak fisik, bekas makanan dengan penderita
”. Hmmm Ya COIT 20 sudah menyebar beberapa waktu yang lalu .Di bawah juga ada beberapa clipping “kenali gejalanya gejala awal : 1.penderita mulai batuk-batuk 2. Seminggu pertama penderita terkena demam yang sangat tinggi 3. Minggu kedua penderita mulai lemas dan muntah darah, tahap akhir dari pen...” kelanjutannya tidak dapat terbaca karena telah di robek. Mungkin foto gadis kecil ini adalah anak dari manajer SPBU ini yang bisa saja terjangkit virus, entahlah.
“duk-duk-duk”, terdengar suara seseorang menaiki tangga menuju ke arah ruangan kami. “Rif ada orang!,” bisik Ragol. suara kaki berhenti tepat di depan pintu ruangan kami. Seseorang itu mulai mengetuk pintu dengan ketukan yang agak keras. Pintu padahal tidak aku kunci , kenapa dia tidak langsung membukanya saja. Kuberanikan diri untuk membuka pintu “ckreek..” pintu terbuka, Aku mengarahkan flashlight ke arahnya. Sosok itu mulai menyeringai dan berdesis “hhhhhhh..”
“Aaaaarghhh..!!” Ragol menjerit ketakutan. Dia lari ke balakang dan tersungkur karena tersandung kumpulan kotak yang berserakan di lantai. “Hahahahahahah!!”, sosok itu tertawa terbahak-bahak melihat Ragol tersungkur. Sosok itu ternyata si fadil, dia menakut-nakuti kami, di susul gelak tawa Nizar di belakangnya. Ragol berusaha berdiri, aku pun membantunya.
Kemudian kami semua turun ke bawah, Ragol tampak masih pucat dan tidak terima karena ulah Fadil tadi." SPBU ini memang sengaja di tinggalkan, entah kenapa”, aku menjelaskan. Setelah keluar dari kantor itu, si Alwi, Bager, dan Mo menaiki dan menyalakan mesin Motor. “, eh terus bensin motor kita bagaimana?” tanyaku.
Bager dan Mo cuman diam dan tersenyum. Kemudian Fadil menepuk pundakku dan bilang, “santai bro, sekarang SPBU ini kosong kan kita sudah mencari petugas tapi tidak ada jadi kita ambil sedikit”. Ternyata mereka mengambil beberapa liter bensin yang setidaknya cukup untuk perjalanan pulang ya sudah lah aku juga tidak bisa melarang mereka.
“Ayo lanjut berangkat”, bilang Mo. Alwi memanggilku dan memberiku sebungkus snack dan susu kemasan. Aneh sekali dia dengan gampangnya memberi makanan, biasanya yah dia sedikit pelit. “Tumben baik?” tanyaku.
“hehehehe ambil di minimarket, lumayan kan, hehe”, bilang Alwi sambil menunjukan satu kantung plastik berisi beberapa camilan dan beberapa minuman soda. “enggak terima kasih, cukup deh kita mengambil bensin tanpa ijin, aku tidak mau mencuri makanan” aku menolak. “duh gayamu Rif Rif ” celetuk Alwi sambil memasukan snack dan susu kemasan yang aku tolak ke dalam plastik yang di gantung di gagang motornya.
Aku naik ke Motor berbonceng dengan Nizar. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan tampak sepi pengendara, jalanan begitu lancar. Agak sedikit aneh karena tak biasanya sepi seperti ini.
Aku masih bingung dengan SPBU itu ada masalah apa sampai-sampai di tinggal begitu saja, juga virus COIT 20 yang masih berkecamuk di pikiranku, Ku buka browser di hape ingin aku coba googling mencari tahu info terbaru tentang pembatasan sosial bersekala besar yang baru ini di galangkan pemerintah.
****, ternyata sinyal masih down padahal kami sudah berada jauh dari villa.. “tulalit-tulalit-tulalit”, suara yang menandakan bahwa tidak ada sinyal untuk melakukan panggilan telepon. “kenapa sih ini sinyalnya? Apa hari ini adalah hari tanpa sinyal handphone sedunia?”, protes Mo “kita jalan dulu saja, mungkin nanti sampai di perbatasan kota mungkin sinyal sudah pulih”, bilang Nizar. Kami pun kembali melanjutkan perjalanan..
Sekitar 20 menit kemudian kami mulai memasuki kawasan Parang village, perbatasan antar kota. Ada pemandangan yang ganjal, di depan ada ratusan orang berkumpul berdesakan, seperti suatu kamp penampungan. Ada juga puluhan pasukan militer lengkap dengan senjatanya.
Ada apa ini?
Kami di cegat oleh beberapa tentara, motor kami di arahkan ke sebelah kiri jalan. Kami di berhentikan di tenda militer, setelah turun dari motor, kami di suruh berbaris di depan tenda yang di isi beberapa petugas militer.
tampak seorang tentara duduk di kursi tengah mencatat sesuatu, di sebelahnya dua orang berseragam medis, dan satu orang berompi bertuliskan “National rescue team” sedang mencatat dan mengamati sesuatu di atas meja. kami semua mendadak kebingungan, apakah ada bencana atau apakah gerangan?
Perasaan kami campur aduk antara bingung dan ketakutan. “kalian ini dari mana?!”, bilang tentara yang duduk di depan kami, posturnya agak pendek, gempal, berambut cepak, tagname di dadanya bertuliskan “letkol Bambang Murdianto”.
Kami semua masih bingung tidak dapat menjawab. Tentara itu bertanya lagi kali ini dengan nada keras,” hei!!!, jawab!! kalian dari mana??!!”.
Bager memberanikan diri bicara,” emm.. anu pak kami dari pondoan village”, letkol itu kemudian berdiri sambil mendekat ke arah kami yang berbaris.
“keadaan seperti ini kalian malah ke sini, mau kemana kalian?!”, tanyanya. “mau.. mau pulang pak ke Boyo city”, jawab kami serentak. Letkol terdiam mendengar jawaban kami, dia menoleh ke arah bawahan di sebelahnya seperti keheranan.
“maaf pak, tadi kami sempet nyolong bensin di SPBU pak, maaf pak, kami kira sudah ga ada orang di SPBU itu pak kami gak tau apa-apa, kami mengaku salah kok pak, jangan di hukum tolong pak”, Ragol merengek.
