Takdir Pedang Sang Iblis
Tiada hari tanpa perang, itulah gambaran yang terjadi di benua Majang saat ini.
Entah apa tujuan utama peperangan yang tidak pernah diketahui kapan berakhirnya, semuanya hanya mengakibatkan kerusakan, kehancuran bahkan kematian.
Seorang anak kecil berusia sekitar enam tahun tampak tertatih merangkak dari tumpukan mayat yang semakin hari terus membusuk, ia mencoba peruntungannya mencari sesuatu yang bisa ia temukan untuk mengisi perutnya yang lapar.
Dengan sisa tenaganya ia terus merangkak di antara tumpukan mayat yang berserakan di sekitarnya.
Tubuhnya kotor bermandikan darah dan bau amis dari tubuh-tubuh mati yang mengenainya, tanpa lelah ia terus mencari apa pun yang bisa dimakannya.
Wajahnya begitu pucat, matanya sayu dipadu dengan giginya yang terus beradu menahan lapar di perutnya.
Bau busuk yang menyengat tak lagi dihiraukannya, ia terbiasa melihat dan menyentuh potongan tubuh dan darah yang berceceran.
Beruntung, lokasinya tidak jauh dari kotak kayu logistik yang berserakan.
"Ah, akhirnya aku menemukan makanan" ucapnya penuh haru setelah membuka kotak kayu di dekatnya.
Tanpa peduli apakah makanan itu masih bisa dimakan atau tidak, ia dengan lahap memakan banyak makanan yang terbuat dari ketela dan umbi umbian yang dikeringkan.
Suara langkah kuda dari kejauhan mengejutkannya, ia yang sedang asyik mengunyah langsung bersembunyi ke dalam tumpukan mayat.
Tampak terlihat dua orang pria berpakaian prajurit semakin mendekatinya.
"Hei, apa kau yakin ada sumber makanan yang tersisa di sekitar sini?" Tanya seorang pria berbadan kurus.
"Ya, aku yakin di sini lokasinya, lihatlah tumpukan mayat para prajurit itu, dari seragamnya mereka bukanlah prajurit tempur, aku yakin mereka prajurit pembawa logistik" jawab pria satunya setelah mengamati.
"Lihat itu ada kotak kayu yang berserakan, ayo kita ke sana" ajak pria kurus dengan sumringah.
Sesampainya, kedua pria langsung turun dari kudanya kemudian memeriksa kotak kayu yang ditemukannya.
"Hei, ini terlihat seperti baru dibuka, coba kau perhatikan makanan ini nampak bersih, padahal tutupnya telah terbuka" ungkap pria sedikit gemuk itu kepada temannya.
"Sepertinya masih ada yang hidup, apa kita akan memeriksa mayat-mayat ini?" tanya pria kurus penasaran.
"Tidak perlu, kita sebaiknya membawa kotak yang masih utuh lalu bergegas kembali ke kamp" jawabnya.
Keduanya lalu pergi dengan masing-masing membawa dua kotak berisi makanan.
Anak kecil yang dari tadi terus mendengarkan akhirnya bisa bernapas lega.
"Syukurlah" lenguhnya lalu keluar dari tempat persembunyiannya.
Ia kemudian memperhatikan sekitarnya, memastikan tidak ada lagi orang yang datang ke tempatnya.
Setelah merasa suasana sudah aman, anak kecil itu kemudian mengemas makanan yang tersisa dan memasukkannya ke dalam bajunya lalu pergi ke arah sungai dengan tergopoh-gopoh karena kondisi tubuhnya yang masih lemah.
Namun baru beberapa langkah ia berjalan, tubuhnya terhuyung ke kanan ke kiri tidak seimbang merasakan pusing yang begitu hebat lalu jatuh tak sadarkan diri.
Beberapa hari kemudian anak kecil itu tersadar dari pingsannya.
"Makananku! Syukurlah, masih ada" ucapnya yang langsung teringat akan makanannya.
Anak kecil itu kembali melanjutkan perjalanannya, kali ini tubuhnya jauh lebih baik dari sebelumnya, ia mulai berjalan dengan normal melangkahkan kakinya ke arah sungai tak jauh dari kampung yang menyisakan puing-puing bekas peperangan.
Bola matanya berbinar ketika melihat aliran sungai begitu jernih melintasi bebatuan di sekitarnya, tanpa sabar ia langsung membuka bajunya dan terjun melompat ke dalam sungai.