“sudah diam! mana surat jalan dan surat vaksin kalian??!”, tanyanya. aku memberanikan diri berbicara, “ maaf pak, kami baru saja pulang liburan kalau boleh tahu ada kejadian apa pak?”.
Si letkol mendatangiku beridiri berhadapan sangat dekat denganku. Nafasnya yang bau menusuk hidung. Dia melotot dan berkata,” kamu jangan main-main!, kamu mestinya tetep di pondoan village saja, kamu di sini mau jadi jagoan?!”
bentaknya.
“tapi pak kami enggak mengerti apa apa, kami cuma mau pulang ke rumah kami” bilang ku lagi. “di Boyo city sudah tidak ada orang!, Boyo city sudah mati!!, sekarang mana surat jalan dan surat tes kesehatan kalian”, bilangnya.
Kami bertujuh masih diliputi kebingungan, kami tidak menghiraukan perintah bapak letkol itu. Apa maksutnya boyo city sudah tidak ada orang?.
“surat!, saya bilang surat!” perintah nya. dia menyuruh bawahannya memeriksa kami dan mengumpulkan ktp kami. “ bawa mereka ke ruang cek medis!”, perintah si letkol ke 4 orang bawahannya. kami bertujuh di giring sampai ke depan sebuah bunker besar. Di atasnya ada tulisan “POSKO KARANTINA COIT 20”.
antriannya cukup panjang. Beberapa orang terlihat histeris dan menangis ketakutan. Aku berada di barisan depan di belakangku Ragol, Nizar, Alwi, Bager, Fadil, dan Mo.
aku bertanya pada bapak bapak di depanku,”maaf pak, ini ada apa ya?”, dia menjawab, “ pemeriksaan virus COIT , ikuti prosedur ya”.
Firasatku benar tentang kaitan semua ini tentang virus COIT 20 yang semakin memburuk . SPBU yang Kami datangi itu juga sepi karena semua petugasnya di amankan di posko ini pastinya.
terdengar suara petugas teriak, “isolasi!”, “negatif”, “isolasi!, “negatif!”. ada seorang ibu-ibu yang menangis karena terpisah oleh anaknya.
Anaknya positif terinfeksi dan terpaksa harus di pisah. “aku mau anakkuu!!..” teriak ibu itu sambil meronta-ronta dan berusaha melepaskan diri dari tentara yang memegangnya. Ibu itu terdiam dan pingsan setelah di bius oleh petugas. pemandangan yang memilukan.
Mo mendatangi tentara yang berdiri berjaga di samping barisan kami. “pak..pak kami ini bersih pak, enggak sakit..tolong lepaskan kami pak..”, “diam!!”, bentak tentara itu sambil menodongkan senapan ke arah Mo. “sudah mo kita ikuti saja prosedur nya”, bilangku kepada Mo. Antrian sudah berkurang sekarang aku berada di belakang dua orang.
Di depanku seorang bapak-bapak berkumis, di depannya lagi seorang wanita memakai masker penutup wajah. Ku lihat di bagian pemeriksaan petugas medis dengan seperangkat alat infus dan puluhan jarum suntik, di bantu oleh dua orang tentara berbadan besar.
Di sebelah kiri terdapat pintu besi, di sebelah kanan juga ada pintu yang sama. “isolasi!”, teriak petugas medis. Wanita bermasker antrian depan di giring oleh tentara masuk ke ruangan di sebelah kiri. Ketika pintu di buka aku nekat maju ingin mengintip isi dalam ruangan itu. di dalam ada kira kira puluhan orang terbaring di lantai, terdengar raungan “aaaaargh.. aaaargh” , “keluarkan kami!”.
Aku sempat melihat seorang ibu-ibu berwajah pucat, mata merah, bibir basah penuh dengan air liur sedang merangkak ke arah luar ruangan, merangkak pelan ke arahku. tentara di belakangku maju dan melumpuhkannya dengan senapan listrik. mengerikan sekali!.
“hei kamu! Kembali ke barisan!”, seorang tentara menarikku. aku masih kaget dengan apa yang kulihat tadi barusan. “oi rif, ada apa di dalam sana? ” tanya Bager kepadaku.
“tidak tahu, hanya sekumpulan orang orang yang sakit, tapi aneh...” bilangku. “ya tuhan kalau ini memang kiamat, aku tobat, aku janji tidak akan minum minum dan main perempuan lagi..” Ragol berdoa dan menangis dia menyandarkan kepalanya di punggungku.
tak lama kemudian bapak-bapak berkumis di depanku masuk ke pintu besi sebelah kanan. dan tibalah giliranku.
“tangannya taruh di meja mas..” bilang petugas medis kepadaku. Aku menaruh tangan di meja, lengan kananku di olesi alkohol dan di suntikan jarum, darahku di ambil sedikit untuk di masukan ke tabung kecil.
tabung kecil itu di ambil oleh petugas medis di sebelahnya di beri sedikit cairan berwarna ungu. Petugas medis mengecheck nya lewat mikroskop. “negatif!”, bilangnya.
Tentara berbadan besar mengantarku ke pintu besi sebelah kanan. Pintu di buka di dalam juga terdapat puluhan orang namun kali ini tidak menyeramkan seperti isi ruangan yang ada di sebelah kiri. Kali ini di isi oleh orang-orang yang tampaknya bersih dari virus.
Aku pun masuk ke dalam, “sudah kamu di sini sekarang!”, ujar tentara yang mengantarku. pintu di tutup. Di sekeliling ruangan sedikit gelap hanya ada cahaya lampu yang remang, di sisi sisi ruangan ada jejeran kasur tingkat. orang orang di sini ada yang tidur di kasur dan ada juga yang berbaring di lantai karena jumlah kasur yang terbatas.
di dalam sini suhu nya panas karena penuh sesak dengan tumpukan manusia.Satu per satu warga masuk ke ruangan ini, tua, muda, pria, wanita, di tahan tanpa mengetahui kelanjutan nasib mereka. Ruangan bertambah sesak dan penuh, teriakan ibu-ibu dan tangisan anak kecil menghiasi ruangan ini.
“Hai mas, sini mas!”, aku di panggil oleh seseorang.
Ternyata dia bapak-bapak berkumis yang berada di antrian depanku tadi. Aku pun mendatanginya, sambil melangkahi dan menghindari barisan manusia yang berdesakan.
“aku Boy, ini temanku ismail”, bapak berkumis itu memperkenalkan diri dan juga mengenalkan temannya yang bertubuh kecil, kurus.
”oh, iya pak, namaku Syarif”, sahutku sambil berjabat tangan. Di belakangnya berjejer 13 orang berpenampilan seperti preman menyapaku, mereka juga kawan-kawan pak Boy.
Tak lama kemudian Ragol masuk ke ruangan ini, di susul Nizar, Alwi, Bager, Fadil dan Mo. aku tampak lega mereka tidak apa-apa, bersih dari virus.
Aku mengenalkan mereka ke pada Pak Boy dan Ismail. Kami bercerita kalau kami baru berlibur dari desa Pondoan tidak tahu-menahu soal perkembangan COIT 20 yang tampaknya semakin parah.
“kasihan juga kalian, pulang liburan di hadapkan dengan kejadian seperti ini”, ujar Pak Boy”. kemudian Pak Boy menjelaskan perkembangan COIT 20 dan mengapa tiba tiba ada kamp penampungan, kami semua menyimaknya.
“ di kota-kota besar, termasuk Boyo city sudah lumpuh total, listrik tidak ada, jaringan satelit mati, korban yang terjangkit virus hampir 85 persen dari penduduk kota”, bilang Pak Boy. Kami semua kaget, hampir tidak percaya kalau kota tempat tinggal kami lumpuh total.
Kami semua mendadak di liputi rasa khawatir yang luar biasa, Bagaimana nasib keluarga kami di sana?. “terus pak, bagaimana dengan warga warga di Boyo city?”, tanyaku.
“nah itu aku belum tau, belum ada kabar yang jelas. Setahuku pemerintah mengirim pasukan militer, tim dokter khusus, dan tim penyelamat tapi dalam jumlah besar.
Isunya tentara militer kewalahan, pemerintah sudah angkat tangan, lalu mereka mengisolasi total Boyo city, perbatasan masuk dan keluar di tutup, jadi putus dari dunia luar. Warga yang belum terinfeksi di evakuasi besar-besaran, tapi masih belum tahu di evakuasi kemana”, penjelasan Pak Boy yang mengerikan, membuat kami ternganga. rasa bingung, takut, marah bercampur menjadi satu.
“terus sampai kapan kita di tahan di sini pak?”, tanya Nizar ke Pak Boy. “tidak tahu, virus sudah menyebar ke kota perbatasan seluruh Boyo city. Dari dua hari terakhir sudah ada posko ini, semua orang yang masuk arah parang-boyo city di tahan di sini”, bilang Pak Boy.
kami semua terdiam dan kaget...
" apa?... tidak mungkin.... kan seminggu yang lalu sudah ada suntik imun dan.. " , nizar menyahuti tapi omongannya terpotong karena pintu ruangan di buka.
kali ini bukan warga, namun tiga orang tentara bersenjata. “harap tenang semuanya!!”.seseorang masuk ruangan, ternyata dia letkol yang tadi menginterogasi kami.
“baiklah semua sudah di kumpulkan, kalian semua yang berada di sini kalian semua bersih, kalian akan menjadi tanggung jawab kami, makanan akan kami sediakan, untuk kebersihan kami akan sediakan tempat mandi dan pakaian bersih, jaga diri kalian agar tetap steril. Tidak ada yang boleh keluar dari ruangan ini kecuali dapat arahan dari kami.
Nanti kami atur jadwal makan, mandi, dan jadwal keluar masuk ruangan ini, Kalian akan tetap di sini di bunker karantina ini sampai waktu yang tidak di tentukan”, bilang letkol itu
Mendadak semua orang menjadi panik. “diaaaam!!, tenaaaaang semuanyaa!!, kalian di sini lebih aman daripada di luar sana, kalian dalam pengawasan kami, kalian tetap di sini sampai ada pemberitahuan lebih lanjut dari pemerintah!”, letkol itu melanjutkan.
“sekian informasi dari saya, selamat malam!”, kemudian dia pergi meninggalkan ruangan di iringi oleh ketiga tentara bersenjata.
“grek, cklek”, pintu ruangan ini di kunci, pintu yang terbuat dari besi yang mengurung aku dan teman-temanku dan puluhan warga lainnya. “sialaaan kenapa begini?!!”, teriak warga yang marah, marah karena harus di kurung tanpa kejelasan.
Aku melihat sekitar orang-orang tampak diam, mengeluh, marah, menangis, berbagai macam ekspresi emosi . ada yang sempat bertengkar karena berebut kasur, maklum jumlah orang di sini melebihi kapasitas ruangan.
Aku melihat Ragol yang menangis bersandar di pelukan Fadil, Bager dan Mo berusaha menghiburnya. Kami bertujuh duduk bersampingan. Di sebelah kami Pak Boy dan Ismail
Alwi terlihat gusar. Dia kemudian memukul lantai dan berkata,” ah tidak mungkin, aku gak percaya!”. “udah wi sabar dulu kita ikutin prosedur”, bilangku. “kita harus keluar dari sini,!” bilang Alwi.
Pak Boy ternyata mendengarkan pembicaraan kami. “kalian mau keluar dari sini?”, tanyanya. Kami semua pun mejawab iya. “Memangnya bisa?”, tanyaku. Pak Boy tersenyum dan bilang, “tunggu saja setelah dini hari”, Ismail di sebelahnya tertawa dengan suara yang melengking dan tidak jelas.
Aku melihat jam tanganku waktu sudah menunjukan pukul 01.15 tak terasa kami sudah 3 jam berada di bunker ini. Ragol, Fadil, dan Mo tertidur. aku sama sekali tidak bisa tidur, aku belum bisa tenang.
Sinyal handphone sudah tidak bisa di pakai. Aku tidak bisa menghubungi keluargaku, atau mencari tahu info lebih lanjut tentang Boyo city. Di sebelahku Nizar, Bager, dan Alwi pasti juga berpikiran sama denganku.