"Ah, segarnya" ucap si anak begitu senang bisa kembali merasakan segarnya air yang membasahi seluruh tubuhnya, tak lupa ia juga meminum air sambil menyelam.
Ia teringat pakaiannya yang kotor lalu segera mengambilnya dan menyucinya seperti apa yang pernah ia lihat dari ibunya ketika mencuci.
Setelah selesai membersihkan diri dan pakaiannya, si anak langsung telentang menatap langit sambil menunggu pakaian yang dijemurnya kering.
Di bawah pohon yang menjulang tinggi dan terik matahari yang samar menyinarinya, si anak teringat akan nasib keluarganya yang mati terbunuh dalam perang.
"Ibu, Ayah, Kakak, Kakek, Nenek dan semua keluargaku, maafkan aku yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk membantu kalian" lirihnya dengan derai air mata membasahi pipinya.
Terus menangisi nasibnya, si anak sampai tertidur pulas dengan sendirinya.
Hari berganti malam, deru angin menyeruak menerpa tubuh mungilnya yang tidak mengenakan apa pun, si anak terbangun merasakan kedinginan lalu bergegas mengambil pakaian yang telah dijemurnya dan langsung memakainya.
Gelapnya malam dan semilirnya angin menyebarkan bau bangkai dari tumpukan mayat yang kebanyakan merupakan warga kampung, tidak sedikit pun membuatnya takut dengan suasana yang begitu mencekam di keheningan malam.
Ia telah menyaksikan sendiri betapa mencekamnya suasana perang di mana banyak tubuh yang terhunus tombak, kepala yang terpisah dari badannya, bagian tubuh yang terpotong, semburan darah yang menggenangi tanah dan bahkan sanak keluarganya meregang nyawa di hadapannya.
Ia hanya mengingat apabila orang mati harus dikuburkan, seperti yang biasa orang kampung lakukan sebelum akhirnya menjadi medan peperangan.
Inilah waktu yang ia tunggu di mana tidak terdengar lagi suara jeritan dan peraduan logam yang saling bersahutan.
Langkah kakinya dengan cepat menuju bilik rumahnya yang telah rata, ia mengambil cangkul milik mendiang kakeknya.
Tangan mungilnya dengan tertatih terus mengayunkan batang cangkul menggali tanah tak jauh dari rumahnya.
"Ah, sialan! Kenapa masih ada orang yang datang, aku hanya ingin mengubur jasad keluargaku" keluhnya dengan kesal mendengar suara langkah kuda dari kejauhan.
Ia kemudian bersembunyi di balik batang pohon yang tergeletak tak jauh dari tempatnya menggali.
Tak lama kemudian seorang pria tua dengan jenggot putihnya yang panjang tiba di dekat lubang yang digali si anak.
"Keluarlah anak manis, kakek tidak akan menyakitimu" pinta si kakek berpakaian serba putih langsung turun dari punggung kuda.
Si anak tampak ragu, namun setelah memperhatikan si kakek yang wajahnya terlihat baik, ia memberanikan diri keluar dari persembunyiannya.
"Kakek siapa?" tanya si anak memberanikan diri.
"Ha ha ha, mungkin kau akan terkejut mendengarnya karena kakek bukan dari benua ini" jawab si kakek sambil mengelus jenggotnya.
"Hem, kau bisa panggil aku kakek Zhang, namaku Tang Xie Zhang, aku dari benua Matahari di bagian timur jauh" imbuh si kakek.
"Sekarang siapa namamu anak manis?" balik tanya si kakek.
"Aku dipanggil ujang oleh keluargaku, tapi aku sendiri tidak tahu siapa namaku" jawab si anak hanya tahu nama panggilnya.
(Ujang adalah panggilan untuk anak laki-laki di pulau Batik bagian barat benua Majang).
"Oh begitu rupanya, baiklah kakek akan berikan nama baru untukmu, namamu adalah Tang Xie Jingga, apa kau suka nama barumu itu?" ucap kakek Zhang memberikan nama.
"Aku suka Kek, walau aneh terdengarnya, namaku sekarang adalah Jingga" sahut si anak begitu senang mendapatkan nama baru.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 316 Episodes
Comments
Vision Utama
kok jingga hrsnya tang xie online lbh cakep tuh /Chuckle/
2024-05-22
1
Yuki tanzeela
umur 6 thn ada kepikiran mengubur jasad orang tuanya, gak kebayang,,,,,
2023-07-03
4
.
inget sinetron jingga dan senja🚶
2023-06-01
1