“Duh nasib apes apalagi nih” , Bager mengeluh. “aku sudah merasakan firasat yang tidak enak ketika di jalanan tadi begitu sepi dan di SPBU yang kosong”, aku menjelaskan kepada Bager, Nizar, dan Alwi bahwa aku telah melihat sesuatu yang janggal sejak aku masuk ke ruang manajerial SPBU. Aku ceritakan kepada mereka potongan clipping koran di sisi loker manajer.
Clipping koran yang memberitakan tentang wabah virus COIT 20. Aku tidak sempat melihat tanggal pada potongan koran tersebut. Tapi aku dapat menyimpulkan dari urutan potongan clipping koran dan beritanya, yang memuat pada awal-awal munculnya virus.
Kira-kira 3 bulan yang lalu pada saat itu memang awal kemunculan virus COIT 20 sampai peraturan tentang pembatasan sosial bersekala besar yang di canangkan pemerintah.
Aku tak menyangka virus ini menyebar begitu cepatnya. Pemerintah sudah memblokade kota dan mengisolisir dari dunia luar. aku tak terima berita seperti ini. Aku harus melihat sendiri seperti apa keadaan di sana.
“aku masih belum yakin dengan omongan pak Boy tadi”, aku berkata kepada teman-teman. “kita baru seminggu keluar kota, terakhir di sana masih terbilang aman cuman berlaku PSBB saja, apa mungkin dalam jangka 5 hari Boyo city bisa mati total" bilangku.
“iya Rif, aku juga merasa keluarga kita di sana masih baik baik saja” bilang Bager. Tiba-tiba Alwi berteriak marah marah. “ini semua cuman akal bulus pemerintah korup. kita semua tidak seharusnya di kurung di sini l, kita negatif kok, kita bersih, kita sehat!” Alwi berapi-api menjelaskan opininya sambil berdiri di atas kursi.
Tak pelak seruangan menyoroti Alwi. Kemudian bapak-bapak bertubuh gempal menegur Alwi. “hei anak muda! Jangan sembarangan ngomong!, kita bukan di kurung tapi ini proses karantina untuk keselamatan kita sendiri”.
“Eh pak aku ini justru kasihan sama orang orang di ruangan ini, di kurung sampai tidak bisa apa apa, kita semua cuma di akal akali oleh militer dan pemerintah korup!”, Alwi menyahuti dengan emosi.
Aku, Bager, dan Nizar mencoba meredam emosi Alwi. Yah beginilah Alwi gampang panik, ceroboh, selalu bertindak atau berkata tanpa berpikir panjang.
“Udah wi, jangan berkata seperti itu!”, kata Bager. “ wi jaga bicaramu, kita ini masih mengikuti prosedur bukan di tahan Cuma di karantina sementara, tolong jangan bicara seperti itu lagi kalau terdengar penjaga kita bisa kena hukuman”, ujar Nizar sambil memegang bahu Alwi.
“ah biarin!, Aku tidak takut, kalian mau diam aja di sini? Dasar bodoh!”, Alwi kemudian menuju pintu bunker dan mulai menggedor pintu. Tindakan Alwi tambah menyulut reaksi sebagian orang. “hei sini kau anak sialan!”, Bapak-bapak bertubuh gempal tadi mulai mendatangi Alwi.
Alwi tidak menghiraukan dia tetap menggedor pintu sambil teriak. Aku, Nizar, dan Bager berusaha menarik Alwi. Sebagian orang juga kesal dengan Alwi dan mulai menghampiri nya.
Kemudian bapak bertubuh gempal menarik baju Alwi dengan kasar, Alwi melawan dengan menyikut bapak itu, sontak saja yang lain ikut mengeroyok Alwi, aku dan teman teman pun berusaha menenangkan situasi.
tapi banyak orang yang sudah terlanjur marah mengeroyok kami. Tiba tiba Pak Boy, ismail dan beberapa temannya membantu kami. Mereka berusaha melerai pertengkaran. Tiba-tiba muncul lagi beberapa orang menambah keributan.
Kami terpojok, aku melihat Alwi di keroyok beberapa orang. Beruntung dia di bantu oleh Pak Boy dan beberapa kawannya. Akibat terjadi keributan dan kegaduhan yang tak terkontrol. Dua penjaga militer masuk dan menembakan tembakan peringatan. “dor!, dor!”. Seketika kericuhan terhenti. “siapa biang keroknya??!!”, teriak penjaga.
Bapak bertubuh gempal yang beselisih dengan Alwi membuka suara. “maaf pak.. kami enggak bermaksut begini, semua gara-gara kelompok anak muda goblok ini!”,
sambil menunjuk ke arah Alwi, Nizar, Bager, Mo, Ragol, Fadil, dan aku. “iya pak mereka pengacau!”, “dasar pemberontak!”, “usir mereka!”, suara hiruk pikuk orang-orang yang menyudutkan kami. “diaaaam!” teriak penjaga.
Salah satu penjaga mendatangi kami .dia memperhatikan kami satu-satu dengan tatapan sinis. “apa benar kalian yang bikin ribut?!”, tanya penjaga itu dengan ketus.
Di antara kami tidak ada yang berani menjawab. Kemudian aku memberanikan untuk bicara. “maaf pak kami cuma anak muda yang kebingungan dan kami sedang panik, kami cuma butuh kejelasan akan nasib kami”, aku menjelaskan situasi dengan merendah.
“bohong!, mereka pemberontak, mereka cuma mau kabur dari bunker ini!, saya sudah curiga dari awal!”, bilang bapak-bapak bertubuh gempal. Lantas kami tidak terima Nizar pun membela diri, “ kami ga ada maksut apa-apa, apalagi mau kabur!”.
“bohong!”, usir pak, hukum saja para berandalan ini”, teriak orang-orang menyudutkan kami lagi. “sudah diam semuanya!, biar kami, petugas yang bertindak!”, bilang penjaga. Kemudian dia menoleh ke arah kami, “kalian semua ikut saya!”, petugas itu memaksa kami.
“jangan pak!”, Pak Boy tiba-tiba angkat suara.
“memang mereka yang memicu keributan tapi tidak mutlak salah mereka kok, mereka cuman berselisih dengan salah satu warga yang ujung-ujungnya memancing emosi masing-masing, tapi sebetulnya yang salah itu saya, saya yang bikin mereka panik.
Mereka kan enggak tau apa-apa, enggak tau keadaan kota tempat tinggal nya, saya ceritakan kejadian di Boyo city dan mereka panik, jadi yang salah saya kok pak”, pak Boy bermaksut membela kami.
“hmmm, apa benar kata bapak ini?”, tanya penjaga itu. “iya pak.. saya saksi pak”, Ismail membela dengan suara cadel dan tidak jelas.
penjaga itu pun bingung dengan suara Ismail . “ini teman saya pak, maaf bicaranya emang ga jelas, tapi dia dan saya saksinya”, kata salah satu teman Pak Boy. Di susul 13 orang kawan Pak Boy yang setuju menjadi saksi bahwa kami bertujuh tidak bersalah. “bawa kami saja pak, biar para anak muda ini di sini”, bilang salah satu kawan Pak Boy.
Setelah beberapa menit berpikir akhirnya penjaga itu melepaskan kami. Tapi menahan Pak Boy dan 13 orang temannya. Ismail tidak ikut di tahan, mungkin karena penjaga itu iba di karenakan fisik Ismail yang memang pendek kecil, kurus, dan bersuara “aneh”. Kami pun merasa tidak enak dengan Pak Boy yang “mengorbankan diri” agar kami tidak di tahan.
“pak kenapa kamu membela kami?”, bilangku. “ssst, diam saja ”. Bisik Pak Boy. “hei, pak kenapa anak-anak muda pengacau itu tidak di bawa juga?”, protes bapak bertubuh gempal yang tidak terima kalau kami tidak jadi di tahan penjaga. “mereka diam di sini”, bilang penjaga.
“pak, dia juga salah satu yang bikin keributan”, ujar Pak Boy sambil menunjuk ke arah bapak bertubuh gempal. “hei, kamu jangan nuduh saya ya!, jelas anak -anak ini yang mengacau!”, bapak itu tidak terima, dia mencengkram leher Pak Boy. “hei, sudah!, bapak juga ikut saya!”, penjaga pun juga menahan bapak bertubuh gempal itu.
Pak Boy beserta kawan kawannya, dan juga bapak bertubuh gempal di gelandang keluar ruangan oleh para penjaga. Kami agak lega bapak gempal itu juga di tahan karena memang dia provokator. Entah bagaimana kalau dia masih di sini seruangan dengan kami. Mungkin kami bisa-bisa di keroyok lagi oleh warga akibat hasutan bapak itu.
Memang Alwi salah, dia bertindak ceroboh namun sekarang dia sudah tenang dan diam. Suasana ruangan menjadi kelam bagi kami. Orang-orang menatap kami dengan sinis. Akibat pertikaian tadi, tampaknya orang-orang di sini seperti termakan hasutan bapak gempal, atau memang mereka marah karena komentar pedas Alwi tadi. Dan aku penasaran pak Boy di apakan oleh tentara itu?.
Mungkin Ismail tahu sesuatu. “hei Ismail, bagaimana dengan pak Boy dan yang lainnya? Apa mereka di hukum?”. tanyaku. “ tidak apa apa, santai ”, jawab Ismail sambil tertawa cengir. aneh.
Waktu sudah menunjukan pukul tiga dini hari. Bager, Nizar, Alwi, Ragol, dan Mo mereka semua tidur.
Aku masih belum bisa tidur, masih belum bisa tenang dengan apa yang terjadi sekarang. Tiba tiba Ismail menggugah ku “ tunggu sebentar lagi”, ujarnya. Aku bingung apa maksutnya?.
Kemudian Ismail menggedor pintu
Penjaga di luar membukakan, Ismail bilang ingin ijin ke toilet, penjaga mengantarnya ke toilet. Sudah 15 menit berlalu Ismail belum datang juga. Ruangan tampak sunyi karena hampir semua orang tidur. Tiba-tiba aku mendengar seperti suara tembakan dan ledakan dari luar.
Apa itu? Apa yang terjadi?. Tak lama kemudian pintu terbuka. Ismail dan salah satu kawan Pak Boy memanggilku mengisyaratkan untuk mengikutinya keluar. Aku membangunkan teman teman.
“hei, mau kemana? Mana penjaga nya?”, tanyaku. “Ikut saya”, bilang kawan Pak Boy. Ketika kami keluar, beberapa orang mencoba menghentikan kami. Tapi kami lebih dulu keluar dan mengunci pintu.
Di luar tampak sepi, petugas medis yang sebelumnya bertugas mengecheck warga tidak ada, begitu juga penjaga militer. “hei kemana semua tentara itu?”, tanya Nizar. Ismail dan kawannya tidak menjawab dan mengisyaratkan kami untuk mengikutinya.
Setelah keluar dari bunker, kawan Pak Boy mengisyaratkan kami untuk kabur lewat hutan di seberang posko karantina ini. “ mau kemana kita? ”, tanyaku “ kalian lari duluan, ikuti jalan ini Sampai ke hutan di seberang, Ismail akan mengantarkan kalian”. bilang kawan Pak Boy.
Ismail menuntun kami berjalan pelan ke belakang posko. Setelah melewati posko, kami melihat puluhan tentara terlibat situasi tembak-menembak. Apa yang terjadi?.
“ayo lewat sini”, Ismail menuntun kami mengitari jalan, kami berlari pelan sambil merunduk di belakang mobil-mobil yang terparkir di sisi jalan.
Kami berlari menghindari sorotan dari para tentara. Saat kami sudah hampir melewati wilayah belakang posko tiba-tiba,
“hei, kalian mau kemana?!!, “ teriak penjaga. kami ketahuan. “LARI GUYS!!”, teriak Nizar.
Kami semua berlari. “berhenti!, atau kami tembak!”, teriak penjaga sambil menodongkan senapan ke arah kami. Kami semua terus berlari sekencang mungkin tanpa melihat ke belakang.
“dor-dor!”, para tentara itu menembaki kami aku tetap berlari sekencang mungkin, di depanku Ismail lari dengan cukup gesit. Aku melihat ke belakang Nizar, Bager, dan Alwi juga sekuat tenaga berlari. tapi aku tidak melihat Mo, Fadil, dan Ragol. “Mana yang lain?”, tanyaku sambil berlari.
“jangan berhenti Rif!, Tetap lari, yang lain menyusul di belakang!”, sahut Bager. Bager,Nizar,Alwi terus berlari ke depan mengikuti Ismail. Aku berbalik arah, aku ingin memastikan bahwa Fadil,Mo, dan Ragol juga mengikuti.
aku mencari mereka ke arah dekat lapangan luas di mana para tentara sedang adu tembak. Aku mengendap dengan berhati-berhati di belakang mobil-mobil yang terparkir. Terlintas dua orang tentara berlari melewatiku, mereka tidak melihatku. Tentara itu mengejar , Bager, Alwi, Nizar. Semoga mereka baik-baik saja.
“dor-dor!”, tembakan demi tembakan terus berdatangan. Sungguh suasana yang menegangkan, dengan jantung yang berdebar debar aku pelan-pelan menyelinap.
Ketika aku menoleh ke arah lapangan tempat adu tembak terjadi, aku melihat beberapa kawan pak Boy.
Sulit di percaya ternyata pak Boy dan kawanannya yang memicu kericuhan ini. Mereka bersenjata. Saling tembak-menembak dengan tentara. Suatu pemandangan yang mencengangkanku, biasanya aku melihat adegan ini cuman di film dan televisi. peluru berterbangan di mana-mana. Tiba-tiba tangan seseorang mencengkram pundakku.
“hei!, kok masih di sini? Cepat lari ke hutan!”. Ternyata pak Boy. Aku belum sempat menghela nafas karena tegang, pak Boy menarikku untuk bersembunyi ke balik tumpukan kayu-kayu dan rerongsokan besi.
“kamu sudah di beri instruksi oleh anak buahku kan untuk lari ke hutan, kenapa masih di sini?”, bilangnya. “i..iya pak, sebagian temanku sudah menuju hutan tapi tiga orang yang lain terpisah”.
“oh ya? Di mana ?”, tanya pak Boy, aku menjelaskan keadaan ketika kami berlari sembunyi-sembunyi mengikuti Ismail sampai di wilayah belakang posko ini dan akhirnya kami ketahuan para penjaga dan kami berlari sekencang mungkin dan di situlah aku kehilangan Fadil, Mo, dan Ragol.
“Tunggu di sini jangan kemana – mana!”, pak boy menyuruhku untuk tetap bersembunyi. Tapi aku tidak mau tinggal diam. Aku pelan-pelan mengikuti Pak Boy,
Pak Boy berlari ke arah sisi lapangan ,aku mengikutinya sambil menjaga jarak.
Pak Boy mendatangi seorang anak buahnya yang menembaki tentara, dari sudut yang tidak terlihat . pak Boy sedang menginstruksikan sesuatu kemudian anak buahnya berhenti menembak dan pergi. Mungkin pak Boy menyuruh anak buahnya untuk mencari 3 orang temanku.
pak Boy mengeluarkan sesuatu dari dalam tas yang tergeletak di tanah, tas itu milik anak buahnya yang tadi.
ia mengeluarkan beberapa benda sebesar buah mangga, aku tidak terlalu jelas melihatnya karena aku berada agak jauh di belakang pak Boy, dan juga suasana saat itu gelap sekali. Pak Boy menarik semacam pelatuk dari benda itu, Granat!, dia melemparkan 3 granat langsung ke arah tengah lapangan yang ada puluhan tentara.
“DUAAAAR!!!” ledakan yang cukup dahsyat. Aku menjatuhkan tubuh ke tanah. aku tidak dapat melihat sekitar karena debu dan pasir terhempas kemana-mana akibat ledakan granat tersebut. Aku berusaha membuka mata, walaupun sedikit perih tampak samar-samar seseorang lari ke arahku dan membantuku berdiri, membopongku dan menuntunku berjalan.
saat mataku mulai bisa melihat sekitar, ku lihat pak Boy. dia yang membantuku berdiri.
“jangan di sini ayo aku antar ke hutan”, bilangnya. Kulepaskan tangan pak Boy yang membopongku, dan berhenti. “tunggu dulu, aku tidak akan kemana mana sebelum aku bertemu tiga orang temanku”, aku memaksa. “jangan bodoh, ini waktu kamu untuk lari, temanmu sudah di cari anak buahku ”, ujar pak Boy.
Terdengar suara teriakan beberapa tentara dari arah tempat pak Boy melempar granat tadi. Kelihatannya para tentara itu mengejar kami. Aku dan pak Boy berlari, pak Boy menarikku bersembunyi di balik mobil SUV.
“Diam di sini dan jangan bersuara!”, kata pak Boy. Dia menarik sebuah handgun dari sabuk belakang celana jeansnya yang tertutup jaket. Dari mana dia dapat senjata-senjata ini? Siapa pak Boy ini sebenarnya?
Para tentara yang mengejar kami mulai dekat ke arah mobil SUV tempat kami bersembunyi, ada tiga tentara. Pak Boy mulai membidik. “dor!,dor!,dor!”, tiga tembakan tepat ke arah dada, tiga tentara itu langsung tewas.
Aku tercengang dengan mulut menganga, aku belum pernah melihat adegan penembakan atau pembunuhan seperti ini seumur hidupku.
“ayo!”, bilang pak Boy sambil mereload peluru handgunnya. Aku masih belum bisa bergerak, masih kaget. tapi rasa penasaranku membuatku bertanya kepada pak Boy, “pak, si.. siapa kamu sebenarnya?”. Pak Boy Cuma menatapku sambil diam. “ tidak ada waktu untuk menjelaskan, sekarang waktunya lari ayo!”, bilangnya.
Kami berdua lari, pak Boy mencoba mengantar ke arah hutan untuk kabur. Tapi aku tidak ingin kabur, aku ingin pastikan keselamatan Mo, Fadil, dan Ragol.
“Pak!!”, terdengar panggilan seseorang dari belakang, dia lari menyusul kami. “Lapor!”, ujar anak buah pak Boy. “tiga pemuda itu telah tertangkap pak!”, kata anak buah pak boy.
“apa?! Di mana mereka?!”, tiba tiba aku membentak, aku secara tidak sengaja memebentak karena kaget, bagaimana tidak , ketiga orang temanku di tangkap.
“kamu diam saja, biar saya yang urus”, ujar pak Boy. Aku tidak tenang, bukannya tidak yakin dengan bantuan pak Boy tapi aku ingin memastikan sendiri keadaan mereka bertiga...
“tiga pemuda itu di tahan di pos militer 200 meter dari pusat karantina”, kata anak buah pak Boy.
“kamu kesana, panggil coy dan Roy!”, perintah pak Boy. “siap!”, anak buah pak Boy langsung sergap lari untuk melaksanakan perintah. aku mengambil tindakan yang bodoh, ku ambil handgun dari balik sabuk pak Boy dan lari.
"heii!!” pak Boy berteriak dan mengejarku. Aku berlari sekencang mungkin, ku lari ke arah pos militer tempat Fadil, Mo, dan Ragol di tahan. aku ingin menyelamatkan tiga orang temanku.
Aku lari dan lari, kulihat ke belakang pak Boy tidak ada, mungkin dia berhenti mengejarku karena kecapekan. aku sampai ke pos militer tempat Mo, Fadil, dan Ragol di tahan. Ku lihat ada sekitar 10 orang tentara.
Aku menjaga jarak dan bersembunyi agar tidak terlihat kumpulan tentara itu. Aku sembunyi dari balik semak-semak yang berjarak sekitar 8 meteran dari pos.
Tentara berkumpul dan bersiaga. Jantungku berdegup kencang napasku tersengal-sengal tangan kananku yang memegang handgun gemetaran. Bodohnya aku, mengapa aku lakukan ini? aku tidak bisa menghadapi situasi seperti ini, mestinya aku turuti pak Boy, biarkan anak buahnya yang menyelamatkan ketiga temanku.
sekarang aku dalam bahaya besar. Aku diam, tegang dan berkeringat, tidak tahu ingin melakukan apa. Aku hanya bisa berdoa anak buah pak Boy membantuku jika aku tertangkap.
“cklek!”, suara senapan yang di kokang, tepat di belakangku. Ku toleh pelan-pelan. Sesosok tentara dengan senapan membidik ke arah kepalaku. “buang senjatamu!, berdiri pelan-pelan!” bentak tentara itu. Aku gugup dan tegang, ku buang handgun
dan berdiri dengan gemetaran. “tangan di atas kepala!”, teriak tentara itu. kemudian aku di giring ke dalam posko itu. setelah di dalam aku melihat Mo, Fadil, dan Ragol di borgol ke sebuah pilar di pojokan ruangan.
“rif!”, teriak mereka bertiga, dengan ekspresi kaget. aku juga di borgol ke pilar, pilar yang berada di samping pilar mereka di borgol.aku menoleh ke arah Mo, Fadil, dan Ragol, mereka babak belur. Mata Mo bengkak.”kenapa kalian?’”, tanyaku. Mereka bertiga tidak menjawab, hanya memberiku pandangan yang lesu.
“ hei!,kalian berteman kan, mana teman kalian yang lainnya?”, tanya seorang tentara kepadaku. “kalian juga bersenkongkol dengan geng pemberontak itu kan?!!”, dia bertanya lagi.
geng pemberontak? Mungkin maksutnya pak Boy dan kawan-kawan.
Aku hanya diam.
“jawab!!”, bentak tentara itu, ku masih diam aku tidak ingin membocorkan info apa-apa. Karena aku yakin anak buah pak Boy menyusul kemari dan menyelamatkan kami bertiga. “bug!”, tentara itu memukulku, mulutku berdarah.
“kamu mau babak belur juga?, hah?”, bentaknya lagi. Sambil mengangkat tangan bersiap hendak memukul. “dor-dor!”, terdengar suara tembakan dari luar.
“pak, di luar ada para pemberontak itu!”, lapor seorang tentara. “ada berapa jumlah mereka?!”, jawab seorang tentara yang mengintrogasiku, tampaknya dia berpangkat sersan. “sekitar 3 orang pak!”, jawab bawahannya.
“baik, tangkap mereka hidup atau mati!”, teriak sersan. ternyata Anak buah pak Boy . Aku lega mendengarnya. Suara tembakan terdengar silih berganti dari luar.
Sersan tadi kembali menoleh ke arahku. Kali ini dia mengeluarkan pisau belati dari dalam laci di mejanya. dia berjalan ke arahku.
“kami sebenarnya tidak ingin main hakim sendiri, tapi keadaan sekarang sudah lain, kami tidak mentolerir adanya pemberontakan!”, ancam sersan itu sambil menempelkan ujung pisau ke leherku. sepertinya dia tidak segan-segan untuk melukai.
“ bangsat!, Bunuh saja aku!!’, tiba-tiba Fadil berteriak. Dia ingin mengalihkan perhatian sersan itu terhadapku. Sersan itu menoleh ke Fadil. “bangsat!, kalian tidak pantas memakai seragam tentara!!”, fadil berteriak lagi.
“hahahaha, dasar bocah kamu mencoba memainkan emosiku? ”, jawab sersan itu sambil tertawa sinis. “dil, jangan bertindak bodoh!”, bilangku.
“aku menantang tentara busuk ini!, Kalau memang dia punya nyali! Dia cuman berani memukul saja tidak mungkin membunuh kita!’, teriak Fadil.
sersan itu mendatangi Fadil yang terborgol dan tak berdaya. Dia menekan pisau ke leher Fadil dengan tekanan yang lumayan keras. Aku bisa melihat darah sedikit mengucur dari lehernya akibat tergores.
“siapa kamu berani mempermainkan dan mempertanyakanku? soal membunuh itu perkara gampang buatku, apalagi membunuh kerucuk seperti kalian, tinggal ku potong potong hilanglah jejak kalian”, bilang sersan itu dengan suara pelan. Pisaunya masih menekan leher Fadil.
“ayo bunuh saja!”, Fadil memprovokasi sersan itu. dengan omongan yang begitu jelas sersan itu tambah emosi. “dil, apa yang kau lakukan, kau mau mati?!”, bilangku. Sersan itu kemudian mengangkat pisaunya ke atas kepala Fadil.
“aku pernah membunuh seseorang di luar jam tugasku”, ucapan yang mengerikan dari sersan itu menambah suasana mencekam, aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Ku goyangkan borgol yang terikat di pilar. Aku ingin menghentikan sersan itu tapi tak bisa. “hehehehe, bocah menyedihkan”, bilang sersan itu sambil melotot dan mengangkat pisaunya lebih tinggi lagi ke atas kepala Fadil.
“Dhuuiiih!!”, tiba-tiba Ragol meludah, ludah Ragol menempel ke wajah sersan itu. tepat saat dia hendak menghunuskan pisau ke Fadil. Sersan itu menoleh ke arah Ragol dengan melotot seram. “Dhuiih!!”, dari sebelahnya Mo juga meludah, sekali lagi tepat kena wajah sersan itu.
“Haarrgh!”, sersan itu tambah berang. Kemudian Fadil menendang ke arah ******** sersan itu yang berdiri tepat di depannya. Tendangan yang cukup keras.
Sersan itu terjerembab ke lantai dan meraung kesakitan. pisaunya terlepas dari tangannya, jatuh ke arah kaki Ragol, Ragol pun menendang pisau itu jauh-jauh. “Ambil kunci borgol, raih pakai kaki!”, bilang Fadil. Ragol menjulurkan kaki ke arah badan sersan yang meraung kesakitan.
Sersan itu kemudian mencengkram kaki Ragol yang menendang-nendang kunci yang di gantungkan di kantong seragamnya. “dasar bocah tengik!”, bilang sersan itu sambil mengeluarkan pistol kecil dari balik sepatu bootnya.
Sialan, dia menyimpan pistol. “cklek” dia mengokang pistol kecil itu sambil mengarahkan pistol ke arah Fadil. Aku, Fadil, Mo, Ragol tidak berdaya. Ku pejamkan mataku sambil berdoa.
“dor!!!”, aku masih belum membuka mataku, tapi aku bisa membayangkan kalau Fadil terkena tembak. Aku tidak berani melihat kawanku sendiri di bunuh di depanku. “oo..oh terimakasih pak!”, suara Ragol dan Mo yang membingungkanku.
Apa mereka baik-baik saja? Kemudian aku membuka mataku. Sebuah tubuh tergeletak di lantai, dahinya bersimbah darah akibat terkena peluru. itu bukan tubuh Fadil, tapi tubuh sersan jahat yang berniat hendak membunuh kami.
aku lega kami selamat. Di depan kami berdiri sosok seorang berkumis tebal, sosok yang tidak terlalu asing bagiku, ya, dia pak Boy. Datang di saat tepat. Menyelamatkan nyawa kami berempat yang tengah terancam.
“sudah kubilang kalian langsung lari ke hutan ikuti arahan anak buahku!”, ujar pak Boy, sambil menyalakan rokok. 13 anak buah pak Boy memasuki ruangan.
Mereka membuka borgol kami. pergelangan tanganku sedikit terkilir, akibat cengkraman borgol yang cukup keras. “sekarang kalian pergi dari sini, sudah aman kok”, bilang pak Boy.
“bukannya waktu semalam masih banyak polisi dan militer? Dan juga regu penyelamat dan tim medis?”, Tanyaku. “Yang tinggal di sini cuman beberapa tentara saja, tidak terlalu ketat, setelah proses tes medis dan karantina, pasukan militer, kepolisian, regu penyelamat, dan tim medis sudah bubar”.
“ sekarang sektor ini sudah aku ambil alih, tapi tidak bisa lama lama karena nanti pagi ada regu tentara membawa pakaian dan makanan”, lanjut pak Boy.
“ terus bagaimana dengan orang orang ini? tanyaku, pak Boy mematikan rokoknya dan berkata , " Tenang saja ,tidak usah kalian pikirkan, serahkan kepada kami". Jawaban pak Boy menandakan kalau dia bukan orang biasa, mungkin dia agen khusus dari pemerintah atau sesuatu.
Matahari sudah mulai terbit, waktu menunjukan pukul 05.29, sungguh dini hari tadi adalah momen yang terlama dalam hidupku.
Momen yang sangat menegangkan dan mencekam. aku,Fadil, Mo, dan Ragol di antar oleh Pak Boy dan anak buahnya menuju hutan. Kami di antar menggunakan mobil jeep humvee milik militer, yang di ambil oleh anak buah pak Boy. sampai di depan hutan mobil kami berhenti.
“apakah kalian yakin ingin balik ke boyo city? ”, tanya pak Boy kepadaku. “iya Pak,kami ingin pulang dan mencari keberadaan keluarga kami”, jawabku.
“ya sudah aku tak bisa melarang kalian, tapi hati hati di perjalanan jangan percaya dengan orang asing apalagi dengan pihak militer atau utusan pemerintahan”, kata pak Boy. Kemudian dia turun dari mobil.
“ kalian bawa jeep ini, ada yang bisa menyetir? ”, tanya pak Boy. “aku pak”, sahut Fadil sembari pindah ke jok depan bersiap untuk mengemudi.
“teman mu tidak terlalu jauh, mereka mungkin sudah memasuki tengah hutan lagian mereka aman kok, ada ismail”, jawab pak Boy.
Kami berempat hendak berangkat memasuki hutan, mencari ketiga teman kami yang terpisah. “ kalian lurus saja telusuri hutan ini, nanti kalian akan tembus jalan pinggiran perbatasan boyo city.
“siap pak”, jawab kami berempat. “pak Terima kasih banyak bapak dan yang lainnya sudah membantu kami, bilangku kepada pak Boy. Pak Boy Cuma tersenyum dan berkata, “Tuhan yang menyelamatkan kalian, kita kebetulan bertemu di tempat yang sama,saya doakan kalian selamat dalam perjalanan dan dapat bertemu dengan keluarga kalian”, jawab pak Boy dengan bijak dan mendoakan kami.
kami berempat berangkat. mencari Alwi, Nizar, dan Bager.
Mobil jeep yang kami tumpangi Memasuki area hutan, aku tidak bisa melupakan kejadian semalam di Parang.
Kamp karantina, warga yang terinfeksi, militer yang kejam, dan pak Boy dengan gengnya yang militan. Sungguh aku seperti berada dalam dunia mimpi, pulang liburan di hadapkan dengan kejadian yang mencekam begini..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!